Kesesatan Wahdah yang berikutnya, yang ketujuh dan kedelapan adalah Tanzhim dan Sirriyyah (pengaturan organisasi dan aktivitas rahasia). Dalam tulisan mereka yang sama yang saya sebutkan tadi—Ahammiyatul Jama’ah wat Tanzhim—mereka membuat tulisan tentang “Kewajiban-Kewajiban Kami Terhadap Tanzhim:
1. Iltizam
2. Tsiqah
3. Beramal, ikhlas, dan terus-menerus
4. Mendengar dan taat
5. Menjaga rahasia tanzhim
6. Bersabar
7. Berkorban apakah dengan waktu, pikiran, dan jiwa
8. Mengambil andil dalam pertemuan-pertemuan jama’i seperti majelis syura atau tarbiyyah atau program-program.”
Ini mereka tulis hitam di atas putih. Jadi di sini mereka mengitsbat (menetapkan) bahwa mereka mempunyai sirriyyah dan tanzhim.
Dan yang saya sangat sesalkan sekali,
kedustaan-kedustaan menjadi ringan di lisan mereka. Di acara Tabligh
Akbar 2 tahun yang lalu (terhitung sebelum tahun 2002) Rahmat
mengatakan, menukil perkataan saya, “Salah satu bid’ah YWI adalah sirriyyah dan salah satu bukti sirriyyahnya
mereka tidak mau direkam kaset-kaset pengajiannya. Bagaimana kita bisa
memperingatkan umat dari bid’ahnya kalau suaranya tidak mau direkam?”
Maka Rahmat balas, “Bagaimana kalian tahu kami sesat kalau suara kami
tidak pernah didengar?” Jadi digambarkan seakan-akan kita tidak punya
bukti dalil bahwa mereka mempunyai sirriyyah, dan ini adalah kadzib waftira’ (kedustaan dan mengada-ngada) bahwa saya berucap seperti ini.
Dan saya minta pertanggungjawaban dari
hal ini. Saya waktu itu menanyakan kepada Muhammad Ikhwan Abdul Jalil,
Lc—pernah saya ketemu dengan dia suatu hari dalam keadaan terpaksa
karena harus menyampaikan surat dari tangan ke tangan, ia mau salaman
dengan saya, tapi saya tidak ulurkan tangan—ia berkata, “Kenapa kamu
tidak mau salaman dengan saya?”
Saya katakan, “Kamu berdusta atas nama saya tiga kali ketika Zaitun dan Rahmat menukil nukilan-nukilan dari kamu.” [1]
Muhammad Ikhwan berkata, “Saya tidak tahu ya, apakah waktu itu saya salah nukil atau apa, yang penting ‘ala kulli hal saya minta maaf.”
Dia mengakui hal itu, maka saya tanya, “Kamu katakan waktu itu seakan-akan saya tidak mempunyai dalil tentang sirriyyahnya
kalian. Ingatkah engkau ketika engkau mengundang kami ke pertemuan
ustadz-ustadz Wahdah, maka kami datang; (Ustadz Khaidir, Ustadz
Shobaruddin dan dua orang lainnya diundang oleh Muhammad Ikhwan ke
pertemuan ustadz-ustadznya Wahdah) maka kami masuk dan sudah duduk di
dalam. Maka datang Rahmat sebagai utusan berkata: “Lho, siapa yang
mengundang?” Kami jawab: “Muhammad Ikhwan”, ia masuk lagi, akhirnya
kesimpulannya tidak boleh hadir maka kami pulang. Ditanyakan kepada
salah seorang yang hadir di situ namanya Ishaq tentang apa yang
dibicarakan, katanya: “Yang dibicarakan seputar dakwah.” Apakah ini
bukan sirriyyah namanya?! Kalau masalah dakwah, untuk apa sirriyyah
kemudian beberapa orang yang tadinya sudah duduk di majelis ingin baik
misalnya, lantas disuruh keluar?” Ini saya tanyakan kepada Muhammad
Ikhwan lalu ia berkata: “Ya akhi, itu dulu, dulu.”
Jadi kami punya data-datanya dan orang-orang yang hadir di halaqoh-halaqohnya
mengetahui tentang hal ini. Saya beri gambaran lain, kalau pergi ke
pengajian mereka tidak boleh ramai-ramai, harus dua-dua orang masuk dan
mungkin kalau saya minta persaksian dari ikhwah di sini banyak yang akan
mengangkat tangannya. Kemudian sandalnya kadang tidak boleh di luar.
Kemarin saja, sebelum acara bantahan kita, hari Sabtu itu, sebelumnya
mereka sudah mengadakan taujih kepada mad’unya di masjid mereka, ditutup dengan hijab.
Kalau ingin menyampaikan al haq maka dakwah itu tidak dengan sembunyi-sembunyi tapi disampaikan secara terang-terangan. Ahlus Sunnah, Islam itu zhahirnya sama dengan isinya. Allah subhânahu wa ta’âlâ memerintahkan kepada Nabi-Nya,
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan
berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al Hijr: 94)
Dan lihat Nabi Musa ‘alaihis salâm ketika ditantang oleh Fir’aun, setelah Nabi Musa ‘alaihis salâm
memperlihatkan ayat-ayat Allah seperti dikalahkannya tukang sihir
Fir’aun dan tangan beliau bercahaya setelah dimasukkan ke ketiak maka
Fir’aun berkata,
فَلَنَأْتِيَنَّكَ بِسِحْرٍ مِّثْلِهِ
فَاجْعَلْ بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ مَوْعِدًا لاَّ نُخْلِفُهُ نَحْنُ وَلآ
أَنتَ مَكَانًا سُوًى. قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَن
يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى
“Dan kami pun pasti akan mendatangkan
(pula) kepadamu sihir semacam itu, maka buatlah suatu waktu untuk
pertemuan antara kami dan kamu, yang kami tidak akan menyalahinya dan
tidak (pula) kamu di suatu tempat yang pertengahan (letaknya).” (QS Thaha: 58)
Nabi Musa ‘alaihis salâm menjawab,
قَالَ مَوْعِدُكُمْ يَوْمُ الزِّينَةِ وَأَن يُحْشَرَ النَّاسُ ضُحًى
“Berkata Musa: Waktu untuk pertemuan
(kami dengan) kamu itu ialah di hari keramaian dan hendaklah dikumpulkan
manusia pada waktu dhuha.” (QS Thaha: 59)
Jadi memang tidak ada yang tersembunyi dalam dakwah. Dan agama ini sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits Abu Darda’ radhiyallâhu ‘anhu,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ بَعْدِيْ عَنْهَا إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh saya telah meninggalkan
kalian di atas suatu yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya,
tidaklah seorang pun menyimpang darinya setelahku kecuali akan binasa.” (Diriwayatkan oleh Ahmad 4/126, Ibnu Majah no. 5, 43, Ibnu Abi ‘Ashim no. 48-49 dan Al Hakim 1/96 dari hadits Abu Darda’ radhiyallâhu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Zhilâlul Jannah 1/27)
AHLUS SUNNAH TIDAK MENAFIKAN TANZHIM DAN SIRRIYAH SECARA MUTLAK
Tetapi perlu ditekankan bahwa kita tidak menafikan (menolak) sirriyyah itu secara mutlak. Kalau sirriyyah
hubungan antara suami istri itu memang harus disembunyikan dan tidak
boleh ditampakkan. Demikian pula dalam keadaan orang-orang yang berkuasa
saat itu adalah kaum musyrikin atau ahlul bid’ah, maka di sini kadang
boleh dakwah dengan sirriyyah dalam menyampaikannya, seperti Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam ketika kaum muslimin masih lemah di Makkah. Tetapi di Indonesia ini kaum muslimin yang paling banyak, apa gunanya sirriyyah?! Justru kalau orang berdakwah secara sirriyyah pemerintah akan mencurigainya. Jadi tidak ada maslahatnya. Maka kita tidak nafikan sirriyyah secara mutlak tetapi ada rinciannya.
Demikian pula tanzhim, Ahlus Sunnah tidak menafikan tanzhim secara mutlak sebab tanzhim itu pengaturan sedangkan pengaturan itu ada dalam Islam. Allah subhânahu wa ta’âlâ befirman,
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa.” (QS Al Mâ-idah: 2)
Dan juga Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنيَانٌ مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang
berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS Ash Shaf: 4)
Kalau pengaturan seperti itu tidak ada masalah. Dan juga Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam hadits Abu Musa Al Asy’ari radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al Bukhari dan Muslim beliau bersabda,
اَلْمُؤْمِنُ بِالْمُؤْمِن كَالْبُنْيَان يَشُدَّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya ibarat bangunan yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya.”
Saling menguatkan, ini pengaturan. Dan juga dalam hadits Nu’man bin Basyir radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ
وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ
عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ
“Perumpamaan orang-orang yang beriman
dalam cinta dan berkasih sayang, mereka bagaikan satu jasad yang bila
salah satu anggota badannya sakit, seluruh jasadnya merasakan sakit
panas dan berjaga.”
Jadi pengaturan itu ada dalam Islam. Tetapi membuat tanzhim seperti Wahdah Islamiyah dengan tanzhim sirriyyah yang menerapkan tingkat Al Walâ’ (loyalitas) yang sangat tinggi terhadap organisasinya, ini adalah tercela dalam syari’at. [2]
KLARIFIKASI MASALAH TARBIYYAH
Wahdah Islamiyah juga membesar-besarkan suatu permasalahan bahwasanya kata mereka, “Kita itu dikritik karena tarbiyyah, padahal tarbiyyah itu kan ada dalam Al Qur’an.” Mereka menyebutkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan Syaikh Al Albani punya kitab At Tashfiyyah wat Tarbiyyah. Mereka
menyangka, yang dipermasalahkan adalah masalah kalimat. Kalau masalah
kalimat, saya bisa bawakan dalil-dalil tentang bolehnya penggunaan kata tarbiyyah lebih banyak daripada yang mereka sebutkan. Padahal dalam masalah tarbiyyah ini kami mengkritiknya dari beberapa sisi:
1. Wahdah Islamiyah melaksanakan tarbiyyah saja dan meninggalkan tashfiyyah, padahal ini adalah dua komponen yang tidak bisa dipisahkan.
2. Marhalah (tahapan) dalam tarbiyyah
yang berjenjang. Kalau berjenjang dalam masalah ilmu atau untuk pemula
bagusnya belajar ini dulu misalnya, itu tidak masalah. Yang kita
permasalahkan dari penjenjangan ini, pelajaran jenjang di atas tidak
boleh diterima oleh mad’u pada jenjang yang ada di bawahnya.
Inilah yang kita kritik dan masuk ke dalam sirriyyah at tanzhim.
Dan ini yang disalahkan oleh para ulama dan dikritik dalam banyak
kitab, dan fatwa para ulama besar di zaman ini. Di antara yang
menguraikan masalah ini secara panjang lebar dari para ulama besar di
zaman ini adalah Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi rahimahullâh (Mufti Saudi Arabia Bagian Selatan), Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh dalam kitab Makhraj minal Fitnah, Syaikh Al Albani rahimahullâh di banyak kasetnya, kemudian Syaikh ‘Ali Hasan punya kitab tersendiri tentang Ad Da’watu Ilallâh Baina At Ta’awûn Asy Syar’iyah wat Tajamu’al Hizbî. Lengkap pembahasan Ahlus Sunnah dalam menjelaskan masalah ini.
Jadi, masalahnya bukan masalah kalimat sehingga keliru memahami bahwa mereka dikritik karena semata-mata menggunakan kalimat tarbiyyah. Itu namanya membuat talbis
dan membuat kerancuan di tengah umat tentang apa yang kami inginkan
dalam mengkritik. Dan memang di sinilah penyakitnya. Andaikata dakwah
mereka benar, maka untuk apa ada tanzhim sirriyyah seperti ini? Apakah agama ini hanya boleh diketahui oleh sebagian orang dan sebagian yang lain tidak boleh mengetahui?[3] Pada hakikatnya ada bentuk hizbiyyah dan penyelewengan di dalamnya maka inilah yang berbahaya.
Catatan Kaki:
[1] Sikap seperti ini mempunyai dasar dari As Sunnah. Syaikh Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili menjelaskannya dalam kitab Mauqif Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah min Ahlil Ahwâ’ wal Bida’ sebagai berikut:
Ucapan salam menjadi pembuka seorang muslim ketika bertemu dengan saudaranya, dan merupakan hak setiap muslim. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Hak setiap muslim atas saudaranya ada
lima, menjawab salam, menjenguk orang sakit, menghantar jenazah,
mengabulkan undangan dan mendoakan ketika bersin.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dalam riwayat Muslim, Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Hak muslim atas muslim yang lain ada
enam, beliau ditanya, ‘Apa itu wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Bila
kamu bertemu hendaknya mengucapkan salam kepadanya, bila mengundangmu
kabulkanlah, bila meminta nasihat kepadamu berilah nasihat kepadanya,
bila bersin lalu membaca hamdalah doakanlah, bila sakit jenguklah dan bila mati hantarkanlah jenazahnya.’” (HR Muslim)
Dalam riwayat pertama terdapat perintah
menjawab salam, dan riwayat kedua terdapat perintah memberi salam kepada
seorang muslim ketika bertemu. Artinya antara memberi salam dan
menjawab salam sangat dianjurkan.
Imam An Nawawi rahimahullâh berkata, “Memulai salam berhukum sunnah dan menjawabnya wajib.” (Syarh Shahih Muslim, vol. 14 hlm. 140)
Demikianlah hak bagi setiap orang muslim
yang tidak dikenal sebagai ahli bid’ah dan maksiat. Namun bagi ahli
bid’ah, boleh tidak memberi salam atau menjawab salam berdasarkan hadits
dan pernyataan ulama salaf serta ulama sunnah berikut ini.
Pernah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam
tidak menjawab salam beberapa ahli maksiat dan penentang perintah Rasul
hingga mereka bertaubat, seperti kisah Ka’ab bin Malik ketika
tertinggal dari Perang Tabuk.
‘Abdullah bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu mengisahkan bahwa ia mendengar Ka’ab bin Malik radhiyallâhu ‘anhu bercerita tentang kisah beliau saat tertinggal dari Perang Tabuk, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam melarang berbicara dengan kami, lantas aku menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam
dan aku mengucapkan salam. Waktu itu aku berbicara dalam hati, apakah
beliau menggerakkan lisannya untuk menjawab salam atau tidak? Hingga
genap lima puluh malam, sampai Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam mengumumkan diterimanya taubatku ketika shalat subuh. (HR Bukhari dan Muslim)
Riwayat di atas merupakan penggalan hadits panjang tentang kisah Ka’ab bin Malik radhiyallâhu ‘anhu yang terdapat dalam Shahih Al Bukhari dalam Kitab Isti’dzan,
“Bab orang yang tidak diberi salam karena berbuat dosa dan orang yang
tidak dijawab salamnya hingga bertaubat dan hingga kapan taubat itu
diterima”. ‘Abdullah bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu berkata, “Janganlah kalian mengucapkan salam kepada peminum khamr.”
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhu mengisahkan, pernah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam berpapasan dengan Tsauban bin Ahmaran. Dia memberi salam kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, namun beliau tidak menjawabnya. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim dalam Al Mustadrak dan Imam Adz Dzahabi dalam Talkhis)
Begitu juga Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam
tidak menjawab salam pemilik Qubah hingga ia menghancurkan dan rata
dengan tanah (HR Abu Dawud). Beliau tidak menjawab salam ‘Ammar bin
Yasir radhiyallâhu ‘anhu ketika mengenakan minyak za’faran, seperti dalam Sunan Abu Dawud, dalam sunannya “Bab tidak mengucapkan salam kepada ahli bid’ah”. Dalam Al Adab Al Mufrad karya Al Bukhari terdapat “Bab tidak mengucapkan salam kepada orang buruk perangainya dan bermaksiat”. (Al Adab Al Mufrad ma Syarh Fadhlullah, vol. 2, hlm. 473-474)
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam juga berpaling ketika seseorang datang dari Bahrain mengenakan cincin emas, sebagaimana yang dituturkan Al Bukhari dalam Al Adab dan Imam Ahmad dalam Musnad. Sikap Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam
di atas, menjadi dalil larangan tegas mengucapkan salam kepada ahli
bid’ah, karena mereka sama-sama melakukan pelanggaran terhadap syariat.
Syaikh At Tuwaijiri berkata, “Berdalih
dengan dua hadits di atas untuk tidak mengucapkan salam kepada ahli
bid’ah sangat tepat dan cukup kuat, sebab pelanggaran ahli maksiat lebih
ringan daripada ahli bid’ah.” (Tuhfah Al Ikhwan, hlm. 71)
(Sumber: Mauqif Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah min Ahlil Ahwâ’ wal Bida’ oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin Amir Ar Ruhaili, Penerbit Maktabah Al Ghura’a Al Atsariyyah, 1415 H) [ed]
[2]
Pada sesi tanya jawab acara dauroh ini dijelaskan bahwa kita menjadikan
pendirian yayasan itu hanya sebagai formalitas saja di mana pemerintah
akan menganggap aliran yang liar kalau tidak bernaung di bawah yayasan.
Saya sendiri—yayasan yang ada di Jalan Baji Rupa namanya Yayasan Markaz
An Nasyath Al Islamy yang mereka sering sebut dengan nama Yayasan MANIS—yang
saya tahu ketua yayasannya saja. Adapun wakilnya, bendaharanya itu saya
tidak tahu, sebab saya memang tidak terlalu peduli terhadap yang
demkian. Adanya yayasan hanya sekadar formalitas saja dan bukan itu
dakwah yang kami tampakkan, walhamdulillâh.
Yang kita tampakkan adalah dakwah Ahlus Sunnah, semua orang mengenal
kita dengan nama dakwah Salafiyah dan ini nikmat dari Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Adapun mereka membanggakan kelompok/organisasi, lambang, dan
lain-lainnya maka ini termasuk dari bentuk-bentuk yang menjurus kepada hizbiyyah. [ed]
[3] ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullâh
berkata, “Apabila engkau melihat suatu kaum yang berbisik-bisik tentang
suatu masalah agama tanpa khalayak umum, maka ketahuilah bahwa mereka
sedang merintis suatu kesesatan.” (Riwayat Ahmad dalam Az Zuhud 1/289, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 5/338, dan Al Lalika’i 1/135. [ed]
0 komentar:
Posting Komentar