-->

26 Agustus 2012

Larangan Mencaci-Maki Angin & Berprasangka Buruk Terhadap Allah




Selanjutnya, penulis Kitab Tauhid menerangkan bahwa seorang muslim yang baik tidak boleh memiliki sangkaan buruk terhadap Allah dan juga tidak boleh mencaci-maki angin. Bagaimana bentuk keduanya? Simak penjelasannya berikut ini.

Larangan Mencaci-Maki Angin

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  "Janganlah kamu mencaci-maki angin. Apabila kamu melihat sesuatu yang tidak menyenangkan, maka berdoalah: "Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadaMu dari kebaikan angin ini, kebaikan apa yang terkandung di dalamnya dan kebaikan apa yang diperintahkan kepadanya; dan kami berlindung kepadaMu dari keburukan angin ini, keburukan apa yang terkandung di dalamnya dan keburukan
apa yang diperintahkan kepadanya."
[1]

Kandungan Bab Ini

  1. Dilarang mencaci-maki angin.
  2. Doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat sesuatu yang tidak menyenangkan [ketika angin sedang bertiup].
  3. Diberitahukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa angin mendapat perintah dari Allah. [Oleh karena itu, mencaci-maki angin berarti mencaci-maki Allah yang menciptakan dan memerintahkannya].
  4. Bahwa angin, kadangkala diperintahkan dengan sesuatu kebaikan dan kadangkala diperintahkan dengan sesuatu keburukan.


Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah


Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata: "Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?" Katakanlah: "Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah". (Ali Imran:154)

"Dan supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka Neraka Jahannam. Dan (Neraka Jahannam) itu-lah sejahat-jahat tempat kembali." (Al-Fath:6)

Ibnu Al-Qayyim, dalam menafsirkan ayat pertama, mengatakan:
"Prasangka ini ditafsirkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan memenangkan RasulNya dan bahwa agama yang beliau bawa akan lenyap; ditafsirkan pula bahwa apa yang menimpa beliau bukanlah dengan takdir Allah dan hikmahNya.
Jadi, prasangka tersebut ditafsirkan dengan tiga tafsiran, yaitu:
mengingkari adanya hikmah dari Allah, mengingkari takdirNya, dan mengingkari bahwa agama yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan disempurnakan dan dimenangkan Allah atas segala agama.

Inilah prasangka buruk yang diperbuat oleh orang-orang munafik dan
musyrik yang tersebut dalam surah Al-Fath.  

Adapun berbuatan ini disebut prasangka buruk, karena prasangka yang demikian tidak patut terhadap Allah ‘Azza wa Jalla; tidak patut terhadap hikmahNya, pujiNya dan janjiNya yang benar. Karena itu, barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah akan memenangkan kebatilan atas kebenaran dengan kemenangan yang tetap, disertai dengan lenyapnya kebenaran; atau mengingkari bahwa segala yang terjadi dengan qadha’ dan qadar Allah; atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar sekali dalam qadar-Nya, yang dengan demikian Allah berhak untuk dipuji; bahkan mengira bahwa apa yang terjadi ini hanyalah sekedar kehendak saja tanpa hikmah; maka inilah prasangka orang-orang kafir dan Neraka Wail bagi orang-orang kafir itu.

Kebanyakan orang melakukan prasangka buruk terhadap Allah, baik dalam hal yang berkenaan dengan diri mereka sendiri ataupun dalam hal yang berkaitan dengan orang lain. Tidak ada yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang arif tahu akan Allah, Asma’ dan SifatNya, dan kepastian adanya hikmah serta keharusan adanya puji bagi Allah sebagai konsekuensinya.

Maka orang yang berakal dan cinta terhadap dirinya sendiri, hendaklah memperhatikan masalah ini dan bertobatlah kepada Allah serta memohon maghfirah-Nya atas prasangka buruk yang dilakukannya terhadap Allah.

Apabila Anda selidiki, siapa pun orangnya, niscaya akan Anda dapati pada dirinya suatu sikap menyangkal dan mencemoohkan qadar (takdir) dengan mengatakan hal tersebut semestinya begini dan begitu, ada yang sedikit, ada juga yang banyak. Dan silahkan periksa diri Anda sendiri, apakah Anda bebas dari sikap tersebut?
"Jika Anda bebas dari sikap tersebut, selamatlah Anda dari suatu malapetaka besar. Tapi, bila tidak, sungguh tak kukira bahwa Anda akan selamat."


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat dalam surah Ali Imran. [2]
  2. Tafsiran ayat dalam surah Al-Fath. [3]
  3. Disebutkan bahwa prasangka buruk banyak sekali macamnya.
  4. Diterangkan bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk ini kecuali orang yang arif pada asma’ dan shifat Allah, serta arif pada dirinya sendiri.

Catatan Kaki

[1] Hadits shahih menurut At-Tirmidzi.
[2] Ayat pertama menunjukkan bahwa barangsiapa yang berprasangka bahwa Allah akan memberikan kemenangan yang terus-menerus kepada kebathilan disertai dengan lenyapnya kebenaran, maka dia telah berprasangka yang tidak bernar kepada Allah dan prasangka ini adalah prasangka orang-orang Jahiliyyah; menunjukkan pula bahwa segala sesuatu ada di tangan Allah, terjadi dengan qadha dan qadar-Nya serta pasti ada hikmahnya; dan menunjukkan bahwa berbaik sangka kepada Allah adalah termasuk kewajiban tauhid.
[3] Ayat kedua menunjukkan kewajiban berbaik sangka kepada Allah dan larangan berprasangka buruk kepadaNya; dan menunjukkan bahwa prasangka buruk kepada Allah adalah perbuatan orang-orang munafik dan musyrik mendapat ancaman siksa yang sangat keras.

Mereka Yang Mengingkari Qadar


Memasuki pembahasan selanjutnya dalam Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan mengenai orang yang mengingkari Qadar Allah. Mengapa hal ini tercela dan apa bahayanya? Simak keterangan dari hadits-hadits Rasulullah serta penjelasan dari para ulama’ berikut ini.

Mereka Yang Mengingkari Qadar

Ibnu ‘Umar berkata:
"Demi Allah yang jiwa Ibnu ‘Umar berada di TanganNya. Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di Jalan Allah, tidak akan diterima oleh Allah sebelum ia beriman kepada qadar." Kemudian Ibnu ‘Umar mensitir sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam :
"Iman yaitu: hendaklah Anda beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari Akhir dan beriman kepada qadar baik dan buruk." [1]

Diriwayatkan bahwa ‘Ubadah bin Ash-Shamit berkata kepada anaknya:
"Hai anakku, sungguh kamu tidak akan merasakan nikmatnya iman sebelum kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdir-kan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya pertama-tama yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: Tulislah! Ia menjawab: Ya Tuhanku! Apa yang harus kutulis? Allah ber-firman: Tulislah takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat."
Hai anakku! Aku pun telah mendengar Rasulullah bersabda:  "Barangsiapa yang meninggal tidak dalam keyakinan ini, maka ia tidak termasuk umatku."
[2]

Dalam satu riwayat Imam Ahmad disebutkan:
"Sesungguhnya, pertama-tama yang diciptakan Allah adalah qalam (pena), lalu Allah berfirman kepadanya: "Tulislah!" Maka ditulislah pada saat itu apa yang terjadi sampai hari Kiamat."

Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
"Maka barangsiapa yang tidak beriman dengan qadar baik dan buruk, Allah pasti akan membakarnya dengan api Neraka."

Diriwayatkan dalam Musnad[3] dan Sunan[4] dari Ibnu Ad-Dailami, ia menuturkan: "Aku datang kepada Ubay bin Ka’b dan kukatakan kepadanya:  "Ada suatu keraguan dalam diriku tentang masalah qadar, maka tuturkanlah kepadaku suatu hadits, dengan harapan semoga Allah menghilangkan keraguan itu dari hatiku." Maka ia berkata:
"Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu sebelum kamu beriman kepada qadar, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah di-takdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu. Sedang kalau kamu mati tidak dalam keyakinan ini pasti kamu akan menjadi penghuni Neraka."

Kata Ibnu Ad-Dailami selanjutnya:
"Lalu aku pun mendatangi ‘Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Al-Yaman dan Zaid bin Tsabit, seluruhnya menuturkan kepadaku hadits seperti tersebut dari Nabi Shallallahu’alaihi wa salam ." [5]


Kandungan Bab Ini

  1. Keterangan tentang kewajiban beriman kepada qadar.
  2. Keterangan tentang cara beriman kepadanya.
  3. Amal seseorang menjadi sia-sia, bila tidak beriman kepada qadar.
  4. Disebutkan bahwa seseorang tidak merasakan nikmatnya iman sebelum ia beriman kepada qadar.
  5. Diberitahukan dalam hadits bahwa makhluk pertama yang dicipta-kan Allah adalah qalam.
  6. Bahwa qalam (pena), dengan perintah dari Allah, menulis segala takdir pada saat itu sampai hari Kiamat.
  7. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan lepas dari orang yang tidak beriman kepada qadar.
  8. Tradisi para Salaf dalam menghilangkan keraguan, yaitu dengan bertanya kepada ulama.
  9. Dan para ulama memberikan jawaban yang dapat menghilangkan keraguannya tersebut dengan hanya menuturkan hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa salam.

Catatan Kaki

[1] Hadits riwayat Muslim.
[2] HR. Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah.
[3] kitab koleksi yang disusun oleh Imam Ahmad.
[4] kitab koleksi yang disusun oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.
[5] Hadits shahih, diriwayatkan pula oleh Al-Hakim dalam Shahih-nya.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.