Selanjutnya
merupakan gabungan tiga bab pendek dari penulis Kitab Tauhid. Beliau
ingin menjelaskan bahwa orang yang mencela waktu, maka dia telah
menyakiti Allah. Penulis juga menerangkan tentang penggunaan gelar-gelar
yang menyerupai dengan kedudukan-Nya dan penggunaan nama-nama yang
serupa dengan Nama-Nya. Bagaimana sebenarnya bentuk larangan-larangan
ini?
Siapa Membenci Masa Maka Dia Telah Menyakiti Allah
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan
mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia
saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita
selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang
itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24).
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah,
bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Allah
Ta’ala berfirman, Manusia Menyakiti Aku: dia mencaci maki masa, padahal
Aku adalah Pemilik dan Pengatur masa. Aku-lah yang mengatur malam dan
siang menjadi silih berganti.”
Disebutkan dalam riwayat lain, “Janganlah kamu mencaci masa, karena Allah sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa.” [1]
Kandungan Bab Ini
- Dilarang mencaci masa.
- Mencaci masa disebut menyakiti Allah.
- Perlu direnungkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, "Karena Allah sesungguhnya adalah Pemilik dan Pengatur masa.” [2]
- Mencaci, mungkin saja dilakukan seseorang tanpa bermaksud demikian dalam hatinya.
Menggunakan Gelar "Qadh Al-Qudhat" (Hakim Para Hakim) Dan Yang Semacamnya
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
gelar (nama) yang paling hina di hadapan Allah adalah seseorang yang
menggunakan gelar "Raja para Raja", tiada raja yang haq selain Allah.”
Sufyan[3] mengemukakan contoh dengan berkata, "Seperti gelar syahan syah." Dan disebutkan dalam riwayat lain, Orang yang paling dimurkai dan paling jahat menurut Allah pada hari Kiamat.”
Kandungan Bab Ini
- Dilarang menggunakan gelar "Raja para Raja."
- Dilarang juga menggunakan gelar lain yang semisalnya, seperti contoh yang dikemukakan Sufyan.
- Hal ini dilarang, [karena mengandung suatu untur persamaan atau pensejajaran antara Allah dengan makhluk-Nya], sekalipun hatinya tidak bermaksud demikian.
- Larangan ini tidak lain hanyalah untuk mengagungkan Allah.
Memuliakan Asma’ (Nama-Nama) Allah Ta’ala, Dan Mengganti Nama Untuk Tujuan Ini
Diriwayatkan dari Abu Syuraih, bahwa ia sebelumnya diberi kunyah (sebutan, nama panggilan) "Abdul Hakkam". Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Allah
itu sebenarnya Al-Hakkam dan hanya kepada-Nya segala perkara dimintakan
keputusan hukumnya. Ia bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, Sungguh kaumku apabila berselisih pendapat dalam suatu perkara,
mereka datang kepadaku. Lalu aku memberikan keputusan hukum di antara
mereka dan kedua belah pihak pun sama-sama menerimanya. Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Alangkah baiknya hal ini, Apakah
kamu mempunyai anak? Ia menjawab, "Syuraih, Muslim dan ‘Abdullah." Nabi
bertanya, "Siapakah yang tertua di antara mereka?"
"Syuraih" jawabku. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Kalau begitu, kamu adalah Abu Syuraih (Bapaknya Syuraih).” [4]
"Syuraih" jawabku. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, "Kalau begitu, kamu adalah Abu Syuraih (Bapaknya Syuraih).” [4]
Kandungan Bab Ini
- Wajib memuliakan asma’ dan shifat Allah [dan dilarang memakai nama atau kunyah yang dapat mensejajarkan dirinya dengan Allah], walaupun tidak bermaksud demikian.
- Disyari’atkan mengganti nama yang tidak tepat, untuk memuliakan asma’ Allah.
- Memilih nama anak yang tertua untuk kunyah.
Catatan Kaki
[1]
Orang-orang Jahiliyah, kalau mereka tertimpa suatu musibah, bencana
atau malapetaka, mereka mencaci masa. Maka Allah melarang hal tersebut,
karena yang menciptakan dan mengatur masa adalah Allah Yang Maha Esa.
Sedangkan menghina pekerjaan seseorang, berarti menghina orang yang
melakukan pekerjaan ini.
Dengan demikian, mencaci masa berarti mencela dan menyakiti Allah sebagai Pencipta dan Pengatur masa.
[2]
Sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam itu menunjukkan bahwa segala
sesuatu yang terjadi di alam semesta ini adalah dengan takdir Allah,
karena itu wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadha’ dan
qadar, yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit.
[3] Yakni Sufyan bin ‘Uyainah.
[4] Hadits diriwayatkan Abu Dawud dan ahli hadits lainnya.
Bersenda Gurau Dengan Menyebutkan Allah, Al-Qur’an Dan Rasul-Nya
Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin
menjelaskan secara singkat mengenai bahayanya bercanda dengan
mengaitkan Allah, Al-Qur’an dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain,
bercanda yang bawa-bawa agama Islam. Penjelasan luasnya bisa anda baca
mengenai istihdza’. Simak penjelasan beliau berikut ini.
Bersenda Gurau Dengan Menyebutkan Allah, Al-Qur’an Dan Rasul-Nya
Firman Allah,
“Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda
gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah,
ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu
minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (Al-Bara’ah / At-Taubah: 65-66).
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Ka’b, Zain bin Aslam dan Qatadah, hadits dengan rangkuman sebagai berikut,
“Bahwasanya
ketika dalam peristiwa perang Tabuk, ada seseorang yang berkata, "Belum
pernah kami melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini, orang yang
lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam
peperangan." Maksudnya, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para
sahabat yang ahli baca Al-Qur’an itu. Maka berkatalah ‘Auf bin Malik
kepadanya, Omong kosong yang kamu katakan. Bahkan kamu adalah munafik.
Niscaya akan kuberitahukan kepada Rasulullah. Lalu pergilah ‘Auf kepada
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal
tersebut kepada beliau. Tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu
Al-Qur’an kepada beliau. Dan ketika orang itu datang kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal tersebut kepada
beliau. Tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu Al-Qur’an kepada
beliau. Dan ketika orang itu datang kepada Rasulullah, beliau beranjak
dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka berkatalah dia kepada
Rasulullah, ‘Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanyalah bersenda-gurau dan
mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh sebagai
pengisi waktu saja dalam perjalanan kami. Kata Ibnu ‘Umar, Sepertinya
aku melihat dia berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah, sedang
kakinya tersandung-sandung batu, sambil berkata, "Sebenarnya kami
hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja."
Lalu
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadanya, Apakah
dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok? Beliau
mengucapkan itu tanpa menengok dan tidak bersabda kepadanya lebih
daripada itu.”
Kandungan Bab Ini
- Masalah penting sekali, bahwa orang yang bersenda gurau dengan menyebut-nyebut Allah, ayat-ayatNya atau Rasulullah adalah kafir.
- Ini adalah tafsiran dari ayat tersebut di atas terhadap orang yang melakukan perbuatan itu, siapapun dia.
- Perbedaan antara perbuatan menghasut dengan perbuatan setia kepada Allah dan RasulNya. [Dan melaporkan perbuatan orang-orang fasik kepada waliyul amr untuk mencegah mereka, tidaklah termasuk perbuatan menghasut tetapi termasuk kesetiaan kepada Allah, kepada RasulNya, kepada pemimpin umat Islam dan kaum muslimin seluruhnya].
- Perbedaan antara sikap memaafkan yang dicintai Allah dengan sikap keras terhadap musuh-musuh Allah.
- Bahwa tidak semua permintaan maaf mesti diterima. [Ada juga permintaan maaf yang harus ditolak].
0 komentar:
Posting Komentar