Selanjutnya,
penulis Kitab Tauhid menerangkan bahwa seorang muslim harus mengakui
bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan bersyukur atas nikmat
tersebut. Hal ini termasuk dalam pembahasan Tauhid karena siapa yang
tidak bersyukur atau tidak mengakuinya, akan mengurangi kesempurnaan
Tauhid.
Mensyukuri Nikmat Allah Dan Mengakui Berasal DariNya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan
jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia
ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, "Ini adalah hakku …" (Fushshulat: 50).
Dalam menafsirkan ayat ini, Mujahid mengatakan, "Ini adalah karena usahaku, dan akulah yang berhak dengannya."
Dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, "Maksudnya: Ini adalah dari diriku sendiri."
Dan firman Allah,
“(Qarun) berkata, "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku." (Al-Qashash: 78).
Qatadah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksudnya: karena pengetahuanku tentang cara-cara berusaha." Ahli tafsir lainnya mengatakan, "Karena Allah mengetahui bahwa aku adalah yang patut untuk menerima harta kekayaan itu." Dan inilah kata-kata Mujahid (tadi), "Aku diberi harta kekayaan ini, atas kemuliaan(ku)."
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
”Sesungguhnya
ada tiga orang dari Bani Israil, yaitu penderita lepra, orang berkepala
botak dan orang buta. Allah ingin menguji mereka bertiga, maka
diutuslah kepada mereka seorang malaikat.
Pertama,
datanglah malaikat itu kepada si penderita lepra dan bertanya
kepadanya, "Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab,
"Rupa yang elok, kulit yang indah dan apa yang telah menjujukkan
orang-orang ini hilang dari tubuhku." Maka diusapkanlah penderita lepra
itu dan hilanglah penyakit yang dideritanya serta diberilah ia rupa yang
elok dan kulit yang indah. Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Lalu
kekayaan apa yang paling kamu senangi?" Jawabannya, "Unta atau sapi."
Maka diberilah ia seekor unta yang bunting dan didoakan, "Semoga Allah
melimpahkan berkahNya kepadamu dengan unta ini."
Kemudian
malaikat itu mendatangi orang berkepala botak dan bertanya kepadanya,
"Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab, "Rambut yang
indah dan hilang dari kepalaku apa yang telah menjijikkan orang-orang."
Maka diusapkanlah kepalanya dan ketika itu hilanglah penyakitnya serta
diberilah ia rambut yang indah. Malaikatpun bertanya lagi, "Kekayaan apa
yang paling kamu senangi?" Jawabnya, "Sapi atau unta." Maka diberilah
ia seekor sapi bunting dan didoakan, "Semoga Allah melimpahkan berkahNya
kepadamu dengan sapi ini.
"Selanjutnya
malaikat itu mendatangi si buta dan bertanya kepadanya, "Apakah sesuatu
yang paling kamu inginkan?" Ia menjawab, "Semoga Allah berkenan
mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang-orang."
Maka diusapkanlah wajahnya dan ketika itu dikembalikan oleh Allah
penglihatannya. Malaikat pun bertanya lagi kepadanya, "Lalu, kekayaan
apa yang paling kamu senangi?" Jawabnya, "Kambing." Maka diberilah ia
seekor kambing bunting.
Lalu
berkembang biaklah unta, sapi dan kambing tersebut, sehingga yang
pertama mempunyai selembah unta, yang kedua mempunyai selembah sapi dan
yang ketiga mempunyai selembah kambing. Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam selanjutnya, Kemudian, datanglah malaikat itu kepada orang yang
sebelumnya menderita lepra dengan menyerupai dirinya dan berkata, "Aku
seorang miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rizki)
dalam perjalananku, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku
hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan
Anda. Demi Allah yang telah memberi anda rupa yang elok, kulit yang
indah dan kekayaan ini, aku minta kepada anda seekor unta saja untuk
bekal melanjutkan perjalananku."
Tetapi dijawab, "Hak-hak (tanggunganku) banyak." Malaikat yang menyerupai orang penderita lepra itu pun berkata kepadanya, "Sepertinya aku mengenal Anda. Bukankah Anda ini yang dulu menderita lepra, orang-orang jijik kepala Anda, lagi pula melarat, lalu Allah memberi Anda kekayaan?" Dia malah menjawab, Sungguh, harta kekayaan ini hanyalah aku warisi turun temurun dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat. Maka malaikat itu berkata kepadanya, "Jika Anda berkata dusta, niscaya Allah mengembalikan Anda kepada keadaan Anda semula."
Lalu,
malaikat tersebut mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak
dengan menyerupai dirinya, dan berkata kepadanya seperti yang dia
katakan kepada orang yang pernah menderita lepra, serta ditolaknya
sebagaimana telah ditolak oleh yang pertama, itu. Maka berkatalah
malaikat yang menyerupai dirinya itu kepadanya, "Jika anda berkata
dusta, niscaya Allah akan mengembalikan Anda kepada keadaan semula."
Terakhir,
malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta dengan menyerupai
dirinya pula, dan berkatalah kepadanya, "Aku adalah seorang miskin,
kehabisan bekal dalam perjalanan dan telah terputus segala jalan bagiku
(untuk mencari rizki) dalam perjalananku ini, sehingga aku tidak akan
dapat lagi meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan
Allah, kemudian pertolongan Anda. Demi Allah yang telah mengembalikan
penglihatan Anda, aku meminta seekor kambing saja untuk bekal
melanjutkan perjalananku."Orang itu menjawab,”Sungguh, aku dahulu buta,
lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah apa yang Anda
sukai dan tinggalkan apa yang Anda sukai. Demi Allah, sekarang ini aku
tidak akan mempersulit Anda dengan memintamu mengembalikan sesuatu yang
telah Anda ambil karena Allah." Malaikat yang menyerupai orang buta itu
pun berkata, "Peganglah kekayaan Anda, karena sesungguhnya kalian ini
hanyalah diuji oleh Allah. Allah telah ridha kepada Anda, dan murka
kepada kedua teman Anda." (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Kandungan Bab Ini
- Tafsiran ayat tersebut di atas. [1]
- Apa pengertian dari firman Allah, …pastilah dia berkata, "Ini adalah hakku …"
- Dan apa pengerian dari firman Allah, "Sesungguhnya aku diberi harta kekayaan ini, tiada lain karena ilmu yang ada padaku."
- Kisah menarik, sebagaimana terkandung dalam hadits, berisi pelajaran-pelajaran yang berharga sekali.
Catatan Kaki
[1]
Ayat tersebut menunjukkan kewajiban mensyukuri nikmat Allah dan
mengakui bahwa nikmat tersebut semata-mata berasal dari Allah; dan
menunjukkan pula bahwa kata-kata seseorang terhadap nikmat Allah yang
dikaruniakan kepadanya, "Ini adalah hak yang patut kuterima, karena usahaku." adalah dilarang dan tidak sesuai dengan kesempurnaan tauhid.
Memberi Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah
Memasuki
bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin
menjelaskan secara singkat mengenai pemberian nama / gelar yang
diperhambakan kepada selain Allah. Bagaimana bentuknya dan apa saja yang
dilarang? Berikut pembahasannya
Memberi Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah
Firman Allah ‘Azza wa Jalla :
"Tatkala
Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya
menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkanNya
kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka
persekutukan." (Al-A’raf: 190)
Ibnu Hazm mengatakan: "Para
ulama telah sepakat mengharam-kan setiap nama yang diperhambakan kepada
selain Allah, seperti: ‘Abdu ‘Umar (Hamba Umar), ‘Abdul-Ka’bah (Hamba
Ka’bah) dan yang semisalnya, kecuali ‘Abdul-Muthalib." [1]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas, dalam menafsirkan ayat tersebut, mengatakan:
"Setelah
Adam menggauli isterinya Hawwa’ ia pun hamil. Lalu Iblis datang kepada
mereka berdua dengan berkata: "Sungguh, aku adalah kawanmu berdua yang
telah mengeluarkan kamu dari Surga. Demi Allah, hendaklah kamu
mentaatiku, kalau tidak niscaya akan kujadikan anakmu itu bertanduk dua
seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut isterimu dengan
merobek-nya. Demi Allah, pasti akan kulakukan." Demikianlah Iblis
menakut-nakuti mereka berdua. "Namailah anakmu itu ‘Abdul-Harits[2]",
kata Iblis memerintah. Tetapi keduanya menolak untuk mematuhinya.
Tatkala bayi mereka lahir, lahirlah dia dalam keadaan mati.
Kemudian
Hawwa’ hamil lagi, maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dengan
mengatakan seperti yang pernah ia katakan. Tetapi mereka berdua tetap
menolak untuk mematuhinya, dan bayi mereka pun lahir lagi dalam keadaan
mati.
Selanjutnya,
Hawwa’ mengandung lagi, maka datanglah Iblis kepada mereka berdua dan
mengingatkan mereka apa yang pernah ia katakan. Karena Adam dan Hawwa’
lebih menginginkan keselamatan anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis
dengan memberi kepada anak mereka nama ‘Abdul-Harits. Itulah tafsiran
firman Allah: "Mereka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal
(anak) yang Dia karuniakan kepada mereka."
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan pula, dengan sanad shahih, bahwa Qatadah mengatakan: "Yaitu: berbuat syirik dalam hal ketaatan kepada Iblis, bukan dalam ibadah kepadanya."[3]
Demikian juga ia meriwayatkan dengan sanad shahih, bahwa dalam menafsirkan firman Allah: "Jika Engkau mengkaruniakan kami anak laki-laki yang sempurna (wujudnya)"[4]
Mujahid mengatakan: "Adam dan Hawwa’ khawatir kalau bayi mereka itu lahir tidak dalam wujud manusia." Dan diriwayatkannya pula tafsiran yang senada dari Al-Hasan [Al-Bashri], Sa’id [bin Jubair] dan yang lain.
Kandungan Bab Ini
- Dilarang setiap nama yang diperhambakan kepada selain Allah.
- Tafsiran ayat tersebut di atas. [5]
- Perbuatan syirik, [sebagaimana dinyatakan oleh ayat ini], dalam sekedar pemberian nama saja, tanpa bermaksud hakikatnya.
- Anak perempuan yang sempurna wujud jasmaninya, yang di-karuniakan Allah kepada seseorang merupakan nikmat [yang harus disyukuri].
- Telah disebutkan oleh ulama Salaf mengenai perbedaan antara syirik dalam ketaatan dan syirik dalam ibadah.
Catatan Kaki
[1] Maksudnya Ulama belum sepakat mengharamkan ‘Abdul Muthalib, karena asal nama ini berhubungan dengan perbudakan.
[2] Al-Harits
adalah nama Iblis. Dan maksud Iblis menakut-nakuti mereka berdua supaya
memberi nama tersebut kepada anaknya ialah untuk mendapatkan suatu
macam bentuk perbuatan syirik, dan inilah salah satu cara Iblis
memperdaya musuhnya, kalau dia belum mampu untuk menjerumuskan seseorang
manusia ke dalam tindakan maksiat yang besar resikonya, akan dimulai
untuk menjerumus-kannya terlebih dahulu dari tindakan maksiat yang
ringan atau kecil.
[3]
Maksudnya: Mereka tidaklah menyembah Iblis, tetapi mentaati Iblis
dengan memberi nama ‘Abdul-Harits kepada anak mereka, sebagaimana yang
diminta Iblis. Dan perbuatan itu disebut perbuatan syirik kepada Allah.
[4] Surah Al-A’raf: 189.
[5]
Ayat ini menunjukkan bahwa anak yang dikaruniakan Allah kepada
seseorang termasuk nikmat yang harus disyukuri, dan termasuk
kesempurnaan rasa syukur kepadaNya bila diberi nama yang baik yang tidak
diperhambakan kepada selainNya, karena pemberian nama yang
diperhambakan kepada selain-Nya adalah syirik.
0 komentar:
Posting Komentar