-->

13 Agustus 2012

MENGIRIMKAN ANAK PEREMPUAN KE PONDOK PESANTREN KHUSUS PUTRI


Oleh : Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafidhahullah

Tanya : Bolehkah kita mengirim putrid-putri kita ke pondok pesantren Islami yang jauh (tempatnya) untuk menuntut ilmu syar’iy dan tinggal di tempat tersebut tanpa disertai mahram ?
Jawab : Masalah ini perlu perincian. Apabila seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, maka hukumnya haram berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, bahwa beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الأخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahramnya".
Kata إمرأة dalam hadits ini adalah nakirah dan jatuh setelah لا nahiyah (larangan) yang berarti umum. Maksud hadits ini adalah setiap wanita siapapun orangnya, bagaimanapun keadaannya, kapanpun, dimanapun, dan segala jenis safar baik safar ketaatan, rekreasi, dan safar mubah. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama selain Syafi’iyyah, mereka berpedoman dengan argumen yang amat rapuh untuk memperbolehkan wanita safar tanpa mahram bersama wanita sesamanya. Seandainya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam membawakan hadits di atas di hadapan kita semua dan kita pun mendengarnya dengan telinga kita, kemudian kita ingin berkilah, apakah yang akan kita katakan pada beliau ? Kita tidak boleh berkilah. Kewajiban kita hanya mengatakan : “Kami mendengar dan kami taat”.
Adapun apabila seorang wanita tadi safar bersama mahramnya, tinggal di tempatyang aman, tidak melakukan safar kecuali bersama mahramnya, tidak campur-baur dengan laki-laki, untuk menuntut ilmu syar’iy dan menjauhi fitnah, maka hal itu diperbolehkan karena termasuk kewajiban wanita adalah menuntut ilmu. Para shahabat dulu juga pergi ke rumah-rumah para istri Nabi untuk masalah-masalah penting dan mereka juga belajar kepada para shahabat wanita. Bahkan Al-Imam Az-Zarkasyi menulis sebuah kitab yang tercetak berjudul ”Al-Ijaabah limaa Istadrakathu Sayyidah ’Aisyah ’alaa Shahabah" (Beberapa Kritikan ’Aisyah kepada Shahabat). Demikian pula kitab Shahih Al-Bukhari, di kalangan orang-orang belakangan, sanadnya bersumber dari Karimah Al-Marwaziyyah, dimana para ulama abad kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh mengambil sanad Shahih Al-Bukhari dari Karimah. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إنما النساء شقائق الرجال
”Sesungguhnya wanita itu saudara laki-laki”.
Dan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam juga bersabda :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
Hadits ini meliputi muslimah juga, sekalipun tambahan lafadh ”muslimah” dalam hadits di atas tidak ada dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.
Ada kisah menarik juga yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini : Ada seorang wanita pada abad kesebelas bernama Wiqayah, seorang wanita pintar dari Maghrib, Para ulama Maghrib apabila mengalami kesulitan, mereka mengatakan : ”Marilah kita pergi ke Wiqayah karena sorbannya lebih baik daripada sorban-sorban kita”. Akhirnya, merekapun belajar dan meminta fatwa padanya.
Dan termasuk keajaiban sejarah, tidak ada perawi wanita satupun yang berdusta pada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam. Seluruh ulama yang menulis tentang para perawi pendusta, tidak ada yang menyebutkan seorangpun dari wanita pendusta. Adapun kaum laki-laki, maka betapa banyak kitab-kitab yang berisi tentang para pendusta dari kalangan mereka. Laa haula walaa quwwata illaa billah.
Maka seorang wanita apabila Anda membimbingnya ke jalan yang baik, mereka akan menjadi baik dan pahalanya bagi kedua orang tuanya hingga hari kiamat. Namun bagi orang tua, hendaknya tetap menjaga hukum syar’iy. Dan tempat yang paling baik untuk menimba ilmu bagi wanita adalah seorang suami yang shalih, penuntut ilmu, dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu, bagi orang tua hendaknya berupaya memilihkan suami terbaik bagi anaknya. Asy-Syaikh Jamil Zainu pernah bercerita padaku ketika beliau ingin menikahkan puterinya dengan salah satu saudara kami di Yordania. Katanya : Ketika saya di masjid, maka saya duduk di bagian belakang untuk melihat shalatnya para pemuda sehingga saya memusatkan perhatian kepada seorang pemuda yang paling baik shalatnya, paling khusyu’, dan lama berdirinya. Kemudian saya mencari lagi pada shalat Shubuh dan ’Isya’ sehingga saya menemukan seorang pemuda yang rajin dan tidak malas. Lalu saya mendatangi pemuda tersebut dan bertanya kepadanya : ”Apakah Anda sudah menikah ?”. Jawabnya : ”Belum”. Saya bertanya lagi : ”Maukah engkau saya nikahkan dengan putriku ?”. Jawabnya : ”Subhaanallah, siapa yang tidak mau ?”. Akhirnya saya menikahkannya dengan putriku.
Demikianlah selayaknya yang dilakukan oleh para orang tua.
Oleh karenanya, saya sarankan kepada Bapak Penanya yang ingin memondokkan putrinya di atas hendaknya tidak tergesa-gesa. Masih ada pondok pesantren yang jauh lebih baik bagi putrinya daripada pondok pesantren, yaitu suami yang shalih. Hendaknya dia berupaya mencari dan menawarkan putrinya. Hal ini bukanlah satu aib, bahkan manhaj para shahabat. Kalian semua mungkin sudah tahu kisah ’Umar bin Khaththab yang menawarkan putrinya Hafshah kepada Abu Bakar lalu beliau diam, lalu kepada ’Utsman lalu beliaupun diam. Beliau berdua diam karena pernah mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menginginkan Hafshah (HR. Al-Bukhari 5122). Padahal umur ’Umar bin Khaththab waktu itu sebanding dengan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam atau lebih kecil satu atau dua tahun dari beliau. Saya tidak menuntut supaya kita menawarkan putri-putri kita pada shahabat dan handai taulan kita, karena barangkali hal itu di luar kemampuan kita, tetapi kita berupaya mencari pemuda dengan mempermurah mahar dan kita minta padanya supatya mengajari dan membimbing putri kita tentang Al-Qur’an, fiqh, dan sebagainya. Dikisahkan bahwa Imam Malik mempunyai seorang putri, ketika suaminya hendak berangkat ke majelis Imam Malik, istrinya mengatakan : ”Hendak kemana engkau ?”. Jawab suaminya : ”Hendak ke majelis ayahmu”. Istrinya : ”Duduklah, karena ilmu ayahku ada di hatiku”.
Semoga Allah meramati para wanita salaf. Inilah yang saya anjurkan kepada Penanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.