Oleh : Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafidhahullah
Tanya : Bolehkah kita mengirim putrid-putri kita ke pondok pesantren Islami yang jauh (tempatnya) untuk menuntut ilmu syar’iy dan tinggal di tempat tersebut tanpa disertai mahram ?
Tanya : Bolehkah kita mengirim putrid-putri kita ke pondok pesantren Islami yang jauh (tempatnya) untuk menuntut ilmu syar’iy dan tinggal di tempat tersebut tanpa disertai mahram ?
Jawab :
Masalah ini perlu perincian. Apabila seorang wanita melakukan safar
tanpa mahram, maka hukumnya haram berdasarkan hadits riwayat Al-Bukhari
dan Muslim, bahwa beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
لا يحل لامرأة تؤمن بالله واليوم الأخر أن تسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم
“Tidak
halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
melakukan safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama
mahramnya".
Kata إمرأة dalam hadits ini adalah nakirah dan jatuh setelah لا nahiyah
(larangan) yang berarti umum. Maksud hadits ini adalah setiap wanita
siapapun orangnya, bagaimanapun keadaannya, kapanpun, dimanapun, dan
segala jenis safar baik safar ketaatan, rekreasi, dan safar mubah. Hal
ini merupakan pendapat mayoritas ulama selain Syafi’iyyah, mereka
berpedoman dengan argumen yang amat rapuh untuk memperbolehkan wanita
safar tanpa mahram bersama wanita sesamanya. Seandainya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
membawakan hadits di atas di hadapan kita semua dan kita pun
mendengarnya dengan telinga kita, kemudian kita ingin berkilah, apakah
yang akan kita katakan pada beliau ? Kita tidak boleh berkilah.
Kewajiban kita hanya mengatakan : “Kami mendengar dan kami taat”.
Adapun
apabila seorang wanita tadi safar bersama mahramnya, tinggal di
tempatyang aman, tidak melakukan safar kecuali bersama mahramnya, tidak
campur-baur dengan laki-laki, untuk menuntut ilmu syar’iy dan menjauhi
fitnah, maka hal itu diperbolehkan karena termasuk kewajiban wanita
adalah menuntut ilmu. Para shahabat dulu juga pergi ke rumah-rumah para
istri Nabi untuk masalah-masalah penting dan mereka juga belajar kepada
para shahabat wanita. Bahkan Al-Imam Az-Zarkasyi menulis sebuah kitab
yang tercetak berjudul ”Al-Ijaabah limaa Istadrakathu Sayyidah ’Aisyah ’alaa Shahabah"
(Beberapa Kritikan ’Aisyah kepada Shahabat). Demikian pula kitab Shahih
Al-Bukhari, di kalangan orang-orang belakangan, sanadnya bersumber dari
Karimah Al-Marwaziyyah, dimana para ulama abad kedelapan, kesembilan,
dan kesepuluh mengambil sanad Shahih Al-Bukhari dari Karimah. Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
إنما النساء شقائق الرجال
”Sesungguhnya wanita itu saudara laki-laki”.
Dan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam juga bersabda :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
Hadits ini meliputi muslimah juga, sekalipun tambahan lafadh ”muslimah” dalam hadits di atas tidak ada dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.
Ada
kisah menarik juga yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini : Ada
seorang wanita pada abad kesebelas bernama Wiqayah, seorang wanita
pintar dari Maghrib, Para ulama Maghrib apabila mengalami kesulitan,
mereka mengatakan : ”Marilah kita pergi ke Wiqayah karena sorbannya
lebih baik daripada sorban-sorban kita”. Akhirnya, merekapun belajar dan
meminta fatwa padanya.
Dan termasuk keajaiban sejarah, tidak ada perawi wanita satupun yang berdusta pada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam.
Seluruh ulama yang menulis tentang para perawi pendusta, tidak ada yang
menyebutkan seorangpun dari wanita pendusta. Adapun kaum laki-laki,
maka betapa banyak kitab-kitab yang berisi tentang para pendusta dari
kalangan mereka. Laa haula walaa quwwata illaa billah.
Maka
seorang wanita apabila Anda membimbingnya ke jalan yang baik, mereka
akan menjadi baik dan pahalanya bagi kedua orang tuanya hingga hari
kiamat. Namun bagi orang tua, hendaknya tetap menjaga hukum syar’iy. Dan
tempat yang paling baik untuk menimba ilmu bagi wanita adalah seorang
suami yang shalih, penuntut ilmu, dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena
itu, bagi orang tua hendaknya berupaya memilihkan suami terbaik bagi
anaknya. Asy-Syaikh Jamil Zainu pernah bercerita padaku ketika beliau
ingin menikahkan puterinya dengan salah satu saudara kami di Yordania.
Katanya : Ketika saya di masjid, maka saya duduk di bagian belakang
untuk melihat shalatnya para pemuda sehingga saya memusatkan perhatian
kepada seorang pemuda yang paling baik shalatnya, paling khusyu’, dan
lama berdirinya. Kemudian saya mencari lagi pada shalat Shubuh dan
’Isya’ sehingga saya menemukan seorang pemuda yang rajin dan tidak
malas. Lalu saya mendatangi pemuda tersebut dan bertanya kepadanya :
”Apakah Anda sudah menikah ?”. Jawabnya : ”Belum”. Saya bertanya lagi :
”Maukah engkau saya nikahkan dengan putriku ?”. Jawabnya : ”Subhaanallah, siapa yang tidak mau ?”. Akhirnya saya menikahkannya dengan putriku.
Demikianlah selayaknya yang dilakukan oleh para orang tua.
Oleh
karenanya, saya sarankan kepada Bapak Penanya yang ingin memondokkan
putrinya di atas hendaknya tidak tergesa-gesa. Masih ada pondok
pesantren yang jauh lebih baik bagi putrinya daripada pondok pesantren,
yaitu suami yang shalih. Hendaknya dia berupaya mencari dan menawarkan
putrinya. Hal ini bukanlah satu aib, bahkan manhaj para shahabat. Kalian
semua mungkin sudah tahu kisah ’Umar bin Khaththab yang menawarkan
putrinya Hafshah kepada Abu Bakar lalu beliau diam, lalu kepada ’Utsman
lalu beliaupun diam. Beliau berdua diam karena pernah mengetahui bahwa
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menginginkan Hafshah (HR. Al-Bukhari 5122). Padahal umur ’Umar bin Khaththab waktu itu sebanding dengan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam
atau lebih kecil satu atau dua tahun dari beliau. Saya tidak menuntut
supaya kita menawarkan putri-putri kita pada shahabat dan handai taulan
kita, karena barangkali hal itu di luar kemampuan kita, tetapi kita
berupaya mencari pemuda dengan mempermurah mahar dan kita minta padanya
supatya mengajari dan membimbing putri kita tentang Al-Qur’an, fiqh, dan
sebagainya. Dikisahkan bahwa Imam Malik mempunyai seorang putri, ketika
suaminya hendak berangkat ke majelis Imam Malik, istrinya mengatakan :
”Hendak kemana engkau ?”. Jawab suaminya : ”Hendak ke majelis ayahmu”.
Istrinya : ”Duduklah, karena ilmu ayahku ada di hatiku”.
Semoga Allah meramati para wanita salaf. Inilah yang saya anjurkan kepada Penanya.
0 komentar:
Posting Komentar