Pendahuluan berikutnya yang perlu
diketahui bahwa di antara prinsip Islam, prinsip Ahlus Sunnah wal
Jama’ah: kadang ahlul bid’ah itu lebih berbahaya daripada orang kafir.
Ingat, ini “terkadang”, jangan disebut lalu dipahami secara mutlak saja.
Dan ini ditunjukkan dalam banyak dalil, sebelumnya akan diuraikan para
ulama yang berpendapat seperti ini supaya jangan disangka ini dari
kantung saya.
Pertama:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh dalam Minhâjus Sunnah
jilid 5 halaman 248 beliau mengatakan, “Dan diriwayatkan dalam hadits
bahwasanya orang-orang Khawarij ini adalah orang yang terjelek yang
terbunuh di muka bumi ini dan sebaik-baik orang yang membunuh adalah
orang yang membunuh Khawarij.” [dan haditsnya ada dalam hadits Abu
Umamah Al Bahili].
Maksudnya mereka ini paling jelek
terhadap kaum muslimin, tidak ada seorang pun yang lebih jelek dari kaum
muslimin daripada orang-orang Khawarij ini, tidak orang Yahudi dan
tidak pula orang Nashara. Orang Yahudi dan Nashara tidak ada hubungan
dengan Islam sedang orang Khawarij mengatakan dirinya muslim, maka
tingkat bahayanya lebih besar bagi umat. Karena itu Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersikap keras mentahdzir orang-orang Khawarij.
Kedua:
Dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Fatawa
jilid 28, “Oleh karena itulah membersihkan jalan Allah dan agama Allah
dan manhaj Allah serta syari’atnya dan menolak kesewenang-wenangan dan
permusuhan orang-orang yang ingin melampaui batas terhadap agama dan
syari’at Allah ini itu adalah fardhu kifayah menurut
kesepakatan kaum muslimin. Andaikata Allah tidak menegakkan orang yang
menolak bahaya ini (ditegakkan orang ini bahaya, ini tidak), maka agama
ini akan rusak dan rusaknya agama ini lebih berat daripada rusaknya
kalau musuh atau orang kafir menyerang.”
Sebab kalau pemikiran itu bahaya sekali,
umat Islam yang rusak. Tapi kalau musuh akan membuat bahaya tidak
membahayakan apa yang ada di dalam hati. Sedangkan serangan pemikiran
ini menyerang dari segala sesuatu. Oleh karena itulah dipandang sangat
berbahaya.
Ketiga:
Imam Ibnul Jauzi dalam Al Maudhu’at,
bahwasanya kadang orang-orang yang membuat hadits palsu itu,
orang-orang ahlul bid’ah dalam Islam dan orang-orang yang membuat hadits
palsu itu lebih keras atau lebih berbahaya daripada Al Mulhidin.
Keempat:
Imam ‘Abdul Ghani Al Maqdasi (penyusun ‘Umdatul Ahkam) rahimahullâh
beliau berkata, sesungguhnya umat Islam ini telah difitnah dengan tiga
kelompok dari kalangan ahlul bid’ah. Kelompok yang pertama, mereka
menolak seluruh hadits-hadits sifat Allah dan mendustakan para rawi
(disebutkan Allah itu memiliki sifat Maha mendengar dan seterusnya, dia
dustakan). Apa hukum beliau terhadap mereka? Mereka ini lebih berbahaya
terhadap Islam dan kaum muslimin daripada orang-orang kafir.
Kelompok kedua mengatakan bahwasanya
hadits-hadits ini shahih (kalau kelompok pertama tadi semuanya ditolak)
diterima tetapi kemudian dita’wil. Sekarang kalau dari sisi
beratnya kesalahan, yang mana yang lebih berat, yang pertama atau yang
kedua? Lebih berat yang pertama sebab menolak semua sedangkan yang kedua
hanya menta’wil. Akan tetapi apa hukum beliau terhadap kelompk yang kedua ini? Dan yang kedua ini lebih berbahaya dari kelompok yang pertama.
Kelompok yang ketiga tidak berpendapat dengan kedua kelompok yang pertama, tapi juga tetap menta’wil,
menetapkan sebagian sifat dan membiarkan yang lain, dan ini lebih
berbahaya lagi dari kelompok yang lainnya. Mengapa demikian? Ukurannya,
Islam itu agama yang terang, kalau misalnya ada sesuatu yang gelap di
sana itu tidak diperhatikan. Tetapi ada yang agak terang di sini agak
kabur-kabur sedikit, mungkin orang akan menyangka itu bagian dari Islam.
Maka ini kapan ia lebih mendekati kebenaran atau kapan dia lebih mirip
dan terkadang mengatasnamakan dirinya Ahlus Sunnah, dan kadang ia
menampilkan seakan-akan dirinya ini di atas kebenaran, maka ini lebih
harus untuk dibersihkan karena mereka ini lebih berbahaya. Orang-orang
tertipu dengan keadaannya.
Maka kalau saya ditanya, “Mengapa Wahdah
Islamiyah dibantah kemudian yang lainnya tidak dibantah?” Maka kita
katakan, semuanya dijelaskan tentang yang haq dalam setiap permasalahan,
walhamdulillâh
kita berucap walaupun hal itu adalah pahit sebagai nasihat bagi umat.
Kemudian mengapa yang didahulukan adalah mereka? Sebab mereka menamakan
dirinya Ahlus Sunnah dan menyalahkan Ahlus Sunnah dengan dalih mereka
Ahlus Sunnah. Ini sangat berbahaya dan menipu umat.
Kelima:
Imam Asy Syathibi rahimahullâh
berkata bahwa orang-orang yang sesat bahayanya bagi kaum muslimin
bagaikan bahayanya iblis, dan mereka itu adalah syaithannya manusia.
Demikian, jadi ukurannya, apabila ia
bukan dari kebenaran tetapi samar-samar dan agak mirip dengan kebenaran
maka ia yang lebih dulu dibersihkan dan harus lebih banyak diterangkan.
Kalau kafir, semua orang tahu ia bukan Islam, tetapi mubtadi’ ia mengaku dari Islam padahal berada di jalan yang salah, maka mubtadi’ harus lebih diterangkan. Dan ini mempunyai penguat dalam Al Qur’an.
Kalau kita membuka Al Qur’an pada awalnya Surat Al Baqarah setelah alif lâm mîm
ada 4 ayat tentang sifat kaum mu’minin. Setelah itu disebutkan 2 ayat
tentang sifat orang kafir. Kemudian setelah itu disebutkan 13 ayat
tentang sifat orang munafik.
Mengapa sifat orang munafik disebut dalam
13 ayat sedangkan sifat orang kafir cuma 2 ayat? Sebab kafir ini jelas,
tetapi munafik yang menampilkan dirinya Islam perlu diterangkan bahaya
yang besar bagi umat.
Maka kadang-kadang ahlul bid’ah itu lebih
berbahaya dan lebih perlu untuk diterangkan. Kita bersikap tegas kepada
mereka karena mereka menghinakan dan menyalahkan manhaj Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dengan mengatasnamakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah sehingga
bisa mencemari dakwah Islam yang hakiki.
Pendahuluan Ke-7: Tidak Menyikapi Sesuatu dengan Mengutamakan Perasaan
Pendahuluan berikutnya, perlu diketahui
bahwa dalam menyikapi sesuatu tidak boleh memakai perasaan. Misalnya,
dikatakan si fulan sesat lalu merasa kasihan, tidak tega. Seharusnya
yang menjadi ukuran adalah dilihat dari sisi ilmiahnya dan dalil-dalilnya serta jangan memakai perasaan.
Dalam Al Qur’an Allah subhânahu wa ta’âlâ menyifatkan orang-orang yang menyeleweng seperti anjing:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
آتَيْناَهُ آياَتِناَ فَانْسَلَخَ مِنْهاَ فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطاَنُ
فَكاَنَ مِنَ الْغاَوِيْنَ. وَلَوْ شِئْناَ لَرَفَعْناَهُ بِهاَ
وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ
يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآياَتِناَ
فاَقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ.
“Dan bacakanlah kepada mereka berita
orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan
tentang isi Al Kitab). Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu,
lalu ia diikuti oleh syaitan sampai dia tergoda. Maka jadilah dia
termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami
tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada
dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka permisalan dirinya
seperti anjing, bila engkau menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan bila
engkau membiarkannya, anjing itu tetap menjulurkan lidahnya.
Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.” (QS Al A’râf: 175-176)
Allah subhânahu wa ta’âlâ juga memperumpamakan penghuni Jahannam lebih bodoh daripada binatang ternak:
وَلَقَدْ ذَرَأْناَ لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا
مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهاَ
وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُوْنَ بِهاَ وَلَهُمْ آذَانٌ لاَ
يَسْمَعُوْنَ بِهاَ أُولَئِكَ كَاْلأَنْعاَمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ
هُمُ الْغاَفِلُوْنَ.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami. Dan mereka memiliki mata
namun tidak dipergunakannya untuk melihat. Dan mereka punya telinga
tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu seperti
binatang ternak bahkan mereka lebih bodoh lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (QS Al A’râf: 179)
Allah subhânahu wa ta’âlâ juga mengibaratkan orang yang menyelisihi Kitab-Nya seperti keledai:
مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ
ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهاَ كَمَثَلِ الْحِماَرِ يَحْمِلُ أَسْفاَرًا بِئْسَ
مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآياَتِ اللهِ وَاللهُ لاَ
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ.
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai
yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum
yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk
kepada kaum yang zalim.” (QS Al Jumu’ah: 5)
Dan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam ketika ditanya oleh Fathimah bintu Qais radhiyallâhu ‘anha
dalam hadits riwayat Muslim minta petunjuk siapa yang dinikahi,
dijelaskan oleh Nabi. Ada dua orang shahabat yang melamarnya Abu Jahm
dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallâhu ‘anhum, maka beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata,
أَمَّا أَبُوْ الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ
عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ
لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ.
“Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah
meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu’awiyah seorang yang
fakir tidak berharta, maka (jangan engkau menikah dengan salah satunya)
menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR Muslim no. 3681)
Dan juga dalam hadits Abi Umamah Al Bahili radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam
ketika menyebutkan tentang orang-orang Khawarij, (tapi perlu
digarisbawahi Khawarij itu oleh para ulama tidak dikafirkan menurut
Jumhurul Ulama tapi apa yang disifatkan oleh beliau), yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Al Humaidi dan lain-lainnya:
أُولَئِكَ كِلاَبٌ أَهْلِ النَّارِ، أُولَئِكَ كِلاَبٌ أَهْلِ النَّارِ، أُولَئِكَ كِلاَبٌ أَهْلِ النَّارِ
“Mereka adalah anjing-anjing neraka, mereka adalah anjing-anjing neraka, mereka adalah anjing-anjing neraka.”
Lihat Imam Ahmad rahimahullâh,
beliau sedang duduk disampaikan kepada beliau, “Ya Imam, ada orang di
Makkah namanya Ibnu Qutailah mengatakan ahli hadits itu kaum yang
jelek.” Imam Ahmad dengan marah berdiri seraya berkata, “Zindiq, zindiq, zindiq, zindiq,” sampai beliau masuk ke rumahnya.
Maka tegas para aimmah dalam permasalahan.
Lihat Imam Asy Syafi’i rahimahullâh tentang riwayat Al Bayadhi, kata beliau,
مَنْ رَوَى عَنِ الْبَيَاضِ بَيَّضَ الله عَيْنَيْهِ
“Siapa yang meriwayatkan dari Al Bayadhi, mudah-mudahan Allah membuat matanya menjadi putih.”
Dido’akan kejelekan oleh Imam Asy Syafi’i sebab berbahaya kalau mengambil hadits lemah dari orang yang seperti ini.
Juga Imam Malik rahimahullâh ketika mengkritik Muhammad bin Ishaq bin Yasar—yang walaupun kritikannya tidak diterima oleh para ulama—Imam Malik mengatakan,
دَجَّال مِنَ الدَّجَّاجِلَ
“Ia itu Dajjal dari para Dajjal.”
Jadi para aimmah tidak memakai
perasaan sebab kalau memakai perasaan memang sulit. Pernah suatu ketika
ada seseorang yang dinasihati tentang ‘Abdurrahim Ath Thahhan, kemudian
ia yang dinasihati mau menangis. Dinasihati bahwa ‘Abdurrahim Ath
Thahhan itu sesat, begini, begini, mau menangis ia membela dan tidak
terima. Yang demikian ini tidak sepantasnya. Sebenarnya kalau pun mau
memakai perasaan, begini caranya: ‘Abdurrahim Ath Thahhan itu mencerca
wibawa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan
pemikirannya yang sesat kemudian menghinakan para ulama, jadi orang
seperti ini memang harus diberitahukan kepada umat tentang sesatnya.
Jadi, perasaannya diukur dengan tolak ukur Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam.
Kemudian perkataan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam kepada Abu Dzar radhiyallâhu ‘anhu:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ امْرُءٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya Engkau pada
dirimu terdapat perkara jahiliyyah.” [Ketika ia mencerca seseorang
dengan cara mencerca ibunya] (Muttafaqun ‘alaih)
Dan Nabi berkata kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallâhu ‘anhu ketika ia mangimami orang dan sholatnya terlalu lama dan panjang karena dia baca qira’ah yang panjang sekali sehingga ada orang keluar dan sholat sendiri, Nabi menegurnya dengan keras,
أَفَتَانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ ؟
“Apakah engkau tukang fitnah wahai Muadz?” (HR Al Bukhari, Muslim, An Nasa’i)
Maka sekali lagi jangan memakai perasaan
atau jangan mengukur kebiasaan saja. Misalnya baru melihat seseorang
yang sepertinya bagus orangnya, akhlaqnya masyâ Allâh. Bukan itu ukurannya, yang dilihat adalah apakah di atas Al Haq atau tidak.
Karena itu Imam Asy Syafi’i rahimahullâh
berkata, “Kalau kamu melihat ada orang yang sholat di udara atau sholat
di atas air, maka kamu jangan terima orang ini sampai kamu cocokkan
perkaranya di atas Al Qur’an dan Sunnah.”
Jadi bukan dengan perasaan diukur. Kalau
mengukur dengan perasaan sudah terlalu banyak orang sesat. Ingatlah
ketika iblis mengeluarkan bapak kita Adam ‘alaihis salâm dari
surga. Iblis datang bentuk orang yang shalih, orang yang menasihati.
Penampilannya ini yang membuat iblis mampu memasukkan was-wasnya.
Penampilan itu bukan ukuran, bahkan Yahya bin Ma’in rahimahullâh berkata dalam suatu riwayat:
مَا رَأَيْتُ أَكْذَبَ مِنَ الْعُبَّادِ
“Saya tidak melihat orang yang lebih pendusta daripada ahli ibadah.”
Maksudnya di zaman itu dulu ada ahli
ibadah, ahli hadits, dan ahli ibadah sekaligus ahli hadits. Dan ahli
ibadah ini yang diketahuinya hanya ibadah saja, tidak mengetahui hadits.
Maka kalau mereka menyampaikan hadits kebanyakannya hadits-hadits palsu
atau hadits-hadits lemah. Seperti Maisaroh bin ‘Abdi Robbih yang
membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan surah-surah; surah Al
Fatihah keutamaannya begini, surah Al Baqarah keutamaannya begini, dan
seterusnya. Dan ia mengakui, ketika ia ditanya, “Mengapa kamu membuat
hadits-hadits palsu?” Katanya, “Saya melihat menusia berpaling dari Al
Qur’an makanya saya membuar hadits-hadits palsu supaya mereka senang
membaca Al Qur’an.”
Maka, penampilan itu bukan ukuran tetapi
yang diukur apakah ia di atas Al Qur’an dan As Sunnah. Jangan bersikap
dan menyikapi dengan perasaan atau hanya melihat yang nampak dan zhahirnya.
Contoh lain, Imam ‘Abdurrazzaq Ash Shan’ani rahimahullâh, pengarang kitab Al Mushannaf yang terkenal. Beliau rahimahullâh
terpengaruh sedikit pemikiran Syi’ah karena seorang gurunya yang
bernama Ja’far bin Sulaiman Adh Dhuba’i, yang Imam ‘Abdurrazzaq duduk
dengannya dan terpengaruh. Mengapa bisa terpengaruh? Beliau menyebutkan:
أَعْجَبَنِيْ صَمْتُهُ
“Saya takjub dengan wibawanya orang ini.”
Bayangkan imam besar ini, banyak menghafal hadits bisa tertipu seperti ini wal’iyadzu billâh.
Karena itulah menyikapi dan menjauhi orang-orang yang menyeleweng dan
ahlul bid’ah ini adalah perkara yang besar dalam syari’at karena hati
itu lemah. Jangan sampai ia memberi syubuhât sedangkan kita tidak mengetahuinya. Maka sekali lagi, perasaan bukanlah ukuran.
0 komentar:
Posting Komentar