-->

28 Agustus 2012

Pendahuluan Ke-8: Rincian Hukum Berdebat

Kemudian pendahuluan berikutnya, tentang hukum munazharah, hukum berdebat.
Telah disebutkan kedustaan atas kami dalam ceramah Yayasan Wahdah Islamiyah dua tahun yang lalu (tahun 2000-an), yang mengucapkan itu Rahmat sebagai moderator. Ia mengatakan (secara makna) bahwa kami diundang untuk munazharah, debat ilmiah namun menolak dengan alasan itu adalah bid’ah.
Ia memutlakkan bahwa kami beralasan bahwa debat ilmiah adalah bid’ah, tidak ada tuntunannya dalam Islam. Padahal saya tidak pernah memutlakkan dan tidak pernah terbetik dalam benak saya untuk mengucapkan kalimat seperti itu. Bahkan kita mengetahui kaidah Ahlus Sunnah dalam permasalahan ini. Jadi, ini adalah kedustaan yang nyata, كذب وافتراع وبهتان.
Maka, kepada orang yang mengatakannya saya katakan dengan ucapan seorang penyair:
يَا أَرْغَمَ الله أُنْفًا أَنْتَ حَامِلُهُ     يَا ذَا الْخَنَ وَمَقَالِ الزُّوْرُ وَالْخَطَم
Kami dalam hal munazharah meyakini bahwa asalnya dalam munazharah, berdebat dengan ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyeleweng asalnya itu adalah perkara yang makruh, perkara yang tidak dianjurkan, kecuali kalau ada maslahat syar’iyahnya maka boleh. Kita katakan, berdebat asalnya adalah perkara yang makruh dan harusnya ditinggalkan. Sebab, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi rahimahullâh,
القلوب ضعيفة والشبهات خطافة
“Hati itu lemah dan syubuhât menyambar-nyambar.”
Di sini saya akan menukil perkataan para ulama besar, para aimmah yang mengatakan hukum asal ini.
Pertama:
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh, ulama abad ke-3 Hijriyah dalam risalah beliau Ushûlus Sunnah:
ومن أصول السنة عندنا ترك الخصومات
“Di antara pokok sunnah menurut kami adalah meninggalkan perdebatan.”
Kedua:
Imam Al Baghawi rahimahullâh, ulama abad ke-4 Hijriyah dalam kitabnya Syarhus Sunnah: “Telah sepakat ulama Salaf dari Ahlus Sunnah tentang larangan untuk berdebat, jidal, dan berdebat tentang sifat-sifat Allah dan melarang tenggelam di dalam membicarakan ilmu kalam dan mempelajarinya.
Ketiga:
Bahkan sebelumnya, imam yang terdahulu lagi, ‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullâh, ulama abad ke-2 termasuk sezaman dengan Ibnul Mubarak rahimahullâh. Beliau ini adalah imam yang paling besar waktu itu dan dikenal dalam riwayat hadits mempunyai ribuan guru, beliau membuat kesimpulan:
أدركت الناس وهم على الجملة يعني لا يتكلمون لا يخصمون
“Saya dapatkan manusia (para ulama) tidak berbicara dan tidak berdebat.”
Itu kebanyakannya yang ia dapatkan seperti itu. Jadi, asalnya memang itu adalah perkara yang tercela sebab bisa membahayakan.

Debat yang Diperbolehkan:

Tetapi kalau ada maslahat syar’iyahnya, maka kadang boleh bahkan kadang menjadi wajib. Karena itulah ‘Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas berdebat dengan orang-orang Khawarij sehingga waktu itu Ibnu ‘Abbas dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad mendebat orang-orang Khawarij dan ruju’ orang-orang Khawarij itu kepada kebenaran sebanyak sekitar 2000 orang. Yang seperti ini ada maslahatnya, dan orang yang berdebat ini adalah Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhu.
Kemudian lihat juga tentang munazharah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Khalifah Ash Shalih yang berdebat dengan Ghailan Al Qadari. Dikalahkan Ghailan ini sehingga tidak berbicara lagi di zaman beliau hidup, menyatakan dirinya tobat. Tetapi setelah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz meninggal, kembali lagi berulah. Demikian sifatnya ahlul bid’ah sebagaimana yang akan saya terangkan insya Allah.
Kemudian Imam Al Auza’i rahimahullâh bermunazharah dengan orang Qadariyah. Imam Asy Syafi’i rahimahullâh munazharah dengan Hafs Al Qorni dan di akhirnya Imam Asy Syafi’i berkata, “Kamu wahai Hafs hukumnya kafir, keluar kamu wahai kafir.” Sebab, orang ini sudah mempunyai bid’ah yang mengkafirkan sehingga ia keluar dari Islam. Inilah Imam Asy Syafi’i yang tegas, tidak main-main dalam masalah agama. Justru akan salah apabila melihat kemungkaran di depannya, masih harus senyum-senyum kemudian muka manis, bermesraan, ini adalah perkara yang jauh dari tuntunan Islam.
Demikianlah hukum munazharah yang kami pahami dari buku-buku para ulama, silakan dibaca. Dan saya mengetahui, mereka itu sering kadang mengambil rujukan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwa, maka bacalah kitab itu di jilid 2 akan disebutkan hukumnya. Dan kalau ingin tambahan, baca kitab Adabul Bahts wal Munazharah karya Imam Asy Syinqithi dan juga baca kitab Ar Radd ‘alal Mukhalif karya Syaikh Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid, dan juga baca kitab Istikhrajul Jidal Min Al Qur’an oleh Imam Ibnu Rajab dalam Majmu’ Ar Rasa’il Al Muniriyah di jilid 1 risalah yang ke-3. Bacalah buku-buku itu barangkali bisa mendapat faidah sehingga jangan menuduh orang sembarangan.

Alasan Kami Tidak Menghadiri Undangan Munazharah Wahdah Islamiyah:

Alasan mengapa diundang munazharah WI tidak mau hadir, harus kita jawab sebab ini terus yang didengungkan di sana-sini. Mereka menghembuskan syubuhât, “Seharusnya munazharah dulu, dinasihati dulu baru bicara.” (Proses tahdzir, apakah dinasihati dulu baru ditahdzir, atau tahdzir dulu baru dinasihati, ini muqaddimah terakhir).
Khusus ini, mengapa kita tidak hadir? Ini bukan karena takut, atau karena tidak bisa mengalahkan argumen Wahdah Islamiyah. Bahkan mereka mengetahui, kalau masalah argumen mereka mengakui bahwa sebagian ustadz di kalangan kami itu lebih bagus daripada mereka dalam ilmu hadits. Tetapi kalau pun mereka tidak mengakuinya, fakta membuktikan bahwa ketika mereka diundang oleh sebuah fakultas perguruan tinggi untuk berdebat dengan orang Syi’ah, pihak Wahdah Islamiyah mengalihkan untuk ke Baji Rupa (nama jalan alamat Ma’had As Sunnah Makassar yang kami asuh) saja, salah seorang ustadznya berbicara seperti itu.
Oleh karena itu, kami perlu jawab dengan tegas mengapa tidak hadir di acara mereka itu, karena:
Alasan Pertama:
Tidak ada faidahnya.
Alasan Kedua:
Kesalahan yang ada pada mereka adalah kesalahan yang sangat besar dan jelas, yang ulama besar di zaman ini telah menyalahkan kesalahan tersebut. Artinya, kalau kita berdebat dengan masalah tersebut maka kita memperdebatkan perkara yang sudah jelas, dan ini terlarang dalam Al Qur’an serta merupakan perdebatan yang sangat tercela. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ.
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah kecuali hanyalah orang-orang yang kafir. Maka janganlah kamu tertipu dengan tingkah laku mereka di dalam negeri.” (QS Ghafir: 4)
Dan juga dalam Sunan At Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam hadits Abu Umamah radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَاضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إلا أُوْتُوا الْجِدَالٌ
“Tidaklah suatu kaum itu tersesat setelah tadinya berada di atas petunjuk kecuali orang-orang yang senang berdebat.”
Dan juga di dalam Shahih Muslim dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhu, bahwa ada dua orang yang bertengkar tentang Al Qur’an tentang bacaan padahal Al Qur’an yang dipertengkarkan sudah jelas. Maka kata Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِإخْتِلاَفِهِمْ بِالْكِتَابِ
“Sesungguhnya yang menyebabkan celakanya orang-orang sebelum kalian hanyalah karena perselisihan mereka di dalam Al Kitab.”
Maka berdebat dalam perkara seperti ini adalah perkara yang tercela, karena itu kita tidak hadir dan tidak berminat untuk menjawabnya.
Alasan Ketiga:
Kita melihat mereka sulit berubah bahkan menentang kebenaran di depan umum.
Hal seperti ini yang dikatakan oleh Imam Malik ketika datang kepada beliau seseorang berkata, “Wahai Imam, saya ingin berdebat dengan kamu.”
Imam Malik bertanya, “Kalau kamu kalahkan saya bagaimana?”
Kata orang ini, “Kamu harus mengikuti saya.”
Kata Imam Malik, “Kalau datang yang lain dan ia mengalahkan kita berdua bagaimana?”
Kata orang ini, “Kita ikuti dia.”
Imam Malik berkata,
أنا على يقين من ديني وأما أنت فشاك إذهب إلى شاك مثلك
“Adapun saya di atas keyakinan agama saya. Adapun kamu, kamu orangnya bimbang, ragu. Pergilah sana bersama orang ragu yang semisal dengan kamu.”
Kemudian kami melihat bahwa mereka ini sulit berubah berdasarkan tahapan mereka dinasihati. Kami telah menasihati mereka semenjak di Madinah.
Nasihat Langsung Pertama:
Waktu itu Allah subhânahu wa ta’âlâ memberikan saya nikmat untuk ibadah haji di tanah suci, maka saya menasihati salah seorang ustadznya, saya menyebutkan semua tentang kesesatan Wahdah Islamiyah yang saya ketahui. Dan waktu itu sebagian mereka tidak mengetahuinya dan sebagian lagi membela. Saya menerangkan dengan dalil-dalil dan argumen mudah-mudahan mereka mau mendengar kembali.
Nasihat Langsung Kedua:
Dan Ustadz Luqman Jamal hafizhahullâh (sekarang pimpinan Ma’had Tanwirus Sunnah, Gowa) pernah menasihati Muhammad Yusran Anshar, Lc (sesama alumni Universitas Islam Madinah) tentang penyimpangan Salman Al ‘Audah, tentang Sururiyah.
Nasihat Langsung Ketiga:
Saya sendiri pernah menasihati Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc. Waktu itu kesempatan tidak sengaja, saya ada keperluan dengan Al Akh Husein itu dan ada Muhammad Ikhwan di dekatnya. Saya berbicara dengan Husein seperti biasanya, kemudian Muhammad Ikhwan merapikan kertasnya seperti mau memperlihatkan.
Maka ditanya oleh Husein, “Itu apa di tangan kamu?”
Katanya, “Ini, fotokopian dari kitab Syaikh kami Ibrahim Ar Ruhaili hafizhahullâh tentang Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Saya fotokopi bab tentang nikah dengan ahlul bid’ah, sebab saya baca di majalah Salafy di situ disebutkan kalau nikah dengan penjudi, penzina dan lain-lainnya, itu lebih ringan daripada nikah dengan ahlul bid’ah Qadariyah, orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluq, Ikhwanul Muslimin, dan Jama’ah Tabligh”.
Dan ini memang ada tertulis di majalah Salafy, dia memperlihatkan buktinya. Saya baca kemudian saya komentari, “Adapun pertama, yang saya ketahui, ini mereka biasanya menukil kalau murid-muridnya yang menulis. Tapi kalau guru-gurunya itu pendapat sendiri, itu manhajnya. Kemudian yang kedua, bahwasanya dalam hal ini dengan tegas saya katakan, seluruh apa yang dikatakan oleh mereka di sini adalah benar kecuali pada Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh. Kalau orang-orang Qadariyah, orang-orang yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluq, mungkin yang dimaksudkan di sini Al Qadariyah Al Ghulah yang dihukumi oleh para ulama seperti Imam Asy Syafi’i dan lain-lainnya kafir keluar dari Islam; atau orang-orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluq telah dikafirkan oleh banyak ulama sebagaimana yang kita akan nukil nanti. Ini contoh, sebab menikah dengan pezina dan pencuri itu lebih ringan daripada menikah dengan orang kafir apalagi punya bid’ah. Tapi kalau Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh ini belum keluar dari Islam dan saya tidak setuju dengan hal ini dan nanti akan saya nasihati insya Allah.” Saya ditanya demikian maka saya menjawabnya.
Nah, dari situ ia membuka pembicaraan, “Lho, katanya Antum akan membantah kami, dan akan membantah jama’ah-jama’ah sesat dan di antaranya jama’ah Yayasan Wahdah Islamiyah?”
Maka saya jawab hal tersebut kemudian saya uraikan kesesatan-kesesatannya Wahdah dari hafalan. Semuanya saya sebutkan dan tidak ada satupun yang ia bantah dan ingkari—dan kesesatan-kesesatannya ini akan saya sebutkan nanti—bahkan di sela-sela pembicaraan saya mendebatnya dan membungkamnya tiga kali.
Bahkan di akhir pembicaraan—wallâhi, wabillâhi, watallâhi (demi Allah)—ia berkata kepada saya, “Terima kasih banyak saya mendapatkan faidah dari Antum.”
Itu di akhir pembicaraan, memang begitu, mengaku mendapat faidah tapi sampai sekarang tetap dengan penyimpangannya. Karena itulah harapan untuk bisa berubah itu dan melayani undangan mereka untuk munazharah, waktu kami terlalu berharga.
Dan bayangkanlah tentang Wahdah Islamiyah ini, kami mempunyai kaset rekaman fatwa dari Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh sudah hampir dua tahun lebih (sejak 23 Ramadhan 1420 H/31 Desember 1999 sampai acara dauroh ini, 5 Rabi’ul Awwal 1423 H/18 Mei 2002, ed), belum kami sebarluaskan karena masih tersibukkan dengan perkara lain. Waktu itu kita sibuk dengan jihad di Maluku, kemudian hari-hari ini sibuk dengan pondok dan pelajaran di sana-sini. Akan tetapi karena semakin besarnya kemungkaran yang berputar di setiap halaqoh: ditanya syubuhât ini, syubuhât itu sampai lelah menjawabnya, membuat kami harus mengeluarkan muhadharah ini yang kita sama-sama duduk di sini dan mudah-mudahan diberkahi oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Nasihat Langsung Keempat:
Dari dulu mereka dengan kami itu berselisih. Kalau dikatakan tentang istilah Salafi, mereka mengolok-ngolok. Ada sebagian dari mereka mengatakan, “Salafi itu salah filih.”
Ada rahasia yang perlu diketahui bahwa yang pertama kali membawa Syi’ah ke Makassar ini adalah orang-orang Wahdah Islamiyah. Silahkan tanya kepada mereka siapa itu Mukhtar Adam? Ini coba diingkari oleh Muhammad Ikhwan. Saya tanya kembali, “Kamu ingat, tidak?”
Katanya Muhammad Ikhwan, “Oh, itu dulu ya akhi, dulu.”
Saya ingatkan lagi tentang Jama’ah Arqam, Shufiyah ekstrem di Malaysia, bahwa yang membawa mereka ke sini adalah Wahdah, mungkin orang-orang lamanya tahu ini. Maka, dulu kami mengingkari hal ini dan sudah tahu setelah itu nampak belakangan bahwa mereka juga membantah Syi’ah, seharusnya mereka berpikir bahwa saudaranya ini mau menasihati dan ternyata mereka benar, seharusnya berpikir begitu. Tetapi sekarang WI tetap gencar dan mentahdzir sana-sini dan membuat kabur dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Oleh karena itu, kami melihat munazharah dan debat ilmiah itu tidak terlalu berguna. Yang lebih berguna cara seperti ini: kami mengadakan ceramah ilmiah, dan silahkan kalau ingin membantah dengan bantahan ilmiah. Bukankah mereka mengklaim sebagai orang-orang yang punya ilmu, berada di atas Al Qur’an dan As Sunnah? Maka sekarang kita bantah dengan ilmu, berbicara dengan argumen, wallâahul musta’ân. Saya kira ini beberapa udzur-udzur mengapa kita tidak hadir, dan insyâ Allâh saya kira ini mencukupi untuk hal ini.

Pendahuluan Ke-8: Rincian Hukum Berdebat

Kemudian pendahuluan berikutnya, tentang hukum munazharah, hukum berdebat.
Telah disebutkan kedustaan atas kami dalam ceramah Yayasan Wahdah Islamiyah dua tahun yang lalu (tahun 2000-an), yang mengucapkan itu Rahmat sebagai moderator. Ia mengatakan (secara makna) bahwa kami diundang untuk munazharah, debat ilmiah namun menolak dengan alasan itu adalah bid’ah.
Ia memutlakkan bahwa kami beralasan bahwa debat ilmiah adalah bid’ah, tidak ada tuntunannya dalam Islam. Padahal saya tidak pernah memutlakkan dan tidak pernah terbetik dalam benak saya untuk mengucapkan kalimat seperti itu. Bahkan kita mengetahui kaidah Ahlus Sunnah dalam permasalahan ini. Jadi, ini adalah kedustaan yang nyata, كذب وافتراع وبهتان.
Maka, kepada orang yang mengatakannya saya katakan dengan ucapan seorang penyair:
يَا أَرْغَمَ الله أُنْفًا أَنْتَ حَامِلُهُ     يَا ذَا الْخَنَ وَمَقَالِ الزُّوْرُ وَالْخَطَم
Kami dalam hal munazharah meyakini bahwa asalnya dalam munazharah, berdebat dengan ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyeleweng asalnya itu adalah perkara yang makruh, perkara yang tidak dianjurkan, kecuali kalau ada maslahat syar’iyahnya maka boleh. Kita katakan, berdebat asalnya adalah perkara yang makruh dan harusnya ditinggalkan. Sebab, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi rahimahullâh,
القلوب ضعيفة والشبهات خطافة
“Hati itu lemah dan syubuhât menyambar-nyambar.”
Di sini saya akan menukil perkataan para ulama besar, para aimmah yang mengatakan hukum asal ini.
Pertama:
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullâh, ulama abad ke-3 Hijriyah dalam risalah beliau Ushûlus Sunnah:
ومن أصول السنة عندنا ترك الخصومات
“Di antara pokok sunnah menurut kami adalah meninggalkan perdebatan.”
Kedua:
Imam Al Baghawi rahimahullâh, ulama abad ke-4 Hijriyah dalam kitabnya Syarhus Sunnah: “Telah sepakat ulama Salaf dari Ahlus Sunnah tentang larangan untuk berdebat, jidal, dan berdebat tentang sifat-sifat Allah dan melarang tenggelam di dalam membicarakan ilmu kalam dan mempelajarinya.
Ketiga:
Bahkan sebelumnya, imam yang terdahulu lagi, ‘Abdurrahman bin Mahdi rahimahullâh, ulama abad ke-2 termasuk sezaman dengan Ibnul Mubarak rahimahullâh. Beliau ini adalah imam yang paling besar waktu itu dan dikenal dalam riwayat hadits mempunyai ribuan guru, beliau membuat kesimpulan:
أدركت الناس وهم على الجملة يعني لا يتكلمون لا يخصمون
“Saya dapatkan manusia (para ulama) tidak berbicara dan tidak berdebat.”
Itu kebanyakannya yang ia dapatkan seperti itu. Jadi, asalnya memang itu adalah perkara yang tercela sebab bisa membahayakan.

Debat yang Diperbolehkan:

Tetapi kalau ada maslahat syar’iyahnya, maka kadang boleh bahkan kadang menjadi wajib. Karena itulah ‘Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas berdebat dengan orang-orang Khawarij sehingga waktu itu Ibnu ‘Abbas dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad mendebat orang-orang Khawarij dan ruju’ orang-orang Khawarij itu kepada kebenaran sebanyak sekitar 2000 orang. Yang seperti ini ada maslahatnya, dan orang yang berdebat ini adalah Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhu.
Kemudian lihat juga tentang munazharah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Khalifah Ash Shalih yang berdebat dengan Ghailan Al Qadari. Dikalahkan Ghailan ini sehingga tidak berbicara lagi di zaman beliau hidup, menyatakan dirinya tobat. Tetapi setelah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz meninggal, kembali lagi berulah. Demikian sifatnya ahlul bid’ah sebagaimana yang akan saya terangkan insya Allah.
Kemudian Imam Al Auza’i rahimahullâh bermunazharah dengan orang Qadariyah. Imam Asy Syafi’i rahimahullâh munazharah dengan Hafs Al Qorni dan di akhirnya Imam Asy Syafi’i berkata, “Kamu wahai Hafs hukumnya kafir, keluar kamu wahai kafir.” Sebab, orang ini sudah mempunyai bid’ah yang mengkafirkan sehingga ia keluar dari Islam. Inilah Imam Asy Syafi’i yang tegas, tidak main-main dalam masalah agama. Justru akan salah apabila melihat kemungkaran di depannya, masih harus senyum-senyum kemudian muka manis, bermesraan, ini adalah perkara yang jauh dari tuntunan Islam.
Demikianlah hukum munazharah yang kami pahami dari buku-buku para ulama, silakan dibaca. Dan saya mengetahui, mereka itu sering kadang mengambil rujukan Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwa, maka bacalah kitab itu di jilid 2 akan disebutkan hukumnya. Dan kalau ingin tambahan, baca kitab Adabul Bahts wal Munazharah karya Imam Asy Syinqithi dan juga baca kitab Ar Radd ‘alal Mukhalif karya Syaikh Bakr bin ‘Abdullah Abu Zaid, dan juga baca kitab Istikhrajul Jidal Min Al Qur’an oleh Imam Ibnu Rajab dalam Majmu’ Ar Rasa’il Al Muniriyah di jilid 1 risalah yang ke-3. Bacalah buku-buku itu barangkali bisa mendapat faidah sehingga jangan menuduh orang sembarangan.

Alasan Kami Tidak Menghadiri Undangan Munazharah Wahdah Islamiyah:

Alasan mengapa diundang munazharah WI tidak mau hadir, harus kita jawab sebab ini terus yang didengungkan di sana-sini. Mereka menghembuskan syubuhât, “Seharusnya munazharah dulu, dinasihati dulu baru bicara.” (Proses tahdzir, apakah dinasihati dulu baru ditahdzir, atau tahdzir dulu baru dinasihati, ini muqaddimah terakhir).
Khusus ini, mengapa kita tidak hadir? Ini bukan karena takut, atau karena tidak bisa mengalahkan argumen Wahdah Islamiyah. Bahkan mereka mengetahui, kalau masalah argumen mereka mengakui bahwa sebagian ustadz di kalangan kami itu lebih bagus daripada mereka dalam ilmu hadits. Tetapi kalau pun mereka tidak mengakuinya, fakta membuktikan bahwa ketika mereka diundang oleh sebuah fakultas perguruan tinggi untuk berdebat dengan orang Syi’ah, pihak Wahdah Islamiyah mengalihkan untuk ke Baji Rupa (nama jalan alamat Ma’had As Sunnah Makassar yang kami asuh) saja, salah seorang ustadznya berbicara seperti itu.
Oleh karena itu, kami perlu jawab dengan tegas mengapa tidak hadir di acara mereka itu, karena:
Alasan Pertama:
Tidak ada faidahnya.
Alasan Kedua:
Kesalahan yang ada pada mereka adalah kesalahan yang sangat besar dan jelas, yang ulama besar di zaman ini telah menyalahkan kesalahan tersebut. Artinya, kalau kita berdebat dengan masalah tersebut maka kita memperdebatkan perkara yang sudah jelas, dan ini terlarang dalam Al Qur’an serta merupakan perdebatan yang sangat tercela. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ.
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah kecuali hanyalah orang-orang yang kafir. Maka janganlah kamu tertipu dengan tingkah laku mereka di dalam negeri.” (QS Ghafir: 4)
Dan juga dalam Sunan At Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam hadits Abu Umamah radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَاضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إلا أُوْتُوا الْجِدَالٌ
“Tidaklah suatu kaum itu tersesat setelah tadinya berada di atas petunjuk kecuali orang-orang yang senang berdebat.”
Dan juga di dalam Shahih Muslim dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhu, bahwa ada dua orang yang bertengkar tentang Al Qur’an tentang bacaan padahal Al Qur’an yang dipertengkarkan sudah jelas. Maka kata Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِإخْتِلاَفِهِمْ بِالْكِتَابِ
“Sesungguhnya yang menyebabkan celakanya orang-orang sebelum kalian hanyalah karena perselisihan mereka di dalam Al Kitab.”
Maka berdebat dalam perkara seperti ini adalah perkara yang tercela, karena itu kita tidak hadir dan tidak berminat untuk menjawabnya.
Alasan Ketiga:
Kita melihat mereka sulit berubah bahkan menentang kebenaran di depan umum.
Hal seperti ini yang dikatakan oleh Imam Malik ketika datang kepada beliau seseorang berkata, “Wahai Imam, saya ingin berdebat dengan kamu.”
Imam Malik bertanya, “Kalau kamu kalahkan saya bagaimana?”
Kata orang ini, “Kamu harus mengikuti saya.”
Kata Imam Malik, “Kalau datang yang lain dan ia mengalahkan kita berdua bagaimana?”
Kata orang ini, “Kita ikuti dia.”
Imam Malik berkata,
أنا على يقين من ديني وأما أنت فشاك إذهب إلى شاك مثلك
“Adapun saya di atas keyakinan agama saya. Adapun kamu, kamu orangnya bimbang, ragu. Pergilah sana bersama orang ragu yang semisal dengan kamu.”
Kemudian kami melihat bahwa mereka ini sulit berubah berdasarkan tahapan mereka dinasihati. Kami telah menasihati mereka semenjak di Madinah.
Nasihat Langsung Pertama:
Waktu itu Allah subhânahu wa ta’âlâ memberikan saya nikmat untuk ibadah haji di tanah suci, maka saya menasihati salah seorang ustadznya, saya menyebutkan semua tentang kesesatan Wahdah Islamiyah yang saya ketahui. Dan waktu itu sebagian mereka tidak mengetahuinya dan sebagian lagi membela. Saya menerangkan dengan dalil-dalil dan argumen mudah-mudahan mereka mau mendengar kembali.
Nasihat Langsung Kedua:
Dan Ustadz Luqman Jamal hafizhahullâh (sekarang pimpinan Ma’had Tanwirus Sunnah, Gowa) pernah menasihati Muhammad Yusran Anshar, Lc (sesama alumni Universitas Islam Madinah) tentang penyimpangan Salman Al ‘Audah, tentang Sururiyah.
Nasihat Langsung Ketiga:
Saya sendiri pernah menasihati Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc. Waktu itu kesempatan tidak sengaja, saya ada keperluan dengan Al Akh Husein itu dan ada Muhammad Ikhwan di dekatnya. Saya berbicara dengan Husein seperti biasanya, kemudian Muhammad Ikhwan merapikan kertasnya seperti mau memperlihatkan.
Maka ditanya oleh Husein, “Itu apa di tangan kamu?”
Katanya, “Ini, fotokopian dari kitab Syaikh kami Ibrahim Ar Ruhaili hafizhahullâh tentang Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Saya fotokopi bab tentang nikah dengan ahlul bid’ah, sebab saya baca di majalah Salafy di situ disebutkan kalau nikah dengan penjudi, penzina dan lain-lainnya, itu lebih ringan daripada nikah dengan ahlul bid’ah Qadariyah, orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluq, Ikhwanul Muslimin, dan Jama’ah Tabligh”.
Dan ini memang ada tertulis di majalah Salafy, dia memperlihatkan buktinya. Saya baca kemudian saya komentari, “Adapun pertama, yang saya ketahui, ini mereka biasanya menukil kalau murid-muridnya yang menulis. Tapi kalau guru-gurunya itu pendapat sendiri, itu manhajnya. Kemudian yang kedua, bahwasanya dalam hal ini dengan tegas saya katakan, seluruh apa yang dikatakan oleh mereka di sini adalah benar kecuali pada Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh. Kalau orang-orang Qadariyah, orang-orang yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluq, mungkin yang dimaksudkan di sini Al Qadariyah Al Ghulah yang dihukumi oleh para ulama seperti Imam Asy Syafi’i dan lain-lainnya kafir keluar dari Islam; atau orang-orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluq telah dikafirkan oleh banyak ulama sebagaimana yang kita akan nukil nanti. Ini contoh, sebab menikah dengan pezina dan pencuri itu lebih ringan daripada menikah dengan orang kafir apalagi punya bid’ah. Tapi kalau Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh ini belum keluar dari Islam dan saya tidak setuju dengan hal ini dan nanti akan saya nasihati insya Allah.” Saya ditanya demikian maka saya menjawabnya.
Nah, dari situ ia membuka pembicaraan, “Lho, katanya Antum akan membantah kami, dan akan membantah jama’ah-jama’ah sesat dan di antaranya jama’ah Yayasan Wahdah Islamiyah?”
Maka saya jawab hal tersebut kemudian saya uraikan kesesatan-kesesatannya Wahdah dari hafalan. Semuanya saya sebutkan dan tidak ada satupun yang ia bantah dan ingkari—dan kesesatan-kesesatannya ini akan saya sebutkan nanti—bahkan di sela-sela pembicaraan saya mendebatnya dan membungkamnya tiga kali.
Bahkan di akhir pembicaraan—wallâhi, wabillâhi, watallâhi (demi Allah)—ia berkata kepada saya, “Terima kasih banyak saya mendapatkan faidah dari Antum.”
Itu di akhir pembicaraan, memang begitu, mengaku mendapat faidah tapi sampai sekarang tetap dengan penyimpangannya. Karena itulah harapan untuk bisa berubah itu dan melayani undangan mereka untuk munazharah, waktu kami terlalu berharga.
Dan bayangkanlah tentang Wahdah Islamiyah ini, kami mempunyai kaset rekaman fatwa dari Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh sudah hampir dua tahun lebih (sejak 23 Ramadhan 1420 H/31 Desember 1999 sampai acara dauroh ini, 5 Rabi’ul Awwal 1423 H/18 Mei 2002, ed), belum kami sebarluaskan karena masih tersibukkan dengan perkara lain. Waktu itu kita sibuk dengan jihad di Maluku, kemudian hari-hari ini sibuk dengan pondok dan pelajaran di sana-sini. Akan tetapi karena semakin besarnya kemungkaran yang berputar di setiap halaqoh: ditanya syubuhât ini, syubuhât itu sampai lelah menjawabnya, membuat kami harus mengeluarkan muhadharah ini yang kita sama-sama duduk di sini dan mudah-mudahan diberkahi oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Nasihat Langsung Keempat:
Dari dulu mereka dengan kami itu berselisih. Kalau dikatakan tentang istilah Salafi, mereka mengolok-ngolok. Ada sebagian dari mereka mengatakan, “Salafi itu salah filih.”
Ada rahasia yang perlu diketahui bahwa yang pertama kali membawa Syi’ah ke Makassar ini adalah orang-orang Wahdah Islamiyah. Silahkan tanya kepada mereka siapa itu Mukhtar Adam? Ini coba diingkari oleh Muhammad Ikhwan. Saya tanya kembali, “Kamu ingat, tidak?”
Katanya Muhammad Ikhwan, “Oh, itu dulu ya akhi, dulu.”
Saya ingatkan lagi tentang Jama’ah Arqam, Shufiyah ekstrem di Malaysia, bahwa yang membawa mereka ke sini adalah Wahdah, mungkin orang-orang lamanya tahu ini. Maka, dulu kami mengingkari hal ini dan sudah tahu setelah itu nampak belakangan bahwa mereka juga membantah Syi’ah, seharusnya mereka berpikir bahwa saudaranya ini mau menasihati dan ternyata mereka benar, seharusnya berpikir begitu. Tetapi sekarang WI tetap gencar dan mentahdzir sana-sini dan membuat kabur dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Oleh karena itu, kami melihat munazharah dan debat ilmiah itu tidak terlalu berguna. Yang lebih berguna cara seperti ini: kami mengadakan ceramah ilmiah, dan silahkan kalau ingin membantah dengan bantahan ilmiah. Bukankah mereka mengklaim sebagai orang-orang yang punya ilmu, berada di atas Al Qur’an dan As Sunnah? Maka sekarang kita bantah dengan ilmu, berbicara dengan argumen, wallâahul musta’ân. Saya kira ini beberapa udzur-udzur mengapa kita tidak hadir, dan insyâ Allâh saya kira ini mencukupi untuk hal ini.

1 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.