:
Alasan mengapa diundang munazharah WI tidak mau hadir, harus kita jawab sebab ini terus yang didengungkan di sana-sini. Mereka menghembuskan syubuhât, “Seharusnya munazharah dulu, dinasihati dulu baru bicara.” (Proses tahdzir, apakah dinasihati dulu baru ditahdzir, atau tahdzir dulu baru dinasihati, ini muqaddimah terakhir).
Khusus ini, mengapa kita tidak hadir? Ini
bukan karena takut, atau karena tidak bisa mengalahkan argumen Wahdah
Islamiyah. Bahkan mereka mengetahui, kalau masalah argumen mereka
mengakui bahwa sebagian ustadz di kalangan kami itu lebih bagus daripada
mereka dalam ilmu hadits. Tetapi kalau pun mereka tidak mengakuinya,
fakta membuktikan bahwa ketika mereka diundang oleh sebuah fakultas
perguruan tinggi untuk berdebat dengan orang Syi’ah, pihak Wahdah
Islamiyah mengalihkan untuk ke Baji Rupa (nama jalan alamat Ma’had As
Sunnah Makassar yang kami asuh) saja, salah seorang ustadznya berbicara
seperti itu.
Oleh karena itu, kami perlu jawab dengan tegas mengapa tidak hadir di acara mereka itu, karena:
Alasan Pertama:
Tidak ada faidahnya.
Alasan Kedua:
Kesalahan yang ada pada mereka adalah
kesalahan yang sangat besar dan jelas, yang ulama besar di zaman ini
telah menyalahkan kesalahan tersebut. Artinya, kalau kita berdebat
dengan masalah tersebut maka kita memperdebatkan perkara yang sudah
jelas, dan ini terlarang dalam Al Qur’an serta merupakan perdebatan yang
sangat tercela. Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman:
مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلاَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلاَدِ.
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang
ayat-ayat Allah kecuali hanyalah orang-orang yang kafir. Maka janganlah
kamu tertipu dengan tingkah laku mereka di dalam negeri.” (QS Ghafir: 4)
Dan juga dalam Sunan At Tirmidzi dan Ibnu Majah dalam hadits Abu Umamah radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَاضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إلا أُوْتُوا الْجِدَالٌ
“Tidaklah suatu kaum itu tersesat setelah tadinya berada di atas petunjuk kecuali orang-orang yang senang berdebat.”
Dan juga di dalam Shahih Muslim dari hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallâhu ‘anhu,
bahwa ada dua orang yang bertengkar tentang Al Qur’an tentang bacaan
padahal Al Qur’an yang dipertengkarkan sudah jelas. Maka kata Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِإخْتِلاَفِهِمْ بِالْكِتَابِ
“Sesungguhnya yang menyebabkan celakanya orang-orang sebelum kalian hanyalah karena perselisihan mereka di dalam Al Kitab.”
Maka berdebat dalam perkara seperti ini
adalah perkara yang tercela, karena itu kita tidak hadir dan tidak
berminat untuk menjawabnya.
Alasan Ketiga:
Kita melihat mereka sulit berubah bahkan menentang kebenaran di depan umum.
Hal seperti ini yang dikatakan oleh Imam
Malik ketika datang kepada beliau seseorang berkata, “Wahai Imam, saya
ingin berdebat dengan kamu.”
Imam Malik bertanya, “Kalau kamu kalahkan saya bagaimana?”
Kata orang ini, “Kamu harus mengikuti saya.”
Kata Imam Malik, “Kalau datang yang lain dan ia mengalahkan kita berdua bagaimana?”
Kata orang ini, “Kita ikuti dia.”
Imam Malik berkata,
أنا على يقين من ديني وأما أنت فشاك إذهب إلى شاك مثلك
“Adapun saya di atas keyakinan agama
saya. Adapun kamu, kamu orangnya bimbang, ragu. Pergilah sana bersama
orang ragu yang semisal dengan kamu.”
Kemudian kami melihat bahwa mereka ini
sulit berubah berdasarkan tahapan mereka dinasihati. Kami telah
menasihati mereka semenjak di Madinah.
Nasihat Langsung Pertama:
Waktu itu Allah subhânahu wa ta’âlâ
memberikan saya nikmat untuk ibadah haji di tanah suci, maka saya
menasihati salah seorang ustadznya, saya menyebutkan semua tentang
kesesatan Wahdah Islamiyah yang saya ketahui. Dan waktu itu sebagian
mereka tidak mengetahuinya dan sebagian lagi membela. Saya menerangkan
dengan dalil-dalil dan argumen mudah-mudahan mereka mau mendengar
kembali.
Nasihat Langsung Kedua:
Dan Ustadz Luqman Jamal hafizhahullâh
(sekarang pimpinan Ma’had Tanwirus Sunnah, Gowa) pernah menasihati
Muhammad Yusran Anshar, Lc (sesama alumni Universitas Islam Madinah)
tentang penyimpangan Salman Al ‘Audah, tentang Sururiyah.
Nasihat Langsung Ketiga:
Saya sendiri pernah menasihati Muhammad
Ikhwan Abdul Jalil, Lc. Waktu itu kesempatan tidak sengaja, saya ada
keperluan dengan Al Akh Husein itu dan ada Muhammad Ikhwan di dekatnya.
Saya berbicara dengan Husein seperti biasanya, kemudian Muhammad Ikhwan
merapikan kertasnya seperti mau memperlihatkan.
Maka ditanya oleh Husein, “Itu apa di tangan kamu?”
Katanya, “Ini, fotokopian dari kitab Syaikh kami Ibrahim Ar Ruhaili hafizhahullâh tentang Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Saya fotokopi bab tentang nikah dengan ahlul bid’ah, sebab saya baca di majalah Salafy
di situ disebutkan kalau nikah dengan penjudi, penzina dan
lain-lainnya, itu lebih ringan daripada nikah dengan ahlul bid’ah
Qadariyah, orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluq, Ikhwanul
Muslimin, dan Jama’ah Tabligh”.
Dan ini memang ada tertulis di majalah Salafy,
dia memperlihatkan buktinya. Saya baca kemudian saya komentari, “Adapun
pertama, yang saya ketahui, ini mereka biasanya menukil kalau
murid-muridnya yang menulis. Tapi kalau guru-gurunya itu pendapat
sendiri, itu manhajnya. Kemudian yang kedua, bahwasanya dalam hal ini
dengan tegas saya katakan, seluruh apa yang dikatakan oleh mereka di
sini adalah benar kecuali pada Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh.
Kalau orang-orang Qadariyah, orang-orang yang mengatakan Al Qur’an
adalah makhluq, mungkin yang dimaksudkan di sini Al Qadariyah Al Ghulah
yang dihukumi oleh para ulama seperti Imam Asy Syafi’i dan lain-lainnya
kafir keluar dari Islam; atau orang-orang yang mengatakan Al Qur’an itu
makhluq telah dikafirkan oleh banyak ulama sebagaimana yang kita akan
nukil nanti. Ini contoh, sebab menikah dengan pezina dan pencuri itu
lebih ringan daripada menikah dengan orang kafir apalagi punya bid’ah.
Tapi kalau Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh ini belum keluar dari
Islam dan saya tidak setuju dengan hal ini dan nanti akan saya nasihati insya Allah.” Saya ditanya demikian maka saya menjawabnya.
Nah, dari situ ia membuka pembicaraan,
“Lho, katanya Antum akan membantah kami, dan akan membantah
jama’ah-jama’ah sesat dan di antaranya jama’ah Yayasan Wahdah
Islamiyah?”
Maka saya jawab hal tersebut kemudian
saya uraikan kesesatan-kesesatannya Wahdah dari hafalan. Semuanya saya
sebutkan dan tidak ada satupun yang ia bantah dan ingkari—dan
kesesatan-kesesatannya ini akan saya sebutkan nanti—bahkan di sela-sela
pembicaraan saya mendebatnya dan membungkamnya tiga kali.
Bahkan di akhir pembicaraan—wallâhi, wabillâhi, watallâhi (demi Allah)—ia berkata kepada saya, “Terima kasih banyak saya mendapatkan faidah dari Antum.”
Itu di akhir pembicaraan, memang begitu,
mengaku mendapat faidah tapi sampai sekarang tetap dengan
penyimpangannya. Karena itulah harapan untuk bisa berubah itu dan
melayani undangan mereka untuk munazharah, waktu kami terlalu berharga.
Dan bayangkanlah tentang Wahdah Islamiyah ini, kami mempunyai kaset rekaman fatwa dari Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh
sudah hampir dua tahun lebih (sejak 23 Ramadhan 1420 H/31 Desember 1999
sampai acara dauroh ini, 5 Rabi’ul Awwal 1423 H/18 Mei 2002, ed),
belum kami sebarluaskan karena masih tersibukkan dengan perkara lain.
Waktu itu kita sibuk dengan jihad di Maluku, kemudian hari-hari ini
sibuk dengan pondok dan pelajaran di sana-sini. Akan tetapi karena
semakin besarnya kemungkaran yang berputar di setiap halaqoh: ditanya syubuhât ini, syubuhât itu sampai lelah menjawabnya, membuat kami harus mengeluarkan muhadharah ini yang kita sama-sama duduk di sini dan mudah-mudahan diberkahi oleh Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Nasihat Langsung Keempat:
Dari dulu mereka dengan kami itu
berselisih. Kalau dikatakan tentang istilah Salafi, mereka
mengolok-ngolok. Ada sebagian dari mereka mengatakan, “Salafi itu salah filih.”
Ada rahasia yang perlu diketahui bahwa
yang pertama kali membawa Syi’ah ke Makassar ini adalah orang-orang
Wahdah Islamiyah. Silahkan tanya kepada mereka siapa itu Mukhtar Adam?
Ini coba diingkari oleh Muhammad Ikhwan. Saya tanya kembali, “Kamu
ingat, tidak?”
Katanya Muhammad Ikhwan, “Oh, itu dulu ya akhi, dulu.”
Saya ingatkan lagi tentang Jama’ah Arqam, Shufiyah
ekstrem di Malaysia, bahwa yang membawa mereka ke sini adalah Wahdah,
mungkin orang-orang lamanya tahu ini. Maka, dulu kami mengingkari hal
ini dan sudah tahu setelah itu nampak belakangan bahwa mereka juga
membantah Syi’ah, seharusnya mereka berpikir bahwa saudaranya ini mau
menasihati dan ternyata mereka benar, seharusnya berpikir begitu. Tetapi
sekarang WI tetap gencar dan mentahdzir sana-sini dan membuat kabur dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Oleh karena itu, kami melihat munazharah
dan debat ilmiah itu tidak terlalu berguna. Yang lebih berguna cara
seperti ini: kami mengadakan ceramah ilmiah, dan silahkan kalau ingin
membantah dengan bantahan ilmiah. Bukankah mereka mengklaim sebagai
orang-orang yang punya ilmu, berada di atas Al Qur’an dan As Sunnah?
Maka sekarang kita bantah dengan ilmu, berbicara dengan argumen, wallâahul musta’ân. Saya kira ini beberapa udzur-udzur mengapa kita tidak hadir, dan insyâ Allâh saya kira ini mencukupi untuk hal ini.
Apakah Wajib Menasihati Langsung Dulu Sebelum Membantah?
Kemudian pendahuluan yang terakhir dan
pendahuluan ini saya akan bentuk dalam bentuk pertanyaan: apakah wajib
menasihati dahulu sebelum membantah?
Sebab, pihak Wahdah Islamiyah sering berkata, “Masa’ kita tidak dinasihati dulu, diundang munazharah tidak mau.” Wahdah Islamiyah menggambarkan seakan-akan mereka tidak dinasihati terlebih dulu.
Maka, kami menjelaskan bagaimana prinsip Ahlussunnah dalam hal ini.
Pertama, bahwasanya menjelaskan kesalahan dan menjelaskan perkara yang sesat dan seterusnya ini adalah nasihat, asalnya.
Kedua, bahwasanya mereka ini telah dinasihati.
Ketiga, bukan dari
manhaj Islam mengharuskan menasihati langsung dulu sebelum membantah.
Ada dalil-dalil dari Al Qur’an yang menunjukkan kalau perkara itu sudah
jelas, maka langsung saja membantah di depan umum. Atau kita melihat
sepertinya seseorang yang menyimpang ini tidak akan kembali atau umat
akan berbahaya, maka langsung saja menerangkannya di depan umum.
Contohnya firman Allah subhânahu wa ta’âlâ tentang Nabi Musa ‘alaihis salâm.
Ketika Nabi Musa dimintai tolong oleh seseorang (yang sedang berkelahi)
dari kaumnya maka ditinjulah lawannya itu sampai mati, maka disebutkan
dalam Al Qur’an dalam surah Al Qashshash:
فَأَصْبَحَ فِي الْمَدِينَةِ خَائِفًا
يَتَرَقَّبُ فَإِذَا الَّذِي اسْتَنصَرَهُ بِاْلأَمْسِ َسْتَصْرِخُهُ قَالَ
لَه مُوسَى إِنَّكَ لَغَوِيٌّ مُّبِينٌ
“Karena itu, jadilah Musa di kota itu
merasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya), Maka
tiba-tiba orang yang meminta pertolongan kemarin berteriak meminta
pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya kamu
benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya).’” (QS Al Qashshas: 18)
Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salâm yang tidak memakai nasihat terlebih dulu, langsung berkata, “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata.”
Dan lihat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu
ketika datang kepada beliau Yahya bin Ya’mur dan Humaid bin
‘Abdirrahman Al Himyari mengadukan kepada beliau tentang Ma’bad Al
Juhani, seorang tokoh aAhlul bid’ah sesat yang melahirkan pemikiran
bid’ahnya di Bashrah. Bid’ahnya itu berbunyi, “Allah itu tidak
mengetahui sesuatu kecuali setelah terjadinya.” Dan orang yang membuat
pemikiran ini telah kafir karena meniadakan ilmunya Allah.
Apa kata Ibnu ‘Umar mendengar hal
tersebut? Apakah beliau katakan kepada dua orang ini yang bertanya,
“Kamu nasihati dulu ya, kamu bilang begini kepadanya.”
Tidak! Bahkan dengan suara tegas Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu berkata,
إِذَا لَقِيْتَ أُلَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ
أَنِّي بَرِيْءُ مِنْهُمْ وَإِنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِيّ فَوَ الَّذِيْ
يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لأَحَدِهِمْ مِثْلَ
أُحُدٌ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ
بِالْقَدَرِ.
“Kalau kamu berjumpa dengan mereka, maka
kamu katakan kepada mereka bahwasanya saya berlepas diri dari mereka dan
sesungguhnya mereka berlepas diri dari saya. Maka demi Yang ‘Abdullah
bin ‘Umar bersumpah dengannya, seandainya seseorang di antara mereka
memiliki satu bukit Uhud emas lalu ia menginfaqkannya, niscaya Allah
tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada taqdir.” (HR Muslim)
Adakah nasihat sebelumnya? Tidak ada!
Kemudian, datang kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam suatu kabar bahwa Abu Sanabil memberi fatwa tentang masalah pernikahan (dan salah), Nabi langsung berkata,
كَذَبَ أَبُوْ سَنَابِل
“Abu Sanabil telah berdusta.”
‘Kadzdzab‘ dalam istilah bahasa Hijaz bisa bermakna ‘salah’. Lihat, apakah dinasihati dulu sahabat Abu Sanabil radhiyallâhu ‘anhu,
misalnya, “Ya Abu Sanabil, salah kamu itu, ruju’lah kamu.” Tidak,
tetapi Nabi langsung menyalahkan, sebab ini bahayanya telah tersebar dan
harus diluruskan, orang-orang di depannya ini harus dinasihati.
Inilah kaidah, kalau suatu kesalahan
telah tersebar di depan umum, maka ini juga harus dijelaskan di depan
umum. Sebagaimana WI mengadakan Tabligh Akbar, halaqoh-halaqoh, dalam
pelajaran-pelajarannya dan selebaran sana-sini, maka bantahannya juga
harus disebarkan di depan umum supaya umat mendapatkan nasihat. Sebab,
yang dinasihati bukan orang-orang WI saja, tetapi untuk seluruh umat
yang telah membaca dan melihat perbuatan mereka.
Demikian pendahuluan untuk melangkah dan
menguraikan tentang kesesatan Yayasan/Organisasi/Jama’ah Wahdah
Islamiyah yang dulunya dikenal dengan nama Fathul Mu’in,
nama lamanya yang penuh dengan lembaran hitam (pada tanggal 1 Shafar
1423 H/14 April 2002 berubah status menjadi organisasi
kemasyarakatan/ormas, ed)
0 komentar:
Posting Komentar