Pertanyaan:
Tolong disebutkan nama-nama ustadz yang menyimpang yang ada di Yayasan Wahdah Islamiyah?
Jawaban:
Kita tidak mementingkan menyebutkan nama orang. Yang kami sebutkan tadi adalah manhajnya mubtadi’
dan kesesatannya. Siapa yang menganut hal-hal ini di antara
ustadz-ustadz mereka maka hukum ini yang berlaku padanya. Itu tadi hukum
umum, Sedangkan hukum umum ini tidak kami berlakukan kepada setiap
orang kecuali kepada Muhammad Zaitun Rasmin, Lc saja yang telah
dikomentari oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh.
Adapun Muhammad Yusran Anshar, Lc dan lain-lainnya itu kita punya
komentar, dan pembicaraannya sangat berbahaya sekali, hanya saja kita
dalam hal ini tidak mengomentari setiap orang. Kita hanya memberikan
hukum umum saja dan kami tidak mau menyebutkan di sini orang per orang
bahwa si fulan begini, si fulan begini. Sebagai nasihat atas mereka,
mudah-mudahan yang tidak tahu masalah bisa kembali karena memang ada
beberapa ustadz-ustadz mereka yang memang hanya sekedar ikut-kutan
saja—tidak tahu masalah, tapi ikut membantah dan mencerca juga.
2. Apakah Demonstrasi Hanya Termasuk Tasyabbuh saja?
Pertanyaan:
Mengapa demonstrasi dimasukkan ke dalam
kategori bid’ah padahal ia tidak disandarkan kepada agama bukankan ia
hanya masuk ke dalam kategori tasyabbuh?
Jawaban:
Masalah tasyabbuh bukan masalah agama?! Wallâhul musta’ân. Tasyabbuh itu bagian dari agama. Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum itu.” (HR Abu Dawud no. 3012, dihasankan Syaikh Al Albani rahimahullâh dalam Hijabul Mar’ah hlm. 104 dan Al Irwa no. 1269)
Jadi ini masalah agama, sesuatu hal yang dijadikan wasilah dalam masalah agama, ini yang pertama.
Yang kedua, demonstrasi ini menyangkut
masalah kaum muslimin sedangkan masalah umum kaum muslimin ini adalah
pembahasan agama yang tidak boleh diberikan kepada yang lain. Dalam
agama itu dibahas segala sesuatu.
3. Jangan Membesar-besarkan Masalah Tauhid Hâkimiyah!
Pertanyaan:
Ustadz menjelaskan bahwa Wahdah Islamiyah membenarkan Tauhid Hâkimiyah. Wallâhi, saya pernah mendengar langsung dari salah seorang ustadznya bahwa Tauhid Hâkimiyah bukan termasuk dari pembagian tauhid, akan tetapi masuk ke dalam Tauhid Rububiyah atau Tauhid Ulûhiyah. Jadi, untuk poin ini sebaiknya kita tidak membesar-besarkannya!
Jawaban:
Ini di kaset. Nukilan ini dari kaset. Sekali lagi, dari kaset. Kalaupun ada dari sebagian ustadznya [yang mengingkari Tauhid Hâkimiyah, ed] itu satu saja [minoritas, ed].
Itulah tadi yang saya katakan, ini hukum umum terhadap yayasannya,
adapun orang per orang belum tentu. Saya tidak menghukumi orang per
orang kecuali Muhammad Zaitun Rasmin, Lc tadi yang dihukumi langsung
oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh.
4. Jawaban Ulama tentang Muwâzanah bahwa “Tidak wajib untuk Menyebutkan Kebaikan” Bukankah Menunjukkan Bolehnya?
Pertanyaan:
Tatkala para ulama ditanya tentang masalah muwâzanah mereka menjawab, “Tidak wajib untuk menyebutkan kebaikan.” Bukankah ini menunjukkan bolehnya menyebutkan kebaikannya?
Jawaban:
Ini adalah makar yang lain. Pertama, kalimat yang menunjukkan bolehnya ini, jangan dipalingkan dari maksud jarh dan ta’dil. Kalimat ini yang menunjukkan bolehnya dan kalimat-kalimat yang lainnya ini hanya untuk menghias-hiasi saja. Asalnya muwâzanah itu tidak dikenal, bid’ah, kalimat muhdatsah. Maka tidak perlu dibela dengan pembelaan seperti ini.
Kemudian yang kedua, Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullâh itu menafikan secara wajibnya dan secara sunnahnya, dan juga Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh dalam kitab beliau tentang Al Muwâzanah ini.
5. Apakah Kesesatan yang Disebutkan di Sini Menunjukkan bahwa Wahdah Islamiyah tidak Sampai ke Tingkatan Ahlul Bid’ah?
Pertanyaan:
Apakah kata-kata kesesatan yang disebutkan di sini menunjukkan bahwa Wahdah Islamiyah tidak sampai ke tingkatan ahlul bid’ah?
Jawaban:
Fatwa Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh sudah cukup, mereka adalah jamâ’ah hizbiyah
quthbiyyah sururiyyah berlawanan dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah dan
manhaj mereka bertentangan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah.”
Ini sudah cukup dan secara umum manhaj yang seperti ini sudah
digolongkan keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dihukumi
sebagai ahlul bid’ah.
6. Apakah A’idh Al Qarni itu adalah Ulama Ahlus Sunnah?
Pertanyaan:
Apakah Syaikh A’idh Al Qarni itu adalah ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah?
Jawaban:
Ia termasuk dari orang-orang yang semisal
dengan Salman Al ‘Audah dan Safar Al Hawali dan yang semisal dengan
mereka. Ia yang mengatakan dalam bait syi’irnya, mengatakan kepada para
ulama,
“Sholat dan puasalah sekehendakmu,
Agama tidak mengenal “Abid” hanya dengan sekedar sholat dan puasa.
Engkau hanyalah ahli ibadah dari kalangan pendeta,
Bukan dari umat Muhammad, cukuplah ini sebagai celaan.”
Para ulama dikatakan seperti itu dalam beberapa bait syi’ir yang sangat mengerikan.
Ia juga berkata, “Ketahuilah bahwa orang
yang mewajibkan untuk mengatakan si fulan Salafi, si fulan Ikhwani, ini
harus diminta taubat, kalau tidak dipenggal lehernya.”
Ucapan A’idh Al Qarni ini ditanyakan
kepada Syaikh Al Albani, beliau menjawab, “Saya tidak menyangka ada
orang yang mengucapkan seperti ini.”
Dikatakan kepada beliau, “Ya Syaikh, ini ia ucapkan di kaset.”
Kata beliau, “Tidak, saya tidak menyangka ada orang yang mengucapkan seperti ini kecuali orang yang jahil.”
Catatan:
Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi (Mufti Saudi Arabia Bagian Selatan) rahimahullâh ditanya, “Benarkah A’idh Al Qarni telah bertaubat dan ruju’ dari kesalahan-kesalahannya?
Syaikh menjawab, “Ia mengatakan demikian akan tetapi taubat yang sesungguhnya dalam bentuk perbuatan, kami belum melihatnya.”
Sumber: Majalah An Nashihah volume 11 Tahun 1/1427 H/2006 M hakaman 6 [ed]
0 komentar:
Posting Komentar