13. Benarkah Kesalahan Wahdah Islamiyah bukanlah dalam Perkara Manhaj Namun Hanya Sekadar Uslub Dakwah?
Pertanyaan:
Ada yang mengatakan bahwa kesalahan yang
dikritik kepada Wahdah Islamiyah bukanlah dalam perkara manhaj akan
tetapi hanya sekadar uslub dakwah. Benarkah demikian?
Jawaban:
Ini termasuk dari talbis dan syubuhât. Tidak ada kesalahan uslub seperti ini. Masalahnya masalah besar yang para ulama sepakat di dalamnya. Bagaimana mungkin dikatakan masalah uslub? Wallâhul musta’ân. Dan saya kira ini sangat jelas jawabannya.
14. Bagaimana tentang Pembuatan Lambang Organisasi Wahdah Islamiyah?
Pertanyaan:
Bagaimana pendapat Ustadz tentang pembuatan lambang-lambang organisasi Wahdah Islamiyah?
Jawaban:
Itulah salah satu bentuk yang kita
katakan bahwa [dakwah] yang ditampilkan itu yayasannya. Sedangkan kita
menjadikan pendirian yayasan itu hanya sebagai formalitas saja di mana
pemerintah akan menganggap aliran yang liar kalau tidak bernaung di
bawah yayasan.
Saya sendiri—yayasan yang ada di Jalan
Baji Rupa namanya Yayasan Markaz An Nasyath Al Islamy yang mereka sering
sebut dengan nama Yayasan MANIS—yang saya tahu ketua
yayasannya saja. Adapun wakilnya, bendaharanya itu saya tidak tahu,
sebab saya memang tidak terlalu peduli terhadap yang demkian. Adanya
yayasan hanya sekadar formalitas saja dan bukan itu dakwah yang kami
tampakkan, walhamdulillâh.
Yang kita tampakkan adalah dakwah Ahlus
Sunnah, semua orang mengenal kita dengan nama dakwah Salafiyah dan ini
nikmat dari Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Adapun mereka membanggakan kelompok/organisasi, lambang, dan
lain-lainnya maka ini termasuk dari bentuk-bentuk yang menjurus kepada hizbiyyah.
15. Nasihat Terhadap Orang-orang Wahdah Islamiyah yang Tidak Bersedia Melepaskan Diri dari Yayasannya
Pertanyaan:
Bagaimana nasihat Ustadz terhadap
orang-orang dari Wahdah Islamiyah yang tidak bersedia melepaskan diri
dari yayasannya dan masih menyebarkan pengaruh kepada orang-orang yang
masih kurang ilmunya?
Jawaban:
Yang saya nasihatkan bahwasanya hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ dan hendaknya kebenaran itu yang menjadi dambaan dan yang dicari oleh setiap muslim. Jangan mementingkan fanatisme, ta’ashshub kepada orang-orang yang seperti itu.
Sungguh kesalahan-kesalahan mereka adalah
kesalahan yang besar dalam pokok manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Karena itulah wajar kalau dihukumi oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al
Madkhali hafizhahullâh bahwa mereka itu keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Imam Asy Syathibi rahimahullâh menyebutkan dalam kitab Al I’tisham bahwa seseorang itu keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan dua perkara:
1. Kalau ia menyelisihi pokok dari
pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sedangkan Wahdah Islamiyah ini
bukan hanya menyelisihi satu pokok tetapi delapan pokok, itu pun masih
ada yang lain yang belum kita terangkan. Karena itulah wajar kalau
dihukumi keluar dari Ahlus Sunnah.
2. Ia tenggelam dalam bid’ah-bid’ah yang
merupakan cabang, namun terlalu banyak ia melakukan bid’ah-bid’ah cabang
itu, maka mereka juga dihukumi keluar dari Ahlus Sunnah. Misalnya ia
melakukan bid’ah yang sangat banyak: maulid, isra’ mi’raj digabung
bid’ah-bid’ah yang kecil bukan yang besar, maka kalau ia tenggelam di
dalamnya ia juga dihukumi keluar dari Ahlus Sunnah.
Maka tidak pantas membela yang seperti
ini apalagi menyebarkan pengaruh kepada orang-orang yang kurang ilmunya
supaya ikut kepada Wahdah Islamiyah. Ini—wal iyadzu billâh—menelantarkan
dan menyesatkan orang dan ia akan menanggung dosanya kelak di kemudian
hari, harus ia pertanggungjwabkan di hadapan Allah subhânahu wa ta’âlâ. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Dan barangsiapa yang mengajak kepada
kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang yang
mengikuti ajakannya, tidak dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa asli
mereka.” (HR Muslim no. 6745).
Dan juga dalam hadits Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً
حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا وَأجْرُمَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ
فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وزْرُهَا وَوزْرُ مَنْ
عَمِلَ يهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang mencontohkan sunnah yang baik
maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya
dan siapa yang mencontohkan sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan
dosa orang yang melakukannya setelahnya.” (HR Muslim dalam Shahih-nya no. 1017)
Dan juga masuk dalam larangan Allah subhânahu wa ta’âlâ,
وَلا تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS Al Mâ-idah: 2)
Maka haram melakukan yang seperti ini dan hendaknya bertaqwa kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. Mereka ini adalah kaum yang penuh dengan bid’ah bergelimang dengan nista penyimpangan terhadap dakwah Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam, yang tidak pantas untuk dibela seperti ini. Hendaknya mereka itu dinasihati supaya rujuk dan bertaubat kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ dari kesesatan-kesesatan tersebut.
16. Bagaimana Cara Menghukumi Orang-orang yang Berada di Wahdah Islamiyah?
Pertanyaan:
Bagaimana cara menghukumi orang-orang yang berada di Wahdah Islamiyah?
Jawaban:
Kita telah jelaskan bahwa manhaj Ahlus
Sunnah dalam pemberlakuan hukum umum itu tidak sama dengan hukum
terhadap orang per orang. Misalnya para ulama mengatakan bahwa Jama’ah
Tabligh itu sesat, namun orang-orang yang ikut di dalamnya belum tentu
sesat.
Tetapi perlu diingat tentang
ustadz-ustadz Wahdah Islamiyah yang masih berada di sana yang mereka ini
mempunyai ilmu, kalau mereka diam melihat kesesatan-kesesatan ini, maka
hukumnya sama dengan hukum orang yang melakukannya. Hal ini karena
berarti ia mengikrar atau paling tidak ia diam melihat kemungkaran.
Orang seperti ini dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah sebagai
“syaithan yang bisu” dan termasuk dalam golongan ahlul bid’ah yang
harusnya dijauhi.
17. Benarkah Salafi Terlalu Keras dan Membuat Umat Lari?
Pertanyaan:
Kader-kader dan pengurus Wahdah Islamiyah
mengatakan bahwa Salafi terlalu keras sehingga dapat membuat umat lari.
Benarkah hal tersebut? Bagaimana seharusnya supaya umat mau menerima
dakwah terutama orang awam?
Jawaban:
Pertama:
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka adalah
orang yang paling tahu meletakkan kapan saatnya tegas dan kapan saatnya
berlemah lembut. Asalnya dalam dakwah adalah dengan lemah lembut, Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman,
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An Nahl: 125)
Dan juga Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman kepada Nabi-Nya,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari kamu.” (QS Âli ‘Imrân: 159)
Dan dalam hadits ‘A’isyah radhiyallâhu ‘anhau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut itu
berada pada sesuatu apapun kecuali akan menghiasinya dan tidaklah
dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.”
Ini asalnya dalam dakwah. Tetapi kadang seseorang itu harus diberi pelajaran dengan sifat yang tegas sebagaimana Nabi shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam
ketika melihat para sahabat berwudhu’ dan mereka tidak mencuci
kaki-kaki mereka, beliau berteriak dengan suara yang tinggi dan keras,
kata beliau,
وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ ثَلاَثَ مَرَّات
“Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka,” beliau ucapkan tiga kali.
Maka asalnya dalam dakwah adalah dengan
lemah-lembut dan kadang jika dibutuhkan bisa bersikap tegas. Tabiat
manusia ada yang tidak bisa mendapat nasihat kecuali dengan lemah-lembut
dan ada yang bisa mendapatkan nasihat kalau ditegasi. Maka ini perlu
pertimbangan yang tepat.
Kedua:
Nasihat kepada orang itu maksudnya dua perkara: pertama,
nasihat bagi diri orang yang dinasihati—misalnya Wahdah Islamiyah kita
nasihati tentang kesalahannya—maka ini adalah nasihat untuk mereka
supaya mengubah dirinya. Kedua, nasihat yang kembali kepada umat. Umat ternasihati agar jangan ikut kepada mereka.
Ketiga:
Yang perlu diperhatikan dalam masalah
dakwah, bahwa memang tidak semua perkara yang kita ketahui itu harus
diucapkan. Ada kalanya dalam posisi fitnah, itu tidak diucapkan.
Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu ketika sedang
terjadi fitnah besar dalam pemerintahan yang banyak membunuhi kaum
muslimin, beliau banyak mengetahui hadits-hadits tentang akan adanya
nanti kemungkaran-kemungkaran yang akan diperbuat oleh para penguasa
tetapi Abu Hurairah tidak menyampaikan hadits-hadits itu. Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu berkata,
حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ
وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُوْمُ
“Saya menghafal dari Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam
dua kantung. Adapun salah satunya saya telah sebarkan dan adapun yang
lainnya kalau saya sebarkan maka akan dipenggal leher saya ini.”
Karena itulah Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu hanya memberikan ibarat-ibarat tersembunyi, misalnya beliau mengatakan bahwa ia berta’awwudz (berlindung) dari pemerintahan anak kecil—dan ini menyinggung pemerintahannya Yazid bin Mu’awiyah—tidak ditashrih oleh Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. Sikap ini ada contohnya dari Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam, dalam hadits ‘A’isyah radhiyallâhu ‘anha
yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, dan Imam Al
Bukhari memberikan judul “Bab Meninggalkan Sebagian Perkara karena Takut
Sebagian Manusia akan Terfitnah” kemudian beliau membawakan sabda
Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam kepada ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha:
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيْثٌ
عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنَ
بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُوْنَ
“Wahai ‘Aisyah andaikata kaummu (penduduk
Makkah) bukan orang yang baru (meninggalkan) kekufuran, niscaya saya
merobohkan Ka’bah kemudian saya akan menjadikannya dua pintu; pintu
tempat manusia masuk dan pintu mereka keluar.”
Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam ingin meruntuhkan Ka’bah kemudian
menjadikannya dua pintu sunnah merupakan sunnah. Tetapi mengapa beliau
tinggalkan? Sebabnya, karena khawatir terjadi fitnah—orang-orang Quraisy
yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah tatkala melihat Nabi
berbuat seperti itu maka akan menyangka bahwa Nabi adalah orang yang
sombong dan ingin menang sendiri saja—akibatnya mungkin saja mereka
banyak yang akan lari keluar dari Islam. Karena itulah ditinggalkan di
zaman Nabi hingga masuk ke zaman ‘Abdullah bin Zubair, baru beliau
menerapkan apa yang diucapkan oleh Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam. Maka, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang paling mengetahui tentang penempatan hikmah dalam dakwah.
Dan memang ahlul bid’ah ini tatkala
dikritik oleh Ahlus Sunnah, dijelaskan kesesatannya dan dinasihati umat
agar jangan sampai terjatuh ke situ, mereka mengatakan bahwa hal ini
membuat lari manusia, terlalu keras, dan seterusnya, karena yang dipakai
adalah perasaan. Karena itulah kadang kita temukan di jama’ah-jama’ah
yang banyak mengikutinya itu adalah akhowat (kalangan
perempuan). Sebabnya memang banyak memakai perasaan. Perhatikan saja
Wahdah Islamiyah, itu yang kebanyakan mengikutinya adalah akhowat sebab banyak memakai perasaan dan manhaj mereka adalah manhaj yang dibangun di atas perasaan, wallâhul musta’ân.
Jadi, itu tadi gambaran singkat tentang
manhaj Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah tegas dan lemah lembut.
Tentunya penerapannya memerlukan hikmah dakwah dan melihat contoh-contoh
para ulama dalam menerapkannya. Semakin mapan ilmu seseorang maka ia
akan semakin mampu menggunakan di dalam dakwah ini. Karena itulah yang
kita sarankan untuk terus-menerus giat dalam menuntut ilmu.
0 komentar:
Posting Komentar