-->

28 Agustus 2012

PENJELASAN ATAS FATWA SYAIKH RABI’ TENTANG WAHDAH ISLAMIYAH

 

 

13. Benarkah Kesalahan Wahdah Islamiyah bukanlah dalam Perkara Manhaj Namun Hanya Sekadar Uslub Dakwah?

Pertanyaan:
Ada yang mengatakan bahwa kesalahan yang dikritik kepada Wahdah Islamiyah bukanlah dalam perkara manhaj akan tetapi hanya sekadar uslub dakwah. Benarkah demikian?
Jawaban:
Ini termasuk dari talbis dan syubuhât. Tidak ada kesalahan uslub seperti ini. Masalahnya masalah besar yang para ulama sepakat di dalamnya. Bagaimana mungkin dikatakan masalah uslub? Wallâhul musta’ân. Dan saya kira ini sangat jelas jawabannya.


14. Bagaimana tentang Pembuatan Lambang Organisasi Wahdah Islamiyah?

Pertanyaan:
Bagaimana pendapat Ustadz tentang pembuatan lambang-lambang organisasi Wahdah Islamiyah?
Jawaban:
Itulah salah satu bentuk yang kita katakan bahwa [dakwah] yang ditampilkan itu yayasannya. Sedangkan kita menjadikan pendirian yayasan itu hanya sebagai formalitas saja di mana pemerintah akan menganggap aliran yang liar kalau tidak bernaung di bawah yayasan.
Saya sendiri—yayasan yang ada di Jalan Baji Rupa namanya Yayasan Markaz An Nasyath Al Islamy yang mereka sering sebut dengan nama Yayasan MANIS—yang saya tahu ketua yayasannya saja. Adapun wakilnya, bendaharanya itu saya tidak tahu, sebab saya memang tidak terlalu peduli terhadap yang demkian. Adanya yayasan hanya sekadar formalitas saja dan bukan itu dakwah yang kami tampakkan, walhamdulillâh.
Yang kita tampakkan adalah dakwah Ahlus Sunnah, semua orang mengenal kita dengan nama dakwah Salafiyah dan ini nikmat dari Allah subhânahu wa ta’âlâ. Adapun mereka membanggakan kelompok/organisasi, lambang, dan lain-lainnya maka ini termasuk dari bentuk-bentuk yang menjurus kepada hizbiyyah.

15. Nasihat Terhadap Orang-orang Wahdah Islamiyah yang Tidak Bersedia Melepaskan Diri dari Yayasannya

Pertanyaan:
Bagaimana nasihat Ustadz terhadap orang-orang dari Wahdah Islamiyah yang tidak bersedia melepaskan diri dari yayasannya dan masih menyebarkan pengaruh kepada orang-orang yang masih kurang ilmunya?
Jawaban:
Yang saya nasihatkan bahwasanya hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ dan hendaknya kebenaran itu yang menjadi dambaan dan yang dicari oleh setiap muslim. Jangan mementingkan fanatisme, ta’ashshub kepada orang-orang yang seperti itu.
Sungguh kesalahan-kesalahan mereka adalah kesalahan yang besar dalam pokok manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena itulah wajar kalau dihukumi oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh bahwa mereka itu keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Imam Asy Syathibi rahimahullâh menyebutkan dalam kitab Al I’tisham bahwa seseorang itu keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan dua perkara:
1. Kalau ia menyelisihi pokok dari pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sedangkan Wahdah Islamiyah ini bukan hanya menyelisihi satu pokok tetapi delapan pokok, itu pun masih ada yang lain yang belum kita terangkan. Karena itulah wajar kalau dihukumi keluar dari Ahlus Sunnah.
2. Ia tenggelam dalam bid’ah-bid’ah yang merupakan cabang, namun terlalu banyak ia melakukan bid’ah-bid’ah cabang itu, maka mereka juga dihukumi keluar dari Ahlus Sunnah. Misalnya ia melakukan bid’ah yang sangat banyak: maulid, isra’ mi’raj digabung bid’ah-bid’ah yang kecil bukan yang besar, maka kalau ia tenggelam di dalamnya ia juga dihukumi keluar dari Ahlus Sunnah.
Maka tidak pantas membela yang seperti ini apalagi menyebarkan pengaruh kepada orang-orang yang kurang ilmunya supaya ikut kepada Wahdah Islamiyah. Ini—wal iyadzu billâh—menelantarkan dan menyesatkan orang dan ia akan menanggung dosanya kelak di kemudian hari, harus ia pertanggungjwabkan di hadapan Allah subhânahu wa ta’âlâ. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengikuti ajakannya, tidak dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa asli mereka.” (HR Muslim no. 6745).
Dan juga dalam hadits Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أجْرُهَا وَأجْرُمَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وزْرُهَا وَوزْرُ مَنْ عَمِلَ يهَا مَنْ بَعْدَهُ
“Siapa yang mencontohkan sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya dan siapa yang mencontohkan sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelahnya.” (HR Muslim dalam Shahih-nya no. 1017)
Dan juga masuk dalam larangan Allah subhânahu wa ta’âlâ,
وَلا تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS Al Mâ-idah: 2)
Maka haram melakukan yang seperti ini dan hendaknya bertaqwa kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. Mereka ini adalah kaum yang penuh dengan bid’ah bergelimang dengan nista penyimpangan terhadap dakwah Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam, yang tidak pantas untuk dibela seperti ini. Hendaknya mereka itu dinasihati supaya rujuk dan bertaubat kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ dari kesesatan-kesesatan tersebut.

16. Bagaimana Cara Menghukumi Orang-orang yang Berada di Wahdah Islamiyah?

Pertanyaan:
Bagaimana cara menghukumi orang-orang yang berada di Wahdah Islamiyah?
Jawaban:
Kita telah jelaskan bahwa manhaj Ahlus Sunnah dalam pemberlakuan hukum umum itu tidak sama dengan hukum terhadap orang per orang. Misalnya para ulama mengatakan bahwa Jama’ah Tabligh itu sesat, namun orang-orang yang ikut di dalamnya belum tentu sesat.
Tetapi perlu diingat tentang ustadz-ustadz Wahdah Islamiyah yang masih berada di sana yang mereka ini mempunyai ilmu, kalau mereka diam melihat kesesatan-kesesatan ini, maka hukumnya sama dengan hukum orang yang melakukannya. Hal ini karena berarti ia mengikrar atau paling tidak ia diam melihat kemungkaran. Orang seperti ini dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah sebagai “syaithan yang bisu” dan termasuk dalam golongan ahlul bid’ah yang harusnya dijauhi.


17. Benarkah Salafi Terlalu Keras dan Membuat Umat Lari?

Pertanyaan:
Kader-kader dan pengurus Wahdah Islamiyah mengatakan bahwa Salafi terlalu keras sehingga dapat membuat umat lari. Benarkah hal tersebut? Bagaimana seharusnya supaya umat mau menerima dakwah terutama orang awam?
Jawaban:
Pertama:
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka adalah orang yang paling tahu meletakkan kapan saatnya tegas dan kapan saatnya berlemah lembut. Asalnya dalam dakwah adalah dengan lemah lembut, Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman,
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An Nahl: 125)
Dan juga Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman kepada Nabi-Nya,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari kamu.” (QS Âli ‘Imrân: 159)
Dan dalam hadits ‘A’isyah radhiyallâhu ‘anhau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut itu berada pada sesuatu apapun kecuali akan menghiasinya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.”
Ini asalnya dalam dakwah. Tetapi kadang seseorang itu harus diberi pelajaran dengan sifat yang tegas sebagaimana Nabi shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam ketika melihat para sahabat berwudhu’ dan mereka tidak mencuci kaki-kaki mereka, beliau berteriak dengan suara yang tinggi dan keras, kata beliau,
وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ ثَلاَثَ مَرَّات
“Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka,” beliau ucapkan tiga kali.
Maka asalnya dalam dakwah adalah dengan lemah-lembut dan kadang jika dibutuhkan bisa bersikap tegas. Tabiat manusia ada yang tidak bisa mendapat nasihat kecuali dengan lemah-lembut dan ada yang bisa mendapatkan nasihat kalau ditegasi. Maka ini perlu pertimbangan yang tepat.
Kedua:
Nasihat kepada orang itu maksudnya dua perkara: pertama, nasihat bagi diri orang yang dinasihati—misalnya Wahdah Islamiyah kita nasihati tentang kesalahannya—maka ini adalah nasihat untuk mereka supaya mengubah dirinya. Kedua, nasihat yang kembali kepada umat. Umat ternasihati agar jangan ikut kepada mereka.
Ketiga:
Yang perlu diperhatikan dalam masalah dakwah, bahwa memang tidak semua perkara yang kita ketahui itu harus diucapkan. Ada kalanya dalam posisi fitnah, itu tidak diucapkan. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu ketika sedang terjadi fitnah besar dalam pemerintahan yang banyak membunuhi kaum muslimin, beliau banyak mengetahui hadits-hadits tentang akan adanya nanti kemungkaran-kemungkaran yang akan diperbuat oleh para penguasa tetapi Abu Hurairah tidak menyampaikan hadits-hadits itu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari, Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu berkata,
حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُوْمُ
“Saya menghafal dari Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam dua kantung. Adapun salah satunya saya telah sebarkan dan adapun yang lainnya kalau saya sebarkan maka akan dipenggal leher saya ini.”
Karena itulah Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu hanya memberikan ibarat-ibarat tersembunyi, misalnya beliau mengatakan bahwa ia berta’awwudz (berlindung) dari pemerintahan anak kecil—dan ini menyinggung pemerintahannya Yazid bin Mu’awiyah—tidak ditashrih oleh Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. Sikap ini ada contohnya dari Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam, dalam hadits ‘A’isyah radhiyallâhu ‘anha yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, dan Imam Al Bukhari memberikan judul “Bab Meninggalkan Sebagian Perkara karena Takut Sebagian Manusia akan Terfitnah” kemudian beliau membawakan sabda Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam kepada ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha:
يَا عَائِشَةُ لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيْثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنَ بَابٌ يَدْخُلُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُوْنَ
“Wahai ‘Aisyah andaikata kaummu (penduduk Makkah) bukan orang yang baru (meninggalkan) kekufuran, niscaya saya merobohkan Ka’bah kemudian saya akan menjadikannya dua pintu; pintu tempat manusia masuk dan pintu mereka keluar.”
Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam ingin meruntuhkan Ka’bah kemudian menjadikannya dua pintu sunnah merupakan sunnah. Tetapi mengapa beliau tinggalkan? Sebabnya, karena khawatir terjadi fitnah—orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah tatkala melihat Nabi berbuat seperti itu maka akan menyangka bahwa Nabi adalah orang yang sombong dan ingin menang sendiri saja—akibatnya mungkin saja mereka banyak yang akan lari keluar dari Islam. Karena itulah ditinggalkan di zaman Nabi hingga masuk ke zaman ‘Abdullah bin Zubair, baru beliau menerapkan apa yang diucapkan oleh Nabi shallallâhu ‘alahi wasallam. Maka, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang paling mengetahui tentang penempatan hikmah dalam dakwah.
Dan memang ahlul bid’ah ini tatkala dikritik oleh Ahlus Sunnah, dijelaskan kesesatannya dan dinasihati umat agar jangan sampai terjatuh ke situ, mereka mengatakan bahwa hal ini membuat lari manusia, terlalu keras, dan seterusnya, karena yang dipakai adalah perasaan. Karena itulah kadang kita temukan di jama’ah-jama’ah yang banyak mengikutinya itu adalah akhowat (kalangan perempuan). Sebabnya memang banyak memakai perasaan. Perhatikan saja Wahdah Islamiyah, itu yang kebanyakan mengikutinya adalah akhowat sebab banyak memakai perasaan dan manhaj mereka adalah manhaj yang dibangun di atas perasaan, wallâhul musta’ân.
Jadi, itu tadi gambaran singkat tentang manhaj Ahlus Sunah wal Jama’ah dalam masalah tegas dan lemah lembut. Tentunya penerapannya memerlukan hikmah dakwah dan melihat contoh-contoh para ulama dalam menerapkannya. Semakin mapan ilmu seseorang maka ia akan semakin mampu menggunakan di dalam dakwah ini. Karena itulah yang kita sarankan untuk terus-menerus giat dalam menuntut ilmu.


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.