18. Mu’adz bin Jabal ke Yaman Awalnya Berdakwah kepada Tauhid, Lalu Sholat, dan Seterusnya, Ini adalah Bentuk Marhalah?
Pertanyaan:
Salah satu alasan mereka mengatakan bahwa marhalah
adalah sunnatullah dengan dalil bahwa Al Qur’an tidak diturunkan
sekaligus tetapi dengan sedikit-sedikit. Dalil kedua tentang hadits
diutusnya Mu’adz bin Jabal ke Yaman, awalnya berdakwah kepada tauhid,
lalu sholat, dan seterusnya; karena itu adalah bentuk marhalah. Apakah tafsir ini sesuai dengan manhaj yang haq?
Jawaban:
Kita katakan bahwa hal ini benar bahwa
kadang dalam menyampaikan kepada seseorang harus bertahap, selangkah
demi selangkah. Itu memang benar dan itu dari manhaj Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam seperti yang disebutkan di sini.
Tetapi marhalah yang ada pada mereka terlalu kaku. Kalau pelajaran yang di marhalah tanfidz itu tidak boleh diketahui oleh yang ada di marhalah takwin. Di marhalah tertentu ada pelajaran khusus menyembunyikan rahasia jama’ah.
Andaikata cara mereka sama dengan metode Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam maka mereka tidak menutupi apa-apa yang disampaikan. Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam menyampaikan secara bertahap dan beliau tidak menghalangi orang yang mau mengetahui yang lainnya. Itulah sisi perbedaannya.
Dan kritikan kita terhadap Wahdah
Islamiyah bukan dari sisi tahapan dan bertingkatnya. Adapun kalau
bertahap dan memberikan ilmu sedikit demi sedikit, memberi ilmu yang
kecil kemudian yang besar maka itu adalah dari metode para ulama Salaf.
Sebab itulah sebagian para ulama menafsirkan kata Ar Rabbaniyyun pada ayat dalam surah Ali Imran, disebutkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullâh bahwa Ar Rabbani itu adalah orang yang mengajarkan kepada manusia ilmu yang kecil sebelum mengajarkan ilmu yang besar.
Jadi, ini adalah metode dalam menyampaikan. Adapun bentuk marhalah yang ada pada mereka ini adalah bentuk marhalah yang sempit dengan artian marhalah yang di atas, perlajarannya tidak boleh diketahui oleh marhalah
yang masih di bawah dan harus ditutupi dan dirahasiakan dan seterusnya
dan banyak hal lagi yang disembunyikan di dalamnya. Ini bentuk kritikan
yang kita maksudkan di sini, wallâhul musta’ân.
19. Apakah Penggunaan Salafi Disesuaikan dengan Mafsadah dan Madharahnya
Pertanyaan:
Apakah penggunaan Salafi disesuaikan dengan mafsadah dan madharahnya: kalau lebih besar madharahnya
maka cukup memakai nama Ahlus Sunnah seperti perkataan Syaikh ‘Abdul
‘Aziz Alusy Syaikh. Bagaimana manhaj Ahlus Sunnah dalam masalah ini?
Jawaban:
Saya tidak mengetahu fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz ini, wallâhu ta’âlâ a’lam. Hanya saja yang saya ketahui, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah rahimahullâh Baz berkata dalam sebuah kaset terekam dan ini dinukil dalam kitab yang berjudul Al Ajwibah Al Jadidah ‘anil Manahij Al Jadidah karya Syaikh Shalih Al Fauzan dan dita’liqnya ditulis nukilan dari Syaikh Ibnu Baz ini.
Syaikh ’Abdul ’Aziz bin ’Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut:
ما تقول فيمن تسمى مى بالسلفي و الأثري هل هي تزكية ؟
”Apa pendapat Anda terhadap orang yang
menamakan dirinya dengan salafi atau atsari, apakah ini termasuk
tazkiyah (rekomendasi/pujian kepada diri sendiri)?
Syaikh menjawab:
إذا كان صادقًا أنه أثري أو سلفي لا بأس ، مثل ما كان السلف يقولون : فلان سلفي ، فلان أثري ، تزكية لا بد منها تزكية واجبة .
”Apabila benar bahwa dirinya memang
seorang atsari atau salafi maka tidaklah mengapa. Seperti apa yang
dikatakan oleh para salaf yang mengucapkan ”Fulan salafi”, ”Fulan
atsari”, merupakan tazkiyah (pujian) yang harus karena merupakan tazkiyah yang wajib.”
Kata Syaikh Bin Baz di antara jawaban
beliau bahwa pensifatan dengan Salafi ini adalah pensifatan yang harus.
Maka memakai nama Ahlus Sunnah kadang di zaman ini—apalagi banyak sekali
orang yang memakai kalimat Ahlus Sunnah—kadang tidak menggambarkan
kebenaran sebab setiap orang mengaku Ahlus Sunnah. Tetapi ketika ia
memakai nama Salafi maka ini akan mempersempit lingkup tersebut dan
lebih memperdekat untuk memahami kebenaran tersebut. Dan semua ini
adalah penamaan yang syar’i dan mempunyai dalil dari Al Qur’an dan
Sunnah Nabi shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam, wallâhu ta’âlâ a’lam.
20. Tolong Jelaskan tentang Keberanian Wahdah Islamiyah dalam Berfatwa!
Pertanyaan:
Tolong dijelaskan tentang keberanian mereka dalam berfatwa dan majelis syura!
Jawaban:
Ini termasuk kesalahan besar juga, tajarru’/lancang dalam berfatwa pada perkara-perkara nawazil
dan kontemporer yang terjadi di tengah umat. Muhammad Zaitun Rasmin
sudah memberikan fatwa tentang Palestina dalam ceramahnya di Masjid
Kampus dan sebelumnya awal-awal kejadian di Ambon, itu belum ada fatwa
dari ulama ia sudah khutbah ‘ied. Saya ketahui bahwa ia khutbah ‘ied
sebab dinasihati langsung oleh salah seorang ikhwah tentang hal
tersebut.
Kemudian juga tentang pemilu, majelis syuranya mengeluarkan fatwa tentang partai-partai yang akan dipilih, dan ini tajarru’
dalam memberi fatwa pada masalah-masalah yang seperti ini. Tindakan ini
menyelisihi pokok di kalangan Ahlus Sunnah, bukan perkara cabang. Ini
adalah perkara pokok sebab ushul dalam manhaj Ahlus Sunnah wal
Jama’ah sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam kitab
aqidah beliau bahwa, “Dalam masalah-masalah al hawadits
(perkara-perkara baru) itu dikembalikan kepada para ulama besar; seperti
Imam Malik di Madinah, Sufyan Ibnu ‘Uyainah di Makkah, …” dan
seterusnya beliau sebutkan contoh imam-imam yang memang merupakan
patokan/rujukan di zaman itu, bukan dikembalikan kepada setiap orang.
Dan ini sejalan dengan firman Allah subhânahu wa ta’âlâ,
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ
أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى
أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ
مِنْهُمْ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu
berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka langsung
menyiarkannya. Andaikata mereka mengembalikannya kepada Rasul dan ulil
amri di antara mereka, tentulah akan diketahui hal tersebut oleh
orang-orang yang ber-istinbath di antara mereka (Rasul dan ulil amri).” (QS An Nisâ’: 83)
Dikatakan dalam ayat, “Seandainya mereka mengembalikan kepada ulil amri yaitu para ulama dan penguasa di antara mereka,”—tidak semua ulil amri—“maka akan diketahui oleh orang-orang yang bisa mengambil istinbath
(petikan hukum) di antara mereka.” Jadi, ini menunjukkan tidak semua
orang ditanyai untuk menyelesaikan masalah seperti ini. Dan kitab yang
sangat baik membahas tentang ini adalah kitab Syaikh ‘Abdul Malik
Ramadhani hafizhahullâh yang berjudul Madârikun Nazhar fis Siyâsah, Bainat Thabbîqât Asy Syar’iyah wal Ihfiâlat Al Hamâsiyyah yang diberi rekomendasi oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dan Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbad Al Badr rahimahumullâh.
Kemudian satu hal lagi, Muhammad Zaitun
Rasmin, Muhammad Yusran Anshar, dan orang-orang Wahdah Islamiyah yang
lain berkata bahwa Salman Al ‘Audah itu dipuji oleh para ulama dan
suaranya dikasetkan, kalau ada yang menghapus maka tunjukkan!
Maka saya katakan, Syaikh Al Albani memberikan rekomendasi kepada kitab karya Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani (Madârikun Nazhar) kemudian beliau sebutkan di akhir rekomendasinya bahwa kitab sangat farîdân fî bâbihi,
pada babnya. Syaikh Al Albani juga menyinggung pada da’i yang manhajnya
menyelisihi manhaj Salafush Shalih, yang dalam kitab ini banyak
dijelaskan tentang kebobrokan manhaj Salman Al ‘Audah, Safar Al Hawali
dan lain-lainnya.1)
Lebih tegas lagi, Syaikh ‘Abdul Muhsin Al
‘Abbad, beliau mengatakan tentang tiga orang ini (Salman Al ‘Audah,
Safar Al Hawali, dan ‘Aidh Al Qarni), ketiga orang ini disifatkan oleh
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad dengan “ba’dusy syabâb” (sebagian pemuda), jadi masih dianggap anak-anak kecil.2)
Jadi demikianlah mereka mengambil
sebagian kalimat yang kira-kira bagus dan mendukung kemudian dijadikan
sebagai acuan dan patokan, wallâhul musta’ân.
Catatan Kaki:
1) Nash perkataan Syaikh Al Albani rahimahullâh mengomentari kitab Madârikun Nazhar:
فوجدتُه بحقٍّ فريدًا في بابه؛ فيه حقائق عن بعض الدعاة ومناهجهم المخالفة لما كان علي السلف الصالح
“Sejujurnya saya katakan bahwa kitab ini
sangat istimewa, di dalamnya terungkap hakikat sebagian da’i dan manhaj
mereka menyelisihi manhaj Salafush Shalih.”
2) Nash perkataan Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad hafizhahullâh tentang tiga pemuda Saudi Arabia yang dijelaskan penyimpangannya dalam kitab Madârikun Nazhar:
وفي صفحة (٣٧٦) ذكرُ كلامٍ لثلاثة من شباب
هذه البلاد أتوا فيه بالغريب العجيب؛ ألا وهو لتنويه والإشادة بخروج
النساء إلى الشوارع للمظاهرات، وقد أوضح المؤلف جزاه الله خيرًا قبل هذه
الصفحة فساد ذلك بالأدلة من الكتاب والسنة وأقوال السلف
“Pada halaman (376) dicantumkan
pernyataan tiga orang pemuda negeri ini (Saudi Arabia). Pernyataan
tersebut sangat aneh sekaligus mencengangkan. Yaitu anjuran dan dorongan
agar kaum wanita turut keluar ke jalan-jalan untuk berdemonstrasi.
Saudara penulis sebelumnya telah menjelaskan—semoga Allah membalasnya
dengan kebaikan—kebatilan pernyataan tersebut dengan membawakan
argumentasi dari Al Qur’an dan As Sunnah serta ucapan para Salafush
Shalih.”
0 komentar:
Posting Komentar