21. Hadits Hudzaifah Ibnul Yaman sebagai Dalil Sirriyyah?
Pertanyaan:
Mengenai masalah sirriyyah (kerahasiaan),
bagaimana pendapat Ustadz tentang hadits Mu’adz bin Jabal ketika beliau
tidak memberitahukan apa yang beliau ketahui karena pertimbangan maslahat dan madharrah?
Jawaban:
Bukan Mu’adz bin Jabal, yang dimaksudkan mungkin di sini adalah Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallâhu ‘anhum, yang beliau banyak menyimpan rahasia Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam.
Rahasia yang disimpan oleh Hudzaifah radhiyallâhu ‘anhu itu adalah tentang masalah-masalah fitnah, nama-nama orang munafiqin, dan seterusnya. Beliau digelari shahibu sirr Rasulullah (yang memegang rahasia Rasulullah shallallâhu ‘alahi wasallam).
Yang punya rahasia ini adalah Rasulullah jadi wajar kalau Rasulullah
juga merahasiakannya. Jadi, tidak ada pendalilan sama sekali dalam
hadits itu tentang sirriyyah dan itu pun yang beliau rahasiakan
adalah masalah-masalah fitnah yang kalau disebarkan akan bisa
menimbulkan hal-hal yang pertimbangan maslahat dan mafsadatnya tidak akan baik nantinya. Jadi, tidak ada sama sekali dalil sirriyyah sebagaimana yang mereka lakukan.
22. Bagaimana Bai’at dalam Jihad?
Pertanyaan:
Masalah bai’at dan ta’ahud atau mu’ahadah, bagaimana hal ini dalam jihad sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Jamilurrahman rahimahullâh di Afganistan? Apakah ada perbedaan bai’at dalam jihad dan dakwah? Apakah ada perbedaan antara bai’at dan ta’ahud sebagaimana nasihat Syaikh Bin Baz terhadap jama’ah-jama’ah yang ada untuk mengganti istilah bai’at dengan ta’ahud.
Jawaban:
Di sini ada tiga perkara. Pertama, tentang Syaikh Jamilurrahman rahimahullâh, beliau itu mempunyai wilayah yang bernama Kunar. Kedua,
Afganistan saat itu tidak mempunyai presiden (kepala negara), maka
tatkala Syaikh Jamilurrahman mempunyai wilayah dan kekuatan, wajar kalau
beliau membuat pemerintahan. Ketika sudah menjadi penguasa dan
terpenuhi syarat-syaratnya, dibai’at sebagai amir itu adalah perkara
yang wajar. Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh
pun mengakui beliau seperti dalam kaset ketika menceritakan tentang
orang-orang Ikhwanul Muslimin yang menyerang, kata beliau, “Ikhwanul
Muslimin menyerang imaroh (pemerintahannya) Syaikh Jamilurrahman.” Jadi diakui oleh para ulama sebab terpenuhi syarat.
Sedangkan jama’ah-jama’ah itu, mana
wilayah mereka?! Wilayah mereka yang ada hanya ‘di bawah tanah’ atau
dalam mimpi belaka. Jadi, sangat jauh dan berbeda dengan Syaikh
Jamilurrahman.
Adapun dalam dakwah maka telah kita bacakan fatwa dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi rahimahumullâh bahwa tidak ada bai’at dalam dakwah [lihat Bab II pada kesesatan ke-9, ed].
Kemudian yang ketiga, saya minta mereka untuk membawakan nash perkataan Syaikh Bin Baz ini. Kalaupun ada, maka saya yakin mereka salah memahami perkataan Syaikh Bin Baz rahimahullâh, dan itu seperti yang dikatakan oleh seorang penyair:
وكم من عائب قولا صحيحا وآفاته من الفهم السقيم
“Betapa banyak orang yang mencela perkataan yang benar, dan rusaknya celaan tersebut berasal dari pemahamannya yang jelek.”
23. Bagaimana Cara Membantah bahwa Tugas-tugas Anggota Hizbiyyah Itu bukanlah Amanah?
Pertanyaan:
Bagaimana cara membantah mereka bila
mereka memberikan tugas kepada orang-orang yang berhasil mereka kelabui
dengan menyebut tugas-tugas itu sebagai amanah dan mengingatkan
orang-orang yang baru ini dengan ayat-ayat Al Qur’an tentang wajibnya
untuk memenuhi amanah?
Jawaban:
Ini masuk dalam bentuk talbis dan tadlis
mereka. Amanah itu misalnya dititipi sesuatu maka itu adalah amanah
yang harus ia jaga. Adapun tugas-tugas itu bukan dinamakan amanah tetapi
dinamakan perintah atau kewajiban. Penamakan sesuatu dengan amanah
bukan di situ letaknya. Demikianlah memang ahlul bid’ah wal ahwa’ gemar
membuat hal-hal yang seperti ini dalam menggunakan ta’bir dan tadlis dan seterusnya.
24. Kalau Manhajnya Salah Apakah Aqidahnya juga Salah?
Pertanyaan:
Bagaimana kalau manhajnya salah, apakah aqidahnya juga salah?
Jawaban:
Manhaj itu sangat erat kaitannya dengan
aqidah. Manhaj secara umum aqidah juga masuk ke dalamnya. Kalau
manhajnya ada kerusakan dan kerancuan maka pasti aqidahnya ada
kerancuan. Apalagi tentang Tauhid Hâkimiyahnya ini dan lain-lainnya.
25. Benarkah Pengakuan Wahdah Islamiyah bahwa Mereka Senantiasa Merujuk kepada Para Ulama Salaf dalam Segala Permasalahan?
Pertanyaan:
Wahdah Islamiyah mengaku senantiasa merujuk kepada para ulama Salaf dalam segala permasalahan seperti ulama mutaqaddimin. Benarkah demikian?
Jawaban:
Orang-orang Wahdah Islamiyah itu mempunyai dua trik dalam merujuk kepada para ulama: pertama, mereka itu seperti yang dikatakan oleh Waki’ Ibnul Jarrah rahimahullâh,
يكتبون ما لهم فقط
“Hanya mengambil apa-apa yang bisa menguatkan mereka saja.”
Kemudian yang kedua, mereka kadang-kadang berdusta. Manhaj hizbiyyah itu dibangun di atas tiga rukun seperti kata Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh:
- Rukun pertama: dusta;
- Rukun kedua: talbis, memberikan kerancuan dan kesamar-samaran;
- Rukun ketiga: al khida’, menipu.
Ini semuanya ada pada mereka: kedustaan, talbis, menipu. Sebagai bukti nyata, pada saat kita mengadakan acara muhadharah
ini, mereka menyebarkan selebaran fatwa Syaikh Bin Baz (fatwa umum
untuk seluruh du’at). Nasihat yang bagus, namun di bagian akhir
selebaran mereka, orang-orang Wahdah Islamiyah menulis bahwa risalah ini
disampaikan pada ceramah ilmiah di Ggedung Growth
Centre Aptisi Wilayah IX pada tanggal 19 Mei 2002 pukul 08:30 sampai
selesai. Mereka tidak malu berdusta. Padahal selebaran ini mereka yang
tulis, kemudian ia kirim orang ke majelis kita sementara saya masih
ceramah ia datang menyebarkan dan mengatakan, “Ini disampaikan,”
katanya. Setelah itu ada yang berkata bahwa datang ralatannya, katanya,
“dibagikan.” Sangat jauh kalau salah tulis itu antara “disampaikan” dan
“dibagikan”! Bagaimana bisa diralat seperti ini?! Memang kalau orang
sudah pokoknya adalah hizbiyyah maka dusta-dusta yang seperti ini
terlalu mudah.
26. Apakah Ada Pembatasan Klaim sebagai Ahlus Sunnah oleh Kelompok Tertentu?
Pertanyaan:
Orang-orang “MANIS” (Jalan Baji Rupa)
hanya menganggap diri mereka sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang
lainnya kelompok sesat. Apa dasar mereka (Baji Rupa) berkata seperti
itu?
Jawaban:
Pertama, ingat, kami tidak
pernah sama sekali memperkenalkan diri dengan nama “MANIS”. Hanya saja
karena Wahdah Islamiyah itu dikenal dengan hizbiyahnya, mereka hendak
mendudukkan kita seperti mendudukkan dirinya, sehingga mereka
mensifatkan kita terus dengan “MANIS” supaya kita dikenal dengan itu dan
setara dengan mereka. Kami tidak pernah senang disebut dengan
orang-orang “MANIS”.
Kemudian yang kedua, ini adalah
kedustaan. Kami tidak pernah mengklaim diri kami yang ada di sini saja
atau mengklaim bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu hanya ada di Jalan
Baji Rupa saja. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berada di seluruh alam
sebagaimana yang kita katakan bahwa siapa yang berada di atas Al Qur’an
atau As Sunnah sesuai dengan pamahaman para ulama Salaf, mengucapkan
dengan lisannya dan mengamalkannya maka ia itu adalah Salafi di mana pun
ia berada; apakah ia itu suku Makassar, Bugis, Jawa, orang Indonesia,
orang Afrika dan seterusnya. Kita tidak pernah membedakan sama sekali
dan tidak pernah terkungkung di dalam hal ini. Kita punya tuntunan dari
Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam dalam hal ini.
27. Benarkah Mentahdzir Individu Ustadz Wahdah Islamiyah adalah Akhlaq yang Buruk dalam Mu’amalah dan Dakwah?
Pertanyaan:
Benarkah mentahdzir individu ustadz Wahdah Islamiyah adalah akhlaq yang buruk dalam mu’amalah dan dakwah?
Jawaban:
Perlu diketahui bahwa manhaj para ulama
Salaf dalam mengkritik ada dua cara: kadang menyebutkan namanya langsung
dan kadang tidak menyebutkan namanya. Itu dua cara yang ada dalam Al
Qur’an dan As Sunnah dan juga ada dalam aqwal (perkataan) para ulama As Salaf.
Allah subhânahu wa ta’âlâ mentahdzir
langsung Abu Lahab dengan menyebut namanya dalam satu surah khusus
(Surah Al Lahab). Kemudian dalam hadits, terlalu banyak sekali, seperti
dalam hadits yang telah berlalu, “Telah berdusta Abu Sanabil,” dan
seterusnya.
Tapi kadang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mentahdzir tanpa menyebutkan namanya. Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat suatu kemungkaran yang diperbuat oleh seseorang maka beliau berdiri dan berkhutbah kemudian mengatakan,
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَقُوْلُوْنَ كَذَا وَكَذَا
“Ada apa dengan suatu kaum yang mengatakan begini dan begini?”
Sebenarnya beliau mengetahui pelakunya namun
ini semua dipertimbangkan menurut maslahat dan mafsadat. Ketika ada
maslahatnya maka dilakukan dan ketika ada mafsadatnya maka ditinggalkan.
Sedangkan terhadap Wahdah Islamiyah ini,
yang kita lihat dari maslahat yang paling besar itu harus disebutkan
tentang mereka dan kadang harus disebutkan individu-individu di antara
mereka. Kita menerapkan apa yang dikatakan oleh Imam Qatadah,
أولا تدري يا أحول أن الرجل إذا ابتدع بدعة لا بد أن يذكر حتى يحذر
“Tidakkah kamu tahu wahai Ahwal,
sesungguhnya seseorang kalau berbuat suatu bid’ah itu harus disebutkan
sampai orang-orang menjauhinya!”
0 komentar:
Posting Komentar