Alloh ‘azza wa jalla berfirman :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ
أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ
مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ
تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ
مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [QS al-Baqoroh : 233]
Lafadz ayat : [وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنّ...َ], bentuknya
adalah khobar (pengabaran) tapi bermakna perintah, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arob (8/125), as-Sa’di dalam
tafsirnya (hal. 103), dll.
Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir dalam
tafsirnya (1/633) : “Ini merupakan petunjuk dari Alloh ta’ala kepada
para ibu agar mereka menyusui anak-anaknya dengan penyusuan yang
sempurna yaitu 2 tahun, maka tidak dianggap sebagai ‘menyusu’ jika lebih
dari itu. Oleh karena itu Alloh berfirman : [لِمَنْ أَرَادَ أَنْ
يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ] “yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan“,
dan kebanyakan para imam berpendapat bahwa persusuan tidaklah menjadikan
mahrom kecuali jika usia yang disusui masih di bawah 2 tahun, sehingga
jika seorang anak menyusu sedangkan umurnya sudah lebih dari 2 tahun
maka hal itu tidak menjadikannya mahrom.” –selesai nukilan dari Ibnu
Katsir-
***
PEMBERIAN ASI SECARA SEMPURNA SAMPAI DISAPIH MERUPAKAN JASA KEDUA ORANG TUA
Alloh ta’ala berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا
عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ
إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah-tambah, danmenyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.“ [QS Luqman : 14]
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا
وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى
إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي
ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat
puluh tahun ia berdoa: “Wahai Robb-ku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku
dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri”.” [QS al-Ahqof : 15]
Faidah :
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (7/280): “Dan ‘Ali
rodhiyallohu anhu telah berdalil dengan ayat ini bersama ayat dalam
surat Luqman :
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“…dan menyapihnya dalam dua tahun…” [QS luqman : 14]
Dan juga firman Alloh :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” [QS al-Baqoroh : 233]
Bahwa lama kehamilan minimal adalah 6 bulan, dan ini adalah istimbath
yang kuat dan shohih. Dan ‘Utsman dan sekelompok shohabat menyepakati
pendapatnya tersebut, radhiyallohu anhum. –selesai nukilan dari Ibnu
Katsir-
Dan al-Hafidz Ibnu Katsir juga membawakan tafsir ayat
ini dari Ibnu ‘Abbasrodhiyallohu anhuma dari riwayat Ibnu Abi Hatim.
Beliau berkata (7/280): Berkata Ibnu Abi Hatim:
Haddatsana
Ayahku (Abu Hatim, pent), Haddatsana Farwah bin Abil Maghro’, haddatsana
Ali bin Mishar, dari Dawud bin Abi hind, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
ia berkata : “Jika seorang wanita melahirkan pada usia kehamilan 9
bulan, maka cukup bagi anaknya menyusu selama 21 bulan. Jika ia
melahirkan pada usia kehamilan 7 bulan, maka cukup bagi anaknya menyusu
selama 23 bulan. Dan jika ia melahirkan pada usia kehamilan 6 bulan,
maka 2 tahun
penuh.
Karena Alloh ta’alaberfirman :
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
“Dan mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” [QS. Al-Ahqof : 15] –selesai nukilan dari Ibnu Katsir-
***
DIBOLEHKANNYA MENCARI IBU SUSUAN UNTUK MEMBERIKAN ASI KEPADA BAYI
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آَتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan.” [QS al-Baqoroh : 233]
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ
لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا
عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ
فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ
تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya,
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan
jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.“[QS ath-Tholaq : 6]
Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir (8/153) :
أي: وإن اختلف الرجل والمرأة، فطلبت المرأة أجرة الرضاع كثيرًا ولم يجبها
الرجل إلى ذلك، أو بذل الرجل قليلا ولم توافقه عليه، فليسترضع له غيرها فلو
رضيت الأم بما استؤجرت عليه الأجنبية فهي أحق بولدها.
“Yakni :
jika seorang laki-laki berselisih dengan seorang wanita (istri yang
dicerai yang sudah melahirkan bayi, pent), lalu wanita itu meminta upah
penyusuan yang banyak dan laki-laki itu tidak setuju dengan itu, atau
laki-laki tersebut cuma mau mengeluarkan sedikit upah dan wanita
tersebut tidak setuju dengannya, maka hendaknya laki-laki tersebut
mencari wanita lain yang mau menyusui bayinya selain wanita tadi.
Seandainya ibu bayi tersebut telah ridho (untuk menyusui anaknya) dengan
besar upah yang diberikan kepada wanita lain itu, maka ia lebih berhak
terhadap anaknya.”
Dan di sini tidak disebut ataupun disindir
sama sekali tentang susu-susu lain selain ASI jika ibu bayi tersebut
tidak bisa menyusuinya, akan tetapi yang disebutkan adalah ASI dari ibu
susu sebagai pengganti ASI ibu bayi tersebut. Ini menandakan ASI adalah
makanan terbaik bagi bayi.
Dan ayat-ayat di atas juga merupakan dalil tentang bolehnya ibu susu mengambil upah atas persusuannya.
***
KISAH NABI MUSA
وَحَرَّمْنَا عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ
أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ
نَاصِحُونَ فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلا
تَحْزَنَ وَلِتَعْلَمَ أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ
لا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada
perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah
saudara perempuan Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu keluarga
yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik
kepadanya?” Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang
hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji
Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya.“[QS al-Qoshosh : 12-13]
***
FAIDAH DARI KISAH WANITA AL-GHOMIDIYYAH
Dalam kisah wanita al-Ghomidiyyah yang mengaku berzina dan minta
dirajam terdapat faidah tentang pentingnya menyusui bagi anak.
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menunda hukuman rajamnya sampai
ia melahirkan dan menyapih anaknya. Kami nukilkan kisahnya secara
ringkas dari hadits Buroidah rodhiyallohu anhu:
فَجَاءَتْ
الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ
فَطَهِّرْنِي وَإِنَّهُ رَدَّهَا فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ لِمَ تَرُدُّنِي لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا رَدَدْتَ
مَاعِزًا فَوَاللَّهِ إِنِّي لَحُبْلَى قَالَ إِمَّا لَا فَاذْهَبِي
حَتَّى تَلِدِي فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي خِرْقَةٍ
قَالَتْ هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ قَالَ اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ حَتَّى
تَفْطِمِيهِ فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ
كِسْرَةُ خُبْزٍ فَقَالَتْ هَذَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَدْ فَطَمْتُهُ
وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ فَدُفِعَ الصَّبِيُّ إِلَى رَجُلٍ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا
وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوهَا
“Lalu datang seorang wanita
al-Ghomidiyyah, ia berkata : “wahai Rosululloh, aku telah berzina, maka
sucikanlah aku!” Dan Rosululloh menolaknya. Ketika keesokan harinya,
wanita itu berkata : “Wahai Rosululloh, mengapa engkau menolakku?
Mungkin engkau menolakku sebagaimana engkau telah menolak Ma’iz, maka
demi Alloh aku ini hamil!” Rosululloh berkata : “Tidak, pergilah sampai
engkau melahirkan.” Ketika ia sudah melahirkan, ia mendatangi Rosululloh
dengan membawa bayinya pada sebuah kain, ia berkata : “Ini aku sudah
melahirkan.” Rosululloh berkata : “Pergilah dan susuilah ia sampai
engkau menyapihnya!” Ketika ia telah menyapihnya, ia mendatangi
Rosululloh dengan bayinya yang membawa remukan roti di tangannya, maka
ia berkata : “Ini wahai Nabi Alloh, aku sudah menyapihnya dan ia sudah
makan makanan.” Maka anak itu diserahkan kepada seseorang dari kaum
muslimin, kemudian beliau memerintahkan untuk merajamnya, maka digalikan
untuknya lubang sedalam dadanya lalu beliau memerintahkan orang-orang,
kemudian mereka merajamnya.”
[HR. Muslim no. 1695, Abu Dawud
no. 4442, Ahmad no. 22999, Ibnu Abi Syaibah no. 28809, dll dari jalan
Abdulloh bin Buroidah, dari Buroidah]
Dalam riwayat lain Rosululloh berkata :
إِذًا لَا نَرْجُمُهَا وَنَدَعُ وَلَدَهَا صَغِيرًا لَيْسَ لَهُ مَنْ
يُرْضِعُهُ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ إِلَيَّ رَضَاعُهُ
يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ فَرَجَمَهَا
“Kalau begitu kita tidak bisa
merajamnya sedangkan kita biarkan anaknya yang masih kecil tanpa ada
yang menyusuinya.” Lalu bangkit seorang dari Anshor, ia berkata : “aku
yang akan menanggung persusuannya wahai Nabi Alloh.” Buroidah berkata :
lalu wanita itu dirajam.
[HR. Muslim no. 1695 dari jalan Sulaiman bin Buroidah, dari Buroidah]
Al-Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (11/202) : “Dan
Ketahuilah! Bahwa madzhab asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan yang masyhur
dari madzhab Malik : bahwa seorang wanita boleh tidak dirajam sampai
didapatkan orang lain yang menyusui bayinya, dan jika tidak didapatkan
maka wanita itu sendiri yang menyusuinya sampai disapih, baru kemudian
dirajam.”
Seandainya menyusui bayi dengan ASI adalah perkara
yang sepele atau tidak penting bagi bayi tersebut, tentu
Rosulullohshollallohu alaihi wa sallam tidak akan menunda hukum rajam
tersebut.
***
PERSUSUAN MENJADIKAN MAHROM
Dalam hadits ‘Aisyah :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ عِنْدَهَا
وَأَنَّهَا سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ
قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فِي
بَيْتِكَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرَاهُ
فُلَانًا لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنْ الرَّضَاعَةِ قَالَتْ عَائِشَةُ لَوْ كَانَ
فُلَانٌ حَيًّا لِعَمِّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ دَخَلَ عَلَيَّ فَقَالَ
نَعَمْ الرَّضَاعَةُ تُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلَادَةُ
Ketika
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berada di rumahnya, ia (Aisyah)
mendengar suara laki-laki minta izin (untuk masuk) di rumah Hafshoh.
Aisyah berkata : lalu aku katakan : “wahai Rosululloh, laki-laki ini
minta izin di rumahmu” Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata : “aku
melihat ia adalah si Fulan, paman susunya Hafshoh” Aisyah berkata :
“seandainya si Fulan masih hidup (paman susunya Aisyah) ia boleh masuk
menemuiku?” Rosululloh berkata : “ya, persusuan menjadikan mahrom
sebagaimana seseorang menjadi mahrom karena sebab kelahiran.”
[HR. al-Bukhori no. 2503, 2938 & 4811, Muslim no. 1444, dll]
***
ASI MENUMBUHKAN TULANG DAN DAGING
Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu berkata :
لارضاع إلا ما شد العظم وأنبت اللحم
“Tidaklah dikatakan persusuan kecuali apa-apa yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.”
[HR. Abu Dawud no. 2059, dishohihkan al-Albani (yakni secara mauquf
dengan syawahid-nya pada riwayat Ahmad, ad-Daruquthni dan al-Baihaqi)]
***
ASALNYA WANITA ADALAH DI RUMAH
Allah berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Tetaplah kalian (para wanita) di rumah-rumah kalian, dan janganlah
kalian berhias sebagaimana orang-orang jahiliyyah dahulu berhias” [QS.
al-Ahzab : 33]
Salah satu hikmah dari perintah ini adalah agar
mereka dapat menyusui anak-anaknya dengan sempurna. Berbeda dengan para
wanita karir yang sibuk bekerja di luar rumah, sehingga kebanyakan
anak-anak mereka menyusu dengan susu formula.
Dari Ibnu Umar rodhiyallohu anhuma, Rosululloh shollallohu alaihi wa sallambersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ
بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ
عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah! Setiap dari
kalian adalah orang yang diberi amanah, maka setiap kalian akan ditanya
tentang amanahnya. Seorang amir (pemimpin suatu negri, pent) yang
memimpin manusia adalah orang yang diberi amanah, dan ia akan ditanya
tentang mereka. Dan seorang laki-laki adalah orang yang diberi amanah
terhadap keluarganya, dan ia akan ditanya tentang mereka. Dan seorang
wanita adalah orang yang diberi amanah terhadap rumah dan anak suaminya,
dan ia akan ditanya tentang mereka. Dan seorang budak adalah orang yang
diberi amanah terhadap harta majikannya, dan ia akan ditanya
tentangnya. Ketahuilah! Setiap dari kalian adalah orang yang diberi
amanah, maka setiap kalian akan ditanya tentang amanahnya.” [HR.
al-Bukhori no. 2416, Muslim no. 1829, dll]
Kata [رَاعٍ] dalam
hadits di atas biasanya diterjemahkan “pemimpin”, akan tetapi kami
terjemahkan dengan “orang yang diberi amanah” karena arti [رَاعٍ] dalam
hadits ini adalah [حافِظٌ مُؤْتَمَنٌ] / “penjaga yang diberi amanah“,
sebagaimana dijelaskan dalam an-Nihayah fi Ghoribil Atsar (2/581) dan
Lisanul Arob (14/325).
***
IBROHIM PUN MENYEMPURNAKAN PERSUSUANNYA DI SURGA
Ibrohim di sini adalah anak Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam
dari Mariyyah al-Qibthiyyah yang meninggal ketika masih bayi.
Dari al-Barro’ rodhiyallohu anhu:
لَمَّا مَاتَ إِبْرَاهِيم قَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا فِي الْجَنَّة
Ketika Ibrohim meninggal, Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda : “Ia memiliki ibu susu di surga.”
[HR. al-Bukhori no. 1316, 3082 & 5842, dll]
Dalam lafadz lainnya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا يُتِمُّ رَضَاعَهُ فِيْ الْجَنَّةِ
“Ia memiliki ibu susu yang menyempurnakan persusuannya di surga.”
[HR. Ahmad no. 18647 & 18727]
Ibnu Hajar dalam al-Fath (10/579) berkata :
لِأَنَّهُ لَمَّا مَاتَ كَانَ اِبْن سِتَّة عَشَرَ شَهْرًا أَوْ
ثَمَانِيَة عَشَرَ شَهْرًا عَلَى اِخْتِلَاف الرِّوَايَتَيْنِ ، وَقِيلَ
إِنَّمَا عَاشَ سَبْعِينَ يَوْمًا
“…karena ia (Ibrohim) ketika
meninggal adalah pada usia 16 bulan atau 18 bulan dengan adanya khilaf
antara dua riwayat, dan dikatakan bahwa ia hanya hidup selama 70 hari.”
Akan tetapi, kami belum menemukan pendapat para ‘ulama tentang masalah
apakah menyempurnakan persusuan di surga ini khusus bagi Ibrohim saja
ataukah juga berlaku bagi bayi-bayi lainnya yang meninggal sebelum
disapih? Wallohu A’lam.
***
RUKHSHOH BAGI IBU YANG MENYUSUI UNTUK MENINGGALKAN PUASA
Terdapat rukhshoh (keringanan) dalam syari’at bagi para ibu yang sedang
menyusui untuk meninggalkan puasa Romadhon dengan membayar fidyah
sebagai gantinya (dan masalah mengganti puasa ini ada khilaf dan bukan
sekarang waktu untuk membahasnya). Hal ini disebabkan adanya masyaqqoh
(kesulitan) untuk menyusui sambil berpuasa, dimana ibu menyusui butuh
untuk minum dan makan yang mencukupi agar dirinya tetap kuat menyusui
dan juga agar produksi ASI tetap lancar. Hal ini juga menunjukkan
pentingnya menyusui anak dengan ASI. Karena seandainya tidak penting,
bisa saja syari’at menentukan ibu menyusui tetap wajib berpuasa dan
bayinya diberi minum dari susu-susu lain seperti susu sapi, dll.
Sebagaimana dalam sebuah Mandhumah (syair):
الدين جاء لسعادة البشر **** ولانتفاء الشر عنهم والضرر
Ad-Diin datang untuk kemashlahatan manusia
………. Dan untuk menolak keburukan dan madhorot dari mereka
Dari Anas bin Malik al-Ka’bi rodhiyallohu anhu, ia berkata :
أَغَارَتْ عَلَيْنَا خَيْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَوَجَدْتُهُ يَتَغَدَّى فَقَالَ ادْنُ فَكُلْ فَقُلْتُ إِنِّي صَائِمٌ
فَقَالَ ادْنُ أُحَدِّثْكَ عَنْ الصَّوْمِ أَوْ الصِّيَامِ إِنَّ اللَّهَ
تَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ
الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ وَاللَّهِ لَقَدْ
قَالَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِلْتَيْهِمَا
أَوْ إِحْدَاهُمَا فَيَا لَهْفَ نَفْسِي أَنْ لَا أَكُونَ طَعِمْتُ مِنْ
طَعَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kuda Rosululloh
shollallohu alaihi wa sallam lari kepada kami, lalu aku datangi
Rosululloh sholallohu alaihi wa sallam, aku mendapatinya sedang makan
pagi, beliau berkata : “Mendekat dan makanlah!” Aku katakan : “aku
sedang puasa”, lalu beliau berkata : “mendekatlah, aku akan mengabarkan
kepadamu tentang puasa, sesungguhnya Alloh ta’ala telah menggugurkan
puasa dan setengah sholat bagi musafir, dan juga puasa bagi wanita hamil
atau menyusui.” (Anas berkata) Demi Alloh! beliau telah mengucapkan
keduanya atau salah satunya, aduhai sesalnya diriku tidak makan
makanannya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
[HR. at-Tirmidzi no. 715, Abu Dawud no. 2408, an-Nasa'i no. 2276, dll. Dishohihkan al-Albani dalam Shohih Abi Dawud no. 2107]
**
MENYUSUI SETELAH ANAK BERUSIA LEBIH DARI 2 TAHUN
Menyusui yang sempurna adalah sampai anak berusia 2 tahun sebagaimana
dalam al-Baqoroh ayat 233, atau 30 bulan sejak masa kehamilan
sebagaimana dalam al-Ahqof ayat 15, dan inilah yang utama.
Al-Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf-nya meriwayatkan perkataan seorang tabi’in:
حدثنا بن مهدي وأبو أسامة عن سفيان عن الأعمش عن إبراهيم أن علقمة مر بامرأة وهي ترضع صبيا لها بعد الحولين فقال لا ترضعيه بعد ذلك
Haddatsana Ibnu Mahdi dan Abu Usamah, dari Sufyan, dari al-A’masy, dari
Ibrohim, bahwa Alqomah berjalan melewati seorang wanita yang sedang
menyusui bayinya setelah 2 tahun, maka ia berkata: “Jangan kamu susui ia
setelah itu”. [Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no. 17060]
Alqomah di sini adalah Alqomah bin Qois an-Nakho’i, salah seorang murid senior Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu anhu.
Perkataan beliau ini bukanlah pengharaman tapi merupakan nasihat agar
tidak menyusui lebih dari 2 tahun, karena itu yang lebih utama.
Adapun jika menyusui lebih dari itu maka boleh karena tidak ada dalil
yang melarang, sebagaimana dalam difatwakan oleh syaikh Muqbil dalam
kitab Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah lil Imam al-Wadi’iy rohimahullohu
ta’ala halaman 238, berikut ini terjemahannya:
Pertanyaan :
Bolehkah bagi wanita menyusui anaknya setelah lebih dari 2 tahun?
Jawaban :
Aku tidak mengetahui larangan dalam hal ini. Adapun firman Alloh ta’ala :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” [QS. Al-Baqoroh : 233]
Maka ini kebanyakannya (orang-orang dalam menyapih bayinya, pent) dan
inilah yang utama. Akan tetapi jika seorang bayi tersebut tidak mau
berhenti dan ingin menambah dalam menyusu satu bulan, dua bulan atau
tiga bulan, maka aku tidak mengetahui adanya larangan.
Wallohul musta’an. -Selesai nukilan fatwa-
***
http://
25 Agustus 2012
PERINTAH BAGI PARA IBU UNTUK MENYUSUI ANAKNYA
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar