Kebodohan Merusak Kebersamaan
Penulis : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Orang-orang
yang cerdas dan berilmu niscaya mengetahui betapa pentingnya
kebersamaan. Sehingga mereka benar-benar menjaga kebersamaan dalam
jamaah kaum muslimin dan penguasa (pemerintah)-nya.
Adapun orang-orang yang bodoh, sama sekali tidak mengerti betapa
pentingnya kehidupan berjamaah dengan satu penguasa. Bahkan mereka tidak
mengerti mana yang lebih banyak antara satu dan sepuluh. Yakni, mana
yang lebih besar antara korupsi, kolusi, atau nepotisme (KKN) dengan pertumpahan darah kaum muslimin dalam perang saudara.
Seorang yang berilmu mengetahui bahwa dengan mengikuti bimbingan
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut penerapannya
yang dicontohkan salafus shalih, pasti kaum muslimin akan terbimbing ke
jalan yang terbaik. Maka, ia akan menghadapi penguasa yang dzalim dengan
petunjuk dan bimbingan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan
orang-orang yang bodoh berjalan bersama emosi dan hawa nafsunya, tanpa
meminta bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
merasa lebih pandai dan lebih cerdas dari para nabi dan para ulama yang
merupakan para pewarisnya. Merekalah kaum reaksioner Khawarij, yang
selalu menyebabkan petaka dan bencana di setiap zaman. Mereka tidak
memperbaiki keadaan –seperti pengakuan mereka– tetapi justru
menghancurkan kebersamaan.
Banyak tulisan-tulisan mereka yang sampai kepada tangan penulis,
dalam bentuk surat, selebaran, ataupun makalah-makalah. Hampir
seluruhnya berisi “dalil-dalil” dan “bukti-bukti” tentang kafirnya penguasa, yang kemudian berujung menghalalkan darah mereka.
Tentu saja dengan nama samaran, alamat palsu, dan penerbit yang tidak
jelas. Namun seperti CD yang diputar ulang, isinya tetap sama seperti
ucapan Khawarij yang pertama: “Siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka ia kafir.”
Tentu saja jawaban kita Ahlus Sunnah seperti jawaban Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat yang lain: “Kalimat yang haq, namun
yang dimaukan adalah kebatilan.” Yakni,
ayat-ayat dan hadits-hadits dalam tulisan mereka adalah kalimat-kalimat
yang haq dan kita tidak membantahnya. Namun, apa yang dimaukan
dengannya?
Diriwayatkan dari ‘Ubaid bin Rafi’ bahwa ketika kaum Khawarij
mengatakan “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”, Ali radhiyallahu
‘anhu pun berkata: “Kalimat yang haq, namun yang mereka maukan adalah
kebatilan. Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menggambarkan kepada kami suatu kaum, maka kamipun telah mengenalinya.
Yaitu sekelompok orang yang berbicara kebenaran, namun tidak melewati
ini –sambil mengisyaratkan ke tenggorokannya–. Mereka adalah
makhluk-makhluk yang paling dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala….” (HR. Muslim, Kitabuz Zakah juz 7 hal. 173)
Kalau saja mereka menulis dalil-dalil tersebut dalam rangka
memperingatkan dan mengancam, maka kamipun sepakat. Karena Al-Imam Ahmad
rahimahullahu menyatakan dalam masalah wa’id (ancaman): “Biarkanlah
ancaman seperti apa adanya, agar manusia menjadi takut.” Namun ketika
men-ta’yin (menentukan si Fulan atau si Allan) kafir, tentu kita harus
merincinya. Karena pada dalil-dalil itu bisa jadi yang dimaksud
kufur ashghar (kafir kecil) atau kufur akbar (kafir besar), kafir amali
atau kafir i’tiqadi, dan lain-lain. Namun yang kita bahas kali ini adalah kebodohan mereka dalam penerapan dalil-dalil tersebut serta akibat dari kebodohan mereka.
Adapun kebodohannya, sangat jelas sekali. Karena mereka
menerapkan dalil-dalil kepada orang-orang yang masih shalat, berpuasa,
mengeluarkan zakat dan pergi haji. Bukankah di antara hukum Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang mendasar adalah ibadah tersebut? Berarti mereka
–paling tidak– masih berhukum dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam perkara-perkara yang sangat penting tersebut, yang merupakan
dasar-dasar keislaman. Oleh karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk memerangi penguasa yang masih shalat.
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ،
يُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ
الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ
وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ
بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا
عَمَلَهُ، وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik penguasa kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan
mereka mencintai kalian, yang kalian mendoakan (kebaikan, pent.) mereka
dan mereka mendoakan kalian. Dan sejelek-jelek penguasa kalian adalah
yang kalian membenci mereka dan mereka membenci kalian, serta kalian
melaknat mereka dan mereka melaknat kalian.” Dikatakan:”Wahai
Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau
bersabda: “Jangan selama mereka masih menegakkan shalat di
tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari penguasa kalian sesuatu
yang tidak kalian sukai, bencilah perbuatannya namun jangan mencabut
tangan kalian dari ketaatan.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya juz 3
hal. 1481 cet. Daru Ihya`ut Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. 1, dari jalan
Yazid bin Yazid, dari Zuraiq bin Hayyan, dari Muslim bin Qaradhah, dari
‘Auf radhiyallahu ‘anhu)
Ibnu ‘Allan rahimahullah wa ghafarallahu lahu (semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala merahmati dan mengampuni beliau) berkata: “Ucapan beliau
‘selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian’ adalah
larangan untuk memerangi mereka selama mereka masih menegakkan shalat. Karena
shalat merupakan tanda-tanda keislaman mereka. Sebab perbedaan antara
kekafiran dan keislaman adalah shalat. Yang demikian karena kekhawatiran
akan timbulnya fitnah dan perpecahan di kalangan kaum muslimin, yang
tentunya lebih parah kemungkarannya daripada bersabar terhadap kejelekan
dan kemungkaran yang muncul dari penguasa tersebut.” (Dalilul Falihin li Thuruqi Riyadhis Shalihin juz 1 hal. 473 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut)
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Mereka (Khawarij) adalah
sejahat-jahat makhluk, karena membawa ayat-ayat yang turun tentang orang
kafir kemudian diterapkannya kepada kaum muslimin.” (Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari rahimahullahu, Kitab Istitabatil Murtaddin juz 8 hal. 51)
Maka jangan teperdaya dengan banyaknya ucapan dari para ulama salaf,
Ahlus Sunnah dan Ahlul Hadits, yang dinukil dalam tulisan-tulisan
mereka. Karena semua itu hanya sesuatu yang dipakai untuk menutupi
kebatilan mereka. Para ulama berbicara tentang bahayanya berhukum dengan
selain hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam bentuk ancaman, kemudian
mereka menyimpulkannya dengan pengkafiran kaum muslimin dan penghalalan
darah secara ta’yin!
Terlebih kebanyakan mereka berusia muda serta bodoh karena minimnya
kedewasaan mereka. Sehingga mereka hanya mengandalkan semangat dan
‘otot’ saja, tanpa dilandasi oleh ilmu serta pertimbangan yang matang.
Hal seperti ini pun digambarkan dalam riwayat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai berikut:
سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ
سُفَاهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ لاَ
يُجَاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَمَا
يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيْتُمُوْهُمْ
فَاقْتُلُوْهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya tapi
bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang
paling baik. Keimanan mereka tidak melewati tenggorokannya. Mereka
keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di
mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh
mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Al-Imam Al-Ajurri rahimahullahu berkata tentang Khawarij: “Tidak ada
perselisihan di antara para ulama yang dahulu maupun sekarang bahwa
Khawarij adalah kaum yang sangat jelek. Mereka bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
walaupun mereka melakukan shalat, puasa, dan bersungguh-sungguh dalam
beribadah.”
Maka, akibatnya sangat fatal sekali. Dengan kebodohannya mereka
mengkafirkan penguasa berikut aparaturnya, pendukungnya serta semua yang
tidak mengkafirkan mereka. Kemudian mereka menghalalkan darahnya serta
membolehkan pemberontakan dan praktik-praktik teror. Ini sangat fatal,
karena mereka menjadikan citra Islam demikian menakutkan di mata
manusia. Akhirnya islamofobia menjalar di masyarakat. Sungguh para
pengacau Khawarij memikul dosa besar atas rusaknya gambaran Islam yang
dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Padahal
sesungguhnya diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa
Islam ini adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya`: 107)
Karikatur orang-orang kafir Denmark –la’natullah ‘alaihim– memang
sangat menyakitkan. Namun apakah pemicu perbuatan mereka kalau bukan
perbuatan para teroris banci?!
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya
berperang melawan orang-orang kafir namun mereka tetap berwibawa di
hadapan kawan dan lawan. Mengapa? Karena perang mereka sangat gentle.
Memerangi kafir harbi dan tidak memerangi kafir dzimmi, mu’ahad, dan
utusan-utusan. Berhadapan muka, bukan dari belakang. Membunuh tentara
mereka dan tidak membunuh warga sipil, wanita, dan anak-anak.
Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berjalan bersama pasukannya. Kemudian beliau melihat orang-orang
mengerumuni sesuatu, maka beliau mengutus seseorang untuk melihatnya.
Ternyata didapati seorang wanita yang terbunuh oleh pasukan terdepan
yang dipimpin oleh Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْطَلِقْ إِلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيْدِ فَقُلْ لَهُ إِنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُكَ يَقُوْلُ لاَ
تَقْتُلَنَّ ذُرِّيَّةً وَلاَ عَسِيْفًا
“Pergilah kepada Khalid dan katakanlah kepadanya: ‘Sesungguhnya
Rasulullah melarang engkau membunuh dzurriyyah (wanita dan anak-anak)
dan pekerja (warga sipil)’.” (HR. Abu Dawud)
Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قُلْ لِخَالِدٍ لاَ تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلاَ عَسِيْفًا
“Katakan kepada Khalid: ‘Jangan ia membunuh wanita dan pekerja’.”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ath-Thahawi. Lihat Ash-Shahihah karya
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu, 6/314)
Dengan kata lain, kebodohan kaum reaksioner Khawarij telah menyuburkan berbagai bentuk kerusakan, di antaranya: meruntuhkan
kebersamaan kaum muslimin, pertumpahan darah sesama muslim, kekacauan,
dan yang lebih parah lagi adalah rusaknya citra Islam. Tidak
heran jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan mereka
dengan gambaran-gambaran yang sangat jelek dan mengerikan. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut mereka sebagai anjing-anjing neraka,
sejelek-jelek bangkai di bawah naungan langit, dan lain-lain.
Diriwayatkan dari Abu Ghalib rahimahullahu bahwa ia berkata: “Pada
saat aku berada di Damaskus, tiba-tiba didatangkanlah 70 kepala dari
tokoh-tokoh Haruriyyah (Khawarij) dan dipasang di tangga-tangga masjid.
Pada saat itu datanglah Abu Umamah –sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam– kemudian masuk ke masjid. Beliau shalat dua rakaat,
lalu keluar menghadap kepala-kepala tadi. Beliau memandangnya beberapa
saat sambil meneteskan air mata, kemudian berkata: “Apa yang dilakukan
oleh iblis-iblis ini terhadap ahlul Islam?” (tiga kali diucapkan). Dan
beliau berkata lagi: “Anjing-anjing neraka.” (juga tiga kali diucapkan).
Kemudian beliau berkata:
هُمْ شَرُّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمْاءِ، خَيْرُ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوْهُ
“Mereka adalah sejelek-jelek bangkai di bawah naungan langit, dan
sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang dibunuh oleh mereka.”
(tiga kali)
Kemudian beliau menghadap kepadaku seraya berkata: “Wahai Abu Ghalib,
sesungguhnya engkau berada di negeri yang banyak tersebar hawa nafsu
dan banyak kekacauan.” Aku menjawab: “Ya.” Beliau berkata: “Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala melindungimu dari mereka.” Aku katakan: “Tetapi
mengapa engkau menangis?” Beliau menjawab: “Karena kasih sayangku kepada
mereka, sesungguhnya mereka dulunya adalah golongan Islam (di atas
Islam yang benar).” Aku bertanya kepadanya: “Apakah yang kau sampaikan
itu sesuatu yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam atau sesuatu yang kau sampaikan dari pendapatmu sendiri?!” Beliau
menjawab: “Kalau begitu, berarti aku sangat lancang jika aku
menyampaikan apa yang tidak aku dengar dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya –hingga
beliau menyebutnya sampai tujuh kali. (Hadits hasan, diriwayatkan oleh
Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah hal. 156)
Diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jahman, beliau berkata: “Saya masuk
menemui Ibnu Abi Aufa dalam keadaan beliau telah buta. Aku memberi salam
kepadanya. Ia pun menjawab salamku, kemudian bertanya: “Siapakah engkau
ini?” Aku menjawab: “Saya Sa’id bin Jahman.” Dia bertanya lagi: “Apa
yang terjadi pada ayahmu?” Aku menjawab: “Dia dibunuh oleh sekte
Azariqah (salah satu sekte Khawarij).” Maka Ibnu Abi Aufa mengatakan
tentang Azariqah: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memerangi Azariqah.
Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan
kepada kami:
أَلآ إِنَّهُمْ كِلاَبُ أَهْلِ النَّارِ
“Ketahuilah bahwa mereka adalah anjing-anjing penduduk neraka.”
Aku bertanya: “Apakah sekte Azariqah saja atau seluruh Khawarij?”
Beliau menjawab: “Seluruh Khawarij.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim
rahimahullahu hal. 428 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah)
Sebaliknya, kita lihat orang-orang yang cerdas dan berilmu yaitu para
shahabat radhiyallahu ‘anhum ketika mengalami masa-masa fitnah. Di
antaranya Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu yang –konon katanya[1]–
diusir oleh khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Maka beliau
pergi ke Syam. Ternyata di Syam pun terjadi perselisihan dengan
gubernurnya yaitu Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu. Ia pun keluar dari Syam
dan tinggal di desa terpencil yang bernama Rabadzah. Apa sikap beliau?
Apakah ia bergabung bersama Khawarij memerangi penguasa untuk membela
pribadinya?
Sungguh itulah dugaan kaum reaksioner Khawarij kepada Abu Dzar
radhiyallahu ‘anhu. Tetapi Abu Dzar tidak sebodoh yang mereka sangka.
Ketika mereka mendatangi Rabadzah dan mengatakan kepadanya: “Kibarkanlah
bendera untuk kami! Niscaya kami akan menjadi tentaramu melawan
khalifah ‘Utsman!” Abu Dzar pun menjawab: “Demi Allah, kalaupun ‘Utsman
mengusirku ke timur ataupun ke barat, niscaya aku pun akan mendengar dan
taat.” (Ath-Thabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa’d, juz 4 hal. 227, melalui kitab
Mauqif Ash-Shahabah fil Fitnah karya Dr. Muhamad Amhazun juz 1 hal.
457)
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah rahimahullahu, Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu berkata: “Wahai ahlul Islam, jangan kalian tawarkan kejelekan
kalian kepadaku! Jangan kalian jatuhkan kehormatan penguasa. Karena
sesungguhnya barangsiapa menghinakan penguasa (muslim) maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakannya.” (Mushannaf, juz 15 hal. 227
melalui kitab Mauqif Ash-Shahabah fil Fitnah oleh Dr. Muhamad Amhazun
juz 1 hal. 457)
Jangan kita mengatakan bahwa sikap tersebut khusus karena penguasanya
adalah seorang shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu. Jangan bodoh atau berpura-pura bodoh! Bukankah pelajaran yang
kita ambil adalah dari keumuman lafadznya, yaitu “penguasa muslim”?
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan ada penguasa
yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia, tidak mengikuti
As-Sunnah. Namun tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan
untuk sabar dan menahan diri selama masih shalat (lihat kembali rubrik
Nasihat edisi lalu).
Sungguh kita tidak sedang membela para penguasa. Tidak pula
menyamakan penguasa kita dengan ‘Utsman bin ‘Affan. Jauh sekali
perbedaan antara keduanya. Tetapi kita mengajak kaum muslimin untuk
menghitung dengan hitungan hikmah dan As-Sunnah. Agar kita
tidak terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar, menyalakan api
peperangan sesama kaum muslimin, mengacaukan keamanan yang akan merusak
kehidupan kaum muslimin dan lain-lain, dengan mengatasnamakan dakwah dan
jihad. Wallahul musta’an.
__________
[1] Saya katakan “konon katanya”, karena ternyata riwayatnya tidaklah
benar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tidaklah diusir, melainkan menyendiri
atas kemauannya sendiri, karena perbedaan pendapat yang terjadi antara
beliau dengan beberapa shahabat yang lain.
SIAPAKAH PENGUASA ITU?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
” Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan untuk mentaati para imam (penguasa,-pent) yang ada , yang
telah dimaklumi (dikenal,-pent), yang memiliki kekuasaan, yang dengan
keuasaan tersebut mereka mampu mengatur urusan manusia, bukannya
mentaati imam yang tidak ada, tidak di kenal, tidak memiliki kekuasaan
dan tidak memiliki kekuatan sama sekali." (Minhajus Sunnah1/115)
Syaikh ‘Abdus Salam bin Barjaz -rahimahullah- mengomentari : ”Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jam’ah Islam yang ada sekarang. mereka memilih salah satu seorang diantara mereka -secara rahasia- kemudian
membai’atnya dan mereka mewajibkan pada diri mereka dan
pengikut-pengikutnya untuk dengar dan ta’at padanya. Dari satu sisi, perbuatan
ini berasal dari pemikiran khawarij dan dari sisi yang lain meniru
orang-orang kafir tatkala mereka mengadakan pemberontakan terhadap
penguasa mereka.
’Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Maka barangsiapa yang telah
membai’at seorang amir (penguasa) tapi tidak berdasarkan kesepakatan
musyawarah kaum muslimin, maka bai’at orang yang membai’at dan orang
yang di bai’at sama-sama tidak sah, bahkan dengan kata lain mereka telah
menyerahkan diri untuk dibunuh.” (HR.Ahmad dan Bukhary). (lihat Mu’amalatul Hukkam hal.39)
Berkata Syaikh ‘Abudurahman bin Nashir As-Sa’dy: ”Imam-imam
kaum muslimin adalah penguasa mereka dari shultan yang paling
besar, amir, hakim, sampai pada semua yang memiliki kekuasaan, baik kecil
maupun besar.”(lihat Ar-Riyadh An-Nadhiroh hal.49)
Al Hasan Al-Bashry berkata :”Penguasa adalah mereka yang
mengatur lima perkara kita : Sholat Jum’at, Sholat Jama’ah, Hari Raya
‘ied, menjaga wilayah dari musuh (jihad) dan pelaksanaan undang-undang
(hukum-hukum Syari’at)…”.(lihat : Adab al Hasan Al-Bashry karya Ibnul Jauzy hal 121)
APAKAH TETAP TAAT dan MENDENGAR WALAUPUN TIDAK DI BAI’AT?
Kata Syaikhul Islam: ”Apa yang Allah dan RasulNya perintahkan berupa
ketaatan kepada Wulatul Umur (penguasa) dan menasehati mereka adalah
wajib atas seluruh manusia walaupun mereka tidak mengadakan perjanjian
(bai’at,-pent) sebagai penguat dan penetapan dari apa yang Allah dan
Rasul-Nya perintahkan dari ketaatan kepada Wulatul Umur (penguasa) dan
menasehati mereka, maka yang bersumpah atas perkara-perkara tersebut
tidak halal baginya untuk melakukan apa yang dia telah bersumpah
atasnya, apakah bersumpah dengan Allah atau selainnya dan sumpah-sumpah
yang kaum Muslimin bersumpah dengannya. Maka sesungguhnya apa yang Allah
wajibkan dari ketatan kepada wulatul umur (penguasa) dan menasehati
mereka adalah wajib walaupun tidak bersumpah atasnya. Bagaimana lagi
jika dia bersumpah atasnya!?. Dan apa yang Allah da Rasul-Nya larang
dari maksiat kepada mereka (penguasa,-pent) dan menipu mereka adalah
haram walaupun tidak bersumpah atasnya.
Dan ini sebagaimana jika dia bersumpah untuk sholat lima waktu, Puasa
Ramadhan atau menetapkan yang Haq yang wajib atasnya, bersaksi dengan
haq, maka sesungguhnya ini adalah wajib atasnya walaupun dia tidak
bersumpah, bagaimana lagi jika dia bersumpah atasnya!? Dan apa-apa yang
Allah dan Rasul-Nya larang darinya Kesyirikan, dusta, minum khamar, berbuat
Zhalim, dosa besar, menghianati Wulatul Umur (penguasa) dan keluar dari
apa yang Allah perintahkan dengannya untuk taat kepada mereka adalah
haram walaupun dia tidak bersumpah, bagaimana lagi jika dia bersumpah
!?. (lihat: Qo’idatun Mukhtashoroh fii Wujubi Tho’atillahi wa Rosulihi wa Wulatil Umur hal.35-36)
[Majalah An-Nashihah volume 08 1425 H/ 2004 M]
Sumber: http://kaahil.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar