Madzhab Al-Hanafiyyah
berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam (hijamah) merupakan
salah satu dari pembatal wudhu. As-Sarkhasi berkata: “Menurut kami,
seseorang yang berbekam maka wajib baginya berwudhu dan mencuci bagian
tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan keluarnya najis
(yaitu darah bekaman (dianggap) najis di sisi mereka). Bila dia berwudhu
namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka bila bagian itu
lebih besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh mengerjakan shalat. Namun
bila kurang dari itu boleh baginya mengerjakan shalat.”
Adapun madzhab Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah
berpendapat bahwa berbekam atau sengaja mengeluarkan darah dengan
merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya segumpal darah dengan cara
diisap tidaklah membatalkan wudhu. Az-Zarqani berkata: “Berbekam
tidaklah membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang yang
dibekam. Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit
atau urat.”
Dalam kitab Al-Umm disebutkan: “Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan dan berbekam.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 17/14). Inilah pendapat yang rajih,
karena tidak adanya dalil yang bisa dijadikan hujjah bahwa berbekam itu
membatalkan wudhu. Adapun hadits yang menyatakan dukungan penguatan
bahwa berbekam itu tidak membatalkan wudhu pada sanadnya ada pembicaraan
terhadap salah seorang rawinya yaitu Shalih ibnu Muqatil. Al-Imam
Ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang Shalih: “Bukan seorang
yang kuat.” Dan hadits ini didhaifkan oleh para imam seperti Al-Baihaqi,
An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar. (Al-Majmu 2/63, At-Talkhisul Habir,
1/171) (Sehingga kembali kepada hukum asal atau bara’ah ashliyah-red).
*) Diberitakan dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَصَلَّى ولَمْ يَتَوَضَّأ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa
berwudhu.” (HR. Ad-Daraquthni, 1/157 dan Al-Baihaqi, 1/141)
0 komentar:
Posting Komentar