-->

17 November 2012

Untuk Apa Kita di Ciptakan?


Penulis : Al ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An Nawawi
Kehidupan di dunia pada dasarnya hanyalah senda  gurau atau main-main saja. Orang akan semakin merugi bila tidak tahu  untuk apa ia diciptakan Allah dan menjalani kehidupan di dunia ini.
Kalau kita melihat besarnya kekuasaan Allah, niscaya kita akan segera  mengucapkan “Allahu Akbar”, “Subhanallah”. Allah menciptakan langit  tanpa tiang serta semua bintang yang menghiasinya dan Allah turunkan  darinya air hujan dan tumbuh dengannya segala jenis tumbuh-tumbuhan.  Bumi terhampar sangat luas, segala jenis makhluk bertempat tinggal di  atasnya, berbagai kenikmatan dikandungnya dan setiap orang dengan mudah  bepergian ke mana yang dia inginkan.
Binatang ada dengan berbagai jenis, bentuk, dan warnanya.  Tumbuh-tumbuhan dengan segala jenisnya dan buah-buahan dengan segala  rasa dan warnanya. Laut yang sangat luas dan segala rizki yang ada di  dalamnya semuanya mengingatkan kita kepada kebesaran Allah dan  ke-Mahaagungan-Nya.
Kita meyakini bahwa Allah menciptakan semuanya itu memiliki tujuan  dan tidak sia-sia. Maka dari itu mari kita berlaku jujur pada diri kita  dan di hadapan Allah yaitu tentu bahwa kita juga diciptakan oleh Allah  tidak sia-sia, dalam arti kita diciptakan memiliki tujuan tertentu yang  mungkin berbeda dengan yang lain. Allah berfirman:
“Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan  kalian secara main-main dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada  Kami?” (Al Mu’minun: 115)
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Al Qiyamah: 36)
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah”.(Shad: 27)
”Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Ad Dukhan: 38)
Dari ayat-ayat di atas sungguh sangat jelas bahwa segala sesuatu yang  ada di muka bumi ini dan yang ada di langit serta apa yang ada di  antara keduanya tidak ada yang sia-sia. Lalu untuk siapakah semuanya  itu?
Mari kita melihat keterangan Allah di dalam Al Qur’an:
“Dialah yang telah menjadikan bumi terhampar buat kalian dan langit  sebagai atap dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia  menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untuk  kalian, karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah  padahal kalian mengetahuinya.” (Al Baqarah: 22)
”Dia Allah yang telah menjadikan segala apa yang di bumi untuk kalian.” (Al Baqarah: 29)
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian tempat menetap dan  langit sebagai atap, lalu membentuk kalian, membaguskan rupa kalian  serta memberi kalian rizki dari sebagian yang baik-baik yang demikian  itu adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.” (Al  Mu’min: 64)
Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (1/60) mengatakan: “Allah  mengeluarkan bagi mereka (dengan air hujan tersebut) segala macam  tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang bisa kita saksikan sebagai rizki  buat mereka dan binatang-binatang ternak mereka sebagaimana yang telah  disebutkan di banyak tempat di dalam Al Qur’an.”
As-Sa’di mengatakan di dalam tafsir beliau hal. 30: ”Allah  menciptakan segala apa yang ada di atas bumi buat kalian sebagai wujud  kebaikan Allah bagi kalian dan rahmat-Nya agar kalian juga bisa  mengambil manfaat darinya, bersenang-senang dan bisa menggali apa yang  ada padanya. (Kemudian beliau mengatakan) dan Allah menciptakan semuanya  agar manfaatnya kembali kepada kita.”
Sungguh sangat jelas bahwa semua apa yang ada di langit dan di bumi  dipersiapkan untuk manusia seluruhnya. Maha Dermawan Allah terhadap  hamba-Nya dan Maha Luas rahmat-Nya.
Dari keterangan di atas berarti manusia diciptakan oleh Allah dengan  dipersiapkan baginya segala kenikmatan, tentu memiliki tujuan yang agung  dan mulia. Lalu untuk apakah tujuan mereka diciptakan?
Tujuan Diciptakan Manusia
Manusia dengan segala nikmat yang diberikan Allah memiliki kedudukan  yang tinggi di hadapan makhluk yang lain. Tentu hal ini menunjukkan  bahwa mereka diciptakan untuk satu tujuan yang mulia, agung, dan besar.  Tujuan inilah yang telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.”(Adz Dzariat:56)
Abdurrahman As Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan: “Inilah tujuan  Allah menciptakan jin dan manusia dan Allah mengutus seluruh para rasul  untuk menyeru menuju tujuan ini yaitu ibadah yang mencakup di dalamnya  pengetahuan tentang Allah dan mencintai-Nya, bertaubat kepada-Nya,  menghadap dengan segala yang dimilikinya kepada-Nya dan berpaling dari  selain-Nya.”
Semua nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak lain  hanya untuk membantu mereka dalam mewujudkan tugas dan tujuan yang mulia  ini.
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam kitab Al Qaulul  Mufid (1/27) mengatakan: “Dengan hikmah inilah manusia diberikan akal  dan diutus kepada mereka para rasul dan diturunkan kepada mereka  kitab-kitab, dan jika tujuan diciptakannya manusia adalah seperti tujuan  diciptakannya binatang, niscaya akan hilang hikmah diutusnya para rasul  dan diturunkannya kitab-kitab karena yang demikian itu akan berakhir  bagaikan pohon yang tumbuh lalu berkembang dan setelah itu mati.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawa (1/4)  mengatakan: “Maka sesungguhnya Allah menciptakan manusia untuk  menyembah-Nya sebagaimana firman Allah ‘Dan tidaklah Aku menciptakan jin  dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.’ Ibadah kepada Allah  hanya dilakukan dengan cara mentaati Allah dan Rasul-Nya dan tidak  dikatakan ibadah kecuali apa yang menurut syariat Allah adalah sesuatu  yang wajib atau sunnah.”
Makna Ibadah
Ibadah secara bahasa artinya menghinakan diri. Sedangkan menurut  syariat, Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Nama dari segala yang dicintai oleh  Allah dan diridhai-Nya (yang terdiri) dari segala bentuk perbuatan dan  ucapan baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Al ‘Ubudiyyah, 38)
Macam Ibadah
Dari definisi Ibnu Taimiyah di atas kita mendapatkan faidah bahwa ibadah  itu ada dua bentuk yaitu ibadah yang nampak dan tidak nampak. Atau  dengan istilah lain ibadah dzahiriyyah dan ibadah bathiniyyah; atau  dengan istilah lain lagi ibadah badaniyyah dan ibadah qalbiyyah.
Ibadah badaniyyah atau dzahiriyyah adalah segala praktek ibadah yang  dapat dilihat melalui gerakan anggota badan yang diridhai Allah dan yang  dicintai-Nya seperti shalat, zakat, puasa, berhaji, berdzikir,  berinfak, menyembelih, bernadzar, menolong orang yang membutuhkan dan  sebagainya. Adapun ibadah bathiniyyah atau ibadah qalbiyyah adalah  ibadah yang terkait dengan hati dan tidak nampak seperti takut,  tawakkal, berharap, khusyu’, cinta, dan sebagainya.
Dari kedua jenis ibadah ini, yang paling banyak kaum muslimin  terjebak padanya adalah yang berkaitan dengan ibadah bathiniyyah atau  ibadah hati dikarenakan sedikit dari kaum muslimin yang mengetahuinya.
‘Ubudiyyah dan Tingkatannya
Telah berbicara para ulama tentang tingkatan ‘ubudiyah ini berdasarkan apa yang telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an.
Pertama, ‘ubudiyyah yang bersifat umum.
Ubudiyyah ini bisa dilakukan oleh setiap makhluk Allah yang muslim  atau yang kafir. Inilah yang diistilahkan dengan ketundukan terhadap  takdir dan sunnatullah. Allah berfirman:
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Maryam: 93).
Tentu di dalam ayat ini masuk juga orang-orang kafir.
Kedua, ‘ubudiyyah ketaatan yang bersifat umum.
Ini mencakup ketundukan setiap orang terhadap syariat Allah, sebagaimana firman Allah:
“Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang  yang berjalan di muka bumi ini dengan rendah hati (tawadhu’).” (Al Furqan: 63)
Ketiga, ‘ubudiyyah yang khusus.
Ubudiyyah yang khusus ini adalah tingkatan para Nabi dan Rasul Allah. Sebagaimana firman Allah tentang Nabi Nuh:
“Sesungguhnya dia adalah hamba-Ku yang bersyukur.” (Al Isra’: 3).
Kemudian Allah berfirman tentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Dan jika kalian ragu-ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami” (Al Baqarah: 23).
Dan Allah berfirman tentang seluruh para rasul:
“Dan ingatlah akan hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang  memiliki perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45).
Ini merupakan ‘ubudiyyahnya para rasul yang tidak ada seorangpun akan bisa mencapainya. (Al Qaulul Mufid, 1/36)
Syarat Diterimanya Ibadah
Tentu sebagai orang yang dikenai beban syariat tidak menginginkan  jikalau ibadah, pengabdian, dan pengorbanan kita tidak bernilai di  hadapan Allah. Telah sepakat para ulama Ahlus Sunnah bahwa sebuah ibadah  akan diterima oleh Allah dengan dua syarat, yaitu “mengikhlaskan niat  semata-mata untuk Allah” dan “mengikuti sunnah Rasulullah.”
Kedua syarat ini merupakan makna dari dua kalimat syahadat “Laa  ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah.” Kesepakatan Ahlus Sunnah  dengan kedua syarat ini dilandasi Al Qur’an dan hadits, di antaranya  adalah firman Allah:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amal itu sah dengan niat dan seseorang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan bukan dari perintahku maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.
______________

Artikel terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.