Penulis : Al ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An Nawawi
Kehidupan
di dunia pada dasarnya hanyalah senda gurau atau main-main saja. Orang
akan semakin merugi bila tidak tahu untuk apa ia diciptakan Allah dan
menjalani kehidupan di dunia ini.
Kalau
kita melihat besarnya kekuasaan Allah, niscaya kita akan segera
mengucapkan “Allahu Akbar”, “Subhanallah”. Allah menciptakan langit
tanpa tiang serta semua bintang yang menghiasinya dan Allah turunkan
darinya air hujan dan tumbuh dengannya segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Bumi terhampar sangat luas, segala jenis makhluk bertempat tinggal di
atasnya, berbagai kenikmatan dikandungnya dan setiap orang dengan mudah
bepergian ke mana yang dia inginkan.
Binatang
ada dengan berbagai jenis, bentuk, dan warnanya. Tumbuh-tumbuhan
dengan segala jenisnya dan buah-buahan dengan segala rasa dan warnanya.
Laut yang sangat luas dan segala rizki yang ada di dalamnya semuanya
mengingatkan kita kepada kebesaran Allah dan ke-Mahaagungan-Nya.
Kita
meyakini bahwa Allah menciptakan semuanya itu memiliki tujuan dan
tidak sia-sia. Maka dari itu mari kita berlaku jujur pada diri kita dan
di hadapan Allah yaitu tentu bahwa kita juga diciptakan oleh Allah
tidak sia-sia, dalam arti kita diciptakan memiliki tujuan tertentu yang
mungkin berbeda dengan yang lain. Allah berfirman:
“Maka
apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian
secara main-main dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mu’minun: 115)
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (Al Qiyamah: 36)
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah”.(Shad: 27)
”Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Ad Dukhan: 38)
Dari
ayat-ayat di atas sungguh sangat jelas bahwa segala sesuatu yang ada
di muka bumi ini dan yang ada di langit serta apa yang ada di antara
keduanya tidak ada yang sia-sia. Lalu untuk siapakah semuanya itu?
Mari kita melihat keterangan Allah di dalam Al Qur’an:
“Dialah yang telah menjadikan bumi terhampar buat kalian dan langit
sebagai atap dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untuk
kalian, karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah
padahal kalian mengetahuinya.” (Al Baqarah: 22)
”Dia Allah yang telah menjadikan segala apa yang di bumi untuk kalian.” (Al Baqarah: 29)
“Allah-lah yang menjadikan bumi bagi kalian tempat menetap dan langit
sebagai atap, lalu membentuk kalian, membaguskan rupa kalian serta
memberi kalian rizki dari sebagian yang baik-baik yang demikian itu
adalah Allah Tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam.” (Al
Mu’min: 64)
Ibnu
Katsir dalam tafsir beliau (1/60) mengatakan: “Allah mengeluarkan bagi
mereka (dengan air hujan tersebut) segala macam tumbuh-tumbuhan dan
buah-buahan yang bisa kita saksikan sebagai rizki buat mereka dan
binatang-binatang ternak mereka sebagaimana yang telah disebutkan di
banyak tempat di dalam Al Qur’an.”
As-Sa’di
mengatakan di dalam tafsir beliau hal. 30: ”Allah menciptakan segala
apa yang ada di atas bumi buat kalian sebagai wujud kebaikan Allah bagi
kalian dan rahmat-Nya agar kalian juga bisa mengambil manfaat darinya,
bersenang-senang dan bisa menggali apa yang ada padanya. (Kemudian
beliau mengatakan) dan Allah menciptakan semuanya agar manfaatnya
kembali kepada kita.”
Sungguh
sangat jelas bahwa semua apa yang ada di langit dan di bumi
dipersiapkan untuk manusia seluruhnya. Maha Dermawan Allah terhadap
hamba-Nya dan Maha Luas rahmat-Nya.
Dari
keterangan di atas berarti manusia diciptakan oleh Allah dengan
dipersiapkan baginya segala kenikmatan, tentu memiliki tujuan yang
agung dan mulia. Lalu untuk apakah tujuan mereka diciptakan?
Tujuan Diciptakan Manusia
Manusia
dengan segala nikmat yang diberikan Allah memiliki kedudukan yang
tinggi di hadapan makhluk yang lain. Tentu hal ini menunjukkan bahwa
mereka diciptakan untuk satu tujuan yang mulia, agung, dan besar.
Tujuan inilah yang telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an:
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.”(Adz Dzariat:56)
Abdurrahman
As Sa’di dalam tafsir beliau mengatakan: “Inilah tujuan Allah
menciptakan jin dan manusia dan Allah mengutus seluruh para rasul untuk
menyeru menuju tujuan ini yaitu ibadah yang mencakup di dalamnya
pengetahuan tentang Allah dan mencintai-Nya, bertaubat kepada-Nya,
menghadap dengan segala yang dimilikinya kepada-Nya dan berpaling dari
selain-Nya.”
Semua
nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia tidak lain hanya untuk
membantu mereka dalam mewujudkan tugas dan tujuan yang mulia ini.
Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin dalam kitab Al Qaulul Mufid
(1/27) mengatakan: “Dengan hikmah inilah manusia diberikan akal dan
diutus kepada mereka para rasul dan diturunkan kepada mereka
kitab-kitab, dan jika tujuan diciptakannya manusia adalah seperti
tujuan diciptakannya binatang, niscaya akan hilang hikmah diutusnya
para rasul dan diturunkannya kitab-kitab karena yang demikian itu akan
berakhir bagaikan pohon yang tumbuh lalu berkembang dan setelah itu
mati.”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawa (1/4) mengatakan: “Maka
sesungguhnya Allah menciptakan manusia untuk menyembah-Nya sebagaimana
firman Allah ‘Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka menyembah-Ku.’ Ibadah kepada Allah hanya dilakukan dengan
cara mentaati Allah dan Rasul-Nya dan tidak dikatakan ibadah kecuali
apa yang menurut syariat Allah adalah sesuatu yang wajib atau sunnah.”
Makna Ibadah
Ibadah
secara bahasa artinya menghinakan diri. Sedangkan menurut syariat,
Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Nama dari segala yang dicintai oleh Allah
dan diridhai-Nya (yang terdiri) dari segala bentuk perbuatan dan ucapan
baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Al ‘Ubudiyyah, 38)
Macam Ibadah
Dari
definisi Ibnu Taimiyah di atas kita mendapatkan faidah bahwa ibadah
itu ada dua bentuk yaitu ibadah yang nampak dan tidak nampak. Atau
dengan istilah lain ibadah dzahiriyyah dan ibadah bathiniyyah; atau
dengan istilah lain lagi ibadah badaniyyah dan ibadah qalbiyyah.
Ibadah
badaniyyah atau dzahiriyyah adalah segala praktek ibadah yang dapat
dilihat melalui gerakan anggota badan yang diridhai Allah dan yang
dicintai-Nya seperti shalat, zakat, puasa, berhaji, berdzikir,
berinfak, menyembelih, bernadzar, menolong orang yang membutuhkan dan
sebagainya. Adapun ibadah bathiniyyah atau ibadah qalbiyyah adalah
ibadah yang terkait dengan hati dan tidak nampak seperti takut,
tawakkal, berharap, khusyu’, cinta, dan sebagainya.
Dari
kedua jenis ibadah ini, yang paling banyak kaum muslimin terjebak
padanya adalah yang berkaitan dengan ibadah bathiniyyah atau ibadah
hati dikarenakan sedikit dari kaum muslimin yang mengetahuinya.
‘Ubudiyyah dan Tingkatannya
Telah berbicara para ulama tentang tingkatan ‘ubudiyah ini berdasarkan apa yang telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an.
Pertama, ‘ubudiyyah yang bersifat umum.
Ubudiyyah
ini bisa dilakukan oleh setiap makhluk Allah yang muslim atau yang
kafir. Inilah yang diistilahkan dengan ketundukan terhadap takdir dan
sunnatullah. Allah berfirman:
“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.” (Maryam: 93).
Tentu di dalam ayat ini masuk juga orang-orang kafir.
Kedua, ‘ubudiyyah ketaatan yang bersifat umum.
Ini mencakup ketundukan setiap orang terhadap syariat Allah, sebagaimana firman Allah:
“Dan hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang
berjalan di muka bumi ini dengan rendah hati (tawadhu’).” (Al Furqan: 63)
Ketiga, ‘ubudiyyah yang khusus.
Ubudiyyah yang khusus ini adalah tingkatan para Nabi dan Rasul Allah. Sebagaimana firman Allah tentang Nabi Nuh:
“Sesungguhnya dia adalah hamba-Ku yang bersyukur.” (Al Isra’: 3).
Kemudian Allah berfirman tentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
“Dan jika kalian ragu-ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami” (Al Baqarah: 23).
Dan Allah berfirman tentang seluruh para rasul:
“Dan
ingatlah akan hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang memiliki
perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45).
Ini merupakan ‘ubudiyyahnya para rasul yang tidak ada seorangpun akan bisa mencapainya. (Al Qaulul Mufid, 1/36)
Syarat Diterimanya Ibadah
Tentu
sebagai orang yang dikenai beban syariat tidak menginginkan jikalau
ibadah, pengabdian, dan pengorbanan kita tidak bernilai di hadapan
Allah. Telah sepakat para ulama Ahlus Sunnah bahwa sebuah ibadah akan
diterima oleh Allah dengan dua syarat, yaitu “mengikhlaskan niat semata-mata untuk Allah” dan “mengikuti sunnah Rasulullah.”
Kedua
syarat ini merupakan makna dari dua kalimat syahadat “Laa ilaaha
illallah dan Muhammadur Rasulullah.” Kesepakatan Ahlus Sunnah dengan
kedua syarat ini dilandasi Al Qur’an dan hadits, di antaranya adalah
firman Allah:
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amal itu sah dengan niat dan seseorang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan dan bukan dari perintahku maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam.
______________
Artikel terkait:
- Lalai untuk Belajar Islam
- Dua Syarat Diterimanya Ibadah
- Allah Melihat Hati dan Amal
- Allah Ta’ala Tidak Butuh Ibadah Kita
- Ikhlas Dalam Beribadah Kepada Allah
- Peran Niat Dalam Amal
- Sholat dan Hukumnya
- Lihatlah Photo dan Video ini Saudaraku... (Bagi yang Melalaikan Shalat)
- Jagalah Shalatmu, Wahai Saudaraku!
- Jangan Kau Buat Allah Cemburu!
- Pentingnya Amalan HatiKaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah
- Pentingnya Tauhid
- Tauhid Rububiyah, Uluhiyyah dan Asma’ Wash-Shifat
- Tiga Landasan Utama
- 10 Pembatal Keislaman
0 komentar:
Posting Komentar