إنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى،
فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
“Sesungguhnya
setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang
hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang
hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan
RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia
raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada
apa yang dia hijrah kepadanya”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu)
Pada edisi perdana ini, sengaja kami mengangkat syarh hadits ‘Umar bin Khoththob
yang masyhur tentang niat ini ke hadapan para pembaca dalam rangka
mencontoh beberapa ulama salaf yang memulai karangan mereka dengan
membawakan hadits ini. Berkata Imam ‘Abdurrahman bin Mahdy sebagaimana
dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnu Daqiqil ‘Ied
rahimahullah hal. 10 : “Sepantasnya bagi setiap orang yang mengarang
suatu karangan untuk membukanya dengan hadits ini sebagai peringatan
kepada para penuntut ilmu untuk memperbaiki niat”. Dan di antara para
ulama yang membuka karangannya dengan hadits ini adalah Imam Al-Bukhary dalam Shohih Al-Bukhary, Imam ‘Abdul Ghony Al-Maqdasy dalam ‘Umdatul Ahkam dan Imam An-Nawawy dalam Riyadhush Sholihin dan dalam Al-Arba’in An-Nawawiyah.
Takhrijul Hadits :
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul Khoththob radhiallahu ‘anhu.
Dari konteks sanadnya kita bisa melihat bahwa hadits ini adalah hadits ahad atau lebih tepatnya ghorib
karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini –secara shohih- dari
Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali ‘Umar, tidak
ada yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Umar kecuali ‘Alqomah, tidak ada
yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Yahya.
Komentar Para Ulama :
Berkata Imam Ibnu Rajab : ”Para ulama sepakat atas keshohihannya dan ummat telah bersepakat dalam menerimanya”.
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata dalam Syarh Arbain An-Nawawi
hal 9 : “Ini adalah hadits shohih yang disepakati akan keshohihannya
dan akan besarnya kedudukan dan keagungannya serta banyaknya
faedahnya”.
Berkata
Abu Ubaid : ”Tidak ada satupun hadits Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala
alihi wasallam yang lebih luas, lebih mencukupi dan lebih banyak
faedahnya dibandingkan hadits ini”.
Dan telah bersepakat para imam seperti Abdurrahman bin Mahdi, Asy-Sy afi’iy, Ahmad bin Hanbal, ‘Ali Ibnul Madini, Abu Dawud As-Sijistani, At-Tirmidzy, Ad-Daraquthny dan Hamzah Al-Kinani bahwa hadist ini adalah sepertiga ilmu.
Hal
ini dikomentari oleh Imam Al-Baihaqi dengan perkataannya : ”Hal
tersebut dikarenakan sesungguhnya amalan seorang hamba adalah dengan
hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, sedangkan niat merupakan salah
satu dari tiga bagian tersebut”. Lihat Syarh Arbain hal 10.
Abdurrahman
bin Mahdiy berkata : ”Hadits niat ini bisa masuk ke dalam 30 bab
ilmu”. Sedangkan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwa hadits ini bisa
masuk ke dalam 70 bab fiqhi.
Sababul Wurud (Sebab Keluarnya) :
Berkata An-Nawawy dalam Syarh Muslim
(13/81) : “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab keluarnya hadits ini
adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi
seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan
sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois)”.
Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :
مَنْ
هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُلٌُ
لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ, فَكَانَ يُقَالُ
مُهَاجِرُ أُمُّ قَيْسٍ
”Barangsiapa
yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia
hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi
wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama
Muhajir Ummu Qois”. (HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al (16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata : ”Sanadnya shohih”. Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim”).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
(22/218) : “…, karena sesungguhnya sebab keluarnya hadits ini adalah
bahwa seorang lelaki berhijrah dari Mekkah ke Medinah hanya untuk
menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois, maka Nabi Shollallahu
‘alai wa ‘ala alihi wasallam berkhutbah di atas mimbar dan menyebutkan
hadits ini”.
Adapun Al-Hafidz Ibnu Hajar, maka beliau berkata dalam Fathul Bary (1/10) : ”Akan tetapi tidak ada di dalamnya (yakni hadits Ibnu Mas’ud di atas) yang menunjukkan bahwa hadist Al A’mal
(hadits ‘Umar) diucapkan (oleh Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi
wasallam) dengan sebab hal tersebut, dan saya tidak melihat sedikitpun
pada jalan-jalan hadits tersebut (hadits Ibnu Mas’ud) ada yang tegas
menunjukkan tentang hal tersebut”.
Berkata
Ibnu Rajab : “Dan telah masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah
sebab sabda Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam (“barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi”) dan hal ini disebutkan oleh kebanyakan al-muta`akhkhirun (para
ulama belakangan) dalam karangan-karangan mereka. Akan tetapi saya
tidak melihat hal itu ada asalnya dengan sanad yang shohih, wallahu
a’lam”. Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75)
Dan hal ini lebih diperjelas dengan perkataan Imam Al-‘Iraqy dalam Thorhut Tatsrib (2/25-26)
: “Tidak ada seorangpun dari penyusun kitab tentang shahabat
–sepanjang apa yang saya lihat dari kitab-kitab itu- yang menyebutkan
lelaki yang mereka katakan bernama Muhajir Ummu Qois ini. Adapun Ummu
Qois yang disebutkan, maka Abul Khoththob bin Dihyah menyebutkan bahwa namanya adalah Qilah”.
Sebagai
kesimpulan bahwa kisah Muhajir Ummu Qois adalah kuat dan shohih, hanya
saja kalau dikatakan bahwa kisah ini adalah sebab keluarnya hadits
tentang niat ini maka ini adalah perkara yang tidak diterima karena
tidak ada satupun dalil yang menunjukkan akan hal tersebut, wallahu
a’lam.
Kosa Kata Hadits :
- Kata innama(hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya. Lihat Syarh An-Nawawy (13/54) dan Al-‘Il am karya Ibnu Mulaqqin (1/168).
- kata al-a’mal (setiap amalan). Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).
Berkata Al-Hafidz dalam Al-Fath (1/13) yang maknanya : “Dan yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang dilakukan oleh mukallaf (yang
terkena beban syari’at). Dibangun di atas hal ini, apakah amalan orang
kafir tidak termasuk dalam hadits ini?, yang nampak bahwa amalan
mereka tidak termasuk karena amalan-amalan yang diinginkan di sini
adalah amalan-amalan ibadah dan ibadah tidak syah dari seorang yang
kafir walaupun mereka dituntut untuk mengerjakannya dan disiksa karena
meninggalkannya”.
Dan Al-Hafidz Al-‘Iraqy
menyebutkan bahwa amalan di sini mencakup semua amalan anggota tubuh
termasuk ucapan, karena ucapan adalah amalan lidah dan lidah termasuk
dari anggota tubuh.
- Kata an-niyat (niat-niat). Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak.
Adapun secara istilah, niat adalah memaksudkan sesuatu dengan disertai pengamalan sesuatu tersebut. Lihat Al-Fatawa(18/251) dan (22/218) dan Hasyiyah Ar-Roudhul Murbi’ (1/189)
- Hijroh secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut fitnah dan untuk menegakkan agama.
Syaikh Ibnu Utsaimin membagi hijrah menjadi tiga jenis :
- Hijrah tempat, yaitu seseorang berpindah dari suatu tempat yang banyak maksiat, kefasikan, dan mungkin dari negara kafir kepada negara yang tidak dijumpai hal-hal tersebut.
- Hijrah amalan, yaitu seseorang meninggalkan suatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang dari berbagai jenis kemaksiatan dan kefasikan.
- Hijrah pelaku, yaitu seseorang menjauhi orang yang terang-terangan berbuat maksiat dengan syarat akan timbul maslahat yang besar ketika dia menjauhi orang tersebut.
Lihat Syarh Riyadhus Sholihin (1/15).
Syarh (Penjelasan) :
Pembahasan tentang hadits ini dari beberapa sisi :
- Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya :
اَلنِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ الْعَمَلِ فِيْهَا الصَّلاَحُ وَالْفَسَادُ لِلْعَمَلِ
“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.
Hal ini nampak jelas dari perkataan para ulama dalam menafsirkan hadits ini :
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “… dan ada kemungkinan taqdir (makna secara sempurna) dari sabda beliau “setiap amalan tergantung dengan niat-niatnya” adalah
bahwa setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya,
berpahala atau tidak berpahala- ditentukan oleh niat-niatnya, sehingga
hadits ini menerangkan tentang hukum suatu amalan secara syar’iy”.
Lihat Fathul Bary (1/13)
Dan semakna dengannya perkataan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz
Alu Asy-Syaikh dalam syarh beliau terhadap hadits ini : “Sesungguhnya
setiap amalan –syah atau rusaknya, diterima atau ditolaknya- hanyalah
dengan sebab niatnya”.
- Sabda beliau “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan” memberikan tambahan makna yang tidak ditunjukkan oleh potongan hadits sebelumnya.
Faedah didatangkannya kalimat “dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan” setelah kalimat “sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya” dari beberapa sisi :
-
- Penjelasan bahwa menentukan apa yang dia niatkan juga adalah syarat syahnya suatu amalan. Misalnya jika seseorang masuk ke dalam mesjid setelah adzan Zhuhur lalu sholat 2 raka’at, maka tidak cukup baginya hanya berniat untuk sholat dua raka’at akan tetapi harus dia menentukan niatnya, yaitu apakah dua raka’at ini adalah sholat tahiyatul masjid atau sholat sunnah rawathib atau sekedar sholat sunnah mutlak. Hal ini dikatakan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81)
- Di dalamnya terdapat dalil bahwa semua amalan yang bukan ibadah terkadang bisa mendapatkan pahala bila orang yang mengamalkannya meniatkan dengannya ibadah. Misalnya memberikan nafkah kepada keluarga –yang asalnya adalah bukan amalan ibadah- dengan niat menjalankan kewajiban yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan kepadanya terhadap keluarganya, maka perbuatannya ini akan diberikan pahala sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Abi Waqq ash dari Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam bahwa beliau bersabda kepadanya :
وَإِنَّك لَنْ تَنْفَقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِيْ فِي امْرَأَتِكَ
“…
dan tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah yang kamu harapkan
dengannya wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala atasnya
termasuk apa yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu”. (HSR. Bukhary-Muslim)
-
- Sesungguhnya setiap amalan yang zhohirnya adalah ibadah akan tetapi bila dilakukan dengan niat sekedar adat kebiasaan maka amalannya tidak akan mendapatkan pahala sama sekali sampai dia niatkan dengannya ibadah, walaupun amalannya dianggap syah. Lihat Thohut Tatsrib (2/10).
- Berkata Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulum (1/65) : “Bukanlah kalimat (yang kedua) ini sekedar pengulangan dari kalimat yang pertama, karena kalimat yang pertama menunjukkan bahwa syahnya amalan atau rusaknya sesuai dengan niat yang mengharuskan terjadinya amalan tersebut. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa pahala orang yang beramal atas amalannya sesuai dengan niatnya yang baik dan bahwa siksaan atasnya (dia peroleh) sesuai dengan niatnya yang rusak. Dan terkadang niatnya adalah niat yang mubah sehingga amalannya dianggap amalan mubah yang tidak menghasilkan pahala atau siksaan”.
- Sabda beliau “maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya” adalah kalimat syarat sedangkan “maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya” adalah
kalimat jawaban dari syarat. Kaidah dalam ilmu bahasa Arab bahwa
kalimat syarat harus berbeda dengan kalimat jawaban dari syarat,
sedangkan dalam hadits ini kalimat syarat dan jawabannya memiliki
lafadz yang sama. Maka dalam hal ini para ulama memberikan tiga jawaban
:
- Bahwa perbedaan antara kalimat syarat dengan jawabannya bisa dari sisi lafadz –dan ini kebanyakannya- dan bisa pula dari sisi makna –sebagaimana dalam hadits ini-, dan ini bisa dipahami dari konteks hadits.
- Samanya lafadz antara kalimat syarat dan jawabannya berfungsi untuk menunjukkan makna melebih-lebihkan atau memperbesar-besar perkara, apakah dalam rangka pengagungan terhadap suatu amalan –sebagaimana dalam hadits ini- atau sebaliknya dalam rangka menghinakan suatu amalan. Kedua jawaban ini disebutkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (1/16)
- Ada kata yang terbuang yang dengannya akan nampak perbedaan antara kalimat syarat dengan jawabannya, sengaja dihilangkan karena sudah jelas maknanya. Taqdir (makna secara sempurna) dari kalimat ini adalah : “Maka barangsiapa yang niat dan maksud hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka pahala dan ganjaran hijrahnya kepada Allah dan RasulNya”. Ini adalah jawaban dari Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah dalam Syarhul Arba’in hal. 12.
- Sabda beliau Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam “barangsiapa
yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita
yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah
kepadanya” di dalamnya terdapat dua faedah :
- Dalam kalimat ini Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam hanya menyebutkan kalimat jawaban syarat dengan sabdanya “maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya” dan tidak mengulangi lafadznya sebagaimana ketika beliau menyebutkan tentang hijrah karena Allah dan RasulNya. Hal ini menunjukkan akan rendah dan hinanya apa yang dia niatkan dengan hijrahnya sekaligus menunjukkan rendah dan hinanya dunia dan wanita bila keduanya dijadikan sebagai niat dalam beribadah.
- Fitnah-fitnah dalam beragama sangatlah banyak, pemberian contoh dalam hadits dengan fitnah dunia dan fitnah wanita menunjukkan besarnya kedua fitnah ini dibandingkan fitnah-fitnah lainnya dan lebih terkhusus lagi fitnah wanita karena disebutkan secara sendiri –padahal wanita termasuk dari dunia- menunjukkan fitnah wanita lebih besar daripada fitnah dunia.
Berikut
beberapa hadits dari Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam yang menunjukkan besarnya kedua fitnah ini serta wajibnya
seorang muslim untuk menghindar dari kedua fitnah ini :
Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu :
يَتْبَعُ
الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ
أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى
عَمَلُهُ
“Mayat
diikuti (ke kuburan) oleh tiga (perkara), akan kembali dua dan akan
tinggal (bersamanya) satu. Dia diikuti oleh keluarganya, hartanya dan
amalannya, maka akan kembali keluarga dan hartanya sedang yang tinggal
adalah amalannya”. (HSR. Bukhary-Muslim)
Hadits Miswar bin Makhromah radhiallahu ‘anhu :
فَوَاللَّهِ
مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ
تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا
أَهْلَكَتْهُمْ
“Maka demi Allah,
bukan kemiskinan yang saya takutkan atas kalian, akan tetapi yang saya
takut atas kalian adalah dilapangkannya dunia kepada kalian sebagaimana
telah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kalian kemudian kalian
berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka telah berlomba-lomba,
lalu dunia tersebut menghancurkan kalian sebagaimana telah
menghancurkan mereka”. (HSR. Bukhary-Muslim)
Hadits Ka’ab bin ‘Iyadh radhiallahu ‘anhu :
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap ummat mempunyai fitnah dan fitnahnya ummatku adalah harta”. (HR. At-Tirmidzy)
Hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Saya tidaklah meninggalkan setelahku suatu fitnah kepada manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki daripada para wanita”. (HSR. Bukhary-Muslim)
Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu :
إِيَّاكُمْ
وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita, maka ada seorang
lelaki dari Anshor yang berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapatmu tentang ipar?, beliau menjawab : Ipar adalah kematian”. (HSR. Bukhary-Muslim)
-
Perkara yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu bahwa sekedar
niat yang baik dalam beramal sama sekali tidaklah cukup sebagai sebab
diterimanya amalan tersebut oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi
–sebagaimana yang dimaklumi- bahwa suatu amalan –bagaimanapun besar
dan hebatnya- tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari
siapapun juga kecuali setelah terpenuhinya dua syarat :
- Hendaknya amalan tersebut dikerjakan semata-mata karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sebagaimana yang terkandung dalam hadits ‘Umar ini.
- Hendaknya amalan tersebut secara zhohirnya sesuai dengan sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam, makna ini yang terkandung dalam hadits :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘ A`isyah radhiallahu ‘anha)
Dan penjelasan tentang dua syarat ini insya Allah akan kita bahas lebih meluas pada tempatnya.
Beberapa faedah yang terdapat dalam hadits ini :
- Bantahan terhadap Mu’tazilah dan yang mengikuti mereka yang menolak pendalilan dengan hadits ahad dalam perkara ‘aqidah. Karena hadits ini adalah hadits Ghorib sebagaimana telah berlalu akan tetapi tidak ada seorangpun di kalangan para ulama yang menolak berdalilkan dengan hadits ini dalam masalah niat yang merupakan perkara penting dalam ‘aqidah.
- Bantahan atas Murji’ah yang berkata bahwa iman adalah dengan sekedar ucapan lisan walaupun tanpa keyakinan dalam hati. Hal ini terbantah dengan nash-nash yang jelas dan kesepakatan di kalangan para ulama bahwa sesungguhnya orang-orang munafik berada di dasar neraka yang paling bawah, padahal mereka mengucapkan kalimat tauhid.
- Tidak boleh beramal sebelum mengetahui hukumnya, karena mustahil seseorang bisa berniat dengan niat yang benar bila dia tidak memiliki ilmu tentang amalan tersebut.
- Wajibnya memberikan perhatian dan penjagaan terhadap amalan-amalan hati, juga wajib berhati-hati dari riya, sum’ah dan beramal untuk mendapatkan dunia.
- Hendaknya orang yang memberikan suatu kaidah memberikan perincian dan contoh pengamalan dari kaidah tersebut sehingga lebih mudah dipahami dan diamalkan. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam setelah beliau memberikan kaidah “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”, beliau merinci dan memberi contoh dengan sabdanya “maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya …” sampai akhir hadits.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “Dua kalimat ini (yaitu “Sesungguhnya
setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang
hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”) adalah dua kaidah
yang tidak ada satupun amalan yang keluar darinya, lalu beliau
menyebutkan setelahnya satu contoh dari contoh-contoh amalan yang
bentuknya satu tapi berbeda baik dan buruknya sesuai dengan
niat-niatnya, dan beliau seakan-akan bersabda : “Dan seluruh amalan
yang lain berjalan di atas contoh ini”.
- Bantahan terhadap sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits shohih disyaratkan minimal adalah hadits ‘aziz.
Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
{Lihat : Thorhut Tatsrib 2/20, Al-‘Ilam 1/207, Jami’ul ‘Ulum (1/72)dan Majmu’ul Fatawa (18/279-280)}
(Diringkas oleh Abu Mu’awiyah dari pelajaran Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah yang dibawakan oleh Ust. Dzulqarnain hafizhohullah)
Sumber : Jurnal Al-Atsariyyah Vol. 01/Th01/2006
====================================
- Hadits Ahad adalah hadits yang belum mencapai derajat mut awatir. Sedangkan hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang pada setiap tingkatan sanad yang mustahil secara adat kebiasaan mereka sengaja berkumpul untuk membuat suatu kedustaan.
- Hadits Ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang.
- Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dari dua orang.
Melafazhkan Niat, Madzhab Syafi'iyyah?
Ada
sebuah fenomena yang jarang mendapatkan sorotan oleh kebanyakan orang,
karena ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya, di antaranya
adalah faktor taqlid, jahil terhadap agama, banyaknya orang yang
melakukannya sehingga sudah menjadi sebuah adat yang mendarah-daging,
sulit dihilangkan, kecuali jika Allah menghendakinya. Sehingga
terkadang menjadi sebab perselisihan, perseteruan dan permusuhan di
kalangan kaum muslimin sendiri. Di antara fenomena tersebut,
tersebarnya kebiasaan “melafazhkan niat” ketika hendak melaksanakan ibadah, utamanya shalat.
Definisi Niat
Kalau kita membuka kitab-kitab kamus berbahasa arab, maka kita akan jumpai ulama bahasa akan memberikan definisi tertentu bagi niat.
Ibnu Manzhur -rahimahullah- berkata, “Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Sedang niat adalah arah yang dituju”. [Lihat dalam Lisan Al-Arab (15/347)]
Imam Ibnu Manzhur-rahimahullah- juga berkata, “Jadi niat itu merupakan amalan hati
yang bisa berguna bagi orang yang berniat, sekalipun ia tidak
mengerjakan amalan itu. Sedang penunaian amalan tidak berguna baginya
tanpa adanya niat. Inilah makna ucapannya: Niat seseorang lebih baik
daripada amalannya”. [Lihat Lisan Al-Arab (15/349)]
Dari
ucapan ulama bahasa ini, bisa kita simpulkan bahwa niat adalah maksud
dan keinginan seseorang untuk melakukan suatu amalan dan pekerjaan.
Jadi niat itu merupakan amalan hati.
Hakekat Madzhab Syafi’iyyah dalam Masalah ini
Banyak
orang di negeri kita, ketika mereka diberitahu bahwa melafazhkan niat
saat kalian ingin berwudhu’ atau shalat tak ada sunnah dan contohnya,
karena tak pernah dilakukan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabatnya. Serta-merta mereka marah dan beralasan: “Siapa yang mengatakan tidak ada contohnya? Inikan madzhab Syafi’iy !!”
Alasan ini tidaklah berdasar, karena ada dua hal berikut ini :
Pertama
, Madzhab tidaklah bisa dikatakan contoh atau dijadikan dalil, sebab
dalil menurut para ulama adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’.
Kedua
, madzhab Syafi’iy justru sebaliknya menyatakan bahwa niat itu
tempatnya di hati, tak perlu dilafazhkan. Betul ada sebegian kecil di
antara Syafi’iyyah yang berpendapat demikian, namun ini bukan pendapat
madzhab, dan mayoritas, bahkan minoritas. Selain itu, pendapat yang
ditegaskan oleh sebagian kecil dari pengikut madzhab Asy-Syafi’iy dalam
masalah ini telah disanggah sendiri oleh Imam An-Nawawy, sebagaimana
telah kami sebutkan tadi. Maka kelirulah orang yang menyatakan bahwa
“bolehnya melafazhkan niat” merupakan madzhab Asy-Syafi’iy dan
pengikutnya.
Mengeraskan dan melafazhkan niat bukanlah termasuk sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan tidak wajib menurut empat ulama madzhab baik dalam wudhu’, shalat, shaum (puasa) maupun ibadah lainnya, bahkan merupakan perkara baru yang diada-adakan oleh sebagian orang-orang belakangan.
Syaikh Ala’uddin Ibnul Aththar, dari kalangan madzhab Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata, “Mengeraskan suara ketika berniat disertai gangguan terhadap orang-orang yang sedang shalat merupakan perkara haram menurut ijma’. Jika tidak disertai gangguan, maka ia adalah bid’ah yang jelek.
Jika ia maksudkan riya’ dengannya, maka ia haram dari dua sisi,
termasuk dosa besar. Orang yang mengingkari seseorang yang berpendapat
itu sunnah, orangnya benar. Sedangkan orang yang membenarkannya keliru.
Menisbahkan hal itu kepada agama Allah karena ia yakin itu agama,
merupakan kekufuran. Tanpa meyakini itu agama, (maka penisbahan itu)
adalah maksiat. Wajib bagi orang mukmin yang mampu untuk melarangnya
dengan keras, mencegah dan menghalanginya. Perkara ini tidaklah pernah
dinukil dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , seorang
sahabatnya, dan tidak pula dari kalangan ulama kaum muslimin yang bisa
dijadikan teladan”. [Lihat Majmu'Ar-Rosa'il Al-Kubro (1/254-257), di dalamnya disebutkan ucapan kedua ulama di atas]
Imam Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakr As-Suyuthy -rahimahullah- , seorang ulama bermadzhab Syafi’iyyah berkata, “Diantara
jenis-jenis bid’ah juga adalah berbisik-bisik ketika berniat shalat.
Itu bukanlah termasuk perbuatan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan
para sahabatnya. Mereka tidaklah pernah mengucapkan niat shalat,
selain takbir. Allah -Ta’ala- berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh pada diri Rasulullah ada contoh yang baik bagi kalian”. (QS. Al-Ahzab: 21)
Asy-Syafi’iy
-radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Berbisik-bisik ketika berniat shalat,
bersuci termasuk bentuk kejahilan terhadap syari’at, dan kerusakan
dalam berpikir”. [Lihat Al-Amr bil Ittiba’ wa An-Nahyu an Al-Ibtida’ (hal. ......)]
Syaikh Abu Ishaq Asy-Syairozy-rahimahullah-, seorang pembesar madzhab Syafi’iyyah berkata, “Kemudian
ia berniat. Berniat termasuk fardhu-fardhu shalat karena berdasarkan
sabda Nabi, [“Sesugguhnya amalan itu tergantung niatnya dan bagi setiap
orang apa yang ia niatkan”.], dan karena ia juga merupakan ibadah
murni (mahdhoh). Maka tidak sah tanpa disertai niat seperti puasa.
Sedang tempatnya niat itu adalah di hati. Jika ia berniat dengan hatinya, tanpa lisannya, niscaya cukup.
Di antara sahabat kami ada yang berkata, [“Dia berniat dengan hatinya,
dan melafazhkan (niat) dengan lisan”.] Pendapat ini tak ada nilainya
karena niat itu adalah menginginkan sesuatu dengan hati”. [Lihat Al-Muhadzdzab (3/168-bersama Al-Majmu’) karya Asy-Syairazy -rahimahullah-]
Imam An-Nawawy -rahimahullah- berkata ketika menukil pendapat orang-orang bermadzhab Syafi’i yang membantah ucapan Abu Abdillah Az-Zubairy di atas, “Para
sahabat kami -yakni orang-orang madzhab Syafi’iyyah- berkata, [“Orang
yang berpendapat demikian telah keliru. Bukanlah maksud Asy-Syafi’i
dengan “mengucapkan” dalam shalat adalah ini (bukan melafazhkan niat). Bahkan maksudnya adalah (mengucapkan ) takbir”. ]”. [Lihat Al-Majmu (3/168)]
Takbir merupakan awal gerakan dan perbuatan yang dilakukan dalam shalat, tapi tentunya didahului adanya niat, maksud dan keinginan untuk shalat, tanpa melafazhkan niat karena niat merupakan pekerjaan hati. Kalau niat dilafazhkan, maka tidak lagi disebut “niat”, tapi disebut “an-nuthq” atau “at-talaffuzh”, artinya “mengucapkan”. Semoga dipahami, ini penting !!
Banyak
sekali dalil-dalil yang menunjukkan takbir merupakan awal gerakan
shalat, tanpa didahului melafazhkan dan mengeraskan niat. Diantara
dalil-dalil tersebut:
Dari Ummul Mu’minin A’isyah Rodhiyallahu anha berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَلاَةَ بِالتَكْبِيْرِ
“Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- membuka shalatnya dengan takbir” .[HR. Muslim dalam Ash-Shahih (498)]
Hadits
ini menunjukkan bahwa beliau membuka shalatnya dengan melafazhkan
takbir, bukan melafazhkan niat atau sejenisnya yang biasa dilakukan
oleh sebagian orang yang tidak paham agama, seperti melafazhkan ta’awwudz, basmalah atau dzikir yang berbunyi, “ilaika anta maqshudi waridhaka anta mathlubi” (artinya, “Tujuanku hanyalah kepada-Mu, dan ridha-Mu yang aku cari”).
Dari
sini kita mengetahui dan memastikan bahwa melafazhkan dan menjaharkan
niat tak ada tuntunannya dari Nabi. Maka alangkah benarnya apa yang
ditegaskan oleh Syaikh Ahmad bin Abdul Halim Al-Harroniy-rahimahullah- ketika beliau berkata, “Andaikan
seorang di antara mereka hidup seumur Nuh -‘alaihis salam– untuk
memeriksa: apakah Rasulullah atau salah seorang sahabatnya pernah
melakukan hal itu, niscaya ia tak akan mendapatkannya, kecuali ia
terang-terangan dusta. Andaikan dalam hal ini ada kebaikannya, niscaya
mereka akan mendahului dan menunujuki kita”. [Lihat Lihat Mawarid Al-Aman (hal. 221)]
Ringkasnya,
melafazhkan dan mengeraskan niat merupakan perkara baru dan bid’ah
yang tak ada dasarnya dalam Islam. Jika seseorang mengamalkannya, dia
telah menyelisihi petunjuk Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
yang tidak pernah mengajarkan perkara itu kepada sahabatnya, dan akhir
dari pada amalan orang ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan (agama)
kami ini yang bukan termasuk darinya,maka perkara itu tertolak”. [HR.Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (2697)]
Al-Imam Abu Zakariya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata dalam Al-Minhaj (12/16), “Hadits
ini merupakan sebuah kaedah agung di antara kaedah-kaedah Islam.
Hadits termasuk jawami’ al-kalim (ucapan ringkas, tapi padat maknanya)
dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, karena ia gamblang dalam
menolak segala perbuatan bid’ah, dan sesuatu yang diada-adakan”.
Ibnu Daqiq Al-Ied-rahimahullah- dalam Syarah Al-Arba`in An-Nawawiyah (hal.43), “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung di antara kaidah-kaidah agama. Dia termasuk “Jawami’ Al-Kalim”
(ucapan ringkas, tapi padat maknanya) yang diberikan kepada
Al-Mushthofa -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena hadits ini jelas
sekali dalam menolak segala bentuk bid`ah dan perkara-perkara baru”.
Di antara perkara baru dan bid’ah yang tertolak amalannya adalah melafazhkan niat dan sejenisnya [Lihat Al-Ibda’ fi Madhoor Al-Ibtida’ (hal. 256-257) oleh Syaikh Ali Mahfuzh, As-Sunan Wa Al-Mubtada’at (hal. 45) oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad Asy-Syuqoiry, Al-Bida’ wa Al-Muhdatsat wa Ma La Ashla Lahu (hal. 497-498 & 635), Fatawa Islamiyyah (1/315) oleh Syaikh Ibnu Baz, Tashhih Ad-Du’a (hal. 317-318) oleh Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dan As-Sunan Al-Mubtada’at fi Al-Ibadat (hal. 32-36) oleh Amer Abdul Mun’im Salim -rahimahumullah-]
Abu Ubaidah Mashyhur bin Hasan Salman-hafizhohullah- berkata dalam Al-Qoul Mubin (hal. 95), “Kita
bisa menyimpulkan dari pembahasan terdahulu bahwa nash-nash ucapan
para ulama dari berbagai tempat dan zaman menetapkan bahwa menjaharkan
niat merupakan bid’ah, dan barangsiapa yang menyatakan sunnah, maka ia
sungguh telah berbuat keliru atas nama Imam Asy-Syafi’iy”. [Lihat Al-Ifshoh (1/56),Al-Inshof (1/142), Fath Al-Qodir (1/186),Majmu’ Al-Fatawa(22/223), dan Maqoshid Al-Muakallafin fi Ma Yuta’abbad bihi Robbul Alamin (hal. 132 dan seterusnya)]
Terakhir,
melafazhkan niat bukanlah madzhab Imam Asy-Syafi’i dan kebanyakan para
pengikutnya. Bahkan Imam Az-Zairazy dan An-Nawawy sendiri yang
terhitung orang terkemuka dalam madzhab Syafi’iyyah mengingkari
pendapat bolehnya melafazhkan niat sekalipun pendapat itu datangnya
dari orang bermadzhab Syafi’i. Demikianlah sewajarnya yang diikuti oleh
kaum muslimin. Jika ia menemukan suatu pendapat yang tak berdasarkan
Sunnah, dan telah sampai padanya kebenaran, ia berhak menyatakan
pendapatnya keliru sekalipun berlawanan dengan madzhab dan hawa
nafsunya. [Lihat Tashhih Ad-Du’a (hal. 318) oleh Syaikh Bakr Abu Zaid.]
Sumber : Buletin
Jum’at Al-Atsariyyah edisi 09 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu,
Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan
Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout :
Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di atas.
(infaq Rp. 200,-/exp)
Jika suatu perkara tak ada tuntunannya dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para sahabatnya, maka hal itu akan mendatangkan malapetaka dan
musibah bagi pelakunya berupa dampak buruk yang kadang tidak terpikir
oleh pelakunya. Demikian pula melafazhkan niat banyak memiliki dampak
buruk.
Ibnul Jauzy -rahimahullah- mengisahkan nasib orang-orang yang melafazhkan niat seraya berkata, "Diantara
(tipuan setan) itu yaitu tipuannya terhadap mereka ketika berniat
sholat. Maka diantara mereka ada yang berkata, "Saya berniat sholat
demikian". Lalu ia ulangi karena ia kira niatnya batal. Padahal
niatnya tidak batal, sekalipun ia melafazhkannya. Diantara mereka ada
yang bertakbir, lalu ia batalkan. Bertabir lagi , lalu dibatalkan.
Jika imam sudah ruku’, maka orang kena was-was inipun bertakbir. Eh,
apakah yang menyebabkan hadirnya niat ketika itu ?! Itu tidaklah
terjadi kecuali karena Iblis ingin meluputkannya dari fadhilah dan
keutamaan. Diantara orang-orang yang kena was-was, ada yang bersumpah
dengan nama Allah, "Saya tidak ada akan bertakbir lagi kecuali kali
ini". Ada juga diantara mereka yang bersumpah atas nama Allah akan
meninggalkan hartanya, dan mentalaq istrinya. Semua ini merupakan
tipu-daya setan. Padahal syari’at itu mudah dan bersih dari
bahaya-bahaya seperti ini, dan juga hal ini tak pernah terjadi pada
diri Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya
sedikitpun". [Lihat Talbis Iblis (hal.138) karya Ibnul Jauzy]
Orang
ini telah dikuasai waswas yang dihembuskan oleh setan ke dalam
jiwanya. Sedang waswas ini muncul disebabkan karena niat sebenarnya
sudah ada di hati orang waswas ini, namun ia sendiri menyangka niat
tak ada di hati, lalu ia hendak menghadirkan niatnya dengan bantuan
lisannya. Padahal menghadirkan sesuatu yang sudah ada, itu perkara
mustahil. [Lihat Majmu' Al-Fatawa (18/263-264) oleh Syaikhul Islam]
Alangkah benarnya apa yang ditegaskan oleh seorang ulama Maghrib, Syaikh Muhammad Al-Muntashir Ar-Raisuny–rahimahullah-
bahwa orang yang senantiasa melafazhkan niat tidak lepas dari dua
kemungkinan, entah dia itu salah jalan, atau dia itu orang yang
dikuasai oleh waswas setan yang selalu berusaha untuk mengacaukan
ibadah orang dan membisikkan kepadanya bahwa niat harus dilafazhkan
dan dikeraskan, tak cukup di hati saja!! Padahal niat itu cukup di hati, tak perlu dibuatkan lafazh tertentu lalu diucapkan atau dijaharkan. [ Lihat Wa Kullu Bid'ah Dholalah, (hal.91-92)]
Dirangkum dalam tiga artikel http://almakassari.com/
Artikel terkait:
- Peran Niat Dalam Amal
- Ikhlas Dalam Beribadah Kepada Allah
- Dua Syarat Diterimanya Ibadah
- Pengertian Ikhlas
- Wasiat dan Pernyataan Para Imam Ahlus Sunnah Tentang Berittiba'
- Jangan Lakukan Itu, Kecuali Al-Faatihah, karena Tidak Sah Shalat Bagi Orang yang Tidak Membaca Al-Faatihah
- Posisi Imam dan Makmum Dalam Shalat Berjama'ah
- Wajibnya Merapatkan dan Meluruskan Shaf
- Yang Dibolehkan Ketika Puasa
- Shalawat-Shalawat Bid’ah Buatan Kaum Sufi
- Shalawat-Shalawat Nabi yang Shahih
- Lafadz “SAYYIDUNA” Dalam Sholat, Bermasalahkah?
- Tawassul, Ibadah Agung yang Banyak Diselewengkan
- Mengungkap Bahaya Fanatik Mazhab
0 komentar:
Posting Komentar