Oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
Apakah air mani itu najis? Bila
najis, apakah cara mencuci pakaian yang terkena air mani itu sama dengan
cara mencuci pakaian yang terkena darah haidh?
Agus Dukhron Qori
Komplek MI Muhammadiyah Jatijajar, Ayah, Kebumen
Komplek MI Muhammadiyah Jatijajar, Ayah, Kebumen
Dalam permasalahan najis atau sucinya air
mani, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama
menyatakan bahwa air mani itu najis, sebagaimana pendapat Al-Imam Abu
Hanifah dan Al-Imam Malik. Sebagian ulama yang lain berpendapat air mani
itu suci, sebagaimana pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad.
Dari dua pendapat tersebut, yang rajih -insya’ Allah- adalah pendapat kedua, yang menyatakan bahwa air mani itu suci. Hal ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh, di antaranya:
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيْهِ (رَوَاهُ
مُسْلِمْ)
“Bahwasanya aku dahulu mengerik (air
mani) dari pakaian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian
beliau shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Muslim)
Dalam lafazh lain:
لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَا بِسًا بِظُفْرِي مِنْ ثَوْبِهِ (رواه مسلم)
“Dahulu aku mengerik air mani yang telah kering dengan kukuku dari pakaian Rasulullah.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas, jelaslah bahwa air mani merupakan sesuatu yang suci karena :
1. Perbuatan ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ
membersihkan air mani yang telah kering tersebut hanya mengerik dengan
kukunya. Kalau seandainya air mani adalah sesuatu yang najis, maka tidak
cukup mensucikannya hanya dengan mengeriknya.
2. Sikap Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
menunda pembersihan air mani yang menimpa pakaiannya hingga kering,
juga menunjukkan bahwa air mani itu suci. Kalau seandainya najis, maka
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam akan segera
membersihkannya, sebagaimana kebiasaan beliau di dalam mensikapi
benda-benda najis, seperti peristiwa tertimpanya pakaian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
oleh air kencing anak kecil. Dalam hadits Ummu Qais binti Mihshan yang
diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim yang artinya; Dia
(Ummu Qais binti Mihshan -red) datang menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seorang bayi yang belum memakan makanan, kemudian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendudukkannya di kamarnya, kemudian bayi tersebut kencing di pakaian Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka segera Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta air dan menyiramkannya pada pakaiannya.
Begitu pula peristiwa seorang Badui yang kencing di masjid, sebagaimana dikisahkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim.
Pendapat yang kedua ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
Sementara itu, cara membersihkan air mani adalah dengan dua cara:
1. Boleh dicuci dengan air, sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dengan lafazh:
كَانَ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ الْمَنِي ثُمَّ
يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاةِ فِي ذَلِكَ الثَّوْبِِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى
أَثَرِ الْغَسْلِ (متفق عليه)
“Bahwasanya Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam mencuci air mani, kemudian keluar shalat dengan
mengenakan pakaian tersebut, sementara aku melihat adanya bekas cucian
tersebut.”
2. Dengan mengeriknya (dengan kuku), sebagaimana dalam hadits yang telah lalu jika air mani telah kering. Dan juga boleh dicuci walaupun telah kering.
Sedangkan darah haidh adalah sesuatu yang
najis hukumnya dan cara mencucinya pun berbeda (dengan cara mencuci air
mani) serta cenderung lebih ekstra. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Asma’ binti Abi Bakr yang kurang lebih artinya:
“Telah datang seorang wanita kepada
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan berkata: ‘Salah satu dari
kami telah tertimpa pakaiannya oleh darah haidh, apa yang bisa dia
lakukan?’ Berkata Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa salam: ‘Dikerik
(dengan kukunya), kemudian dikucek dengan air, kemudian dibasuh/disiram
dengan air, kemudian boleh baginya shalat dengan memakai pakaian
tersebut.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari hadits tersebut, diketahui bahwa darah haidh adalah darah yang najis, karena Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencucinya dengan cara yang ekstra
ketat sebelum digunakan pakaian tersebut untuk shalat. Bahkan dalam
riwayat hadits Ummu Qais yang diriwayatkan Al-Imam Abu Dawud, Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencucinya
dengan air yang telah dicampur dengan daun bidara. Sebagaimana
disebutkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitabnya Al-Jaami’ Ash-Shahih (1/481) dengan judul ‘Bab Tata Cara Mencuci Darah Haidh’.
Dengan ini telah jelaslah perbedaan hukum air mani dengan darah haidh serta cara mencuci keduanya.
Wallaahu a’lamu bish shawaab.
Sumber:
http://almuslimah.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar