-->

17 Agustus 2012

INGKARUS SUNNAH PERUSAK AL-QUR’AN

Penulis: al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron –hafidzohulloh-


Tafsir Ayat:
…. Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu (Nabi) menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. an-Nahl [16]: 44)
Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua wahyu yang tidak bisa dipisahkan. Barangsiapa berpegang pada salah satunya saja dengan meninggalkan yang lain, sungguh dia telah tersesat. Ironisnya, ada sebagian kalangan yang merasa cukup dengan al-Qur’an, tidak mau mengambil as-Sunnah. Merekalah kaum Qur’aniyyun alias Inkarus Sunah.
Syaikh Abdul Wahhab bin Abdul Jabbar ad-Dahlawi rohimahulloh berkata: “Musibah yang menimpa kaum muslimin pada zaman sekarang ialah tersebarnya kelompok yang berpegang hanya kepada al-Quran dan menolak hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam yang mutawatir. Musibah ini melanda negeri-negeri Islam, khususnya India. Mereka mempunyai organisasi yang menamakan dirinya “Ahlu al-Qur’an”. Mereka sebarkan pemahaman ini lewat tulisan, brosur, dan majalah India. Akan tetapi, mereka telah dibantah oleh para ulama India, seperti Syaikh as-Sayid Sulaiman an-Nadawi rohimahullohTahqiq . (lihat Tahqiq Ma’na as-Sunnah oleh an-Nadawi: 24).
Betapa banyak ayat al-Qur’an yang butuh penjelasan dari as-Sunnah, seperti ayat sholat, zakat, dan lainnya. Ayat di atas (QS. an-Nahl [16]: 44) menjadi rujukan kami untuk menjelaskan betapa pentingnya kita berpegang kepada as-Sunnah. Mustahil kita bisa mengamalkan al-Qur’an tanpa keterangan dari sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
tafsir ayat
Syaikh al-Albani rohimahulloh berkata: “Yang dapat saya pahami dari ayat ini ada dua keterangan:

1. Penjelasan lafazh dan tata letaknya, yaitu beliau shollallohu alaihi wa sallam tidak menyembunyikannya, tetapi menyampaikan kepada umatnya (lihat surat al-Ma’idah [5]:67).

Aisyah rodhiyallohu anha berkata: ‘Barangsiapa menuduh bahwa Mu­hammad shollallohu alaihi wa sallam menyimpan sedikit saja dari ayat Alloh, sungguh orang (penuduh) ini paling besarnya dustanya di sisi Alloh’ (HR. Muslim 1/159)
2. Beliau shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan makna lafazh dan makna secara umum atau menerangkan makna ayat yang menjadi kebutuhan umatnya. Terutama apabila ayat itu bersifat glo­bal, umum, atau mutlak, maka as-Sunnah menerang­kan yang masih global, mengkhususkan yang umum, dan mentaqyid yang mutlak, baik lewat perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau tatkala melihat sahabatnya berbuat.” (Manzilatus Sunnah fil Islam oleh al-Albani: 4)
Syaikh Sulaiman an-Nadawi rohimahulloh berkata: “Berdasarkan ayat ini, apabila para sahabat tidak memahami suatu ayat, mereka segera merujuk maknanya ke­pada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Apabila ada suatu peristiwa, mereka me­nyampaikan kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallamshollallohu alaihi wa sallam menjelaskan puasanya tetap sah, karena orang lupa dan keliru tidak dihukum sebagaimana disebutkan di dalam surat al-Ahzab [33]: 5.” (Tahqiq Ma’na as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadawi: 29-30 ta’liq wa tahrij al-Albani dkk.) untuk mendapatkan penjelasan dan pelajaran yang belum didapatkan sebelumnya. Misalnya puasa, al-Qur’an tidak menjelaskan hukum orang berpuasa apabila dia lupa makan dan minum, tetapi Nabi
faedah ayat
Ayat ini mendapat perhatian serius dari para ulama Sunnah. Dari keterangan mereka dapat kita ambil beberapa faedah:
1. Para sahabat rodhiyallohu anhum mengerti al-Qur’an karena menerima keterangan dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam mengajarkan makna al-Qur‘an kepada para sahabat dan lafazhnya. Abu Abdirrohman as-Sulami rohimahulloh berkata: ‘Orang yang membaca al-Qur’an seperti Utsman bin Affan dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhuma bercerita kepada kami, apa­bila mereka belajar dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam sepuluh ayat, tidaklah melanjutkannya sehingga mereka betul-betul paham, mengerti, dan mengamalkannya” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 13/331)
2. Imam Syafi’i berkata: “Ayat ini menjadi dalil, sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam merupakan penjelas al-Qur’an.” (al-Mahsul 3/513)
Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan al-Qur’an ke­pada mereka dengan keterangan yang lengkap. Jika tidak menger­ti, para sahabat segera bertanya kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu beliau segera menjelaskannya.” (I’lamul Muwaqqi’in 4/153)
3. Ayat ini membantah Qur’aniyyun.
Imam Ibnu Hazm rohimahulloh berka­ta: “Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang mujmal (global) seperti sholat, zakat, haji, dan lainnya, yang tidak kita ketahui apa yang harus kita kerjakan. Akan teta­pi, dengan keterangan Nabi shollallohu alaihi wa sallam kita menjadi tahu. Oleh karena itu, apabila keterangan beliau ini dapat dipercaya penukilannya maka batallah orang yang beralasan dengan dalil al-Qur’an saja….” (al-Ihkam 1/78)
3. Wajib menerima hadits ahad yang shohih.
Al-Amidi rohimahulloh berkata: “Risalah yang sampai kepada kita adakalanya mutawatir dan (ada-kalanya) ahad, sedangkan yang mutawatir hanya sedikit; maka jika hadits ahad ditolak, tentulah tidak akan terwujud fungsi beliau shollallohu alaihi wa sallam sebagai penyampai risalah untuk semua lapisan manusia, dan ini mustahil karena Alloh subhanahu wa ta’ala menyuruh Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan ayat kepada mereka (lihat QS. an-Nahl [16]: 44).” (al-Ihkam 2/68, oleh al-Amidi)
5. Ingkar as-Sunnah sesat dan jahil.
Imam Ibnu Abdil Bar rohimahulloh berkata: “Tidak mungkin me­mahami maksud ayat al-Qur’an melainkan lewat Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Belumkah kamu membaca firman-Nya dalam surat an-Nahl [16]: 44? Belumkah kamu ketahui bahwa sholat, zakat, haji, puasa, dan semua hukum di dalam al-Qur’an umumnya masih global? Lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan hu-kumnya. Barangsiapa menolak hadits yang shohih, dia sesat dan jahil.” (at-Tamhid 23/324)
6. Keterangan Nabi shollallohu alaihi wa sallam tentang ayat al-Qur’an berdasarkan wahyu.
Aisyah rodhiyallohu anha berkata: “Tidak­lah Nabi shollallohu alaihi wa sallam(ats-Tsiqqot Ibnu Hibban 7/395) menafsirkan ayat al-Qur’an sedikitpun melainkan karena Jibril alaihissalam mengajarkan kepada beliau.”
7. As-Sunnah untuk mengetahui halal dan harom.
Mujahid rohimahulloh berkata: “Mak­na ayat tersebut, agar Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam menjelaskan yang halal dan yang harom kepada manusia.” (ad-Durrul Mantsur 5/133)
8. As-Sunnah pelengkap keterangan al-Qur’an.
Ibnu Rojab rohimahulloh berkata: “Tidaklah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam meninggal dunia melainkan setelah sempurna menjelaskan al-Qur’an ke­pada umatnya, sebagaimana ke­terangan surat an-Nahl [16]: 44.”
makna as-sunnah
Sering kita dengar terucap perkataan: “Fulan di atas Sunnah”, “Mari kita berpegang ke­pada as-Sunnah”, dan perkataan lain yang serupa. Agar kita tidak salah menafsirkan makna as-Sun­nah dan siapakah ahlinya, mari kita ikuti pembahasannya.
As-Sunnah ada dua macam: (1) sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sunnah para sahabatnya shollallohu alaihi wa sallam. Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: (2)
“Maka wajib atasmu berpegang dengan sunnahku (petunjukku) dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapat petunjuk dan menunjukkan jalan yang haq. ” (HR. Abu Dawud: 3991, bersumber dari al-’Irbadh bin Sariyah rodhiyallohu anhu; dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Sunan Abi Dawud, lihat pula Shohihul Jami’: 2549)
Pengambilan kalimat “as-Sunnah”
Sulaiman an-Nadwi rohimahulloh ber­kata: “Sebagian orang jahil berkata bahwa kalimat as-Sunnah diambil dari kata masnat bahasa Ibrani, artinya orang Yahudi meninggalkan Taurot karena berpe­gang kepada riwayat Isra’iliyyah, sedangkan orang Islam meninggalkan al-Qur‘an karena berpe­gang kepada hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam lalu menamakannya as-Sunnah. Hal ini tidak benar, karena as-Sun­nah diambil dari ayat al-Qur’an, bukan dari bahasa Ibrani.
…. Dan tidaklah akan kamu dapati perubahan bagi sunnah (ketetapan) Kami itu. (QS. al-Isro’ [17]: 77).” (Tahqiq Ma’na as-Sunnah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadawi: 70)
Kami tambahkan, diambil pula dari sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam sebagai­mana keterangan hadits di atas.
“As-Sunnah” menurut bahasa
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Ahli bahasa ber­kata as-sunnah ialah jalan yang ditempuh.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/384)
“Sunnah” menurut bahasa ini bersifat umum, ada sunnah hasanah dan ada yang sayyi’ah, sebagaimana keterangan hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya.
Makna “as-Sunnah” yang sempurna
Imam Ibnu Rojab rohimahulloh berka­ta: “As-Sunnah meliputi berpe­gang kepada sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin dari sisi i’tiqod, amalan, dan perkataan. Inilah as-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, ulama salaf dahulu tidaklah menamai as-Sunnah melainkan bila mencakup ini semua.” (Jami’ul Ulum wal Hikam: 28)
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh ber­kata: “As-Sunnah ialah amalan yang berdasarkan dalil syar’i, menaati Alloh dan Rosul-Nya; (pada) perkara yang diamalkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam atau diamal­kan ]pada zamannya, yang beliau tinggalkan atau tidak diamalkan pada zamannya karena tidak ada keharusan pada waktu itu atau adanya hambatan, jika ada dalil bahwa beliau memerintahkan atau menganjurkan maka itulah sunnah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/317-318)
Jadi harus dibedakan dengan makna “sunnah” menurut ahli fiqih yang meninjau dari sisi hukum, bahwa sunnah adalah ama­lan yang bukan wajib; seperti sholat sunnah, puasa sunnah, dan contoh lainnya.
Beda “al-Hadits”dan “as-Sunnah”
Sulaiman an-Nadwi rohimahulloh ber­kata: “Al-Hadits ialah riwayat yang menerangkan perkataan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam. Sedang­kan as-Sunnah ialah pengamalan hadits dan al-Qur’an yang sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir, baik mutawatir lafzhi atau amali, yang dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan generasi sesudahnya; se­perti perintah sholat di dalam al-Qur’an lalu diperjelas oleh Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan sabda beliau: ‘Sholatlah kalian seperti kamu melihatku sholat’ dan amalan sholat ini dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan semua kaum muslimin. Demikian pula puasa, zakat, haji, dan semua perintah lainnya.” (Tahqiq Ma’na as-Sun­nah wa Bayanul Hajati Ilaiha oleh Sulaiman an-Nadwi: 52, 56)
Makna “as-Sunnah an-Nabawiyyah”
Syaikh Ibnu Utsaimin ber­kata: “As-Sunnah an-Nabawiyyah ialah yang dinukil dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan beliau. Mengamalkan as-Sunnah wajib, sebagaimana mengamalkan al-Qur’an.” (at-Tamassuk bi Sunnah an-Nabawiyyah wa Atsaruhu: 6, Ibnu Utsaimin)
Siapakah “Ahli as-Sunnah”?
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Fulan dikatakan ahli Sunnah apabila mengamal­kan al-Qur’an, as-Sunnah, dan atsar dalam segi i’tiqod, perbuatan, maupun perkataan. Ahli Sunnah bukanlah orang yang menyelisihi Alloh subhanahu wa ta’ala dan Nabi shollallohu alaihi wa sallam” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/384)
Ulama salaf berkata: “Ahli Sunnah mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah serta beramal seperti salafush-sholih dan mengikuti atsar para sahabat rodhiyallohu anhum.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/428)
Hadits yang shohih itulah “as-Sunnah”
Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “Maka wajib dibedakan antara hadits shohih dan hadits palsu. Sesungguhnya as-Sunnah adalah hadits yang shohih, bukan hadits yang lemah.” (Majmu’ Fatawa 3/380)
Bila “as-Sunnah” menjadi landasan hukum ?
Syaikh al-Albani rohimahulloh berka­ta: ‘As-Sunnah menjadi landasan hukum apabila datang berdasarkan ilmu dan sanad shohih yang dikenal oleh ulama hadits dan perowinya.” (Manzilatus Sunnah fil Islam: 5)
Dari keterangan di atas, kita dapat membedakan makna “sunnah” menurut bahasa dan istilah, kapan boleh dijadikan hujjah dan diamalkan, dan kapan seseorang berhak disebut “ahli Sunnah”.
penyebab ingkar sunnah
Orang mengingkari as-Sun­nah tentunya memiliki sebab dan tujuan. Inilah di antaranya:
1. Membenci Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan rosul. Ini berawal dari kelompok Yahudi yang tidak senang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
2. Agar manusia bebas berpikir dan berbuat menuruti hawa nafsunya, tidak terikat dengan ketentuan as-Sunnah.
3. Karena kebodohannya, tidak mau menuntut ilmu kepada ahlinya.
4. Memusuhi Islam dengan cara yang halus lewat mulut mereka. Mustahil mereka membela Islam kalau membenci as-Sunnah.
5. Memecah belah persatuan dan kekuatan kaum muslimin. Apabila al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah dan pemahaman sahabat rodhiyallohu anhum kaum muslimin menjadi kuat dan bersatu.
6. Memberi peluang musuh Is­lam agar bisa bersikap keras kepada kaum muslimin. Sebaliknya, mereka menjadikan umat Islam bersikap .lembut terhadap pemeluk agama lain, bersabar, dan suka memaaf-kan bila Yahudi atau Nasrani bersalah kepada kaum mus­limin.
Imam Ahmad berkata: “Barangsiapa menolak hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka dia di ambang pintu kehancuran.”
as-sunnah adalah wahyu alloh
Setelah kita memahami mak­na as-Sunnah an-Nabawiyyah, ketahuilah bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah dua wahyu yang tidak boleh dipisahkan. Dalil yang menerangkan bahwa as-Sunnah an-Nabawiyyah termasuk wahyu:
Dan (juga karena) Alloh telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui… (QS. an-Nisa‘ [4]: 113)
Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir berkata: “Al-Hikmah ialah Sun­nah.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/555, Tafsir ath-Thobari 3/274)
Dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. an-Najm [53]: 3-4)
al-qur‘an mengagungkan as-sunnah
Perlu kami sampaikan dalil dari ayat al-Qur‘an tentang wajibnya mengagungkan dan mengamalkan as-Sunnah. Orang yang berpegang kepada al-Qur’an harus berpegang kepada ayat yang menjelaskan keharusan berpegang kepada as-Sunnah pula. Jika tidak demikian, tidaklah benar pengakuan me­reka berpegang kepada ayat al-Qur’an. Inilah dalilnya:
1. Alloh subhanahu wa ta’ala memerintahkan supaya menaati Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Dan taatilah Alloh dan Rosul, supaya kamu diberi rohmat. (QS. Ali lmron[3]:132)
2. Alloh subhanahu wa ta’ala. menyifati seseorang sebagai mu’min bila taat ke­pada Nabi shollallohu alaihi wa sallam. (Lihat QS. al-Anfal [8]: 1, an-Nisa’ [4]: 63)
3. Alloh subhanahu wa ta’ala. menjelaskan bahwa di antara batalnya amal ialah karena tidak taat kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam. (Lihat QS. Muhammad [47]: 33)
4. Orang yang tersesat ialah orang yang durhaka kepada Rosul-Nya. (Lihat QS. al-Ah-zab [33]: 36)
5. Orang yang tidak taat kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam masuk neraka. (Li­hat QS. al-Jin [72]: 32)
6. Alloh subhanahu wa ta’ala menjadikan Nabi shollallohu alaihi wa sallamuswatun hasanah. (Lihat QS. al-Ahzab [33]: 21) sebagai
7. Al-Qur”an menerangkan wajibnya kita berpegang kepada sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam.
…. Apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…. (QS. al-Hasyr[59] :7)
8. Al-Qur’an mewajibkan berhukum dengan as-Sunnah. (Lihat QS. an-Nur [24]: 48, 51)
Qur’aniyyun hendaknya menerima ketetapan ayat di atas, dan harus berpegang kepada as-Sunnah. Jika tidak, jawablah pertanyaan Alloh subhanahu wa ta’ala di bawah ini:
Maka kepada perkataan apakah selain al-Qur’an ini mereka akan beriman? (QS. al-Mursalat [77]: 50)
Dalil dari Sunnah Nabawiyyah yang mewajibkan kita berpegang dan mengamalkan sunnah beliau shollallohu alaihi wa sallam banyak sekali. Di antaranya:
1. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Adapun sesudahnya, maka sebaik-baik perkataan adalah kitab Alloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shollallohu alaihi wa sallam.” (HR. Muslim: 1435)
2. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya! Tidaklah salah satu di antara kamu beriman sehingga aku lebih disenanginya melebihi orangtua dan anaknya.” (HR. Bukhori: 13)
4. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Alloh, saya tidak menjumpai salah satu di antara kamu ada di ternpat tidurnya, lantas datang kepadanya perintahku atau laranganku, lalu dia berkata: ‘Saya tidak tahu, yang kami jumpai dari al-Qur’an itulah yang kami amalkan.’” (HR. Ibnu Majah: 13, dishohihkan oleh al-Albani 1/14, bersumber dari Rofi’
Abu Bakar rodhiyallohu anhu berkata: “Tidaklah yang diamalkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam melainkan aku mengamalkannya. Sungguh aku takut apabila meninggalkan sebagian perintahnya, aku menjadi orang yang berpaling dari sunnahnya.” (al-Ibanah 1/246)
faedah berpegang kepada as-sunnah
Ibnu Utsaimin rohimahulloh berkata: Di antara faedah berpegang kepada as-Sunnah dan atsar yang terpuji ialah sebagai berikut:
1. Orang yang bepegang kepada as-Sunnah menjadi imam dan panutan yang baik, jauh dari kesalahan. Berbeda halnya dengan orang yang taklid kepada salah seorang pemimpin, jelas banyak kesalahannya. Jika kamu ditanya: “Mana dalilmu?” Jawablah: “Ini adalah sunnah Rosululloh atau sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam.”
2. Berakhlak seperti akhlak Nabi shollallohu alaihi wa sallam, karena beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan beliau ditakdirkan berakhlak mulia.
3. Berpegang kepada as-Sunnah menjadikan seseorang bersifat tengah-tengah, umat pun menjadi baik, tidak berlebih-lebihan dalam menyenangi Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan tidak menghina atau meremehkan beliau, karena Dinulloh (agama Alloh) itu dinul wasath atau tengah-tengah….
4. Orang yang berpegang kepada as-Sunnah menyeru manusia dengan penuh rohmat, lembut, dan kasih sayang lagi ramah….
(Diringkas dari at-Tamassuk bi Sunnah an-Nabawiyyah wa Atsaruhu oleh Ibnu Utsaimin: 17-20)
Kami tambahkan, berpegang kepada as-Sunnah memperkecil perselisihan serta mempererat persaudaraan dan persatuan, karena ulama berbeda-beda di dalam keilmuan dan pemahaman, seperti yang dijelaskan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala:
…. Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada Dzat yang Maha Mengetahui. (QS. Yusuf [12]: 76)
Bagi orang awam, apabila tidak paham hendaknya merujuk dan menanyakan kepada ahlinya, yaitu Nabi shollallohu alaihi wa sallam dan orang yang berpegang kepada sunnah beliau, sebagaimana dijelaskan di dalam QS. an-Nahl [16]: 43.
sikap ulama terhadap “ingkar sunnah”
1. Dilarang bergaul dan mengambil ilmu mereka
Ibnu Mas’ud rodhiyallohu anhu berkata: ”Kalian akan menjumpai suatu kaum, mereka mengaku mengajak kamu kepada kitab Alloh, padahal mereka membuang al-Qur’an ke balik punggung me­reka. Maka kalian wajib berpe­gang kepada ilmu, jauhkan dirimu dari perkara bid’ah, jauhkan dirimu dari mendalami perkara (berlebihan) , dan kamu wajib berpegang kepada Sunnah.” (Sunan ad-Darimi 1/66)
Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu ber­kata: “Janganlah kamu bergaul dengan orang yang mengandalkan pendapatnya. Sesungguhnya mereka musuh Sunnah. Mereka menolak hadits yang mereka hafal, (lantas) berpegang kepada pendapatnya. Mereka sesat dan menyesatkan (lihat al-Lalikai 1/123)
2. Wajib mendakwahi mereka agar kembali kepada Sunnah dan menjelaskan bahayanya sesuai dengan keterangan di atas
Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma berkata: “Hampir saja diturunkan kepa­da kalian hujan batu dari langit, (ketika) saya berkata ‘Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda’ sedangkan kamu (membantah) berkata ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian’.” (Syarh Kitab Tauhid 1/482)
3. Mereka penyesat umat
Abu Qilabah rohimahulloh berkata: “Jika kamu menyampaikan as-Sunnah kepada seseorang lalu dia berkata ‘Tinggalkan as-Sun­nah, mana dalil al-Qur’an?’ Ketahuilah, dia sesat”. (Thobaqot Ibnu Sa’ad 7/I84)
4. Mereka itu Abu Jahal pada zaman sekarang.
Imam adz-Dzahabi rohimahulloh ber­kata: “Apabila kamu melihat ahli kalam dan orang ahli bid’ah ber­kata ‘Tinggalkan al-Qur’an dan hadits ahad, bawakan akal’. Ketahuilah, dia Abu Jahal…” (Siyar A’lamin Nubala’ 4/472)
5. Mereka di ambang pintu kehancuran
Imam Ahmad rohimahulloh berkata: “Barangsiapa menolak hadits Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka dia di am­bang pintu kehancuran.” (Thobaqotul Hanabilah 2/15, al-Ibanah 1/260)
6. Mereka penyembah hawa nafsu
Imam al-Barbahari rohimahulloh ber­kata: “Jika kamu mendengar sese­orang mencela atsar atau menolak atsar atau ingin selain atsar, curigailah keislamannya. Tidak diragukan, dialah penyembah hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah: 51)
Abul Qosim al-Ashbahani rohimahulloh berkata: “Ahli Sunnah dari ulama salaf berkata: ‘Apabila ada orang yang mencela atsar maka harus dicurigai keislaman­nya” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/428)
6. Tidak diajak bicara, bila hal itu ada maslahatnya.
Ibnu Sirin rohimahulloh pernah menceritakan hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam ke­pada seseorang, lalu orang itu berkata: “Akan tetapi, fulan ber­kata demikian demikian.” Lalu Ibnu Sirin rohimahulloh menjawab: “Aku menceritakan hadits dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam lantas kamu berkata ‘Fulan bicara demikian’, tak perlu saya bicara denganmu selamanya.” (Sunan ad-Darimi: 442)
Umar bin Khoththob rodhiyallohu anhu tidak mengajak bicara anaknya yang bernama Bilal ketika melarang wanita masuk masjid padahal Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam membolehkannya (lihat Shohih Muslim: 672).
Jika menolak satu hadits saja disikapi demikian, bagaimanakah terhadap pengingkarnya.
8. Boleh dicurigai keislamannya
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh berkata: “Barang­siapa membenci sebagian dari apa yang didatangkan oleh Ro­sululloh shollallohu alaihi wa sallam walaupun dia mengamalkan, maka dia kafir.” Lalu beliau menukil QS. Muhammad [47]: 9 (lihat Nawaqidhul Islam).
bahaya ingkarus sunnah
Orang yang menolak Sunnah hendaknya waspada, boleh jadi adzab Alloh subhanahu wa ta’ala bukan hanya menimpa mereka pada hari kiamat, tetapi juga di dunia.
Al-Akwa” rodhiyallohu anhu pernah bercerita kepada anaknya yang bernama Salamah: ‘Ada seseorang makan dengan tangan kiri, lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: ‘Makanlah dengan tangan kanan!’ Dia berkata: ‘Saya tidak bisa’ Padahal dia mampu, tetapi (ucapan itu keluar) karena sombong. Lalu tangannya benar-benar lumpuh, tidak bisa mengangkat ke mulutnya.” (HR. Muslim: 3766)
Dari Ibnu Abbas rodhiyallohu anhu, Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu datang ke rumah istrimu pada malam hari dengan tiba-tiba.” Lalu Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam datang kembali, tiba-tiba ada dua orang laki-laki berjalan menemui istrinya pada malam hari, masing-masing menjumpai istrinya bersama orang laki-laki. (HR. ad-Darimi: 444, dishohihkan oleh al-Albani; lihat Jami’ush Shoghir 1/1332, Silsilah ash-Shohihah 8/92)
Sa’id bin Musayyib rohimahulloh berkata: “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah orang yang keluar dari masjid ketika mendengar adzan melainkan dia orang munafik, kecuali apabila keluar karena ada keperluan lalu kembali ke masjid lagi.” Lantas ada orang yang berkata: “Temanku di Harroh.” Lalu dia keluar setelah adzan dikumandangkan. Sa’id menegurnya: “Jangan keluar!” Akan tetapi, dia tetap keluar. Lalu Sa’id diberi tahu bahwa orang itu jatuh dari kendaraannya dan patah tulang pahanya. (HR. ad-Darimi: 447, al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”, lihat ats-Tsimar al-Mustathob 1/145)
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il at-Taimi rohimahulloh berka­ta: “Saya pernah membaca sebuah cerita, bahwa sebagian ahli bid’ah ketika mendengar hadits Nabi shollallohu alaihi wa sallam ‘Apabila salah satu di antara kamu bangun dari tidur maka janganlah mencelupkan tangannya ke bejana sehingga membasuhnya, karena dia tidak tahu tempat bermalam tangannya’, lalu ahli bid’ah itu berkata: ‘Saya tahu di mana tanganku bermalam’ Tiba-tiba pada pagi harinya tangannya masuk dalam duburnya sampai hasta.” At-Taimi berkata: “Waspadalah! Jangan meremehkan Sunnah, lihat bagaimana akibatnya.” (Lihat Bustanul Arifin oleh Imam Nawawi: 94)
bahaya menafsirkan al-qur’an tanpa as-sunnah
Orang yang mengamalkan al-Qur’an namun menolak as-Sunnah tentu akan mengartikan ayat secara ngawur mengikuti hawa nafsunya. Bukanlah dia pengamal al-Qur’an, namun justru perusak al-Qur’an. Bagaima­na tidak, al-Qur’an diturunkan bukan di lubuk hati tiap-tiap manusia, tetapi lewat Nabi shollallohu alaihi wa sallam.
Umar bin Abdul Aziz rohimahulloh berkata: “Tak seorang pun boleh berpegang pada pendapatnya bila menjumpai sunnah Rosu­lulloh shollallohu alaihi wa sallam.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Imam Syafi’i rohimahulloh berkata: “Ulama Sunnah bersepakat, barangsiapa yang sudah jelas baginya sunnah Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam maka tidak halal meninggalkannya lantaran berpegang kepada pendapat seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Ali bin Sulthon al-Qori’ rohimahulloh berkata: “Barangsiapa menerangkan al-Qur‘an dengan pendapatnya, sungguh ia kufur; maka bagaimanakah membicarakan Dzatulloh dan sifat-Nya ber-dasarkan hawa nafsunya.” (ar-Roddu ‘ala Wihdatil Wujud 1/46)
Ibnu Abil Izzi rohimahulloh berka­ta: “As-Sunnah datang untuk menjelaskan dan menetapkan apa yang ada di dalam al-Qur’an. Tidaklah Alloh membutuhkan pendapat si fulan atau perasaan si fulan untuk urusan agama ini.” (Syarh ath-Thohawiyyah 1/89)
Bahaya lain, dia sesat dan menyesatkan umat serta menjadi penyembah hawa nafsu, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Jatsiyah [45]: 23.
MUSTAHIL MENGAMALKAN AL-QUR’AN TANPA AS-SUNNAH
Mustahil Quraniyyun bisa mengamalkan al-Qur’an dengan benar dan jujur tanpa bantuan as-Sunnah shohihah, mengapa?
1. Alloh menurunkan al-Qur’an bukan kepada setiap manusia, tetapi kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan perantara Jibril alaihissalam. Lantas, bagaimana akal bisa memahami al-Qur’an tanpa as-Sunnah?
2. Jika akal saja cukup untuk memahami al-Qur’an, tentu sia-sialah Alloh mengutus utusan-Nya untuk menjelas­kan makna al-Qur’an. Yang demikian itu tidak bisa diterima oleh akal yang waras
3. Mereka harus mengingkari sebagian ayat yang mengharuskan berpegang kepada Sunnah, termasuk ayat yang jadi pembahasan di atas.
4. Akan meninggalkan sebagian amal ibadah yang di dalam al-Qur’an masih bersifat umum -belum jelas kaifiyyahnya- , atau beribadah dengan cara yang tidak benar.
5. Mereka akan merusak makna ayat yang sebenarnya, sebagaimana perilaku kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), ahli bid’ah, pemuja ilmu kalam, dan lainnya.
Adapun contoh sebagian ayat yang membutuhkan keterangan dari as-Sunnah:
1. Surat al-Ma’idah [5]: 38 yang menjelaskan bahwa pencuri harus dipotong tangannya. Akan tetapi dalam ayat tersebut tidak dijelaskan kadar barang yang dicuri, melainkan kita jumpai kadarnya lewat hadits yang shohih. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Tangan pencuri dipotong bila mencuri seperempat dinar ke atas. ” (HR. Bukhori: 6291 kitab al-Hudud, bersumber dari Aisyah rodhiyallohu anha)
2. Surat al-An’am [6]: 82 yang menjelaskan bahwa orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan zhulm (kezholiman) , mereka akan mendapat keamanan dan petunjuk. Para sahabat rodhiyallohu anhum merasa keberatan, lantaran adakah manusia yang tidak berbuat zholim kepada dirinya? Nabi shollallohu alaihi wa sallam menjawab: “Bukan seperti yang kamu maksudkan, belumkah kamu mendengar perkataan Luqman kepada anaknya: Sesungguhnya syirik adalah kezholiman yang sangat besar (QS. Luqman [31]: 13).” (HR. Bukhori: 3100)
3. Surat al-Ma‘idah [5]: 3 menjelaskan haromnya bangkai, tetapi di dalam hadits disebutkan ada bangkai yang halal. Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
“Dihalalkan bagi kita dua bangkai, ikan dan belalang. ” (HR. Ibnu Majah: 3209, bersumber dari Ab-dulloh bin Umar rodhiyallohu anhu; dishohihkan oleh al-Albani dalam al-Misykah: 4132 dan ash-Shohihah: 1148)
4. Ada orang yang berpendapat bahwa sutera tidak harom bagi kaum pria karena keumuman QS. al-A’rof [7]: 32. Akan tetapi, bila merujuk kepada hadits yang shohih, kita menjumpai keharoman sutera bagi kaum pria. Ali bin Abu Tholib rodhiyallohu anhu berkata: Sesungguhnya Nabi shollallohu alaihi wa sallam mengambil kain sutera dengan tangan kanannya dan mengambil emas dengan tangan kirinya, lalu berkata:
“Sesungguhnya dua benda ini harom untuk umatku yang laki-laki. ” (HR. Abu Dawud: 3535, dishohihkan oleh al-Albani; lihat ash-Shohihah 1/661, Shohih at-Targhib wa Tarhib 2/224)
ingkar sunnah = ingkar syahadat kerosulan nabi muhammad shollallohu alaihi wa sallam
Barangsiapa mengingkari as-Sunnah berarti mengingkari persaksiannya “Muhammad adalah utusan Alloh”. Mengapa? Karena makna syahadat yang kedua ini adalah bersaksi untuk menyanggupi beribadah kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dengan cara yang dicontohkan oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam. Juga karena beliau adalah suri teladan yang baik dalam semua urusan. (Lihat QS. al-Ahzab [33]: 21)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Muhammad Alu Syaikh hafidhohulloh Mufti Kerajaan Saudi Arabia- berkata: Hakikat makna syahadat “Muhammad adalah utusan Alloh” ialah sebagai berikut:
1. Beriman bahwa beliau shollallohu alaihi wa sallam utusan Alloh subhanahu wa ta’ala, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Fath [48]: 29.
2. Beriman bahwa risalah beliau berlaku umum untuk semua manusia, bahkan termasuk jin; lihat QS. al-A’rof [7]: 185 dan al-Ahqof [46]: 29.
3. Beriman bahwa beliau hamba -tidak boleh disembah- dan utusan -tidak berdusta dan tidak boleh didustakan- (li­hat QS. Fushshilat [41]: 6).
4. Beriman bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rosul (lihat QS. al-Ahzab [33]: 40).
5. Menaati perintahnya, membenarkan beritanya, dan memenuhi panggilannya (lihat QS. an-Nisa’ [4]: 80).
6. Mencintai, membela, dan mengagungkannya semasa beliau hidup, serta membela sunnahnya sepeninggal be­liau; sebagaimana keterangan hadits shohih, lihat pula QS. at-Taubah [9]: 24.
7. Ridho dengan hukumnya dan berpegang kepada syari’atnya (lihat QS. an-Nur [24]: 51).
8. Meniru dan mengikuti sun­nahnya serta mengembalikan semua perselisihan kepada sunnahnya (lihat QS. al-Ahz­ab [33]: 21 dan al-Hasyr [59]: 7) (Diringkas dari kitab Haqiqotu Syahadah “Wa Anna Muhamadan Rosululloh”, hal. 60-75)
Semoga dengan keterangan ini kita dapat menerima al-Qur‘an dan as-Sunnah sebagai sumber asli untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang sebenarnya. []
***
Sumber : Majalah Al-FurQon Edisi 06 Tahun IV // Muharom 1428 [Februari 2007]

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.