Ini
mungkin tidak ada yang mengingkari, sebab saya banyak mendapat
selebaran dari ikhwah yang isinya katanya nanti (saat pemungutan suara)
pilih partai ini, bagusnya pilih partai ini. Di sini penentuan
partai-partai tersebut dipilih oleh Dewan Syari’ahnya Wahdah Islamiyah.
Jadi mereka membolehkan mengikuti pemilu dengan menentukan orang-orang
yang pantas dipilih bahkan menyebutkan hal ini dari fatwa para ulama
(katanya) seperti Syaikh Al Albani dan lain-lainnya.
Maka saya katakan: Adapun Syaikh Al Albani mengatakan Pemilu itu boleh, maka ini kedustaan atas beliau, sebab beliau mempunyai keterangan yang jelas dalam kitab Madârikun Nazhar fis Siyâsah, Bainat Thabbîqât Asy Syar’iyah wal Ihfiâlat Al Hamâsiyyah, karya Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi hafizhahullâh di situ disebutkan fatwa Syaikh Al Albani kemudian diberi ta’liq dari kaset-kaset beliau tentang bagaimana pendirian beliau mengenai Pemilu.
********************************************
جاء في شريط مسجَّل من((سلسلة الهدى والنور )) رقم (۱-۳۵۲) أن سائ لا قال للشيخ الألباني: سمعنا أنك قلت—يا شيخ! —يجوز ( أي دخول البرلمانات ) ولكن بشروط؟!
قال الشيخ: “لا! ما يجوز! هذه الشروط—إذا كانت—تكون نظرية وغير عملية، فهل أنت تذكر ما هي الشروط التي بَلغتك عنّي؟“
قال: الشرط الأول: أن يحافظ الإنسان على نفسه.
قال الشيخ: ” وهل يمكن هذا؟“
قال: ما جرَّبتُ!
قال الشيخ: “إن
شاء الله ما تجرِّب! هذه الشروط لا يمكن تحقيق ها؛ ونحن نشاهد كثيرًا من
الناس الذين كان لهم منطلق في حياﺗﻬم—على الأقل—في مظهرهم .. في لباسهم ..
في لحيتهم .. حينما يدخلون ذلك اﻟﻤﺠلس—أي مجلس البرلمانات—وإذا بظاهرهم
تَغيَّر
وتبدَّل! وطبعًا هم يبرِّرون ذلك ويسوِّغونه: وأنّ هذا من باب المسايرة …
فرأينا ناسًا
دخلوا البرلمان باللباس العربيّ الإسلاميّ، ثم بعد أيام قليلة غيَّروا
لباسهم وغيَّروا زيَّهم!! فهذا دليل الفساد أو الصلاح؟!”
قال السائل: الشيخ يعني الإخوة في الجزائر وعملهم هذا ودخولهم المعترك السياسي؟
قال الشيخ: “ما ننصح! ما ننصح في هذه الأيا م بالعمل السياسي في أيّ بلد من بلاد الإسلام…”
Dalam sebuah kaset Silsilatul Huda wan Nûr (1/352) seseorang bertanya kepada Syaikh Al Albani:
Penanya: “Wahai Syaikh, kami dengar Anda membolehkan masuk parlemen dengan beberapa syarat.”
Syaikh Al Albani: “Tidak,
saya tidak membolehkannya! Kalaupun syarat itu terpenuhi hanyalah
bersifat teoritis belaka tidak mungkin diwujudkan. Apakah Anda ingat
syarat-syarat tersebut?”
Penanya: “Syarat pertama, ia harus dapat menjaga keselamatan dirinya.”
Syaikh Al Albani: “Mungkinkah itu?”
Penanya: “Saya belum mencobanya!”
Syaikh Al Albani: “Insyâ Allâh
Anda tidak akan mencobanya! Syarat-syarat tersebut tidak mungkin
dipenuhi. Banyak kita saksikan orang-orang yang memiliki prinsip hidup
yang lurus, kelihatan dari penampilannya, cara berpakaian Islami…
memelihara jenggot… namun ketika menjadi anggota parlemen penampilan
mereka langsung berubah! Tentu saja mereka mengemukakan alasan dan
mencari-cari pembenaran, kata mereka untuk menyesuaikan diri….
Banyak kita
lihat orang-orang yang menjadi anggota parlemen dengan mengenakan
pakaian tradisional Arab yang Islami. Selang beberapa hari kemudian
mereka mengubah pakaian dan penampilan. Apakah ini bukti kebaikan
ataukah kerusakan?”
Penanya: “Syaikh,
yang dimaksud adalah saudara-saudara kita di Aljazair, tentang usaha
mereka dan keikutsertaan mereka dalam kancah politik.”
Syaikh Al Albani: “Zaman sekarang ini saya tidak menganjurkan kaum muslimin di negeri Islam manapun terlibat dalam kegiatan politik…”
********************************************
Adapun Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu
‘Utsaimin dan lain-lainnya, mungkin ada sebagian dari mereka yang
membolehkan, tapi itu kata Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh:
“Mereka (para ulama yang membolehkan) memasang syarat-syarat yang
syarat-syarat ini kalau mereka teliti atau mereka komitmen dengan
syarat-syarat ini, niscaya mereka tidak akan bisa ikut Pemilu,” sebab
syaratnya berat.
********************************************
Berikut ini bantahan atas syubuhât tentang ulama-ulama yang dianggap telah berfatwa tentang disyari’atkannya Pemilu:
Di antara orang-orang yang pro demokrasi
dan pro Pemilu ada yang mengatakan: “Ulama-ulama Ahlus Sunnah yang mulia
telah berfatwa tentang disyariatkannya Pemilu. Para ulama tersebut
bukan orang-orang hizbiyyun. Di antara mereka ada Syaikh Nashiruddin Al Albani—ahli hadits zaman ini—, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullâh. Lantas apakah kita golongkan mereka kepada yang telah lalu?”
Jawabannya tentu tidak karena mereka
adalah para ulama yang mulia. Mereka adalah ulama kita, pemimpin kita
dan pemimpin dakwah yang diberkahi ini. Mereka para pelindung Islam,
kami tidak mempelajari (Islam) melainkan dengan bimbingan mereka. Mereka
bukan hizbiyyun, ini mustahil. Bahkan mereka senantiasa memperingatkan manusia dari bahaya hizbiyyah dan tidaklah kami selamat dari hizbiyyah
kecuali dengan nasihat-nasihat mereka setelah taufiq dari Allah.
Seperti Syaikh yang mulia Muhaddits negeri Yaman, Muqbil bin Hadi Al
Wadi’i rahimahullâh yang mengharamkan hizbiyyah. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh dengan peringatan dari hizbiyyah. Tidak ada pada diri mereka bagi para penganut hizbiyyah
sedikit pun celah untuk melegalkan dan menggolkan apa yang mereka
rencanakan dan menipu dengannya kaum Muslimin. Khususnya para syabab (pemuda) yang kuat dalam berpegang dengan agamanya serta ridha dengan kebenaran.
Adapun berkenaan dengan fatwa para ulama
tersebut, fatwa-fatwa mereka bersyarat dengan batasan-batasan syar’i. Di
antaranya apabila maslahat yang besar dapat dicapai atau dapat menolak mafsadat yang besar dengan melakukan mafsadat
yang kecil dengan tetap menjaga batasan-batasan dalam kaidah ini. Akan
tetapi da’i-da’i Pemilu tidaklah menjaga batasan-batasan tersebut.
Catatan:
Mengapa kita dapati orang-orang hizbiyyun tidak berpegang dengan fatwa ulama-ulama mereka sendiri (ulama hizbi)
yang berfatwa tentang disyariatkannya Pemilu? Dan malah berpegang
dengan fatwa ulama Ahlus Sunnah seperti Syaikh Al Albani, Syaikh Bin
Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullâh?
Jawabannya:
Sesungguhnya ulama-ulama hizbiyyun di berbagai negara muslim telah tenggelam dalam fanatik golongan (tahazzub).
Sesungguhnya fanatik golongan ini adalah penyakit yang mematikan.
Dengan sebab itulah kaum muslimin tidak puas dengan fatwa mereka karena
mereka seringkali mengaburkan masalah-masalah agama. Mereka memandang
bahwa ulama Ahlus Sunnah sudah semestinya berhadapan dengan hizbiyyah. Begitulah di antara bentuk talbis (pengkaburan) yang mereka lakukan. Mereka memakai fatwa ulama Ahlus Sunnah tatkala mereka terdesak.
Apabila mereka merasa sudah tidak
membutuhkan hal itu maka mereka pun berujar bahwa ulama Ahlus Sunnah
adalah orang-orang bodoh yang tidak mengerti fiqhul waqi’
(fiqih realitas) dan berbagai tuduhan lainnya. Sekadar contoh ketika Al
Walid Syaikh Abdul Aziz bin Baz berfatwa dalam masalah syarat dan
ketentuan mengadakan perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi maka
mereka tak henti-hentinya menentang beliau. Siapakah yang mampu
membungkam mereka? Siapa yang bisa membuat mereka puas? Akhirnya
masing-masing mereka mengeluarkan fatwa, baik yang berilmu maupun yang
tidak berilmu. Seakan-akan Syaikh bin Baz rahimahullâh
adalah sosok yang tidak mempunyai ilmu dan pengalaman. Maka
khutbah-khutbah Jumat pun dijadikan wahana untuk membombardir fatwa
tersebut.
Alhamdulillâh,
ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah senantiasa berprasangka baik dan
bersabar kepada manusia. Allah Maha Mengetahui antara orang yang membuat
kebaikan dan yang membuat kerusakan.
Demikian juga bila mereka konsisten
dengan fatwa Syaikh Al Albani, Syaikh bin Baz dan Syaikh Ibnu Al
‘Utsaimin maka mereka harus menerima fatwa mereka dalam mengharamkan tahazzub (fanatik golongan), maulid Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam,
menyembelih untuk selain Allah, dan taqlid kepada orang-orang Yahudi
dan Nashara serta yang semisalnya dari hal-hal yang diharamkan yang
mereka masih melakukannya. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh.
(Dikutip dari buku Tanwîr Azh Zhulumât fi Kasyfi Mafâsid wa Syubuhât Al Intikhabât karya Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam, pengantar Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh,
penerbit: Maktabah Al Furqan, Ajman, Emirate, judul Indonesia:
“Menggugat Demokrasi dan Pemilu, Menyingkap Borok-borok Pemilu dan
Membantah Syubhat Para Pemujanya”, ed)
********************************************
Kemudian tentang Pemilu juga, tegas mengharamkannya adalah Syaikh Al ‘Allamah Al Muhaddits Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh, imam yang keempat di zaman ini dari imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau rahimahullâh
adalah orang yang paling tegas menyatakan bahwa Pemilu itu adalah
diharamkan dan murid-murid beliau gencar mengeluarkan tulisan-tulisan
tentang haramnya Pemilu. Sebagaimana yang kita ketahui, Pemilu itu bukan
dari adatnya kaum muslimin, tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam
ada Pemilu.
Ada sebuah kitab berjudul Tanwîr Azh Zhulumât fi Kasyfi Mafâsid wa Syubuhât Al Intikhabât, artinya, “Menerangi Kegelapan dengan Menjelaskan Kerusakan-kerusakan dan Syubuhât-Syubuhât
Seputar Pemilu.” Kitab ini ditulis oleh salah seorang murid Syaikh
Muqbil yang termasuk paling senior, Abu Nashr Muhammad bin ‘Abdillah,
diberi laqob “Al Imam” karena beliau imam masjid memang dan hafal Al
Qur’an. Beliau menyebutkan kerusakan Pemilu itu ada 34 kerusakan yang
menyelisihi syari’at Islam, saya akan sebutkan di sini judul-judulnya
saja, karena kalau kita uraikan akan butuh muhadharah (pertemuan) khusus ini.
Kerusakan ke-1: Pemilu bisa mengantarkan kepada kesyirikan kepada Allah dalam masalah Syirkuth Tha’ah (syirik dalam ketaatan).
Kerusakan ke-2: Pemilu meng-ilah-kan mayoritas, yang mayoritas itu yang diangkat dan dijadikan sebagi ilah.
Kerusakan ke-3:
Pemilu memberikan sangkaan yang jelek terhadap Islam bahwa Islam ini
adalah kurang, sebab Pemilu tidak dikenal dalam Islam. Kalau kita
katakan Pemilu boleh, artinya kita memberikan sangkaan yang jelek bahwa
Islam itu kurang karena Islam tidak mengaturnya.
Kerusakan ke-4: Pemilu mempersempit atau menelantarkan Al Walâ’ (loyalitas) dan Al Barâ’ (antipati dan permusuhan) terhadap orang-orang kafir dan orang-orang yang menyeleweng.
Kerusakan ke-5: Pemilu artinya ia tunduk kepada peraturan ilmaniyah (sekuler).
Kerusakan ke-6: Pemilu artinya mengelabui kaum muslimin.
Kerusakan ke-7: Pemilu artinya memberi label syar’i terhadap demokrasi.
Kerusakan ke-8: Pemilu merupakan alat yang dipakai oleh orang-orang Yahudi dan Nashara.
Kerusakan ke-9: Pemilu ini menyelisihi Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam menghadapi musuh-musuhnya. Beliau menghadapi musuh-musuh dakwah bukan dengan cara Pemilu.
Kerusakan ke-10: Pemilu adalah wasilah yang diharamkan.
Kerusakan ke-11: Pemilu
memecah belah persatuan kaum muslimin dengan partai-partai itu dan
seterusnya, ini memecah belah kesatuan kaum muslimin.
Kerusakan ke-12: Pemilu menghancurkan ukhuwah Islamiyah.
Kerusakan ke-13: Fanatisme yang tercela.
Kerusakan ke-14: Membela partai.
Kerusakan ke-15: Memberi rekomendasi menurut kepentingan partai.
Kerusakan ke-16: Calon pejabat mencari keridhaan rakyat.
Kerusakan ke-17: Kepalsuan, kelicikan demi simpati massa.
Kerusakan ke-18: Menyia-nyiakan waktu dengan slogan kosong.
Kerusakan ke-19: Menghamburkan harta.
Kerusakan ke-20: Calon pejabat terfitnah oleh harta.
Kerusakan ke-21: Pemilu mementingkan kuantitas, bukan kualitas.
Kerusakan ke-22: Pemilu mementingkan kursi, tidak mempedulikan masalah aqidah.
Kerusakan ke-23: Mengabaikan kerusakan aqidah sang calon pejabat
Kerusakan ke-24: Menerima seorang calon tanpa peduli syarat-syarat syar’i.
Kerusakan ke-25: Menyalahgunakan nash-nash syar’i.
Kerusakan ke-26: Tidak memperhatikan rambu-rambu syar’i dalam memberikan kesaksian.
Kerusakan ke-27: Pemilu ini menyamakan antara suara orang kafir dengan orang muslim, orang shalih dengan orang thalih, orang baik dengan orang jelek, padahal Al Qur’an membedakan:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (QS Al Qalam: 35)
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’” (QS Az Zumar: 9)
Dan banyak lagi dalil-dalil yang menyebutkan tidak boleh disamakan, akan tetapi dalam Pemilu semuanya disamakan.
Kemudian, disamakannya antara suara laki-laki dengan suara perempuan. Padahal Allah membedakan:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَاْلأُنْثَى
“Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (QS Âli ‘Imran: 36)
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An Nisâ: 34)
Kerusakan ke-28: Fitnah perempuan dalam Pemilu.
Kerusakan ke-29: Menganjurkan orang-orang hadir di tempat-tempat kedustaan.
Kerusakan ke-30: Tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
Kerusakan ke-31: Bekerja keras dalam sesuatu yang tidak berfaidah.
Kerusakan ke-32: Janji-janji kosong.
Kerusakan ke-33: Menamakan sesuatu dengan cara yang salah.
Kerusakan ke-34: Koalisi-koalisi semu.
Dan saya mengetahui sebenarnya Wahdah Islamiyah itu punya syubuhât mengapa membolehkan Pemilu. Katanya: “Kita ikut Pemilu, itu kaidah fiqhinya إرتكاب أخف الضررين (irtikâbu akhaffudh dhararain), mengambil bahaya yang paling sedikit. Kalau kita ikut maka berbahaya dan kalau tidak ikut juga berbahaya.”
Katanya, kalau kita ikut, berbahaya karena akan masuk ke majelis thaghut,
sebagaimana mereka ketahui. Kalau kita tidak ikut, juga berbahaya
karena musuh-musuh Islam akan berkuasa. Maka kita ambil bahayanya yang
paling ringan, katanya. Itu kaidahnya, ia terapkan di sini.
Dialog dengan Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc
Dan saya ingat suatu hari bertemu dengan
Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc, (tokoh Wahdah Islamiyah) saya tanyakan
kepadanya tentang suatu permasalahan, ia menjawabnya mengambang
sana-sini. Dan Al Ustadz Mustamin (salah satu pengajar di Ma’had As
Sunnah Makassar) hadir dalam pembicaraan itu.
Saya katakan: “Begini saja, mungkin saya bisa dekatkan pembicaraan Antum, mungkin antum ini mau berdalilkan dengan kaidah إرتكاب أخف الضررين (irtikâbu akhaffudh dhararain).”
“Iya, iya… betul,” kata Muhammad Ikhwan.
Lalu saya katakan: “Tapi ingat, sangat disayangkan kaidah ini menurut ulama ahli ushul fiqhi tidak boleh diterapkan kecuali dengan tiga syarat.”
Kemudian saya sebutkan 3 syarat tersebut.
Sekarang kita perhitungkan syarat ini dan kita lihat kepada Pemilu apakah ada atau tidak:
1. Hendaknya maslahat yang akan dicapai dengan melakukan dharar tersebut adalah maslahat haqiqiyyah (pasti tercapai) bukan maslahat wahmiyah
(mungkin tercapai, mungkin tidak). Sekarang saya tanya maslahatnya,
orang yang masuk Pemilu apakah pasti tercapai akan terpilih atau masih
kemungkinan? Jawabnya, mungkin, tidak ada kepastian. Syarat pertama
sudah tidak terpenuhi.
2. Syarat yang kedua, hendaknya mafsadah
yang terjadi ketika menjalani bahaya itu lebih ringan daripada hasil
yang hendak dicapai. Sekarang saya tanya, 34 kerusakan ini ringan atau
tidak? Wallâhi, berat, dan beratnya lebih berat daripada maslahat yang hendak mereka capai. Tidak terpenuhi syarat yang kedua.
3. Syarat yang ketiga, disebutkan oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullâh bahwasanya tidak ada jalan lain lagi kecuali itu. Nah, ini akan buntu di sini. Saya tanya, mana jalannya Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam?
Adakah beliau melakukan Pemilu? Beliau memulai dakwah dari Makkah dalam
keadaan lemah, 13 tahun setelah itu pindah lagi ke Madinah dan mulai di
situ mempunyai daulah sambil menyempurnakan tauhid dan seterusnya. Mana
jalan Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam yang lebih berhasil? Dua puluh tiga tahun Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam berhasil. Dan lihat dakwah-dakwah Ahlus Sunnah di negeri Saudi Arabia kemudian Yaman, subhanallâh
tersebar dengan sangat baiknya. Ini maslahat yang sangat besar kalau
orang bergelut dalam dakwah. Dan kalian, di mana kalian ambil i’tibar
masuk Pemilu? Apakah yang dijadikan controh adalah Ikhwanul Muslimin
yang sudah puluhan tahun sampai sekarang tidak pernah membuahkan
hasil??? Maka, ambillah pelajaran! Karena itulah tidak ada maslahatnya
sama sekali, sehingga kaidah ini tidak bisa diterapkan.
Dan ketika saya sampaikan ketiga syarat
ini, ia (Muhammad Ikhwan) bungkam lagi seperti biasanya (lihat nasihat
langsung ketiga pada Pendahuluan Ke-8: Rincian Hukum Berdebat, ed) tidak bisa menjawab, wallâhul musta’ân.
Jadi ini tentang kerusakan Pemilu, dan
ini adalah kesesatan yang kedua dari Wahdah Islamiyah. Dan saya katakan
ini adalah perkara yang pokok dalam dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
sebab Syaikh Muqbil rahimahullâh mengatakan, “Pemilu ini bukan khilaf tanawwu’ tetapi khilaf tadhâdh”. Khilaf tanawwu’ artinya kalau ada orang yang berpendapat lain, itu bisa diberi udzur atau dimaafkan, misalnya dalam sholat ketika i’tidal ada yang tangan sedekap, ada yang tidak sedekap, itu perselisihannya khilaf tanawwu’. Tetapi ini khilafnya khilaf tadhâdh,
khilaf yang saling bertentangan, harus mengetahui bahwa yang
kuat/benarnya cuma satu. Misalnya, yang satu menyembah kubur yang
satunya tidak, maka yang benar cuma satu tidak ada kedua-duanya benar.
Oleh karena itulah, ini adalah masalah besar dan bukan perkara kecil dan
kerusakannya yang sangat besar dalam pandangan syari’at, maka jangan
dianggap sebagai kerusakan yang kecil.
0 komentar:
Posting Komentar