1. Ada yang mengatakan Tauhid Hâkimiyah itu artinya menafsirkan kalimat لا إله إلا الله dengan لا حاكم إلا الله (Tidak ada yang memberi hukum selain Allah).
2. Ada yang menjadikan Tauhid Hâkimiyah sebagai bagian yang keempat dari pembagian tauhid. Sebagaimaan kita kenal tauhid itu ada tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulûhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Ini ia datang menambah tauhid yang keempat: Tauhid Hâkimiyah.
Sekarang akan ditetapkan bahwa Wahdah Islamiyah mempunyai Tauhid Hâkimiyah ini. Mereka mempunyai pelajaran-pelajaran khusus dalam halaqoh-halaqoh mereka tentang Tauhid Hâkimiyah, ini penetapan-penetapan dari banyak ikhwah yang pernah belajar kepada mereka, ini masyhur dan terkenal.
Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, pimpinan
Yayasan ini pernah mengadakan Tabligh Akbar, saya punya kasetnya di
rumah. Di situ ia memberikan ceramah, mengkaji sebuah kitab, karena
kasetnya terpotong semula saya tidak mengetahui kitab apa yang dibahas
ini. Pertama ia menyebutkan pembagian tauhid, setelah itu disebutkan
pembagian Tauhid Hâkimiyah.
Saya lihat dari konteksnya ternyata yang ia baca adalah buku
‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq, pimpinan Yayasan Ihya At Turats di Kuwait
yang dikatakan oleh Syaikh Muqbil bahwa dia ini adalah mubtadi’, ahlul bid’ah.
Seandainya pendukung ‘Abdurrahman ‘Abdul
Khaliq berkata, “Yang membid’ahkan itu kan cuma Syaikh Muqbil saja, cuma
satu orang, tidak ada yang lain!”
Maka saya katakan, bahwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh menyampaikan dalam suatu ceramah, beliau ditanya: “Apakah ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq ini mubtadi’ atau bukan? Maka Syaikh Muqbil menjawab: “Iya, ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq mubtadi’.”
‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq ini tidak setuju dengan hukum Syaikh Muqbil.
Ia pun mengirim perkataan Syaikh Muqbil ini kepada Syaikh Al Albani rahimahullâh,
mau mengadukan bahwa Syaikh Muqbil mengkritiknya, mengatakan ahlul
bid’ah. Kaset ini didengarkan oleh Syaikh Al Albani dari awal sampai
akhirnya. Setelah itu Syaikh Al Albani rahimahullâh
memerintahkan kepada Syaikh ‘Ali Hasan untuk menulis: “Tulis: Saya
setuju dengan Syaikh Muqbil terhadap perkataannya tentang kritikannya
terhadap ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq dalam kaset ini 100 %”. (Dan yang
bercerita ini Syaikh ‘Ali Hasan dalam satu kaset yang saya dengar dan
kita punya kaset rekamannya ketika beliau berkunjung ke Indonesia
pertama kali).
Jadi Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, membaca dari kitab ini, Al Ushûl Al ‘Ilmiyah fi Da’watis Salafiyah karya ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq, di situ disebutkan pembagian Tauhid Hâkimiyah. Zaitun menerangkan tentang Tauhid Hâkimiyah ini dan ia membenarkannya, iqrar
dan ia tidak mengkritiknya sama sekali. Andaikata ia mengetahui ini
bathil, maka ia harus menerangkan kepada umat bahwa ini bathil, ini
sesat sebagaimana yang akan kita terangkan nanti tentang sesatnya orang
yang memberikan pembagian seperti ini. Seharusnya ia menerangkan seperti
itu, tetapi malah ia tetapkan. Justru bersamaan dengan hal itu, ia
tambah lagi satu kemungkaran yang besar, yaitu celaan terhadap para
ulama Saudi Arabia, bahkan mencela pemerintah Saudi, sebagaimana yang
akan saya terangkan nanti perkataannya dari kaset. Maka di sini tegas
menetapkan bahwa mereka punya pemahaman tentang Tauhid Hâkimiyah.
Setelah jelas hal ini, sekarang saya akan
bawakan penjelasan tentang bathilnya perkataan makna لا إله إلا الله
adalah لا حاكم إلا الله . Al Hâkimiyah itu masuk ke dalam Tauhid Ulûhiyah dan kadang masuk ke dalam Tauhid Rububiyah,
kata Syaikh Bin Baz sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Rabi’ dalam
sebuah fatwa (yang insya Allah akan kita bagikan fatwa beliau kepada
peserta). Maka, jangan membuat pembagian sendiri.
Dan bahayanya orang yang menafsirkan لا
حاكم إلا الله seperti Sayyid Quthb dan lain-lainnya, ini mengkafirkan
masyarakat muslim karena penafsirannya ini khusus untuk Tauhid Hâkimiyah dari pengertian seperti ini. Adapun membagi tauhid menjadi empat bagian dan bagian yang keempat adalah Tauhid Hâkimiyah
sebagaimana yang ditetapkan oleh Zaitun, maka ini adalah perkara yang
bid’ah. Karena Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Siapa yang membagi
seperti ini maka dia adalah mubtadi’.”
Asy Syaikh Al Albani rahimahullâh dalam satu kaset terekam beliau berkata:
الحاكمية فرع من فروع توحيد الألوهية, والذين
يدنددون بهذه الكلمة المحدثة في العصر الحاضر يتخذون سلاحا ليس لتعليم
المسلمين التوحيد الذي جاء به الرسل كلهم إنما سلاحا سيسية
Al Hâkimiyah itu adalah bagian dari bagian Tauhid Ulûhiyah dan orang-orang di zaman ini yang mendengung-dengungkan kalimat bid’ah (Tauhid Hâkimiyah, pent.) ini, mereka menjadikan Tauhid Hâkimiyah
bukan sebagai senjata untuk mengajari kaum muslimin tentang bagaimana
tauhid yang benar yang dibawa oleh para Rasul akan tetapi mereka jadikan
sebagai senjata siasat (untuk mengkafirkan pemerintah dan seterusnya).”
Perlu dingat, kalau perkara kecil tentang
Wahdah Islamiyah, itu kita biarkan (tidak menghiraukannya). Antum perlu
ketahui, saya punya kritikan tentang masalah-masalah ilmiah itu banyak.
Muhammad Yusran Anshar, Lc menyebutkan bahwa ia punya kritikan kepada
kita 18 kritikan, dimasukkan semua perkara-perkara kecil dan yang
lainnya sedangkan kami punya puluhan bahkan ratusan kalau yang demikian,
akan tetapi yang kita angkat di sini cuma perkara yang besar dan ini
pun min babil ‘adil wal inshof (dari bab adil dan inshof)nya kita dalam membantah.
********************************************
Fatwa Hai’ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia tentang Tauhid Hâkimiyah:
Pertanyaan: Beberapa juru dakwah mulai memperhatikan dan menganggap penting sebutan Tauhid Hâkimiyah
sebagai tambahan dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal. Apakah
tauhid ini termasuk dalam pembagian tauhid yang tiga tersebut? Haruskah
kita menjadikannya bagian tersendiri, sehingga kita wajib
mengutamakannya? Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab telah mengutamakan Tauhid Ulûhiyah pada masanya, ketika beliau melihat manusia sangat kurang dalam tauhid ini. Imam Ahmad pada masanya juga mengutamakan Tauhid Asma’ wa Shifat
saat beliau melihat kenyataan bahwa manusia sangat kurang dalam sisi
tauhid ini. Adapun sekarang, manusia mulai kurang dalam mengamalkan Tauhid Hâkimiyah. Oleh karena itu wajibkah kita utamakan sisi tauhid ini? Benarkah ucapan seperti ini?
Hai’ah Kibârul ‘Ulama menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:
Tauhid itu ada tiga macam yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulûhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Tidak dijumpai di sana macam yang keempat.
Adapun berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan itu termasuk di dalam Tauhid Ulûhiyah. Karena hal itu termasuk salah satu macam ibadah kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. Setiap macam ibadah termasuk dalam Tauhid Ulûhiyah. Oleh karena itu, menjadikan Hâkimiyah sebagai macam tauhid tersendiri adalah perbuatan muhdats
(bid’ah) yang tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari para imam
sepengetahuan kami. Bahkan ada di antara para imam tersebut meringkas
pembagian tauhid menjadi dua macam, yaitu Tauhid Al ‘Ilmi Al I’tiqadi (Tauhid dalam pengenalan dan penetapan) yaitu Tauhid Rububiyah dan Asma’ wa Shifat dan yang kedua Tauhid Ai Iradi Ath Thalabi (Tauhid dalam meminta dan menunjukkan) yaitu Tauhid Ulûhiyah. Dan sebagian mereka ada yang merincinya menjadi tiga macam sebagaimana telah lewat. Wallâhu a’lam.
Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh tentang Tauhid Hâkimiyah:
Syaikh Al Albani ditanya: Wahai Syaikh
kami—semoga Allah memberkahimu—para ulama Salaf—semoga Allah merahmati
mereka—menyebutkan bahwa tauhid ada tiga macam yaitu Ulûhiyah, Rububiyah, dan Asma’ wa Shifat. Maka, apakah dibenarkan jika kita mengucapkan bahwa di sana terdapat tauhid yang keempat yaitu Tauhid Hâkimiyah atau Tauhidul Hukum?
Beliau menjawab: Al Hâkimiyah adalah bagian dari Tauhid Ulûhiyah. Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang muhdats
tadi di zaman ini bukanlah untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid
yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan
hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap menyatakan
untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah
berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau
engkau suka kita lewatkan saja apa yang sedang kita kita bahas.
Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata Hâkimiyah adalah pelengkap dakwah politik yang merupakan ciri khas beberapa hizb-hizb yang ada pada hari ini.
Pada kesempatan ini aku sampaikan satu
kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang khatib di salah satu
masjid di Damaskus. Pada hari Jum’at ia berkhutbah yang seluruhnya
berkisar tentang Hâkimiyah bagi Allah ‘Azza wa Jalla.
Kemudian ia keliru dalam salah satu masalah fiqih. Ketika selesai
sholat Jum’at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku
katakan kepadanya, “Wahai saudaraku, engkau berbuat seperti ini dan hal
itu adalah menyelisihi sunnah.”
Ia menjawab, “Aku adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpendapat dengan apa yang aku kerjakan itu.” Aku berkata, “Subhanallâh, engkau berkhutbah bahwa Hâkimiyah milik Allah ‘Azza wa Jalla dan
kalian menggunakan kata itu hanya sekadar untuk memerangi orang-orang
yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak
berhukum dengan syari’at islam. Sedangkan kalian lupa pada diri kalian
sendiri bahwa Hâkimiyah
itu pun mencakup setiap muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan
kepadamu bahwa Rasul berbuat seperti ini, engkau mengatakan bahwa
madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi apa yang aku dakwahkan.
Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut sebagai
pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan “Inilah dagangan kami
kembali kepada kami.”
Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat Hâkimiyah dan selain Hâkimiyah yaitu Tauhid Ulûhiyah sebagai
tauhid ibadah yang termasuk di dalamnya apa yang mereka
dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut ketika kalian
mendengung-dengungkan Tauhid Hâkimiyah, maka kami menyebarkan hadits Hudzaifah ibnul Yaman bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam
membacakan kepada para sahabatnya ayat yang mulia: “Mereka menjadikan
pendeta-pendeta mereka dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain
Allah.”(QS At Taubah: 31)
Adi bin Hatim At Tha’i mengatakan, “Demi
Allah wahai Rasulullah, kami tidak pernah menjadikan mereka rabb-rabb
selain Allah.” Maka beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang
halal, maka kalian mengharamkannya; dan jika mereka menghalalkan untuk
kalian perkara yang haram maka kalian menghalalkannya?’ Dia berkata,
“Kalau yang demikian memang terjadi.” Maka rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itulah berarti kalian menjadiakan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.”
Kami juga menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga kemudian mereka mengembangkannya dari Tauhid Ulûhiyah
atau tauhid ibadah dengan penamaan yang bid’ah dengan tujuan politik.
Maka saya tidak berpendapat adanya istilah seperti ini. Kalau saja
mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa mengamalkan
konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa ia sudah
termasuk dalam tauhid ibadah tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada
Allah sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Dan jika dikatakan
sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini menyelisihi
sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata: “Ini madzhabku.” Al Hâkimiyah
bagi Allah bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik
saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum
seperti orang-orang yang beribadah kepada Allah tanpa sesuai dengan apa
yang datang dari Allah dalam kitab-nya dan dari Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya.
Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan seperti ini.
Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh tentang Tauhid Hâkimiyah:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh, anggota Hai’ah Kibârul ‘Ulamâ’ ketika ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hâkimiyah), beliau menjawab, “Barang siapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam(pembagian) tauhid yang disebut Tauhid Hâkimiyah, maka orang tersebut dianggap mubtadi’.
Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang yang
jahil yang tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikit pun.
Yang demikian itu karena Al Hâkimiyah termasuk dalam Tauhid Rububiyah dari sisi bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam Tauhid Ulûhiyah (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah dengan hukum Allah. Dengan demikian Hâkimiyah tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulûhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat.”
Ketika beliau ditanya tentang cara
membantah mereka, maka beliau menjawab, “Saya akan membantah mereka
dengan bertanya kepada mereka: Apa makna Al Hâkimiyah? Tidak lain mereka akan mengatakan: inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Padahal ini adalah Tauhid Rububiyah Allah. Dia adalah Ar Rabb (Yang Memelihara), Al Khaliq (Yang Menciptakan), Al Malik (Yang Memiliki), Al Mudabbir (Yang Mengatur segala urusan).
Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka kita tidak bisa memastikannya.
(Sumber: Harian Al Muslimun, Kuwait no. 639, Jum’at, 25 Dzulhijjah 1417 H/2 Mei 1997, terjemahan dikutip dari Majalah Salafy edisi XXI/1418/1997, hlm. 17-20, ed)
*************************************
0 komentar:
Posting Komentar