-->

28 Agustus 2012

Kesesatan Ke-3: Wahdah Islamiyah Menetapkan Tauhid Hâkimiyah


Orang yang mengucapkan Tauhid Hâkimiyah itu mempunyai dua peng-ithlaq-an:
1.  Ada yang mengatakan Tauhid Hâkimiyah itu artinya menafsirkan kalimat لا إله إلا الله  dengan لا حاكم إلا الله (Tidak ada yang memberi hukum selain Allah).
2.  Ada yang menjadikan Tauhid Hâkimiyah sebagai bagian yang keempat dari pembagian tauhid. Sebagaimaan kita kenal tauhid itu ada tiga: Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulûhiyah, dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Ini ia datang menambah tauhid yang keempat: Tauhid Hâkimiyah.
Sekarang akan ditetapkan bahwa Wahdah Islamiyah mempunyai Tauhid Hâkimiyah ini. Mereka mempunyai pelajaran-pelajaran khusus dalam halaqoh-halaqoh mereka tentang Tauhid Hâkimiyah, ini penetapan-penetapan dari banyak ikhwah yang pernah belajar kepada mereka, ini masyhur dan terkenal.
Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, pimpinan Yayasan ini pernah mengadakan Tabligh Akbar, saya punya kasetnya di rumah. Di situ ia memberikan ceramah, mengkaji sebuah kitab, karena kasetnya terpotong semula saya tidak mengetahui kitab apa yang dibahas ini. Pertama ia menyebutkan pembagian tauhid, setelah itu disebutkan pembagian Tauhid Hâkimiyah. Saya lihat dari konteksnya ternyata yang ia baca adalah buku ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq, pimpinan Yayasan Ihya At Turats di Kuwait yang dikatakan oleh Syaikh Muqbil bahwa dia ini adalah mubtadi’, ahlul bid’ah.
Seandainya pendukung ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq berkata, “Yang membid’ahkan itu kan cuma Syaikh Muqbil saja, cuma satu orang, tidak ada yang lain!”
Maka saya katakan, bahwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullâh menyampaikan dalam suatu ceramah, beliau ditanya: “Apakah ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq ini mubtadi’ atau bukan? Maka Syaikh Muqbil menjawab: “Iya, ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq mubtadi’.” ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq ini tidak setuju dengan hukum Syaikh Muqbil. Ia pun mengirim perkataan Syaikh Muqbil ini kepada Syaikh Al Albani rahimahullâh, mau mengadukan bahwa Syaikh Muqbil mengkritiknya, mengatakan ahlul bid’ah. Kaset ini didengarkan oleh Syaikh Al Albani dari awal sampai akhirnya. Setelah itu Syaikh Al Albani rahimahullâh memerintahkan kepada Syaikh ‘Ali Hasan untuk menulis: “Tulis: Saya setuju dengan Syaikh Muqbil terhadap perkataannya tentang kritikannya terhadap ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq dalam kaset ini 100 %”. (Dan yang bercerita ini Syaikh ‘Ali Hasan dalam satu kaset yang saya dengar dan kita punya kaset rekamannya ketika beliau berkunjung ke Indonesia pertama kali).
Jadi Muhammad Zaitun Rasmin, Lc, membaca dari kitab ini, Al Ushûl Al ‘Ilmiyah fi Da’watis Salafiyah karya ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq, di situ disebutkan pembagian Tauhid Hâkimiyah. Zaitun menerangkan tentang Tauhid Hâkimiyah ini dan ia membenarkannya, iqrar dan ia tidak mengkritiknya sama sekali. Andaikata ia mengetahui ini bathil, maka ia harus menerangkan kepada umat bahwa ini bathil, ini sesat sebagaimana yang akan kita terangkan nanti tentang sesatnya orang yang memberikan pembagian seperti ini. Seharusnya ia menerangkan seperti itu, tetapi malah ia tetapkan. Justru bersamaan dengan hal itu, ia tambah lagi satu kemungkaran yang besar, yaitu celaan terhadap para ulama Saudi Arabia, bahkan mencela pemerintah Saudi, sebagaimana yang akan saya terangkan nanti perkataannya dari kaset. Maka di sini tegas menetapkan bahwa mereka punya pemahaman tentang Tauhid Hâkimiyah.
Setelah jelas hal ini, sekarang saya akan bawakan penjelasan tentang bathilnya perkataan makna لا إله إلا الله adalah لا حاكم إلا الله . Al Hâkimiyah itu masuk ke dalam Tauhid Ulûhiyah dan kadang masuk ke dalam Tauhid Rububiyah, kata Syaikh Bin Baz sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Rabi’ dalam sebuah fatwa (yang insya Allah akan kita bagikan fatwa beliau kepada peserta). Maka, jangan membuat pembagian sendiri.
Dan bahayanya orang yang menafsirkan لا حاكم إلا الله seperti Sayyid Quthb dan lain-lainnya, ini mengkafirkan masyarakat muslim karena penafsirannya ini khusus untuk Tauhid Hâkimiyah dari pengertian seperti ini. Adapun membagi tauhid menjadi empat bagian dan bagian yang keempat adalah Tauhid Hâkimiyah sebagaimana yang ditetapkan oleh Zaitun, maka ini adalah perkara yang bid’ah. Karena Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, “Siapa yang membagi seperti ini maka dia adalah mubtadi’.”
Asy Syaikh Al Albani rahimahullâh dalam satu kaset terekam beliau berkata:
الحاكمية فرع من فروع توحيد الألوهية, والذين يدنددون بهذه الكلمة المحدثة في العصر الحاضر يتخذون سلاحا ليس لتعليم المسلمين التوحيد الذي جاء به الرسل كلهم إنما سلاحا سيسية
Al Hâkimiyah itu adalah bagian dari bagian Tauhid Ulûhiyah dan orang-orang di zaman ini yang mendengung-dengungkan kalimat bid’ah (Tauhid Hâkimiyah, pent.) ini, mereka menjadikan Tauhid Hâkimiyah bukan sebagai senjata untuk mengajari kaum muslimin tentang bagaimana tauhid yang benar yang dibawa oleh para Rasul akan tetapi mereka jadikan sebagai senjata siasat (untuk mengkafirkan pemerintah dan seterusnya).”
Perlu dingat, kalau perkara kecil tentang Wahdah Islamiyah, itu kita biarkan (tidak menghiraukannya). Antum perlu ketahui, saya punya kritikan tentang masalah-masalah ilmiah itu banyak. Muhammad Yusran Anshar, Lc menyebutkan bahwa ia punya kritikan kepada kita 18 kritikan, dimasukkan semua perkara-perkara kecil dan yang lainnya sedangkan kami punya puluhan bahkan ratusan kalau yang demikian, akan tetapi yang kita angkat di sini cuma perkara yang besar dan ini pun min babil ‘adil wal inshof (dari bab adil dan inshof)nya kita dalam membantah.
********************************************

Fatwa Hai’ah Kibarul ‘Ulama Saudi Arabia tentang Tauhid Hâkimiyah:

Pertanyaan: Beberapa juru dakwah mulai memperhatikan dan menganggap penting sebutan Tauhid Hâkimiyah sebagai tambahan dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal. Apakah tauhid ini termasuk dalam pembagian tauhid yang tiga tersebut? Haruskah kita menjadikannya bagian tersendiri, sehingga kita wajib mengutamakannya? Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab telah mengutamakan Tauhid Ulûhiyah pada masanya, ketika beliau melihat manusia sangat kurang dalam tauhid ini. Imam Ahmad pada masanya juga mengutamakan Tauhid Asma’ wa Shifat saat beliau melihat kenyataan bahwa manusia sangat kurang dalam sisi tauhid ini. Adapun sekarang, manusia mulai kurang dalam mengamalkan Tauhid Hâkimiyah. Oleh karena itu wajibkah kita utamakan sisi tauhid ini? Benarkah ucapan seperti ini?
Hai’ah Kibârul ‘Ulama menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut:
Tauhid itu ada tiga macam yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulûhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat. Tidak dijumpai di sana macam yang keempat.
Adapun berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan itu termasuk di dalam Tauhid Ulûhiyah. Karena hal itu termasuk salah satu macam ibadah kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ. Setiap macam ibadah termasuk dalam Tauhid Ulûhiyah. Oleh karena itu, menjadikan Hâkimiyah sebagai macam tauhid tersendiri adalah perbuatan muhdats (bid’ah) yang tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari para imam sepengetahuan kami. Bahkan ada di antara para imam tersebut meringkas pembagian tauhid menjadi dua macam, yaitu Tauhid Al ‘Ilmi Al I’tiqadi (Tauhid dalam pengenalan dan penetapan) yaitu Tauhid Rububiyah dan Asma’ wa Shifat dan yang kedua Tauhid Ai Iradi Ath Thalabi (Tauhid dalam meminta dan menunjukkan) yaitu Tauhid Ulûhiyah. Dan sebagian mereka ada yang merincinya menjadi tiga macam sebagaimana telah lewat. Wallâhu a’lam.

Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh tentang Tauhid Hâkimiyah:

Syaikh Al Albani ditanya: Wahai Syaikh kami—semoga Allah memberkahimu—para ulama Salaf—semoga Allah merahmati mereka—menyebutkan bahwa tauhid ada tiga macam yaitu Ulûhiyah, Rububiyah, dan Asma’ wa Shifat. Maka, apakah dibenarkan jika kita mengucapkan bahwa di sana terdapat tauhid yang keempat yaitu Tauhid Hâkimiyah atau Tauhidul Hukum?
Beliau menjawab: Al Hâkimiyah adalah bagian dari Tauhid Ulûhiyah. Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang muhdats tadi di zaman ini bukanlah untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap menyatakan untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau engkau suka kita lewatkan saja apa yang sedang kita kita bahas.
Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata Hâkimiyah adalah pelengkap dakwah politik yang merupakan ciri khas beberapa hizb-hizb yang ada pada hari ini.
Pada kesempatan ini aku sampaikan satu kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang khatib di salah satu masjid di Damaskus. Pada hari Jum’at ia berkhutbah yang seluruhnya berkisar tentang Hâkimiyah bagi Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian ia keliru dalam salah satu masalah fiqih. Ketika selesai sholat Jum’at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan kepadanya, “Wahai saudaraku, engkau berbuat seperti ini dan hal itu adalah menyelisihi sunnah.”
Ia menjawab, “Aku adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpendapat dengan apa yang aku kerjakan itu.” Aku berkata, “Subhanallâh, engkau berkhutbah bahwa Hâkimiyah milik Allah ‘Azza wa Jalla dan kalian menggunakan kata itu hanya sekadar untuk memerangi orang-orang yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak berhukum dengan syari’at islam. Sedangkan kalian lupa pada diri kalian sendiri bahwa Hâkimiyah itu pun mencakup setiap muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan kepadamu bahwa Rasul berbuat seperti ini, engkau mengatakan bahwa madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi apa yang aku dakwahkan. Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut sebagai pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan “Inilah dagangan kami kembali kepada kami.”
Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat Hâkimiyah dan selain Hâkimiyah yaitu Tauhid Ulûhiyah sebagai tauhid ibadah yang termasuk di dalamnya apa yang mereka dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut ketika kalian mendengung-dengungkan Tauhid Hâkimiyah, maka kami menyebarkan hadits Hudzaifah ibnul Yaman bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam membacakan kepada para sahabatnya ayat yang mulia: “Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.”(QS At Taubah: 31)
Adi bin Hatim At Tha’i mengatakan, “Demi Allah wahai Rasulullah, kami tidak pernah menjadikan mereka rabb-rabb selain Allah.” Maka beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang halal, maka kalian mengharamkannya; dan jika mereka menghalalkan untuk kalian perkara yang haram maka kalian menghalalkannya?’ Dia berkata, “Kalau yang demikian memang terjadi.” Maka rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Itulah berarti kalian menjadiakan mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.”
Kami juga menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga kemudian mereka mengembangkannya dari Tauhid Ulûhiyah atau tauhid ibadah dengan penamaan yang bid’ah dengan tujuan politik. Maka saya tidak berpendapat adanya istilah seperti ini. Kalau saja mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa mengamalkan konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa ia sudah termasuk dalam tauhid ibadah tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Dan jika dikatakan sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini menyelisihi sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata: “Ini madzhabku.” Al Hâkimiyah bagi Allah bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum seperti orang-orang yang beribadah kepada Allah tanpa sesuai dengan apa yang datang dari Allah dalam kitab-nya dan dari Nabi-Nya shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya.
Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan seperti ini.

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh tentang Tauhid Hâkimiyah:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullâh, anggota Hai’ah Kibârul ‘Ulamâ’ ketika  ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hâkimiyah), beliau menjawab, “Barang siapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam(pembagian) tauhid yang disebut Tauhid Hâkimiyah, maka orang tersebut dianggap mubtadi’. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang yang jahil yang tidak paham tentang perkara aqidah  dan agama sedikit pun.
Yang demikian itu karena Al Hâkimiyah termasuk dalam Tauhid Rububiyah dari sisi bahwasanya Allah menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam Tauhid Ulûhiyah (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Allah dengan hukum Allah. Dengan demikian Hâkimiyah tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu Tauhid Rububiyah, Tauhid Ulûhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat.”
Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, maka beliau menjawab, “Saya akan membantah mereka dengan bertanya kepada mereka: Apa makna Al Hâkimiyah? Tidak lain mereka akan mengatakan: inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah). Padahal ini adalah Tauhid Rububiyah Allah. Dia adalah Ar Rabb (Yang Memelihara), Al Khaliq (Yang Menciptakan), Al Malik (Yang Memiliki), Al Mudabbir (Yang Mengatur segala urusan).
Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka kita tidak bisa memastikannya.
(Sumber: Harian Al Muslimun, Kuwait no. 639, Jum’at, 25 Dzulhijjah 1417 H/2 Mei 1997, terjemahan dikutip dari Majalah Salafy edisi XXI/1418/1997, hlm. 17-20, ed)
*************************************

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.