-->

28 Agustus 2012

Kesesatan Ke-4: Wahdah Islamiyah Mengharuskan Muwâzanah


Al Muwâzanah, kalimat bid’ah ini mereka ambil dari guru-guru dan tokoh-tokoh Sururiyah. Kalimat Al Muwâzanah ini maksudnya menimbang kebaikan dan kejelekan, artinya kalau mengkritik seseorang, harus menyebutkan kebaikan di samping kejelekannya, jangan hanya menyebutkan kejelekannya saja. Kadang mereka mewajibkan, kadang ada yang mengatakan sunnah dan kadang ada yang mengatakan itu tidak apa-apa. Atau tidak harus kalau dalam bidang tahdzir tetapi kalau dalam bidang taqwim, itu adalah wajib seperti perkataannya Muhammad Yusran Anshar, Lc, dan perkataan ini ia ambil dari Salman Al ‘Audah yang memang orang yang sangat dia tokohkan.
Di sini soal muwâzanah, saya akan meng-itsbat-kan (menetapkan) bahwa mereka mempunyai muwâzanah.
Pertama, mereka kadang memberikan ringkasan dari kitab yang berjudul Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah fin Naqdi wal Hukmi ‘alal Âkharin karya Hisyam bin Isma’il Ash Shini. Kitab ini termasuk kitab yang menyerukan manhaj muwâzanah yang diajarkan kepada mad’u (pengikut)nya.
Kedua, Muhammad Yusran Anshar, Lc di Tabligh Akbar dua tahun yang lalu (sebelum tahun 2002) ketika membantah kami, ia menyebutkan dalil-dalil tentang bolehnya muwâzanah dari ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang diambilnya dari kitabnya Ahmad bin ‘Abdurrahman Ash Shuyani yang berjudul Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah fi Taqwim Ar Rijal wa Mu’allafatihi. Sebenarnya kitab ini telah disingkap kekeliruannya oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh dalam kitab beliau, Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawa’if yang diakui dan direkomendasi oleh para ulama besar di zaman ini seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Al Albani, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar Rajihi, Syaikh Shalih Al Fauzan dan lain-lainnya.
Jadi, tentang persetujuannya terhadap muwâzanah, mereka tidak bisa berkelit, kaset-kasetnya penuh pembelaan tentang hal tersebut (sekarang pun artikel pembelaan terhadap muwâzanah bertebaran di situs internet milik Wahdah Islamiyah, ed).
Apa maksud dari manhaj Al Muwâzanah ini? Maksudnya, kalau mengkritik seseorang maka jangan hanya menyebutkan kejelekannya saja, akan tetapi harus juga menyebutkan kebaikannya.  Sebenarnya kalau dipikir secara fitrah, ini adalah suatu hal yang aneh dan di luar akal sehat. Bagaimana misalnya kalau saya ingatkan bahwa ada pencuri masuk ke rumah lalu saya katakan: “Ia itu pencuri, tapi ia juga baik, rajin sholat, puasa, juga hadir sholat i’ed,” dan seterusnya disebutkan kebaikannya? Apabila ini dilakukan maka peringatan saya itu menjadi tidak ada manfaatnya.
Bagaimana caranya, mau memperingatkan (tahdzir) agar orang lain jangan sampai terkena kejahatannya, seiring dengan penyebutan daftar kebaikannya? Peringatan ini menjadi tidak ada gunanya sehingga ini adalah manhaj yang sangat aneh. Muwâzanah adalah perkara bid’ah, tidak ada tuntunannya dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dari manhaj para ulama As Salaf. Dari kalimatnya saja, kalimat muwâzanah ini adalah kalimat ‘muhdatsah‘ yang baru dibuat oleh mereka.
********************************************

Fatwa Para Ulama tentang Muwâzanah

Fatwa Asy Syaikh Al Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullâh

Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullâh ditanya, “Bagaimana tentang manhaj Ahlus Sunnah dalam mengkritik ahlul bid’ah dan buku-buku mereka. Apakah wajib kita menyebutkan kebaikan mereka dan kejelekan mereka atau yang kita sebutkan kejelekan saja?”
Beliau menjawab:
“Yang dikenal dalam perkataan para ulama adalah menjelaskan kejelekan untuk mentahdzir dan menjelaskan kesalahan yang mereka salah di dalamnya untuk mentahdzir dari kesalahan itu. Adapun kebaikan, itu sudah diketahui dan bagus, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah mentahdzir dari kesalahan mereka seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan yang semisal dengannya. Kalau ada keperluan untuk menjelaskan kebaikannya, maka diterangkan. Misalnya kalau ada yang ditanya: “Kelompok ini apakah tidak ada kebenarannya?” jelaskan: “Mereka  punya begini, begini, …”
Namun maksud inti dan terpenting di sini ialah menjelaskan kebatilan mereka agar menjadi peringatan bagi yang bertanya sehingga ia tidak condong pada mereka.”
Kemudian beliau ditanya lagi, “Apakah wajib untuk muwâzanah bahwa kalau kamu mengkritik seorang ahlul bid’ah untuk memperingatkan manusia, memperingatkan manusia dari bid’ahnya, kamu wajib untuk menyebutkan kebaikannya sehingga kamu tidak menzhaliminya?”
Maka Syaikh bin Baz menjawab, “Tidak, itu tidak harus. Kalau kamu baca buku para ulama Sunnah, kamu akan dapatkan mereka bahwa yang mereka inginkan hanya tahdzir saja. Bacalah Khalqu Af’alil Ibad milik Imam Bukhari dan Kitabul Adab di dalam Shahih-nya, kemudian As Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, Kitabut Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah, bantahan Utsman bin Sa’id Ad Darimi dan yang lainnya. Para ulama membawakan peringatan atas kebatilan mereka tanpa menyebutkan kebaikannya… karena maksud yang ditekankan di sini adalah memberi peringatan atas kesesatan mereka. Tidak bernilai kebaikan-kebaikan yang mereka miliki kalau dikaitkan dengan kekufurannya—yakni apabila kebid’ahan yang mereka lakukan sampai pada tingkat kekufuran. Jika kebid’ahan itu tidak mencapai derajat kufur, maka dia berada di bibir jurang marabahaya. Maka tujuan utama di sini adalah menjelaskan kekeliruan mereka agar umat waspada darinya.
(Dinukil dari kaset rekaman salah satu pelajaran Asy Syaikh Ibnu Baz Ibnu Baz yang disampaikan pada musim panas tahun 1413 H di Thaif setelah shalat Shubuh)

Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh, seorang ulama ahli hadits ketika ditanya tentang muwâzanah, beliau punya banyak jawaban; ada di kaset no. 850, dan juga ada di kaset Silsilatul Huda wan Nûr no. 638.
Penanya:
“Wahai Syaikh kami, mereka—yakni saudara-saudara kita atau para penuntut ilmu—telah mengumpulkan sekian banyak permasalahan, di antara pendapat mereka yaitu: wajib bagi yang hendak membicarakan ahlul bid’ah yang terang-terangan berbuat bid’ah dan menentang sunnah, atau terjerumus dalam penyimpangan yang berkaitan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah; ia harus menyebutkan pula kebaikan-kebaikannya, apa yang mereka sebut sebagai “kaidah muwâzanah”—yakni sikap obyektif dalam menerangkan kejelekan dan kebaikan seseorang. Disusunlah buku-buku dan artikel-artikel menyangkut permasalahan ini oleh mereka yang sependapat dengan pemikiran tersebut. Bahwa manhaj para ulama Salaf ialah menyebutkan dua perkara, yaitu menyebutkan kebaikan dan kejelekan seseorang ketika mengkritiknya.
Apakah kaidah ini memang mutlak demikian, apa di sana ada tempat atau kondisi-kondisi tertentu yang tidak memutlakkannya? Kami mohon penjelasan terinci dari Anda. Semoga Allah memberkahi Anda.”
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
Jawabannya rinci. Semua kebaikan ialah dengan mengikuti ulama Salaf. Adakah mereka melakukannya?”
Penanya:
“Wahai Syaikh kami—semoga Allah selalu menjaga Anda—di antaranya mereka berdalil dengan sebagian perkataan ulama tentang seorang perawi Syi’ah seperti si fulan tsiqah (terpercaya) dalam periwayatan haditsnya namun ia berpemikiran Rafidhah yang busuk. Mereka berdalil dengannya, dan menginginkan kaidah ini diterapkan secara sempurna tanpa mau memandang ribuan nash yang menerangkan kedustaan para pendusta yang matruk-khabits!”
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
“Ini adalah cara bid’ah. Ketika seorang yang mengerti hadits membicarakan orang yang shalih, alim lagi faqih, kemudian menyatakan kejelekan hafalannya misalnya—adakah si alim ini tetap akan mengatakan bahwa orang ini adalah seorang muslim, orang yang shalih lagi faqih dan ia merupakan tempat rujukan hukum-hukum syari’at… Allâhu akbar.
Hakikat kaidah yang lalu sangatlah penting, terkandung di dalamnya berbagai cabang permasalahan, khususnya di zaman sekarang.
Dari mana mereka mendapatkan kaidah ini; manakala sudah saatnya menerangkan kesalahan seorang muslim baik ia seorang da’i atau bukan—harus mengadakan ceramah dan menyebutkan semua kebaikan orang tersebut dari awal sampai akhirnya. Allâhu akbar, ini merupakan perkara yang aneh, demi Allah perkara yang aneh!”
(Sampai di sini Syaikh tertawa karena keheranan)
Penanya:
“Di sisi lain mereka berdalil dengan perkataan Adz Dzahabi rahimahullâh dalam kitabnya Siyar A’lâmun Nubalâ’ dan selainnya. Wahai Syaikh kami, perlukah menyebutkan manfaat atau faidah yang ada pada seseorang seperti—(menguasai ilmu) hadits misalnya—yang dibutuhkan oleh kaum muslimin?”
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
“Ini adalah dalam rangka mendidik hai Ustadz, bukan permasalahan mengingkari kemungkaran atau beramar ma’ruf, sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa melihat kemungkaran hendaklah mengubahnya…”, adakah kamu mengingkari kemungkaran seseorang, lalu kamu ceritakan kebaikan-kebaikannya?”
Penanya:
“Ketika Nabi bersabda sejelek-jeleknya orang yang berkhutbah adalah kamu akan tetapi kamu melakukan kebaikan ini dan begitu. Anehnya.. dalam hal ini mereka menyatakan: Rabb kita ketika menyebutkan (kejelekan) khamr juga menyebutkan manfaat-manfaatnya.”
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
Allâhu akbar… mereka adalah orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al Qur’an untuk mencari fitnah dan menghendaki ta’wilnya. Subhanallâh… saya melihat apa yang ada pada mereka bukanlah termasuk (manhaj) kita.”
(Pada kaset nomor 638/1 dari Silsilatul Huda wan Nûr Syaikh Al Albani rahimahullâh diajukan pertanyaan-pertanyaan seputar topik manhaj muwâzanah, maka beliau menjawab sebagai berikut)
“Kini sedang hangat didiskusikan oleh banyak kalangan, individu atau kelompok seputar apa yang dinamakan… atau seputar bid’ah baru yang dinamakan dengan Al Muwâzanah.
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
Saya katakan: Naqd (kritik) terhadap pribadi seseorang, bisa jadi menyangkut biografi dirinya—maka di sini harus disebut kebaikan dan kejelekan orang yang sedang diterangkan keadaannya, baik maupun buruknya.
Adapun yang dimaksud dengan “menerangkan keadaan seseorang dengan tujuan memperingatkan kaum muslimin,” terlebih apabila kaum muslimin tidak mempunyai pengetahuan tentang keadaan atau keutamaan orang itu dan lain-lainnya. Atau terkadang orang yang dibicarakan ini memiliki pengaruh yang baik di masyarakat umum, namun ia tenggelam dalam aqidah yang sesat atau memiliki akhlak dan perilaku yang buruk, sementara mayoritas kaum muslimin tidak mengetahui sedikitpun tentangnya… maka pada kondisi demikian, manhaj yang bid’ah ini yaitu Al Muwâzanah (obyektivitas)—tidak dapat digunakan. Lantaran maksud yang hendak dicapai adalah menasihati dalam rangka memberikan peringatan kepada umat sekaligus pelakunya—dan bukan dalam rangka menerangkan biografi orang tersebut secara sempurna dan menyeluruh.
Barangsiapa mempelajari sunnah dan Sirah Nabawiyah maka dia tidak akan meragukan lagi kebatilan pemikiran baru yang muncul di masa kini—yaitu “Manhaj Al Muwâzanah.” Karena, kami dapati puluhan nash dari hadits-hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan kejelekan seseorang—sehubungan dengan keharusan memberikan nasihat—tanpa harus mengawalinya dengan menyebut biografi dirinya secara sempurna. Sebab tujuannya di sini adalah untuk menasihati kaum muslimin agar waspada darinya. Hadits-hadits semacam itu banyak sekali, sehingga tidak dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Tetapi baiklah akan kami sebutkan sebagiannya sebagai contoh:
Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari: “Bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi, maka beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Izinkanlah ia, sejelek-jelek saudara kerabat adalah ia… Izinkanlah ia, sejelek-jelek saudara kerabat adalah ia…’ Maka tatkala orang tersebut masuk dan mengajak berbicara, beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam pun menampakkan raut muka yang berseri-seri kepadanya.
Ketika orang tersebut keluar, ‘A’isyah pun radhiyallâhu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah, ketika ia meminta izin untuk masuk engkau mengatakan: ‘Izinkanlah ia, sejelek-jelek saudara kerabat adalah ia…,’ Namun ketika engkau berbicara dengannya engkau tampakkan wajah yang senang dan berseri-seri.’ Beliau bersabda, “’Wahai ‘A’isyah, sesungguhnya sejelek-jelek manusia pada hati kiamat di sisi Allah ialah orang yang dijauhi manusia karena khawatir akan kejahatannya.’”
Nabi kita shallallâhu ‘alaihi wasallam tidak menerapkan bid’ah baru ini kepada laki-laki ini karena momentumnya bukanlah dalam rangka menerangkan biografi orang tersebut, namun untuk memperingatkan dan menerangkan kepada umat agar mereka berhati-hati terhadapnya.
Dari sisi ini juga hadits tadi sangat relevan dengan topik pembahasan kita, karena laki-laki itu dicela Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya: “Sejelek-jelek saudara kerabat adalah ia…
Berkata pensyarah hadits: “Orang tersebut dahulunya termasuk kaum munafik. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menyikapinya dengan lemah lembut demi membatasi kejahatannya terhadap kaum muslimin.
Contoh berikut ini barangkali lebih relevan lagi, berkaitan dengan seorang muslimah yang menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, adalah Abu Jahm dan Mu’awiyah datang melamarku—dimaklumi bahwa kedua lelaki yang melamar itu adalah dua orang sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Beliau pun bersabda, “Adapun Mu’awiyah ia itu seorang faqir, tidak berharta. Adapun Abu Jahm nyaris tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul atau suka bepergian, pent.). Dan orang yang bertanya adalah shahabiyat yang sedang dipinang oleh keduanya.”
Ini adalah celaan, dan hanya celaan semata. Beliau tidak menyebut kebaikan kedua sahabat tersebut. Mengapa? Karena wanita itu datang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam rangka meminta nasihat: siapa di antara keduanya yang akan ia terima sebagai pendampingnya.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam memberikan jawaban kepada shahabiyat ini berdasarkan tabiat kaum wanita pada umumnya, yaitu sesuatu yang tidak disukai wanita dari kaum lelaki: misalnya fakir dan tidak mempunyai kedudukan di tenga-tengah kaum muslimin.
Demikian juga, apabila si suami itu seorang yang suka memukul istri atau banyak bepergian. Ketika beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Adapun Abu Jahm hampir tidak pernah meletakkan tongkat di pundaknya,” yakni sebagai kinayah (kiasan) dari banyaknya safar atau sifat ringan tangannya terhadap wanita… demikian penafsiran sebagian ulama. Tafsir yang rajih ialah “suka memukul” atau “ringan tangan terhadap wanita”.
Terpenting di sini, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan kejelekan kedua sahabat ini tanpa menyebutkan kebaikan mereka berdua sedikit pun. Beliau tidak menutup pembicaraan untuk pada akhirnya menyimpulkan—misalnya—bahwa mereka itu adalah mukminin, taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya… dan seterusnya.
Bicaralah! Dan jangan merasa berat! Para ulama membahas tentang ayat dan hadits yang menerangkan haramnya ghibah, namun tidak ada halangan bagi mereka untuk menerangkan hal itu karena tidak semua ghibah adalah haram, yakni sebagai nasihat bagi umat.
Sebagian ulama telah menghimpun perkara ini di dalam dua bait syair:
Celaan bukanlah termasuk ghibah pada enam perkara
Orang terzhalimi, orang yang menjelaskan, orang yang memperingatkan manusia dari seseorang (yang jahat)
Orang yang terang-terangan berbuat fasiq, orang yang meminta fatwa, dan orang yang meminta pertolongan melenyapkan kemungkaran
Hadits yang menerangkan enam perkara dalam dua baits syair ini sangatlah banyak. Akan tetapi, yang penting, saya hendak menandaskan di akhir jawaban saya: bahwa mereka yang telah berbuat bid’ah dengaan bid’ah Al Muwâzanah tidak diragukan lagi telah menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, baik sunnah qauliyah maupun sunnah fi’liyah.
Mereka juga menyelisihi manhaj Salaf Ash Shalih. Kami memandang perlu untuk menyandarkan pemahaman kita terhadap Al Qur’an dan sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam kepada pemahaman Salaf Ash Shalih. Mengapa?
Karena tidak diperselisihkan lagi oleh kaum muslimin, sesuai dengan yang saya yakini bahwa mereka itu lebih bertaqwa, lebih wara’, dan lebih berilmu, dan seterusnya daripada generasi setelahnya.
Allah‘Azza wa Jalla menyebut di dalam Al Qur’anul Karim dalil bagi poin yang pertama (tentang orang yang terzhalimi).
لاَّ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوَءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS An Nisâ’: 148)
Orang yang terzhalimi berkata: “Si fulan telah menzhalimiku.”
Lantas apakah dikatakan kepadanya: “Sebutkan juga kebaikan-kebaikan si fulan, wahai saudaraku”?
Demi Allah, ini adalah kesesatan yang diada-adakan. Perkara yang sangat mengherankan yang digembar-gemborkan di masa kini. Saya yakin, mereka yang menggiring syabab (penuntut ilmu) kepada perkara yang baru dan mengikuti bid’ah ini, tidak lain dilandasi semangat cinta popularitas! Sejak dahulu kala sudah dinyatakan, “Orang yang cinta popularitas akan terbelah punggungnya,” kecuali orang yang mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah serta sejarah ulama Salafush Shalih.
Kalau kita tengok kitab-kitab para imam Al Jarh wat Ta’dil… ketika mereka menjelaskan keadaan seorang perawi yang mereka berkata: si fulan dha’if, si fulan pendusta, pemalsu, jelek hafalannya! Padahal kalau engkau perhatikan riwayat hidup orang yang mereka kritik dan sekilas jawabanku di permulaan niscaya kamu dapati orang tersebut adalah ahli ibadah, zuhud, dan shalih. Barangkali juga akan kalian jumpai bahwa ia seorang ahli faqih dari kalangan fuqaha yang tujuh. Akan tetapi yang kita bahas sekarang bukanlah biografi orang ini, karena biografi itu akan meliputi semua yang ada pada diri orang tersebut: kebaikan, kekurangan, dan keutamaannya, sebagaimana yang kami sebutkan di awal pembahasan.
Oleh sebab itu, saya katakan secara ringkas, mudah-mudahan ini adalah ucapan yang paling adil di tengah-tengah perdebatan yang terjadi di antara dua kelompok. Yaitu dengan memilah duduk persoalan yang kita inginkan. Apabila hendak menerangkan biografi seseorang, maka kita sebutkan kebaikan dan kejelekannya. Namun jika kita hendak menasihati umat tentang kesesatan, kebathilan, dan penyimpangan orang tersebut, maka cukup kita sebut kesesatan dan kebid’ahannya saja. Tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan yang ada pada dirinya.
Inilah yang saya yakini sebagai kebenaran, (sebagai jawaban terhadap apa) yang pada hari ini sedang diperselisihkan pada syabab (pemuda).
(Dinukil dari kaset yang berjudul “Manhajul Muwazanat”, Tasjilat Thayyibah Madinah An Nabawiyah, nomor 86)

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullâh

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan ditanya: Apakah engkau mentahdzir (memperingatkan umat Islam atas bahaya pemikiran seseorang atau suatu kelompok) mereka tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka? Atau menyebutkan kebaikan sekaligus menerangkan kejelekannya?
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullâh menjawab:
“Jika engkau sebutkan kebaikan mereka, berarti engkau menyeru kepada mereka, jangan…, jangan…, jangan kamu sebutkan, sebutkan kesalahan yang ada pada mereka saja. Karena bukan menjadi kewajibanmu mempelajari seluruh keadaan mereka. Yang wajib atas engkau ialah menerangkan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka mau bertaubat dari kesalahan. Juga demi memperingatkan orang lain dari kesalahan yang mereka terjatuh di dalamnya. Adapun jika kamu menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, maka mereka akan mengatakan, ‘Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, inilah yang yang kami harapkan…’.”
(Dari kaset rekaman sesi ketiga pelajaran Kitab At Tauhid yang disampaikan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan di musim panas tahun 1413 H di Thaif)

Fatwa Syaikh Shalih bin Muhammad Al Luhaidan hafizhahullâh

Dalam ceramahnya yang disampaikan di kota Riyadh dengan tema “Salamatul Manhaj Dalilul Falah (Keselamatan Manhaj adalah Bukti Kesuksesan)”, Syaikh Shalih bin Muhammad Al Luhaidan (pimpinan Majelis Hakim Tinggi Saudi Arabia dan anggota Hai’ah Kibârul ‘Ulama) ditanya: “Apakah dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah—ketika mentahdzir ahlul bid’ah dan orang-orang sesat—ada keharusan untuk menyebut kebaikan-kebaikan, memuji serta menyanjung mereka dengan dalih bersikap adil dan inshof?”
Beliau menjawab:
“Dulu orang-orang Quraisy dan tokoh-tokoh kesyirikan di zaman Jahiliyah, apakah mereka itu tidak mempunyai kebaikan? Apakah dalam Al Qur’an tidak ada penyebutan kebaikan dari kebaikan-kebaikan mereka? Mereka itu adalah orang-orang yang pandai memuliakan tamu, memberikan minum orang yang haji dan seterusnya dari kebaikan dan kedermawanan mereka yang dikenal. Bersamaan dengan itu, tidaklah disebutkan keutamaan orang-orang yang telah bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Jadi masalahnya, itu bukan menghitung kebaikan dan kejelekan tapi yang diinginkan di sini adalah mentahdzir dari kejelekan ini.
Dan kalau manusia ingin melihat, hendaknya ia melihat ke perkataan para aimmah, seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, ‘Ali Ibnul Madini, Syu’bah, apakah ada di antara mereka yang ditanya tentang rawi yang terkritik, misalnya “Si fulan kadzdzab,” apakah ada di antara mereka yang mengatakan: “Iya, ia itu pendusta, tapi ia itu baik akhlaqnya, dermawan, banyak sholat tahajjud di malam hari”?
Apabila mereka mengatakan: “mukhtalath” (hafalannya tercampur) atau: “Ia telah dikuasai kelupaannya,” adakah mereka mengatakan: “Akan tetapi pada dirinya… akan tetapi… padanya, akan tetapi?!!!” Tidak! Lalu mengapa manusia di zaman ini menuntut, apabila seseorang ditahdzir lantas dikatakan: …akan tetapi orang itu memiliki kebaikan-kebaikan ini dan itu?!!!
Seruan-seruan ini (harus muwâzanah) adalah seruannya orang-orang yang bodoh yang tidak paham tentang kaidah-kaidah Al Jarh wat Ta’dil dan orang yang tidak mengerti tentang sebab-sebab mewujudkan suatu maslahat bahkan membuat lari dari hilangnya maslahat itu.”

Fatwa Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hammad Al Abbad hafizhahullâh

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad ditanya dengan pertanyaan serupa ketika membahas kitab Sunan An Nasa’i pada hari Jumat tanggal 20-11-1416 H kaset nomor (18942) Tasjilat Masjid Nabawi:
Apakah termasuk dari manhaj salaf, jika saya mengkritik seorang ahli bid’ah untuk memperingatkan umat dari kesesatannya, kemudian wajib bagi saya menyebutkan kebaikan-kebaikannya agar saya tidak terjerumus ke dalam perbuatan menzhaliminya?
Beliau menjawab:
“Tidak…… tidak wajib. Ketika engkau memperingatkan umat dari perbuatan bid’ah seseorang, maka sebutkan kebid’ahan orang tersebut dan peringatkan kaum muslimin darinya, inilah yang dituntut. Tidak mesti mengumpulkan kebaikannya lalu kamu sebutkan. Cukup bagimu menyebutkan kebid’ahannya saja dan memperingatkan umat darinya agar mereka tidak tertipu dengannya.”
Penanya:
“Apakah sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam tentang Mu’awiyah radhiyallâhu ‘anhu: “Seorang faqir tidak punya harta, sedangkan Abu Jahm adalah seorang yang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya” merupakan dalil tidak wajibnya menyebut kebaikan ketika mengkritik seseorang?”
Syaikh hafizhahullâh:
“Ya, dalam riwayat tersebut terdapat dalil akan hal itu. Karena semua kebaikan dan kejelekannya telah diketahui, maka terpenting dalam hal ini ialah menyebutkan poin-poin yang dapat mendorong seseorang untuk berpaling dan menjauh darinya. Inilah tujuan kita. Tujuan kita bukanlah—setelah mencari dan menelusuri kebaikan-kebaikannya—kemudian menyimpulkan apakah ia mempunyai kebaikan atau tidak… bukan demikian. Pembahasan yang berkaitan dengan individu dibicarakan ini—apakah berhubungan dengan sifat-sifatnya yang baik agar diperlakukan sesuai dengan kebaikannya, ataukah pemberitaan bahwa yang paling utama bagi kaum muslimin adalah tidak bermuamalah dengannya serta penyebab mesti bersikap demikian. Tentu, hal ini membutuhkan suatu alasan—baik itu penyebab selayaknya tidak bergaul dengannya, atau pemberitaan bahwa ia memiliki kebaikan demikian dan demikian.
Hadits ini menunjukkan bahwa menyebut kebaikan tidaklah wajib apabila pada dirinya terdapat sesuatu yang tidak layak atau tidak sepantasnya, sebab perkara yang ditekankan adalah sesuatu yang mendorong munculnya keinginan… (untuk menjauhinya).”
(Fatwa-fatwa tentang muwâzanah ini dikumpulkan dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawa’if)
********************************************
Jadi, manhaj muwâzanah ini sangat jelas sekali tentang bathilnya, dan betapa banyak dari ayat-ayat Al Qur’an yang menyebutkan cuma kejelekan saja tanpa menyebutkan kebaikannya. Lihat Abu Lahab, ditahdzir dalam satu surah khusus yang semuanya tentang kejelekan Abu Lahab dan istrinya, padahal Abu Lahab orang yang paling memuliakan tamu sebagaimana sifatnya orang-orang Arab, memberi minum orang yang haji. Abu Lahab ada kebaikannya tapi tidak disebutkan karena di sini dalam maqom/keadaan tahdzir.
Seorang imam yang bernama Rafi’ bin Asyrats—sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Rajab di dalam Syarh ‘Ilal At Tirmidzi jilid 1 halaman 50—beliau berkata:
من عقوبة الفاسق المبتدع أن لا تذكر محاسنه
“Dan termasuk hukuman orang yang fasiq pembuat bid’ah adalah tidak disebutkan kebaikannya.”
Jadi para ulama As Salaf memandang muwâzanah bahwa bukanlah perkara yang sunnah apalagi mengatakan itu wajib dan tidak ada perbedaan antara taqwim ar rijal dan lain-lainnya. Perbedaannya hanyalah dalam masalah tahdzir atau dalam memberi tarjamah (biografi). Kalau memberi tarjamah dengan maksud untuk mentahdzir maka ini tidak boleh disebutkan kebaikan di dalamnya.
Di sini juga Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullâh mengkritik tentang manhaj muwâzanah ini dalam fatwa beliau, kata beliau: “Kalau yang dikritik itu adalah orang yang sesat dan menyeleweng atau orang yang mempunyai pikiran-pikiran, dasar-dasar pondasi yang rusak maka tidak boleh bagi kita untuk menyebutkan kebaikannya walaupun ia punya kebaikan, karena kalau kita menyebutkan kebaikannya maka ini akan memberikan tipuan kepada manusia sehingga manusia ini memberikan sangkaan baik kepada orang yang sesat ini.” Maksudnya tahdzir, tapi karena disebutkan kebaikannya akhirnya hilang tahdzirnya itu. “Ini orang begini, begini, begini, …., tapi dia juga baik”, disebutkan semua kebaikannya akhirnya orang lupa tahdzirnya tadi dan hanya mengingat kebaikannya. Jadi maksudnya bukan untuk menjatuhkan, mencerca dan lain-lainnya, tapi sekali lagi maksud dari para ulama dalam mengkritik itu adalah sebagai nasihat, nasihat kepada orang itu supaya kembali, supaya berhenti dari kezhalimannya, berhenti dari kemungkaran yang ia perbuat. Kalau ia tidak ternasihati maka minimal umat yang ternasihati dari hal tersebut.
Sebenarnya butuh pertemuan khusus untuk membahas dan mendetailkan salahnya manhaj muwâzanah ini dan membantah satu persatu dalil-dalil yang dipakai oleh mereka. Setiap dalil yang mereka pakai, itu kadang kebalikan dari apa yang mereka pahami atau tidak ada sisi pendalilan. Demikian thariqah (metode) dalam beristidlal, buat kaidah dulu baru setelah itu cari dalil-dalil yang bisa mendukung apa yang ia buat. Dan ini adalah jalan yang sesat.
Perlu diketahui bahwa dalam membantah dalil lawan, para ulama mempunyai 3 thariqah/jalan:
Jalan yang pertama, ia tidak bisa membantah dalil mereka tetapi ia membawakan dalil lain yang semisal dengan dalil mereka dan mereka juga tidak bisa membantahnya.
Jalan yang kedua, ia membawakan dalil yang membantah mereka tetapi ia tidak mengomentari dalil mereka.
Jalan yang ketiga, ia punya dalil untuk membantah mereka sekaligus mengupas tuntas satu-persatu dalil-dalil yang ada pada mereka.
Dan saya tadi dalam masalah muwâzanah ini hanya memakai cara yang kedua. Adapun mengupas satu-persatu dalil-dalil mereka dan menjelaskan akan salahnya mereka dalam beristidlal, kekacauan, dan lain-lainnya, ini kita akan terangkan insyâ Allâh pada kesempatan yang lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.