Al Muwâzanah, kalimat bid’ah ini mereka ambil dari guru-guru dan tokoh-tokoh Sururiyah. Kalimat Al Muwâzanah
ini maksudnya menimbang kebaikan dan kejelekan, artinya kalau
mengkritik seseorang, harus menyebutkan kebaikan di samping
kejelekannya, jangan hanya menyebutkan kejelekannya saja. Kadang mereka
mewajibkan, kadang ada yang mengatakan sunnah dan kadang ada yang
mengatakan itu tidak apa-apa. Atau tidak harus kalau dalam bidang tahdzir tetapi kalau dalam bidang taqwim, itu adalah wajib seperti perkataannya Muhammad Yusran Anshar, Lc, dan perkataan ini ia ambil dari Salman Al ‘Audah yang memang orang yang sangat dia tokohkan.
Di sini soal muwâzanah, saya akan meng-itsbat-kan (menetapkan) bahwa mereka mempunyai muwâzanah.
Pertama, mereka kadang memberikan ringkasan dari kitab yang berjudul Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah fin Naqdi wal Hukmi ‘alal Âkharin karya Hisyam bin Isma’il Ash Shini. Kitab ini termasuk kitab yang menyerukan manhaj muwâzanah yang diajarkan kepada mad’u (pengikut)nya.
Kedua, Muhammad Yusran Anshar,
Lc di Tabligh Akbar dua tahun yang lalu (sebelum tahun 2002) ketika
membantah kami, ia menyebutkan dalil-dalil tentang bolehnya muwâzanah dari ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang diambilnya dari kitabnya Ahmad bin ‘Abdurrahman Ash Shuyani yang berjudul Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah fi Taqwim Ar Rijal wa Mu’allafatihi. Sebenarnya kitab ini telah disingkap kekeliruannya oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullâh dalam kitab beliau, Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawa’if
yang diakui dan direkomendasi oleh para ulama besar di zaman ini
seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Al Albani, Syaikh ‘Abdul
‘Aziz Ar Rajihi, Syaikh Shalih Al Fauzan dan lain-lainnya.
Jadi, tentang persetujuannya terhadap muwâzanah, mereka tidak bisa berkelit, kaset-kasetnya penuh pembelaan tentang hal tersebut (sekarang pun artikel pembelaan terhadap muwâzanah bertebaran di situs internet milik Wahdah Islamiyah, ed).
Apa maksud dari manhaj Al Muwâzanah
ini? Maksudnya, kalau mengkritik seseorang maka jangan hanya
menyebutkan kejelekannya saja, akan tetapi harus juga menyebutkan
kebaikannya. Sebenarnya kalau dipikir secara fitrah, ini adalah suatu
hal yang aneh dan di luar akal sehat. Bagaimana misalnya kalau saya
ingatkan bahwa ada pencuri masuk ke rumah lalu saya katakan: “Ia itu
pencuri, tapi ia juga baik, rajin sholat, puasa, juga hadir sholat
i’ed,” dan seterusnya disebutkan kebaikannya? Apabila ini dilakukan maka
peringatan saya itu menjadi tidak ada manfaatnya.
Bagaimana caranya, mau memperingatkan (tahdzir)
agar orang lain jangan sampai terkena kejahatannya, seiring dengan
penyebutan daftar kebaikannya? Peringatan ini menjadi tidak ada gunanya
sehingga ini adalah manhaj yang sangat aneh. Muwâzanah adalah perkara bid’ah, tidak ada tuntunannya dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dari manhaj para ulama As Salaf. Dari kalimatnya saja, kalimat muwâzanah ini adalah kalimat ‘muhdatsah‘ yang baru dibuat oleh mereka.
********************************************
Fatwa Para Ulama tentang Muwâzanah
Fatwa Asy Syaikh Al Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullâh
Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullâh
ditanya, “Bagaimana tentang manhaj Ahlus Sunnah dalam mengkritik ahlul
bid’ah dan buku-buku mereka. Apakah wajib kita menyebutkan kebaikan
mereka dan kejelekan mereka atau yang kita sebutkan kejelekan saja?”
Beliau menjawab:
“Yang dikenal dalam perkataan para ulama adalah menjelaskan kejelekan untuk mentahdzir dan menjelaskan kesalahan yang mereka salah di dalamnya untuk mentahdzir dari kesalahan itu. Adapun kebaikan, itu sudah diketahui dan bagus, akan tetapi yang dimaksud di sini adalah mentahdzir
dari kesalahan mereka seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah dan yang
semisal dengannya. Kalau ada keperluan untuk menjelaskan kebaikannya,
maka diterangkan. Misalnya kalau ada yang ditanya: “Kelompok ini apakah
tidak ada kebenarannya?” jelaskan: “Mereka punya begini, begini, …”
Namun maksud inti dan terpenting di sini
ialah menjelaskan kebatilan mereka agar menjadi peringatan bagi yang
bertanya sehingga ia tidak condong pada mereka.”
Kemudian beliau ditanya lagi, “Apakah wajib untuk muwâzanah
bahwa kalau kamu mengkritik seorang ahlul bid’ah untuk memperingatkan
manusia, memperingatkan manusia dari bid’ahnya, kamu wajib untuk
menyebutkan kebaikannya sehingga kamu tidak menzhaliminya?”
Maka Syaikh bin Baz menjawab, “Tidak, itu
tidak harus. Kalau kamu baca buku para ulama Sunnah, kamu akan dapatkan
mereka bahwa yang mereka inginkan hanya tahdzir saja. Bacalah Khalqu Af’alil Ibad milik Imam Bukhari dan Kitabul Adab di dalam Shahih-nya, kemudian As Sunnah karya Abdullah bin Ahmad, Kitabut Tauhid
oleh Ibnu Khuzaimah, bantahan Utsman bin Sa’id Ad Darimi dan yang
lainnya. Para ulama membawakan peringatan atas kebatilan mereka tanpa
menyebutkan kebaikannya… karena maksud yang ditekankan di sini adalah
memberi peringatan atas kesesatan mereka. Tidak bernilai
kebaikan-kebaikan yang mereka miliki kalau dikaitkan dengan
kekufurannya—yakni apabila kebid’ahan yang mereka lakukan sampai pada
tingkat kekufuran. Jika kebid’ahan itu tidak mencapai derajat kufur,
maka dia berada di bibir jurang marabahaya. Maka tujuan utama di sini
adalah menjelaskan kekeliruan mereka agar umat waspada darinya.
(Dinukil dari kaset rekaman salah satu
pelajaran Asy Syaikh Ibnu Baz Ibnu Baz yang disampaikan pada musim panas
tahun 1413 H di Thaif setelah shalat Shubuh)
Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullâh, seorang ulama ahli hadits ketika ditanya tentang muwâzanah, beliau punya banyak jawaban; ada di kaset no. 850, dan juga ada di kaset Silsilatul Huda wan Nûr no. 638.
Penanya:
“Wahai Syaikh kami, mereka—yakni
saudara-saudara kita atau para penuntut ilmu—telah mengumpulkan sekian
banyak permasalahan, di antara pendapat mereka yaitu: wajib bagi yang
hendak membicarakan ahlul bid’ah yang terang-terangan berbuat bid’ah dan
menentang sunnah, atau terjerumus dalam penyimpangan yang berkaitan
dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah; ia harus menyebutkan pula
kebaikan-kebaikannya, apa yang mereka sebut sebagai “kaidah muwâzanah”—yakni
sikap obyektif dalam menerangkan kejelekan dan kebaikan seseorang.
Disusunlah buku-buku dan artikel-artikel menyangkut permasalahan ini
oleh mereka yang sependapat dengan pemikiran tersebut. Bahwa manhaj para
ulama Salaf ialah menyebutkan dua perkara, yaitu menyebutkan kebaikan
dan kejelekan seseorang ketika mengkritiknya.
Apakah kaidah ini memang mutlak demikian,
apa di sana ada tempat atau kondisi-kondisi tertentu yang tidak
memutlakkannya? Kami mohon penjelasan terinci dari Anda. Semoga Allah
memberkahi Anda.”
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
Jawabannya rinci. Semua kebaikan ialah dengan mengikuti ulama Salaf. Adakah mereka melakukannya?”
Penanya:
“Wahai Syaikh kami—semoga Allah selalu
menjaga Anda—di antaranya mereka berdalil dengan sebagian perkataan
ulama tentang seorang perawi Syi’ah seperti si fulan tsiqah
(terpercaya) dalam periwayatan haditsnya namun ia berpemikiran Rafidhah
yang busuk. Mereka berdalil dengannya, dan menginginkan kaidah ini
diterapkan secara sempurna tanpa mau memandang ribuan nash yang
menerangkan kedustaan para pendusta yang matruk-khabits!”
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
“Ini adalah cara bid’ah. Ketika seorang
yang mengerti hadits membicarakan orang yang shalih, alim lagi faqih,
kemudian menyatakan kejelekan hafalannya misalnya—adakah si alim ini
tetap akan mengatakan bahwa orang ini adalah seorang muslim, orang yang
shalih lagi faqih dan ia merupakan tempat rujukan hukum-hukum syari’at… Allâhu akbar.
Hakikat kaidah yang lalu sangatlah penting, terkandung di dalamnya berbagai cabang permasalahan, khususnya di zaman sekarang.
Dari mana mereka mendapatkan kaidah ini;
manakala sudah saatnya menerangkan kesalahan seorang muslim baik ia
seorang da’i atau bukan—harus mengadakan ceramah dan menyebutkan semua
kebaikan orang tersebut dari awal sampai akhirnya. Allâhu akbar, ini merupakan perkara yang aneh, demi Allah perkara yang aneh!”
(Sampai di sini Syaikh tertawa karena keheranan)
Penanya:
“Di sisi lain mereka berdalil dengan perkataan Adz Dzahabi rahimahullâh dalam kitabnya Siyar A’lâmun Nubalâ’
dan selainnya. Wahai Syaikh kami, perlukah menyebutkan manfaat atau
faidah yang ada pada seseorang seperti—(menguasai ilmu) hadits
misalnya—yang dibutuhkan oleh kaum muslimin?”
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
“Ini adalah dalam rangka mendidik hai
Ustadz, bukan permasalahan mengingkari kemungkaran atau beramar ma’ruf,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa melihat kemungkaran hendaklah mengubahnya…”, adakah kamu
mengingkari kemungkaran seseorang, lalu kamu ceritakan
kebaikan-kebaikannya?”
Penanya:
“Ketika Nabi bersabda sejelek-jeleknya
orang yang berkhutbah adalah kamu akan tetapi kamu melakukan kebaikan
ini dan begitu. Anehnya.. dalam hal ini mereka menyatakan: Rabb kita ketika menyebutkan (kejelekan) khamr juga menyebutkan manfaat-manfaatnya.”
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
“Allâhu akbar… mereka adalah orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al Qur’an untuk mencari fitnah dan menghendaki ta’wilnya. Subhanallâh… saya melihat apa yang ada pada mereka bukanlah termasuk (manhaj) kita.”
(Pada kaset nomor 638/1 dari Silsilatul Huda wan Nûr Syaikh Al Albani rahimahullâh diajukan pertanyaan-pertanyaan seputar topik manhaj muwâzanah, maka beliau menjawab sebagai berikut)
“Kini sedang hangat didiskusikan oleh
banyak kalangan, individu atau kelompok seputar apa yang dinamakan… atau
seputar bid’ah baru yang dinamakan dengan Al Muwâzanah.
Syaikh Al Albani rahimahullâh:
Saya katakan: Naqd (kritik)
terhadap pribadi seseorang, bisa jadi menyangkut biografi dirinya—maka
di sini harus disebut kebaikan dan kejelekan orang yang sedang
diterangkan keadaannya, baik maupun buruknya.
Adapun yang dimaksud dengan “menerangkan keadaan seseorang dengan tujuan memperingatkan kaum muslimin,” terlebih
apabila kaum muslimin tidak mempunyai pengetahuan tentang keadaan atau
keutamaan orang itu dan lain-lainnya. Atau terkadang orang yang
dibicarakan ini memiliki pengaruh yang baik di masyarakat umum, namun ia
tenggelam dalam aqidah yang sesat atau memiliki akhlak dan perilaku
yang buruk, sementara mayoritas kaum muslimin tidak mengetahui
sedikitpun tentangnya… maka pada kondisi demikian, manhaj yang bid’ah
ini yaitu Al Muwâzanah (obyektivitas)—tidak dapat digunakan. Lantaran maksud yang hendak dicapai adalah menasihati dalam
rangka memberikan peringatan kepada umat sekaligus pelakunya—dan bukan
dalam rangka menerangkan biografi orang tersebut secara sempurna dan
menyeluruh.
Barangsiapa mempelajari sunnah dan Sirah Nabawiyah maka dia tidak akan meragukan lagi kebatilan pemikiran baru yang muncul di masa kini—yaitu “Manhaj Al Muwâzanah.” Karena, kami dapati puluhan nash dari hadits-hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam
yang menyebutkan kejelekan seseorang—sehubungan dengan keharusan
memberikan nasihat—tanpa harus mengawalinya dengan menyebut biografi
dirinya secara sempurna. Sebab tujuannya di sini adalah untuk menasihati
kaum muslimin agar waspada darinya. Hadits-hadits semacam itu banyak
sekali, sehingga tidak dapat saya sampaikan pada kesempatan ini. Tetapi
baiklah akan kami sebutkan sebagiannya sebagai contoh:
Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari: “Bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi, maka beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Izinkanlah ia, sejelek-jelek saudara kerabat adalah ia…
Izinkanlah ia, sejelek-jelek saudara kerabat adalah ia…’ Maka tatkala
orang tersebut masuk dan mengajak berbicara, beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam pun menampakkan raut muka yang berseri-seri kepadanya.
Ketika orang tersebut keluar, ‘A’isyah pun radhiyallâhu ‘anha berkata, “Wahai Rasulullah, ketika ia meminta izin untuk masuk engkau mengatakan: ‘Izinkanlah ia, sejelek-jelek saudara kerabat adalah ia…,’
Namun ketika engkau berbicara dengannya engkau tampakkan wajah yang
senang dan berseri-seri.’ Beliau bersabda, “’Wahai ‘A’isyah,
sesungguhnya sejelek-jelek manusia pada hati kiamat di sisi Allah ialah
orang yang dijauhi manusia karena khawatir akan kejahatannya.’”
Nabi kita shallallâhu ‘alaihi wasallam
tidak menerapkan bid’ah baru ini kepada laki-laki ini karena
momentumnya bukanlah dalam rangka menerangkan biografi orang tersebut,
namun untuk memperingatkan dan menerangkan kepada umat agar mereka
berhati-hati terhadapnya.
Dari sisi ini juga hadits tadi sangat relevan dengan topik pembahasan kita, karena laki-laki itu dicela Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan sabdanya: “Sejelek-jelek saudara kerabat adalah ia…”
Berkata pensyarah hadits: “Orang tersebut dahulunya termasuk kaum munafik. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menyikapinya dengan lemah lembut demi membatasi kejahatannya terhadap kaum muslimin.
Contoh berikut ini barangkali lebih relevan lagi, berkaitan dengan seorang muslimah yang menemui Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam.
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, adalah Abu Jahm dan Mu’awiyah datang
melamarku—dimaklumi bahwa kedua lelaki yang melamar itu adalah dua orang
sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam. Beliau pun
bersabda, “Adapun Mu’awiyah ia itu seorang faqir, tidak berharta. Adapun
Abu Jahm nyaris tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka
memukul atau suka bepergian, pent.). Dan orang yang bertanya adalah shahabiyat yang sedang dipinang oleh keduanya.”
Ini adalah celaan, dan hanya celaan
semata. Beliau tidak menyebut kebaikan kedua sahabat tersebut. Mengapa?
Karena wanita itu datang kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dalam rangka meminta nasihat: siapa di antara keduanya yang akan ia terima sebagai pendampingnya.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam
memberikan jawaban kepada shahabiyat ini berdasarkan tabiat kaum wanita
pada umumnya, yaitu sesuatu yang tidak disukai wanita dari kaum lelaki:
misalnya fakir dan tidak mempunyai kedudukan di tenga-tengah kaum
muslimin.
Demikian juga, apabila si suami itu seorang yang suka memukul istri atau banyak bepergian. Ketika beliau shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Adapun Abu Jahm hampir tidak pernah meletakkan tongkat di pundaknya,” yakni sebagai kinayah (kiasan) dari banyaknya safar atau sifat ringan tangannya terhadap wanita… demikian penafsiran sebagian ulama. Tafsir yang rajih ialah “suka memukul” atau “ringan tangan terhadap wanita”.
Terpenting di sini, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam
telah menyebutkan kejelekan kedua sahabat ini tanpa menyebutkan
kebaikan mereka berdua sedikit pun. Beliau tidak menutup pembicaraan
untuk pada akhirnya menyimpulkan—misalnya—bahwa mereka itu adalah
mukminin, taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya… dan seterusnya.
Bicaralah! Dan jangan merasa berat! Para
ulama membahas tentang ayat dan hadits yang menerangkan haramnya ghibah,
namun tidak ada halangan bagi mereka untuk menerangkan hal itu karena
tidak semua ghibah adalah haram, yakni sebagai nasihat bagi umat.
Sebagian ulama telah menghimpun perkara ini di dalam dua bait syair:
Celaan bukanlah termasuk ghibah pada enam perkara
Orang terzhalimi, orang yang menjelaskan, orang yang memperingatkan manusia dari seseorang (yang jahat)
Orang yang terang-terangan berbuat fasiq, orang yang meminta fatwa, dan orang yang meminta pertolongan melenyapkan kemungkaran
Hadits yang menerangkan enam perkara
dalam dua baits syair ini sangatlah banyak. Akan tetapi, yang penting,
saya hendak menandaskan di akhir jawaban saya: bahwa mereka yang telah
berbuat bid’ah dengaan bid’ah Al Muwâzanah tidak diragukan lagi telah menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah, baik sunnah qauliyah maupun sunnah fi’liyah.
Mereka juga menyelisihi manhaj Salaf Ash
Shalih. Kami memandang perlu untuk menyandarkan pemahaman kita terhadap
Al Qur’an dan sunnah Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam kepada pemahaman Salaf Ash Shalih. Mengapa?
Karena tidak diperselisihkan lagi oleh kaum muslimin, sesuai dengan yang saya yakini bahwa mereka itu lebih bertaqwa, lebih wara’, dan lebih berilmu, dan seterusnya daripada generasi setelahnya.
Allah‘Azza wa Jalla menyebut di dalam Al Qur’anul Karim dalil bagi poin yang pertama (tentang orang yang terzhalimi).
لاَّ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوَءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS An Nisâ’: 148)
Orang yang terzhalimi berkata: “Si fulan telah menzhalimiku.”
Lantas apakah dikatakan kepadanya: “Sebutkan juga kebaikan-kebaikan si fulan, wahai saudaraku”?
Demi Allah, ini adalah kesesatan yang
diada-adakan. Perkara yang sangat mengherankan yang digembar-gemborkan
di masa kini. Saya yakin, mereka yang menggiring syabab
(penuntut ilmu) kepada perkara yang baru dan mengikuti bid’ah ini, tidak
lain dilandasi semangat cinta popularitas! Sejak dahulu kala sudah
dinyatakan, “Orang yang cinta popularitas akan terbelah punggungnya,”
kecuali orang yang mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah serta sejarah
ulama Salafush Shalih.
Kalau kita tengok kitab-kitab para imam Al Jarh wat Ta’dil…
ketika mereka menjelaskan keadaan seorang perawi yang mereka berkata:
si fulan dha’if, si fulan pendusta, pemalsu, jelek hafalannya! Padahal
kalau engkau perhatikan riwayat hidup orang yang mereka kritik dan
sekilas jawabanku di permulaan niscaya kamu dapati orang tersebut adalah
ahli ibadah, zuhud, dan shalih. Barangkali juga akan kalian jumpai
bahwa ia seorang ahli faqih dari kalangan fuqaha yang tujuh.
Akan tetapi yang kita bahas sekarang bukanlah biografi orang ini, karena
biografi itu akan meliputi semua yang ada pada diri orang tersebut:
kebaikan, kekurangan, dan keutamaannya, sebagaimana yang kami sebutkan
di awal pembahasan.
Oleh sebab itu, saya katakan secara
ringkas, mudah-mudahan ini adalah ucapan yang paling adil di
tengah-tengah perdebatan yang terjadi di antara dua kelompok. Yaitu
dengan memilah duduk persoalan yang kita inginkan. Apabila hendak
menerangkan biografi seseorang, maka kita sebutkan kebaikan dan
kejelekannya. Namun jika kita hendak menasihati umat tentang kesesatan,
kebathilan, dan penyimpangan orang tersebut, maka cukup kita sebut
kesesatan dan kebid’ahannya saja. Tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan
yang ada pada dirinya.
Inilah yang saya yakini sebagai kebenaran, (sebagai jawaban terhadap apa) yang pada hari ini sedang diperselisihkan pada syabab (pemuda).
(Dinukil dari kaset yang berjudul “Manhajul Muwazanat”, Tasjilat Thayyibah Madinah An Nabawiyah, nomor 86)
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullâh
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan ditanya: Apakah engkau mentahdzir
(memperingatkan umat Islam atas bahaya pemikiran seseorang atau suatu
kelompok) mereka tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka? Atau
menyebutkan kebaikan sekaligus menerangkan kejelekannya?
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullâh menjawab:
“Jika engkau sebutkan kebaikan mereka,
berarti engkau menyeru kepada mereka, jangan…, jangan…, jangan kamu
sebutkan, sebutkan kesalahan yang ada pada mereka saja. Karena bukan
menjadi kewajibanmu mempelajari seluruh keadaan mereka. Yang wajib atas
engkau ialah menerangkan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka mau
bertaubat dari kesalahan. Juga demi memperingatkan orang lain dari
kesalahan yang mereka terjatuh di dalamnya. Adapun jika kamu menyebutkan
kebaikan-kebaikan mereka, maka mereka akan mengatakan, ‘Semoga Allah
membalasmu dengan kebaikan, inilah yang yang kami harapkan…’.”
(Dari kaset rekaman sesi ketiga pelajaran Kitab At Tauhid yang disampaikan Asy Syaikh Shalih Al Fauzan di musim panas tahun 1413 H di Thaif)
Fatwa Syaikh Shalih bin Muhammad Al Luhaidan hafizhahullâh
Dalam ceramahnya yang disampaikan di kota
Riyadh dengan tema “Salamatul Manhaj Dalilul Falah (Keselamatan Manhaj
adalah Bukti Kesuksesan)”, Syaikh Shalih bin Muhammad Al Luhaidan
(pimpinan Majelis Hakim Tinggi Saudi Arabia dan anggota Hai’ah Kibârul ‘Ulama) ditanya: “Apakah dalam manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah—ketika mentahdzir
ahlul bid’ah dan orang-orang sesat—ada keharusan untuk menyebut
kebaikan-kebaikan, memuji serta menyanjung mereka dengan dalih bersikap
adil dan inshof?”
Beliau menjawab:
“Dulu orang-orang Quraisy dan tokoh-tokoh
kesyirikan di zaman Jahiliyah, apakah mereka itu tidak mempunyai
kebaikan? Apakah dalam Al Qur’an tidak ada penyebutan kebaikan dari
kebaikan-kebaikan mereka? Mereka itu adalah orang-orang yang pandai
memuliakan tamu, memberikan minum orang yang haji dan seterusnya dari
kebaikan dan kedermawanan mereka yang dikenal. Bersamaan dengan itu,
tidaklah disebutkan keutamaan orang-orang yang telah bermaksiat kepada
Allah ‘Azza wa Jalla.
Jadi masalahnya, itu bukan menghitung kebaikan dan kejelekan tapi yang diinginkan di sini adalah mentahdzir dari kejelekan ini.
Dan kalau manusia ingin melihat, hendaknya ia melihat ke perkataan para aimmah,
seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, ‘Ali Ibnul Madini, Syu’bah, apakah
ada di antara mereka yang ditanya tentang rawi yang terkritik, misalnya
“Si fulan kadzdzab,” apakah ada di antara mereka yang
mengatakan: “Iya, ia itu pendusta, tapi ia itu baik akhlaqnya, dermawan,
banyak sholat tahajjud di malam hari”?
Apabila mereka mengatakan: “mukhtalath”
(hafalannya tercampur) atau: “Ia telah dikuasai kelupaannya,” adakah
mereka mengatakan: “Akan tetapi pada dirinya… akan tetapi… padanya, akan
tetapi?!!!” Tidak! Lalu mengapa manusia di zaman ini menuntut, apabila
seseorang ditahdzir lantas dikatakan: …akan tetapi orang itu memiliki kebaikan-kebaikan ini dan itu?!!!
Seruan-seruan ini (harus muwâzanah) adalah seruannya orang-orang yang bodoh yang tidak paham tentang kaidah-kaidah Al Jarh wat Ta’dil dan orang yang tidak mengerti tentang sebab-sebab mewujudkan suatu maslahat bahkan membuat lari dari hilangnya maslahat itu.”
Fatwa Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hammad Al Abbad hafizhahullâh
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad ditanya dengan pertanyaan serupa ketika membahas kitab Sunan An Nasa’i pada hari Jumat tanggal 20-11-1416 H kaset nomor (18942) Tasjilat Masjid Nabawi:
Apakah termasuk dari manhaj salaf, jika
saya mengkritik seorang ahli bid’ah untuk memperingatkan umat dari
kesesatannya, kemudian wajib bagi saya menyebutkan kebaikan-kebaikannya
agar saya tidak terjerumus ke dalam perbuatan menzhaliminya?
Beliau menjawab:
“Tidak…… tidak wajib. Ketika engkau
memperingatkan umat dari perbuatan bid’ah seseorang, maka sebutkan
kebid’ahan orang tersebut dan peringatkan kaum muslimin darinya, inilah
yang dituntut. Tidak mesti mengumpulkan kebaikannya lalu kamu sebutkan.
Cukup bagimu menyebutkan kebid’ahannya saja dan memperingatkan umat
darinya agar mereka tidak tertipu dengannya.”
Penanya:
“Apakah sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam tentang Mu’awiyah radhiyallâhu ‘anhu:
“Seorang faqir tidak punya harta, sedangkan Abu Jahm adalah seorang
yang yang tidak pernah meletakkan tongkatnya” merupakan dalil tidak
wajibnya menyebut kebaikan ketika mengkritik seseorang?”
Syaikh hafizhahullâh:
“Ya, dalam riwayat tersebut terdapat
dalil akan hal itu. Karena semua kebaikan dan kejelekannya telah
diketahui, maka terpenting dalam hal ini ialah menyebutkan poin-poin
yang dapat mendorong seseorang untuk berpaling dan menjauh darinya.
Inilah tujuan kita. Tujuan kita bukanlah—setelah mencari dan menelusuri
kebaikan-kebaikannya—kemudian menyimpulkan apakah ia mempunyai kebaikan
atau tidak… bukan demikian. Pembahasan yang berkaitan dengan individu
dibicarakan ini—apakah berhubungan dengan sifat-sifatnya yang baik agar
diperlakukan sesuai dengan kebaikannya, ataukah pemberitaan bahwa yang
paling utama bagi kaum muslimin adalah tidak bermuamalah dengannya serta
penyebab mesti bersikap demikian. Tentu, hal ini membutuhkan suatu
alasan—baik itu penyebab selayaknya tidak bergaul dengannya, atau
pemberitaan bahwa ia memiliki kebaikan demikian dan demikian.
Hadits ini menunjukkan bahwa menyebut
kebaikan tidaklah wajib apabila pada dirinya terdapat sesuatu yang tidak
layak atau tidak sepantasnya, sebab perkara yang ditekankan adalah
sesuatu yang mendorong munculnya keinginan… (untuk menjauhinya).”
(Fatwa-fatwa tentang muwâzanah ini dikumpulkan dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawa’if)
********************************************
Jadi, manhaj muwâzanah ini
sangat jelas sekali tentang bathilnya, dan betapa banyak dari ayat-ayat
Al Qur’an yang menyebutkan cuma kejelekan saja tanpa menyebutkan
kebaikannya. Lihat Abu Lahab, ditahdzir
dalam satu surah khusus yang semuanya tentang kejelekan Abu Lahab dan
istrinya, padahal Abu Lahab orang yang paling memuliakan tamu
sebagaimana sifatnya orang-orang Arab, memberi minum orang yang haji.
Abu Lahab ada kebaikannya tapi tidak disebutkan karena di sini dalam maqom/keadaan tahdzir.
Seorang imam yang bernama Rafi’ bin Asyrats—sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Rajab di dalam Syarh ‘Ilal At Tirmidzi jilid 1 halaman 50—beliau berkata:
من عقوبة الفاسق المبتدع أن لا تذكر محاسنه
“Dan termasuk hukuman orang yang fasiq pembuat bid’ah adalah tidak disebutkan kebaikannya.”
Jadi para ulama As Salaf memandang muwâzanah bahwa bukanlah perkara yang sunnah apalagi mengatakan itu wajib dan tidak ada perbedaan antara taqwim ar rijal dan lain-lainnya. Perbedaannya hanyalah dalam masalah tahdzir atau dalam memberi tarjamah (biografi). Kalau memberi tarjamah dengan maksud untuk mentahdzir maka ini tidak boleh disebutkan kebaikan di dalamnya.
Di sini juga Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullâh mengkritik tentang manhaj muwâzanah
ini dalam fatwa beliau, kata beliau: “Kalau yang dikritik itu adalah
orang yang sesat dan menyeleweng atau orang yang mempunyai
pikiran-pikiran, dasar-dasar pondasi yang rusak maka tidak boleh bagi
kita untuk menyebutkan kebaikannya walaupun ia punya kebaikan, karena
kalau kita menyebutkan kebaikannya maka ini akan memberikan tipuan
kepada manusia sehingga manusia ini memberikan sangkaan baik kepada
orang yang sesat ini.” Maksudnya tahdzir, tapi karena disebutkan kebaikannya akhirnya hilang tahdzirnya itu. “Ini orang begini, begini, begini, …., tapi dia juga baik”, disebutkan semua kebaikannya akhirnya orang lupa tahdzirnya
tadi dan hanya mengingat kebaikannya. Jadi maksudnya bukan untuk
menjatuhkan, mencerca dan lain-lainnya, tapi sekali lagi maksud dari
para ulama dalam mengkritik itu adalah sebagai nasihat, nasihat kepada
orang itu supaya kembali, supaya berhenti dari kezhalimannya, berhenti
dari kemungkaran yang ia perbuat. Kalau ia tidak ternasihati maka
minimal umat yang ternasihati dari hal tersebut.
Sebenarnya butuh pertemuan khusus untuk membahas dan mendetailkan salahnya manhaj muwâzanah
ini dan membantah satu persatu dalil-dalil yang dipakai oleh mereka.
Setiap dalil yang mereka pakai, itu kadang kebalikan dari apa yang
mereka pahami atau tidak ada sisi pendalilan. Demikian thariqah (metode) dalam beristidlal, buat kaidah dulu baru setelah itu cari dalil-dalil yang bisa mendukung apa yang ia buat. Dan ini adalah jalan yang sesat.
Perlu diketahui bahwa dalam membantah dalil lawan, para ulama mempunyai 3 thariqah/jalan:
Jalan yang pertama,
ia tidak bisa membantah dalil mereka tetapi ia membawakan dalil lain
yang semisal dengan dalil mereka dan mereka juga tidak bisa
membantahnya.
Jalan yang kedua, ia membawakan dalil yang membantah mereka tetapi ia tidak mengomentari dalil mereka.
Jalan yang ketiga, ia punya dalil untuk membantah mereka sekaligus mengupas tuntas satu-persatu dalil-dalil yang ada pada mereka.
Dan saya tadi dalam masalah muwâzanah
ini hanya memakai cara yang kedua. Adapun mengupas satu-persatu
dalil-dalil mereka dan menjelaskan akan salahnya mereka dalam beristidlal, kekacauan, dan lain-lainnya, ini kita akan terangkan insyâ Allâh pada kesempatan yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar