-->

12 Agustus 2012

Puasa Bagi yang Keguguran



(Soal Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI)
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn rahimahullâh pernah ditanya:
Seorang wanita yang baru saja hamil, tertimpa musibah sehingga keguguran setelah mengalami pendarahan hebat. Apakah dia boleh membatalkan puasanya ataukah harus melanjutkan puasanya? Apakah ia berdosa jika membatalkan puasanya?
Beliau menjawab:
Kami katakan, orang hamil itu tidak haidh, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullâh: “Wanita hamil itu diketahui dengan terhentinya haidh."
Sebagaimana dikatakan oleh para ahli ilmu, haidh diciptakan oleh Allâh Ta'ala untuk memberikan makan kepada janin dalam perut ibu. Jika sudah terjadi kehamilan, maka haidh itu terhenti. Akan tetapi, terkadang sebagian wanita ada yang masih haidh sebagaimana kebiasaannya sebelum hamil. Haidh seperti ini dihukumi haidh yang sebenarnya, karena haidh-nya masih berlangsung dan tidak terpengaruh dengan kehamilan. Dengan demikian, haidh ini menjadi penghalang dari semua hal yang terlarang yang disebabkan oleh haidh yang normal (orang yang tidak hamil), menjadi penyebab dari yang disebabkan haidh (yang normal), menjadi penggugur bagi yang digugurkan haidh (yang normal).
Kesimpulannya, darah yang keluar dari wanita hamil ada dua macam:
Pertama, darah yang dihukumi darah haidh yang masih berlangsung, sebagaimana ketika belum hamil. Siklus haidh yang tidak terhenti ini menunjukkan bahwa kehamilan tidak berpengaruh padanya, sehingga dia tetap haidh.
Kedua, pendarahan baru yang menimpa wanita hamil, mungkin karena suatu kecelakaan, membawa sesuatu, jatuh, atau sebab lainnya. Darah ini bukan darah haidh. Itu hanya darah penyakit saja. Berdasarkan penjelasan ini, maka ia tidak terhalangi dari shalat, puasa. Dia tetap dalam keadaan suci. Akan tetapi, jika diyakini kecelakaan itu menjadi penyebab keguguran atau lahirnya anak; maka sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu, jika bayi itu lahir dan sudah berbentuk manusia, maka darah yang keluar setelah itu dianggap darah nifas, tidak boleh shalat, puasa dan dijauhi oleh suami.
Jika janinnya keluar dalam keadaan belum berbentuk, maka darah yang keluar setelah itu tidak dianggap darah nifas. Namun itu merupakan darah rusak yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya.
Waktu paling singkat janin nampak sebagai wujud manusia adalah apabila janin tersebut telah berumur delapan puluh satu hari. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu :
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memberitahukan kepada kami, dan Beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan:
إِنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خَلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أرْبَعِيْنَ يَوْمًانُطْفَةً
ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ
وَيُؤْمَرُ بِأَرْبعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْسَعِيْدٌ
Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya
selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sel sperma dengan sel ovum),
kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula.
Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula.
Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya,
dan diperintahkan untuk menulis empat hal,
yaitu menuliskan rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya
.[1]
 
Oleh karena, tidak mungkin terbentuk sebelum masa tersebut. Biasanya, bentuknya tidak jelas sebelum sembilan puluh hari, sebagaimana dikatakan sebagian ahli ilmu.

(Fatâwâ fî Ahkâmish-Shiyâm,
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn,
hlm. 257-258)
[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitâb Bad’il Khalq, Bab: Dzikril-Malâikat, no. 3208. Imam Muslim dalam Kitâbul-Qadr, Bab Kaifiyatil-Khalqil Adami fi Bathni Ummihi wa Kitâbati Rizqihi wa Ajalihi wa ‘Amalihi wa Syaqâwatihi wa Sa’âdatihi.

Diberdayakan oleh Blogger.