(Soal Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI)
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn rahimahullâh pernah ditanya:
Seorang wanita yang baru saja hamil, tertimpa
musibah sehingga keguguran setelah mengalami pendarahan hebat. Apakah
dia boleh membatalkan puasanya ataukah harus melanjutkan puasanya?
Apakah ia berdosa jika membatalkan puasanya?
Beliau menjawab:
Kami katakan, orang hamil itu tidak haidh, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad rahimahullâh: “Wanita hamil itu diketahui dengan terhentinya haidh."
Sebagaimana dikatakan oleh para ahli ilmu, haidh
diciptakan oleh Allâh Ta'ala untuk memberikan makan kepada janin dalam
perut ibu. Jika sudah terjadi kehamilan, maka haidh itu terhenti. Akan
tetapi, terkadang sebagian wanita ada yang masih haidh sebagaimana
kebiasaannya sebelum hamil. Haidh seperti ini dihukumi haidh yang
sebenarnya, karena haidh-nya masih berlangsung dan tidak terpengaruh
dengan kehamilan. Dengan demikian, haidh ini menjadi penghalang dari
semua hal yang terlarang yang disebabkan oleh haidh yang normal (orang
yang tidak hamil), menjadi penyebab dari yang disebabkan haidh (yang
normal), menjadi penggugur bagi yang digugurkan haidh (yang normal).
Kesimpulannya, darah yang keluar dari wanita hamil ada dua macam:
Pertama, darah yang dihukumi darah
haidh yang masih berlangsung, sebagaimana ketika belum hamil. Siklus
haidh yang tidak terhenti ini menunjukkan bahwa kehamilan tidak
berpengaruh padanya, sehingga dia tetap haidh.
Kedua, pendarahan baru yang menimpa
wanita hamil, mungkin karena suatu kecelakaan, membawa sesuatu, jatuh,
atau sebab lainnya. Darah ini bukan darah haidh. Itu hanya darah
penyakit saja. Berdasarkan penjelasan ini, maka ia tidak terhalangi dari
shalat, puasa. Dia tetap dalam keadaan suci. Akan tetapi, jika diyakini
kecelakaan itu menjadi penyebab keguguran atau lahirnya anak; maka
sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu, jika bayi itu lahir dan sudah
berbentuk manusia, maka darah yang keluar setelah itu dianggap darah
nifas, tidak boleh shalat, puasa dan dijauhi oleh suami.
Jika janinnya keluar dalam keadaan belum berbentuk,
maka darah yang keluar setelah itu tidak dianggap darah nifas. Namun itu
merupakan darah rusak yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan
ibadah lainnya.
Waktu paling singkat janin nampak sebagai wujud
manusia adalah apabila janin tersebut telah berumur delapan puluh satu
hari. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu :
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memberitahukan kepada kami, dan Beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan:
إِنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خَلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أرْبَعِيْنَ يَوْمًانُطْفَةً
ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ
وَيُؤْمَرُ بِأَرْبعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْسَعِيْدٌ
ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ
ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ
وَيُؤْمَرُ بِأَرْبعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْسَعِيْدٌ
Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya
selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sel sperma dengan sel ovum),
kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula.
Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula.
Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya,
dan diperintahkan untuk menulis empat hal,
yaitu menuliskan rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.[1]
selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sel sperma dengan sel ovum),
kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula.
Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula.
Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya,
dan diperintahkan untuk menulis empat hal,
yaitu menuliskan rezekinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.[1]
Oleh karena, tidak mungkin terbentuk sebelum masa
tersebut. Biasanya, bentuknya tidak jelas sebelum sembilan puluh hari,
sebagaimana dikatakan sebagian ahli ilmu.
(Fatâwâ fî Ahkâmish-Shiyâm,
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn,
hlm. 257-258)
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn,
hlm. 257-258)