Pilar Islam Kedua: Menegakkan Sholat
Pilar Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan
sholat lima waktu. Bahkan sholat ini adalah pembeda antara seorang yang
beriman dan yang tidak beriman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya yang memisahkan antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” (HR.
Muslim). Oleh karena itu seorang muslim haruslah memperhatikan
sholatnya. Namun sungguh suatu hal yang sangat memprihatinkan, banyak
kaum muslimin di zaman ini yang meremehkan masalah sholat bahkan
terkadang lalai dari mengerjakannya.
Lima waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar, sholat
Magrib, Sholat Isya dan Sholat Subuh. Inilah sholat lima waktu yang
wajib dilakukan oleh seorang muslim. Mari kita simak sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata, “Sholat lima waktu
diwajibkan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra
Mi’raj sebanyak 50 waktu, kemudian berkurang sampai menjadi 5 waktu
kemudian beliau diseru, “Wahai Muhammad sesungguhnya perkataan-Ku tidak
akan berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50 waktu bagimu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra: 78)
Pada firman Allah,
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”
Terkandung di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur sampai dengan Isya kemudian pada firman-Nya,
وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً
“Dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” terkandung di dalamnya perintah mengerjakan sholat subuh. (Lihat Syarah Aqidah al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
Mendirikan sholat adalah kewajiban setiap muslim yang sudah baligh
dan berakal. Adapun seorang muslim yang hilang kesadarannya, maka ia
tidak diwajibkan mengerjakan sholat berdasarkan hadits dari Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata, “Pena
diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai dia bangun,
dari anak kecil sampai dia mimpi dan dari orang gila sampai dia sembuh.” (HR. Abu Daud No 12,78 dan 4370 Lihat di Shohih Jami’us Shaghir 3513 ).
Walaupun demikian, wali seorang anak kecil wajib menyuruh anaknya
untuk sholat agar melatih sang anak menjaga sholat lima waktu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah
anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan sholat,
dan pukullah mereka agar mereka mau mengerjakan sholat saat mereka
berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Hasan, Shahih Jami’us Shaghir 5868, HR. Abu Daud)
Pilar Islam Ketiga: Menunaikan Zakat
Inilah rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. dan
yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam orang-orang yang tidak mau membayar zakatnya,
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن
فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا
بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Abu Hurairoh dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Barang
siapa yang diberikan harta oleh Allah namun dia tidak menunaikan
zakatnya pada hari kiamat dia akan menghadapi ular jantan yang botak
kepalanya karena banyak bisanya dan memiliki dua taring yang akan
mengalunginya pada hari kiamat. Kemudian ular tersebut menggigit dua
mulutnya dan berkata, aku adalah harta simpananmu, aku adalah hartamu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن
فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا
بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang
Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan
itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi
mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang
ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
Pilar Islam Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
Inilah rukun Islam keempat yang wajib dilakukan oleh seorang muslim
yaitu berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan dengan
menahan makan, minum dan berhubungan suami istri serta pembatal lain
dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ أَيَّاماً
مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ
خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barang
siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena beriman dengan
kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
berfirman, seluruh amal anak cucu Adam adalah untuknya sendiri kecuali
puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah
perisai. Jika kalian berpuasa, maka janganlah kalian berbicara kotor
atau dengan berteriak-teriak. Jika ada yang menghina kalian atau memukul
kalian, maka katakanlah “aku sedang berpuasa” sebanyak dua kali. Demi
Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya bau mulut orang yang
berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan bau minyak kesturi pada
hari kiamat nanti. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan,
bahagia ketika berbuka berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa ketika
bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
di dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut dengan pintu Ar
Rayyan. Hanya orang-orang yang sering berpuasa yang akan memasuki pintu
tersebut. Mereka dipanggil, “Mana orang-orang yang berpuasa?” kemudian
mereka masuk ke dalamnya dan orang-orang selain mereka tidak bisa masuk.
Jika mereka sudah masuk, maka tertutup pintu tersebut dan tidak ada
lagi yang masuk selain mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pilar Islam Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu
Rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika mampu sekali seumur hidup. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِي
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh, “Umroh
yang satu dengan yang selanjutnya menjadi pelebur dosa di antara
keduanya dan tidak ada pahala yang pantas bagi haji yang mabrur kecuali
surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah, “Wahai
manusia, Allah telah mewajibkan pada kalian ibadah haji, maka
berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata, “Apakah pada
setiap tahun wahai Rasulullah?” kemudian beliau terdiam sampai-sampai
laki-laki itu bertanya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,
“Seandainya aku katakan Iya, niscaya akan wajib bagi kalian padahal
kalian tidak mampu. Biarkan apa yang aku tinggalkan karena sesungguhnya
sebab kebinasaan orang setelah kalian adalah banyak bertanya dan
menyelisihi nabinya. Jika aku perintahkan satu hal maka lakukan semampu
kalian dan jika aku melarang sesuatu maka jauhilah.” (HR. Muslim).
Apakah yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan ibadah haji?
Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi menjelaskan bahwa kemampuan dalam
melaksanakan ibadah haji terkait dengan 3 hal yaitu:
Pertama, kesehatan berdasarkan hadits dari ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Ja’tsam yang mengadu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah sesungguhnya ayahku terkena kewajiban haji ketika umurnya
sudah tua dan ia tidak mampu menaiki tunggangannya, apakah aku boleh
berhaji untuknya?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kedua, memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan memiliki
bekal untuk kebutuhan orang-orang yang wajib dia beri nafkah. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seorang disebut sebagai pendosa jika dia menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Abu Daud)
Ketiga, aman dari gangguan dalam perjalanan. Karena
menunaikan haji padahal kondisi tidak aman adalah sebuah bahaya dan
bahaya merupakan salah satu penghalang yang disyariatkan.
Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas tentang lima pilar Islam yang kita
kenal dengan rukun Islam. Semoga apa yang kami sampaikan ini bisa
bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya mujibbas Saailiin…
Rujukan:
- Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziiz Alu Syaikh
- Taisir Wushul Ilaa Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul, Syaikh Nu’man bin Abdil Kariim Al Watr
- Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz Syaikh Abdul ‘azhim Badawi
- Syarah Aqidah al Wasithiyyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)
Penulis: Abu Fatah Amrullah (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ust. Aris Munandar
0 komentar:
Posting Komentar