Kapan sebuah perbuatan itu dinamakan bid’ah ?
Soal : Kapan sebuah perbuatan dinamakan bid’ah dalam syariat yang suci ini? Apakah bid’ah hanya terjadi didalam perkara-perkara ibadah saja atau terjadi dalam ibadah dan muamalat?
Jawab : Bid’ah hanya terjadi di dalam syariat yang suci,
yakni semua ibadah yang dibuat oleh manusia dengan tanpa dasar didalam
kitab atau sunnah juga tidak pernah dilakukan oleh para khulafa ar
rasyidin yang empat. Karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa mengada-adakan hal baru di dalam perkara kami yang tidak ada dalil didalamnya, maka tertolak” (Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa mengerjakan apa-apa tanpa adanya perintah dari kami, maka perbuatannya itu tertolak” (Muslim)
“Hendaknya kalian semua mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa ar Rasyidin yang berpetunjuk setelahku. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits-hadits ini jumlahnya sangatlah banyak. Dalam bahasa arab, bid’ah berarti segala perkara baru yang tiada contoh sebelumnya. Namun, tidak berkaitan dengan semua itu hukum pelanggaran jika tidak ada hubungannya dengan bid’ah dalam perkara agama. Jika terjadi dalam berbagai macam muamalat dan sejalan dengan syariat, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang syar’i. Sedangkan yang bertentangan dengannya, maka dianggap sebagai sesuatu yang ‘rusak’. Namun bila tidak terjadi dalam perkara ibadah maka tidak dinamakan bid’ah.
(Syaikh bin Baaz, Majmu’ Fatawa)
“Barangsiapa mengada-adakan hal baru di dalam perkara kami yang tidak ada dalil didalamnya, maka tertolak” (Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa mengerjakan apa-apa tanpa adanya perintah dari kami, maka perbuatannya itu tertolak” (Muslim)
“Hendaknya kalian semua mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa ar Rasyidin yang berpetunjuk setelahku. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, karena semua perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits-hadits ini jumlahnya sangatlah banyak. Dalam bahasa arab, bid’ah berarti segala perkara baru yang tiada contoh sebelumnya. Namun, tidak berkaitan dengan semua itu hukum pelanggaran jika tidak ada hubungannya dengan bid’ah dalam perkara agama. Jika terjadi dalam berbagai macam muamalat dan sejalan dengan syariat, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang syar’i. Sedangkan yang bertentangan dengannya, maka dianggap sebagai sesuatu yang ‘rusak’. Namun bila tidak terjadi dalam perkara ibadah maka tidak dinamakan bid’ah.
(Syaikh bin Baaz, Majmu’ Fatawa)
Contoh Bid’ah yang Tersebar di Masyarakat pdf, Download File Kajian buletin istiqomah ke 25 pdf
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/mediasalaf/File-PDF/Buletin-Istiqomah/buletin-istiqomah-ke-25.pdf****
Pengertian Bid’ah, Macam, dan Hukumnya
Oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh. Sebelumnya Allah berfirman.Badiiu’ as-samaawaati wal ardli
“Artinya : Allah pencipta langit dan bumi” [Al-Baqarah : 117] []
Artinya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Juga firman Allah.
Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
“Artinya : Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”, maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.
Dan perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
[1] Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan) ; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan) adalah mubah.
[2] Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah) ; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak”.
BID’AHKAH MOTOR : “Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.”
MACAM-MACAM BID’AH
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :[1] Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
[2] Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
[a]. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan, shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
[b]. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.
[c]. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[d]. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.
HUKUM BID’AH DALAM AD-DIEN
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“Artinya : Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
“Artinya : Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak”.
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.
Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah.
Ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya.
Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).
BID’AHKAH MOTOR : “Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.”Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Artinya : Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : “Artinya : Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”.
Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena bid’ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.
Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.
Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Makna Bid’ah dan ciri-cirinya
Soal
: Beliau (Al Utsaimin) ditanya tentang makna bid’ah dan tentang
ciri-cirinya? dan apakah ada bid’ahasanah? Dan apa makna Sabda Nabi
Shallallahu’alaihi wa Sallam :
“Barangsiapa menegakkan kebiasaan yang baik dalam Islam”
Jawab : Secara syar’, bid’ah itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut, “Aktifitas peribadahan untuk Allah dengan cara-cara yang tidak disyariatkan oleh Allah” Jika engkau suka, maka bisa engkau katakan, “Aktifitas peribadahan untuk Allah subhanahu wa Ta’ala dengan apa-apa yang tidak dijalankan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan tidak pula dijalankan oleh para khulafa ar Rasyidin” Definisi pertama diambil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Apaka mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi oleh Allah?” (Asy Syura : 21)
Sedangkan definisi kedua diambil dari sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam :
“Hendaknya kalian semua mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin yang berpetunjuk setelahku. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru” (Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Siapapun yang melakukan aktivutas peribadahan untuk Allah subhanahu wa Ta’ala dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah, atau dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah, atau dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam dan para khulafa ar Rasyidin, maka orang itu telah melakukan bid’ah, baik aktivitas peribadahan itu berkaitan denga asma Allah dan sifat-sifat-Nya atau yang berkaitan dengan hukum-hukum dan syari’at-nya. Sedangkan jika berkaitan dengan perkara-perkara biasa semacam tradisi, maka aktifitas tersebut tidak disebut dengan bid’ah dalam perkara agama sekalipun bisa dinamakan bid’ah secara etimologis (bahasa). Namun tetap bukan bid’ah dalam perkara agama dan tidak ada peringatan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam berkaitan denga perkara itu.
Dalam agama, tidak pernah akan ada bid’ah hasanah sama sekali. Sunnah hasanah adalah sunnah yang sesuai dengan syariat. Hal ini mencakup perkara, misalnya seseorang memulai untuk bertindak berdasarkan sebuah sunnah atau menghidupkannya kembali setelah ditinggalkan banyak orang atau melakukan sesuatu yang dibiasakannya yang pada akhirnya bisa menjadi suatu aktifitas peribadahan, maka tiga perkara ini :
Pertama : Menetapkan istilah sunnah bagi orang yang memulai suatu aktifitas yang didasari ‘sebab’nya oleh sebuah hadits, maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membenarkan suatu kaum yang datang kepada beliau, ketika mereka dalam keadaan yang sangat penuh hajat dan kesulitan, maka beliau mengeluarkan perintah untuk bersedekah, maka datanglah seseorang dari golongan Anshar dengan bawaan perak yang cukup berat baginya lalu meletakkakkannya dikediaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam ketika itu bersabda :
“Barangsiapa menegakkan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melekukannya” (Muslim)
Maka orang tersebut tergolong orang yang menetapkan sunnah dengan memulai untuk pertama kalinya melakukan sebuah perbuatan bukan memulai sesuatu sebagai syariat.
Kedua : Sunnah yang telah ditinggalkan lalu mulai diamalkan kembali oleh orang-orang untuk menghidupkannya kembali, maka tindakan itu dikatakan sebagai menetapkan sunnah. Berarti menghidupkan kembali; dan bukan berarti dia mensyariatkan secara sepihak oleh dirinya sendiri.
Ketiga : Seseorang yang melakukan sesuatu yang bisa menjadi wasilah menuju sesuatu yang disyariatkan. Misalnya, pembangunan sekolah-sekolah dan penyusunan buku-buku. Semua ini bukan materi ibadah, tetapi semua itu sarana menuju kegiatan yang lain, maka semua kegiatan yang sedemikian ini termasuk kedalam sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam :
“Barangsiapa menegakkan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya” (Muslim)
Wallahu a’lam
(Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasail)
Jawab : Secara syar’, bid’ah itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut, “Aktifitas peribadahan untuk Allah dengan cara-cara yang tidak disyariatkan oleh Allah” Jika engkau suka, maka bisa engkau katakan, “Aktifitas peribadahan untuk Allah subhanahu wa Ta’ala dengan apa-apa yang tidak dijalankan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam dan tidak pula dijalankan oleh para khulafa ar Rasyidin” Definisi pertama diambil dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Apaka mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi oleh Allah?” (Asy Syura : 21)
Sedangkan definisi kedua diambil dari sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam :
“Hendaknya kalian semua mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin yang berpetunjuk setelahku. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru” (Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Siapapun yang melakukan aktivutas peribadahan untuk Allah subhanahu wa Ta’ala dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah, atau dengan cara yang tidak disyariatkan oleh Allah, atau dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam dan para khulafa ar Rasyidin, maka orang itu telah melakukan bid’ah, baik aktivitas peribadahan itu berkaitan denga asma Allah dan sifat-sifat-Nya atau yang berkaitan dengan hukum-hukum dan syari’at-nya. Sedangkan jika berkaitan dengan perkara-perkara biasa semacam tradisi, maka aktifitas tersebut tidak disebut dengan bid’ah dalam perkara agama sekalipun bisa dinamakan bid’ah secara etimologis (bahasa). Namun tetap bukan bid’ah dalam perkara agama dan tidak ada peringatan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam berkaitan denga perkara itu.
Dalam agama, tidak pernah akan ada bid’ah hasanah sama sekali. Sunnah hasanah adalah sunnah yang sesuai dengan syariat. Hal ini mencakup perkara, misalnya seseorang memulai untuk bertindak berdasarkan sebuah sunnah atau menghidupkannya kembali setelah ditinggalkan banyak orang atau melakukan sesuatu yang dibiasakannya yang pada akhirnya bisa menjadi suatu aktifitas peribadahan, maka tiga perkara ini :
Pertama : Menetapkan istilah sunnah bagi orang yang memulai suatu aktifitas yang didasari ‘sebab’nya oleh sebuah hadits, maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam memerintahkan untuk membenarkan suatu kaum yang datang kepada beliau, ketika mereka dalam keadaan yang sangat penuh hajat dan kesulitan, maka beliau mengeluarkan perintah untuk bersedekah, maka datanglah seseorang dari golongan Anshar dengan bawaan perak yang cukup berat baginya lalu meletakkakkannya dikediaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa Sallam, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam ketika itu bersabda :
“Barangsiapa menegakkan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melekukannya” (Muslim)
Maka orang tersebut tergolong orang yang menetapkan sunnah dengan memulai untuk pertama kalinya melakukan sebuah perbuatan bukan memulai sesuatu sebagai syariat.
Kedua : Sunnah yang telah ditinggalkan lalu mulai diamalkan kembali oleh orang-orang untuk menghidupkannya kembali, maka tindakan itu dikatakan sebagai menetapkan sunnah. Berarti menghidupkan kembali; dan bukan berarti dia mensyariatkan secara sepihak oleh dirinya sendiri.
Ketiga : Seseorang yang melakukan sesuatu yang bisa menjadi wasilah menuju sesuatu yang disyariatkan. Misalnya, pembangunan sekolah-sekolah dan penyusunan buku-buku. Semua ini bukan materi ibadah, tetapi semua itu sarana menuju kegiatan yang lain, maka semua kegiatan yang sedemikian ini termasuk kedalam sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam :
“Barangsiapa menegakkan kebiasaan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya” (Muslim)
Wallahu a’lam
(Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasail)
0 komentar:
Posting Komentar