Deru angin bulan itu
Mengantar surat terakhirmu
dengan lampiran rindu di tepiannya
juga duka di kusam lembarannya
Ada lara lekat disana
juga api asmara yang menyala sia-sia
“Seperti langit berselimut bianglala,
dimana segala warna dan rupa, berpadu menaungi
setiap desir cinta yang berpendar lembut dari hati,” katamu perih
Aku tersenyum getir dan kembali membayangkan
ketika badai itu datang menghempaskan segala impian, kenangan
dan larik kisah kita
yang telah ku bayangkan menyelimuti langit
akan membuatku tersesat menemukan jalan pulang
dan mendapatiku kembali dibalik pekat kabut
“Aku percaya,” tulismu,”bila badai ini usai, pelangi
akan datang kembali menyelimuti langit
tempat semua impian kita berpendar sepanjang musim
dan kangen itu kita semai diam-diam, sejak dulu”
Seketika kata-katamu menjelma kupu-kupu
terbang mencabik angkasa
menepis sepi yang telah kau guratkan
dengan jemari gemetar dan rintik airmata
diatas lembar suratmu
“Seperti langit berselimut bianglala,” aku menggumam pelan,
“dimana noktah-noktah asa mengapung tanpa daya
dan membiarkan dirinya melayang hingga batas cakrawala
bersama redup cahaya matamu dan debar jantungku
yang kerap mengharap perjumpaan meski sekilas
disela kepahitan dan tanpa putus asa
antara ada dan tiada…aku hanya cahay kunang di gelap gulita
[Ar-Riauny 16-11-12 Pekanbaru]
dengan lampiran rindu di tepiannya
juga duka di kusam lembarannya
Ada lara lekat disana
juga api asmara yang menyala sia-sia
“Seperti langit berselimut bianglala,
dimana segala warna dan rupa, berpadu menaungi
setiap desir cinta yang berpendar lembut dari hati,” katamu perih
Aku tersenyum getir dan kembali membayangkan
ketika badai itu datang menghempaskan segala impian, kenangan
dan larik kisah kita
yang telah ku bayangkan menyelimuti langit
akan membuatku tersesat menemukan jalan pulang
dan mendapatiku kembali dibalik pekat kabut
“Aku percaya,” tulismu,”bila badai ini usai, pelangi
akan datang kembali menyelimuti langit
tempat semua impian kita berpendar sepanjang musim
dan kangen itu kita semai diam-diam, sejak dulu”
Seketika kata-katamu menjelma kupu-kupu
terbang mencabik angkasa
menepis sepi yang telah kau guratkan
dengan jemari gemetar dan rintik airmata
diatas lembar suratmu
“Seperti langit berselimut bianglala,” aku menggumam pelan,
“dimana noktah-noktah asa mengapung tanpa daya
dan membiarkan dirinya melayang hingga batas cakrawala
bersama redup cahaya matamu dan debar jantungku
yang kerap mengharap perjumpaan meski sekilas
disela kepahitan dan tanpa putus asa
antara ada dan tiada…aku hanya cahay kunang di gelap gulita
[Ar-Riauny 16-11-12 Pekanbaru]
Posted in: Puisi Dan Sajak
0 komentar:
Posting Komentar