●⌣⌣•⌣⌣●⌣⌣•⌣⌣●⌣⌣●•••●⌣⌣●⌣⌣•
Nuansa Kesyirikan Yang Aneh.
Untuk memperoleh keselamatan, diadakan berbagai kegiatan “aneh”. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam 1 Suro , entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung, dst.
Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau dengan keyakinan supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya.
Di Solo,
acara kondang yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela bersusah-payah mendatanginya dengan jalan kaki, dst.
▓ Apa tujuannya ?
Tiada lain,
••►untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan laris, dan sebagainya.
Naudzubillahi min dzalik.
Padahal,
dalam pandangan banyak orang,
••►kerbau merupakan simbol kebodohan,
••►►sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya, “bodo ela-elo koyo kebo”.
Acara lainnya adalah :
••►jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.
Pembaca yang budiman,
itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram (Suro).
Tahayul semacam ini, diwarisi dari zaman sebelumnya mulai animisme, dinamisme, hindu dan budha.
Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut masih kental menyertai perkembangannya.
••►►Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran).
Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh tersebut.
Lalu,
▓▓ apakah budaya seperti ini patut kita lestarikan ?
Dinukil dr.
http://
0 komentar:
Posting Komentar