Para
pakar fiqih—secara umum--menyebutkan beberapa hal yang mesti ada ketika
thowaf. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat apakah hal-hal yang
disebutkan nanti termasuk rukun, wajib ataukah syarat. Berikut beberapa
hal yang mesti dilakukan ketika thowaf:
Pertama: Orang yang berthowaf wajib mengelilingi ka’bah.
Para pakar fiqih berpendapat bahwa setiap orang yang berthowaf wajib
mengelilingi Ka’bah, baik ia melakukannya sendiri atau dengan perbuatan
orang lain (yaitu orang lain membawanya/memikulnya dan ia berthowaf
dengannya), baik pula ia mampu berthowaf sendiri lalu ia menyuruh yang
lain untuk membawanya ataukah orang lain membawanya tanpa perintahnya.
Maka ini sudah cukup untuk dianggap telah menunaikan wajib thowaf dan
telah lepaslah kewajiban. Karena intinya, dianggap sah jika seseorang
mengelilingi Ka’bah.
Kedua: Tujuh kali putaran mengelilingi Ka’bah.
Jumlah putaran yang dituntunkan adalah tujuh kali. Hal ini tidak ada
khilaf (perselisihan) di antara para ulama. Mayoritas ulama mengatakan
bahwa tidak boleh kurang dari tujuh putaran.
Bagaimana jika ragu dengan jumlah putaran? Jika ragu, maka
berpeganglah dengan yang yakin. Keragu-raguan tersebut tidak usah
ditoleh (dipedulikan). Ibnul Mundzir mengatakan, “Yang kami ketahui dari
para ulama bahwa mereka telah sepakat (ijma') dalam masalah ini dan
karena itu adalah ibadah. Jika seseorang ragu-ragu di dalamnya, maka
berpeganglah dengan yang yakin seperti halnya dalam shalat.” Menurut
mayoritas ulama (ulama Syafi’iyah dan Hambali) berpegang dengan yang
yakin di sini adalah mengambil yang paling sedikit.
Ketiga: Berniat.
Agar thowaf seseorang menjadi sah, maka harus ada niat karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Keempat: Thowaf dilakukan di tempat yang khusus.
Thowaf itu dilakukan di tempat yang khusus yaitu mengitari Ka’bah yang mulia (di dalam Masjidil Harom), terserah posisinya dekat atau jauh dari Ka’bah. Ini adalah syarat thowaf yang disepakati oleh para ulama. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
Kelima: Memulai thowaf dari Hajar Aswad.
Ulama Syafi’iyah, ulama Hambali, pendapat ulama Malikiyah, dan juga pendapat dalam madzhab Hanafiyah. mulainya thowaf adalah dari Hajar Aswad. Sehingga tidaklah dianggap jika seseorang memulai thowaf setelah Hajar Aswad.
Keenam: Orang yang berthowaf berada di sebelah kanan Ka’bah.
Hendaknya posisi orang yang berthowaf adalah demikian, artinya sisi orang yang berthowaf adalah Ka’bah. Inilah syarat yang dikatakan oleh jumhur (mayoritas) para fuqoha’. Thowaf dalam keadaan sebaliknya adalah thowaf yang tidak sah.
Ketujuh: Suci dari hadats dan najis.
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa suci dari hadats dan najis adalah syarat sah thowaf. Jika luput dari dua hal tadi, thowafnya tidak sah dan tidak teranggap.
Kedelapan: Menutupi aurat.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menutup aurat merupakan syarat sah thowaf.
Kesembilan: Tidak ada selang antara tiap putaran thowaf.
Artinya tidak ada selang dengan aktivitas lainnya, misalnya ingin buang hajat. Jika di tengah-tengah thowaf dalam keadaan demikian, maka ia harus mengulangi thowafnya dari awal lagi. Yang menjadikan hal ini sebagai syarat adalah ulama Malikiyah dan Hambali.
Kesepuluh: Berjalan bagi yang mampu.
Jika tidak mampu untuk berjalan lantas ia digendong (dipikul), maka tidak ada dosa baginya.
Semoga yang singkat ini bermanfaat. Masih tersisa beberapa hal lainnya tentang thowaf, insya Allah akan diangkat pada bahasan selanjutnya. May Allah make everything easily.
[Disarikan dari: Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, Diterbitkan oleh Kementrian Waqaf dan Urusan Islamiyah Kuwait, 29/123-134]
Finished a few minutes before Ashar on 20th Dzulqo’dah 1431 H, (coincide with 28th October 2010), in KSU, Riyadh, KSA
Written by: Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com
[1] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu
0 komentar:
Posting Komentar