Dalam tuntunan penyembelihan hewan–insya Allah- akan
dibahas mengenai syarat penyembelihan yang dapat membuat hewan halal
untuk dikonsumsi. Syarat ini terbagi menjadi tiga: [1] Syarat yang
berkaitan dengan hewan yang akan disembelih, [2] Syarat yang berkaitan
dengan orang yang akan menyembelih, dan [3] Syarat yang berkaitan dengan
alat untuk menyembelih. Setelah itu kami akan mengutarakan pula adab
ketika penyembelihan hewan.
Semoga Allah mudahkan.[1]
SYARAT HEWAN YANG AKAN DISEMBELIH
Yaitu hewan tersebut masih dalam keadaan hidup ketika
penyembelihan, bukan dalam keadaan bangkai (sudah mati). Allah Ta’ala
berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai.” (QS. Al Baqarah: 173)
SYARAT ORANG YANG AKAN MENYEMBELIH
Pertama: Berakal, baik laki-laki maupun
perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan sudah tamyiz. Sehingga
dari sini, tidak sah penyembelihan yang dilakukan oleh orang gila dan
anak kecil yang belum tamyiz. Begitu pula orang yang mabuk,
sembelihannya juga tidak sah.
Kedua: Yang menyembelih adalah seorang
muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani). Oleh karena itu, tidak
halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan orang Majusi
sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena selain
muslim dan ahli kitab tidak murni mengucapkan nama Allah ketika
menyembelih.
Sedangkan ahlul kitab masih dihalalkan sembelihan mereka karena Allah Ta’ala berfirman,
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
“Makanan (sembelihan) ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.”
(QS. Al Ma-idah: 5). Makna makanan ahlul kitab di sini adalah
sembelihan mereka, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah,
Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, ‘Atho’, Al Hasan Al Bashri, Makhul,
Ibrahim An Nakho’i, As Sudi, dan Maqotil bin Hayyan.[2]
Namun yang mesti diperhatikan di sini, sembelihan ahul
kitab bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama
selain Allah. Jika diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika
menyembelih, semisal mereka menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair
atau berhala, maka pada saat ini sembelihan mereka menjadi tidak halal berdasarkan firman Allah Ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)
Ketiga: Menyebut nama Allah ketika
menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama Allah –padahal ia tidak
bisu dan mampu mengucapkan-, maka hasil sembelihannya tidak boleh
dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Sedangkan bagi yang lupa untuk
menyebutnya atau dalam keadaan bisu, maka hasil sembelihannya boleh
dimakan. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang
tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan
yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al An’am: 121)
Begitu juga hal ini berdasarkan hadits Rofi’ bin Khodij, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ
“Segala sesuatu yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan.”[3]
Inilah yang dipersyaratkan oleh mayoritas ulama yaitu dalam
penyembelihan hewan harus ada tasmiyah (penyebutan nama Allah atau
basmalah). Sedangkan Imam Asy Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam
Ahmad menyatakan bahwa hukum tasmiyah adalah sunnah (dianjurkan). Mereka beralasan dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ قَوْمًا
قَالُوا لِلنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا
بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِى أَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ
« سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ » . قَالَتْ وَكَانُوا حَدِيثِى
عَهْدٍ بِالْكُفْرِ .
Ada sebuah kaum berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ada sekelompok orang yang mendatangi kami dengan hasil sembelihan.
Kami tidak tahu apakah itu disebut nama Allah ataukah tidak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalian hendaklah menyebut nama Allah dan makanlah daging tersebut.” ’Aisyah berkata bahwa mereka sebenarnya baru saja masuk Islam.[4]
Namun pendapat mayoritas ulama yang menyaratkan wajib
tasmiyah (basmalah) itulah yang lebih kuat dan lebih hati-hati.
Sedangkan dalil yang disebutkan oleh Imam Asy Syafi’i adalah untuk
sembelihan yang masih diragukan disebut nama Allah ataukah tidak. Maka
untuk sembelihan semacam ini, sebelum dimakan, hendaklah disebut nama
Allah terlebih dahulu.
Keempat: Tidak disembelih atas nama selain
Allah. Maksudnya di sini adalah mengagungkan selain Allah baik dengan
mengeraskan suara atau tidak. Maka hasil sembelihan seperti ini
diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama. Dalilnya adalah firman Allah
Ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al Ma-idah: 3)
SYARAT ALAT UNTUK MENYEMBELIH
Ada dua syarat yang mesti dipenuhi yaitu:
Pertama: Menggunakan alat pemotong, baik
dari besi atau selainnya, baik tajam atau tumpul asalkan bisa memotong.
Karena maksud dari menyembelih adalah memotong urat leher, kerongkongan,
saluran pernafasan dan saluran darah.
Kedua: Tidak menggunakan tulang dan kuku. Dalilnya adalah hadits Rofi’ bin Khodij,
مَا أَنْهَرَ
الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ ، فَكُلُوهُ ، لَيْسَ السِّنَّ
وَالظُّفُرَ ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ عَنْ ذَلِكَ ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ
وَأَمَّا الظُّفُرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang mengalirkan darah dan disebut nama
Allah ketika menyembelihnya, silakan kalian makan, asalkan yang
digunakan bukanlah gigi dan kuku. Aku akan memberitahukan pada kalian
mengapa hal ini dilarang. Adapun gigi, ia termasuk tulang. Sedangkan
kuku adalah alat penyembelihan yang dipakai penduduk Habasyah (sekarang
bernama Ethiopia).” [5]
ADAB DALAM PENYEMBELIHAN HEWAN
Pertama: Berbuat ihsan (berbuat baik terhadap hewan)
Dari Syadad bin Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ
كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ
أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik
terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh, maka bunuhlah
dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah
dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan
senangkanlah hewan yang akan disembelih.”[6]
Di antara bentuk berbuat ihsan adalah tidak menampakkan
pisau atau menajamkan pisau di hadapan hewan yang akan disembelih. Dari
Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma, ia berkata,
أَتُرِيْدُ أَنْ تَمِيْتَهَا مَوْتَات هَلاَ حَدَدْتَ شَفْرَتَكَ قَبْلَ أَنْ تَضْجَعَهَا
”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengamati seseorang yang meletakkan kakinya di atas pipi (sisi) kambing
dalam keadaan ia mengasah pisaunya, sedangkan kambing itu memandang
kepadanya. Lantas Nabi berkata, “Apakah sebelum ini kamu hendak
mematikannya dengan beberapa kali kematian?! Hendaklah pisaumu sudah
diasah sebelum engkau membaringkannya.”[7]
Kedua: Membaringkan hewan di sisi sebelah kiri, memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih
Membaringkan hewan termasuk perlakuan terbaik pada hewan dan disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah,
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِى
سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِى سَوَادٍ فَأُتِىَ بِهِ
لِيُضَحِّىَ بِهِ فَقَالَ لَهَا « يَا عَائِشَةُ هَلُمِّى الْمُدْيَةَ
».ثُمَّ قَالَ « اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ ». فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا
وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ « بِاسْمِ
اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ
أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ». ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta
diambilkan seekor kambing kibasy. Beliau berjalan dan berdiri serta
melepas pandangannya di tengah orang banyak. Kemudian beliau dibawakan
seekor kambing kibasy untuk beliau buat qurban. Beliau berkata kepada
‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, bawakan kepadaku pisau”. Beliau melanjutkan,
“Asahlah pisau itu dengan batu”. ‘Aisyah pun mengasahnya. Lalu beliau
membaringkan kambing itu, kemudian beliau bersiap menyembelihnya, lalu
mengucapkan, “Bismillah. Ya Allah, terimalah qurban ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad”. Kemudian beliau menyembelihnya.[8]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan dianjurkannya membaringkan kambing ketika akan disembelih
dan tidak boleh disembelih dalam keadaan kambing berdiri atau berlutut,
tetapi yang tepat adalah dalam keadaan berbaring. Cara seperti ini
adalah perlakuan terbaik bagi kambing tersebut. Hadits-hadits yang ada
pun menuntunkan demikian. Juga hal ini berdasarkan kesepakatan para
ulama. Juga berdasarkan kesepakatan ulama dan yang sering dipraktekan
kaum muslimin bahwa hewan yang akan disembelih dibaringkan di sisi
kirinya. Cara ini lebih mudah bagi orang yang akan menyembelih dalam
mengambil pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan dengan
tangan kiri.”[9]
Ketiga: Meletakkan kaki di sisi leher hewan
Anas berkata,
ضَحَّى
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ،
فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ،
فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ .
“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban
dengan dua ekor kambing kibasy putih. Aku melihat beliau menginjak
kakinya di pangkal leher dua kambing itu. Lalu beliau membaca basmalah
dan takbir, kemudian beliau menyembelih keduanya.”[10]
Ibnu Hajar memberi keterangan, “Dianjurkan meletakkan kaki
di sisi kanan hewan qurban. Para ulama telah sepakat bahwa membaringkan
hewan tadi adalah pada sisi kirinya. Lalu kaki si penyembelih diletakkan
di sisi kanan agar mudah untuk menyembelih dan mudah mengambil pisau
dengan tangan kanan. Begitu pula seperti ini akan semakin mudah memegang
kepala hewan tadi dengan tangan kiri.”[11]
Keempat: Menghadapkan hewan ke arah kiblat
Dari Nafi’,
أَنَّ اِبْنَ عُمَرَ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيْحَةَ ذَبْحِهِ لِغَيْرِ القِبْلَةِ.
“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang disembelih dengan tidak menghadap kiblat.”[12]
Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa menghadapkan hewan ke arah kiblat
bukanlah syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat,
tentu Allah akan menjelaskannya. Namun hal ini hanyalah mustahab (dianjurkan).[13]
Kelima dan Keenam: Mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir
Ketika akan menyembelih disyari’atkan membaca "Bismillaahi wallaahu akbar", sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik di atas. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib sebagaimana telah dijelaskan di muka. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
- hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) atau
- hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
- Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)”[14]
Demikian beberapa tuntunan dalam penyembelihan hewan. Semoga bermanfaat.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 3 Dzulhijah 1430 H
[1] Tulisan kali ini kami olah dari pembahasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/357-366, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 3/40, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[3] HR. Bukhari no. 2488
[4] HR. Bukhari no. 5507.
[5] HR. Bukhari no. 2488.
[6] HR. Muslim no. 1955.
[7] HR. Al Hakim (4/257), Al Baihaqi (9/280), ‘Abdur Rozaq no. 8608. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits shahih
sesuai syarat Al Bukhari. Adz Dzahabi dalam At Talkhis mengatakan bahwa
sesuai syarat Bukhari. Ibnu Hajar dalam At Talkhis Al Habir (4/1493)
mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara mursal. Syaikh Al Albani
dalam Shahih At Targhib no. 2265 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[8] HR. Muslim no. 1967.
[9] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/122, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi Beirut, cetakan kedua, tahun 1392 H.
[10] HR. Bukhari no. 5558.
[11] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy Asy Syafi’i, 10/18, Darul Ma’rifah, terbit 1379 H.
[12] HR. ‘Abdur Razaq no. 8585 dengan sanad yang shahih.
[13] Shahih Fiqh Sunnah, 2/364.
[14] Faedah dari tulisan saudara kami Ustadz Ammi Nur Baits mengenai Fiqih Qurban yang dimuat di muslim.or.id.
0 komentar:
Posting Komentar