-->

16 September 2012

Hanya Satu Jalan Menuju Allah


Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani


Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang menjamin nikmat Islam bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berrman,Mereka itulah golongan Allah.

Ketahuilah, bahwa sesunguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS AlMujadalah: 22).

Dan Dia (Allah) menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allahberrman,Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yangberiman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut(agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS Al Maidah: 56).

Bagaimanapun, anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka anda tidak akan menemukan di dalamnya (dalil, Red.) pengkotak-kotakan umat kepada jama'ah-jama'ah, partai-partai atau golongan-golongan, kecuali perbuatan itu dicela dan tercela.

Allah berfirman,

Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukanAllah. yaitu orang-orang yang memecah-belah agama rnereka,dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golonganmerasa bangga dengan apa yang ada pada golongan rnereka. (QSAr Rum: 31-32).

Bagaimana mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat,setelah Dia memelihara mereka dengan tali (agama)Nya? Lagi pula, Allah telahmelepaskan tanggung jawab NabiNya -Muhammad- atas umatnya, manakalamereka berpecah-belah, dan (Allah) mengancam mereka atas perpecahantersebut. Allah berrman,Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya danrnereka (terpecah) menjadi beberapa golongan. tidak adasedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allahakan memberitahukan kepada mereka apa yang telah merekaperbuat. (QS Al An'am:159).

Dari Muawiyah bin Abu Sufyan berkata,Ketahuilah, bahwasanya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengahkami, lalu bersabda,Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwasanya. umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satuyang di surga, yaitu Al Jama'ah.

(Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu Dawud no. 4597; Darimi 2/241; Thabrani19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang lainnya. Hadits ini shahih.Juga dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu Dawud no. 4596:7 Tirmidzi no. 2642;Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya'la no. 5910, 5978, 6117; Ibnu Hibban 14/6247 dan15/6731; Hakim 1/6, 128, dan lainnya dari hadits Abu Hurairah, dan Hakim mcmpunyaibeberapa riwayat lain dalam jumlah banyak dari hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amrbin Al Ash, dari yang selainnya.Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi; Hakim; Adz Dzahabi, dan Al Jazajanidalam kitab Al Bathil 1/302; Al Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/213; Asy Syathibidalam Al I'tisham 2/698, Tahqiq Salim Al Hilali; Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa3/345; lbnu Hibban dalam Shahih-nya 4/48; lbnu Katsir dalam tafsirnya 1/390; lbnuHajr dalam Tarikh Al Kasysyaf halaman 63; Al Iraqi dalam Al Mughni 'An Hamlil Asfar,no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah, halamnan 4/180; Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya.Sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid'ah yang berupaya melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia -aku ingin menjadikan mereka bisu. Al Hakim berkata tentang hadits ini, "Hadits yang agung atau banyak, sebagaimana scbagian ulama telah menempatkannya dalam hadits-hadits yang pokok.")



Mengomentarl hadits ini, Amir Ash Shan'ani berkata,"Penyebutan bilangan pada hadits ini. bukan untuk menjelaskanbanyaknya orang yang binasa. Akan tetapi, hanya untukmenerangkan luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabangkesesatan, serta untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanyasatu.Hal ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsirberkaian rman Allah,Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKuyang lunts, maka ikutilah dia; dan janganlah kamumengikuti jalan jalan (yang lain). karena jalan jalanitu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. (QS AlAn'am: 153).Pada ayat ini, Allah menggunakan bentuk jamak pada katayang menerangkan "jalan jalan yang dilarang mengikutinya", gunamenerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan kesesatan sertakeluasannya.Sedangkan pada kata "jalan petunjuk dan kebenaran", Allahmenggunakan bentuk tunggal. (Ini) dikarena jalan al haq itu hanyasatu, dan tidak berbilang.(Lihat Hadits Iftiraqul Ummah lla Nayyif Sab'ina Firgah, halaman 67 - 68)



Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata,Rasullah membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda,"Iniadalah jalan Allah." kemudian beliau membuat garis lain pada sisikiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, "Ini adalah jalan jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu," kemudian beliau membaca, Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus. rnaka ikutilah dia; danjanganlah kamu mengikutijalan jalan (yang lain). karena jalanjalan itu rnencerai-beraikan kamu dari jalanNya. (QS Al An'am: 153).

(Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad I/435, dan yang lainnya).



Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan (kebenaran, pent.) itu hanya satu.Imam Ibnul Qayyim berkata,"Dan ini disebabkan, karena jalan yang mengantarkan (seseorang)kepada Allah hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya Allah mengutus para rasulNya dan menurunkan ktab-kitabNya. Tiada seorangpun yang dapat sampai kepadaNya, kecuali melalui jalan ini. Seandainya manusla datang dengan menempuh semua jalan, lalu mendatangi setiap pintu dan meminta agar dibukakan, niscayaseluruh jalan tertutup dan terkunci buat mereka: terkecuali melalui jalan yang satu ini. Karena jalan inilah, yang berhubungan denganAllah dan bisa mengantarkan kepadaNya."(At Tafsir Al Qayyim, halaman 14-15)



Aku (penyusun) mengatakan:Akan tetapi, banyaknya liku-liku di jalan ini yang cukup memberatkan,menyebabkan seseorang menjadi ragu, lalu meninggalkannya.Dan sesungguhnya kelompok-kelompok yang menyimpang, telah menyelisihi jalan ini. (Penyebabnya), karena merasa senang dan

tenang pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk menyendiri. Ingin segera tiba (tergesa-gesa, Red.) dan takut memikul beban perjalanan yang panjang.Ibnul Qayyim berkata,"Barangsiapa menganggap jauh satu jalan ini, maka dia tidak akan mampu menempuhnya."



Mengenal Jalan Yang Satu



(Menyimpulkan) dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan yang dimaksud. Dan jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah "rukun yang kedua" dari rukun tauhid. (Yaitu) setelah syahadat (persaksian) bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, maka (yang kedua, Red.) persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan (kalimat) ini, juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal ibadah. Karena -sebagaimana sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan diterima, kecuali setelah memenuhi dua syarat;1. Mengikhlaskan agama (ketaatan) karena Allah semata.2. Dalam beribadah hanya dengan mengikuti (cara yang dicontohkan) NabiPada kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan kaidah yang mashur ini sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama bahasan ini untuk menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi, itulah satu-satunya jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada Allah. (Pengenalan terhadap jalan ini amat penting, pent); karena ketidak tahuan terhadap jalan ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti maksud dan tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang sangat, tanpa bisa mendapatkan manfaat yang berarti.(Lihat Al Fawa'id, karya Ibnu Qayyim, halaman 223)

Tujuan pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanyasatu. Sehingga tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah denganmenda'wahkan, bahwa jalan menuju Allah itu (jumlahnya banyak, pent.),sejumlah bilangan nafas manusia. Atau ungkapan-ungkapan lain, yang menurut agama Allah -yang datang guna menyatukan pemeluknya dan bukan untuk memecah-belah mereka- jelas nyata kebathilannya. Allah berrman, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadiah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. (QS All Imran: 103).

Tali yang menjamin kaum muslimin adalah kitab Allah, sebagaimana penafsiran para ulama kaum muslimin. Abdullah bin Mas'ud berkata,Sesungguhnya, jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru, "Wahai hamba-hamba Allah, kemarilah. Ini adalah jalan (yang benar)." (Mereka melakukan ini, pent.) untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Maka, berpegang taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya, hablullah itu adalah Kitabullah(Al Qur'an).

(Diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur'an, halaman 75; Ad Darimi 2/433; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no 22; Ibnu Dhurais dalam Fadhailul Qur'an, 74; lbnu Jarir dalam tafsirnya no. 7566 (tahqiq Ahmad Asakir); Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam Asy Syari'ah, 16; dan lbnu Baththah dalam Al lbanah, no. 135; dan riwayat ini shahih.)



Ungkapan Ibnu Mas'ud ini, mengandung dua makna yang sangat penting.

1. Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya saja, jalan itu dikelilingi oleh syetan yang ingin memisahkan manusia dari jalan ini.Sementara itu, syetan tidak menemukan jalan terbaik untuk menceraiberaikan mereka dari jalan ini, kecuali dengan menda'wakan, bahwa jalan jalan itu banyak. Maka, barangsiapa yang hendak memasukkan suatu anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran (al haq) itu tidak hanya terbatas pada satu jalan saja, berarti dia adalah syetan. Dan sungguh Allah berfirman,"Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan."(QS Yunus: 32).

2. Tafsir hablullah (tali Allah) yang wajib dipegang teguh oleh kaum muslimin agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur'an Al Karim.Tafsir ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin Mas'ud yang berbunyi, Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami dtinggal oleh Rasulullah.(Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari, 10 no. 10454; Al Baihaqi dalam Asy Syu'ab 4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida', no. 76)

Karena nabi telah mewariskan dua pusaka untuk mereka, yaitu Al Qur'an dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau "Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya. kalian tidak akan sesat selama-lamanya. yaitu Kitab Allah dan Sunnahku".(Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa' 2/899; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no. 68; Al Hakim 1/93; dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar beliau tentang kitab Misykatul Mashabih, no. 186.)



Ditinjau dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah itu sama dengan kitab Allah sebagai wahyu, dan Sunnah itu sebagai penjelas bagi Kitab Allah.Bahkan, makhluk terbaik yang menafsirkan Al Qur'an adalah Rasulullah, sebagaimana rman Allah Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (QS An Nahl: 44).

Aisyah berkata," Akhlaq beliau adalah Al Qur'an".(Riwayat Ahmad 6/9I, 163; dan Muslim 746.)

Oleh karena itu pula, jika timbul perpecahan dan perselisihan diantara mereka, Rasulullah memerintahkan umatnya agar berpegang teguh dengan sunnahnya.

Beliau bersada:

"Dan sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang dibert hidayah yang mereka di atas petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan gigitlah to dengan gigi geraham kalian (peganglah sekuat-kuatnya, Red.), serta jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama): karena sesungguhnya setiap perkara yang baru (yang diada-adakan dalam agama) adalah bid'ah."

(Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud, no. 4607; At Tirmidzi, no. 2676; dan yang lainnya).

Ketika menjelaskan sebab bersatunya salaf pada aqidah yang sama, Imam Ibnu Bathuthah mengatakan,

"Generasi pertama, semuanya masih tetap pada aqidah ini. Hati dan mazdhab mereka menyatu. Kitab Allah sebagai jaminan yang memelihara keutuhan mereka. Sunnah Rasulullah sebagai pedoman. Mereka tidak menuruti pendapat atau rasio mereka, (dan) tidak menyandarkan pemahamannya kepada hawa nafsu. Kondisi umat pada saat itu terus demikian. Hati-hati mereka terpelihara oleh penjagaan Allah dan berkat InayahNya jiwa-jiwa mereka terkendali dari hawa nafsu."(Lihat kitab Al lbanah atau Al Qadar, I.)

Apa yang dikatakan Ibnu Baththah itu benar; karena agama Allah itu hanya satu (dan) tidak ada pertentangan. Allah berrman, Kalau sekiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS An Nisa': 82). Adapun yang kami dakwahkan ini adalah jalan yang paling jelas, paling terang, paling kaya (dengan dalil) dan paling sempurna.

Dari Al Irbadh bin Sariyah, ia berkata, Rasulullah bersabda:"Sesungguhnya, aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan yang sangat putih. maiamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang sesudahku dari jalan itu, kecuali orang (itu) akan binasa.

(Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan 43; Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij Sunnah).



Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya untuk "menyempurnakan atau menghiasinya" dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah dan tidak pula oleh para sahabat berarti perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan kesesatan, bahkan menyimpangkan ke lembah-lembah kebinasaan. Inilah yang dinamakan oleh Rasulullah,Bid'ah adalah kesesatan. Oleh karena itu, para salafush shalih sangat mengingkari orang-orang yang menambah-nambah dalam (masalah) agama, atau mengotori agama ini dengan pendapat rasionya. Umar bin Khathab menuturkan, Janganlah kalian duduk dengan orang-orang yang berpegang dengan rasio mereka; karena sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah Rasulullah. Mereka tidak mampu memelihara Sunnah. Mereka lupa (dalam sebuah riwayat, mereka diserang) hadits-hadits Rasulullah, sehingga mereka tidak mampu memahaminya.Mereka ditanya tentang masalah yang tidak mereka ketahui, akan tetapi mereka malu untuk mengapakan, "Kami tidak mengetahui,"lalu mereka berfatwa dengan rasionya, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang banyak. Mereka tersesat dari jalan yang lurus.Sesungguhnya Nabi kalian tidaklah diwafatkan Allah, kecuali setelah Allah mencukupkannya dengan wahyu dari rasio. Dan seandainyarasio itu lebih utarna daripada Sunnah, niscaya mengusap bagian bawah kedua sepatu (khuf). itu lebih utama daripada mengusapbagian atasnya.

(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Zuamanain dalam Ushulus Sunnah, no 8; Al Lalika'i dalam Syarh Ushulul l'tiqad, no. 201; Al Khatib Al Bagdadi dalam Faqih wal Mutafaqqih, no. 476-480; Ibnu Abdil Baar dalam Jami' Bayanul Ilmi Wa Fadluhu, no. 2001, 2003, 2005; Ibnu Hazm dalam Al Ihkam, 4/ 42-43; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, 312; Qiwamus Sunnah dalam Al Hujjah, 1/205, pada sebagian sanadnya ada yang lemah dan ada pula

yang putus. Namun demikian, sebagian sanad dapat menguatkan sebagian yang lain. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim mengatakan, "Sanad-sanad ucapun Ibnu Umar ini sangat shahih." (Lihat I'lamul Muwaqi'ien,1/44).



Yang demikian itu, karena agama ini dibangun diatas dasar ittiba' (mengikuti wahyu), bukan dengan ikhtira' (mengada-ada). Sedangkan rasio, biasanya tercela; karena banyak urusan agama yang tidak bisa jangkauan oleh akal semata. Apalagi akal manusia memiliki perbedaan dalam tnenjangkau pemahaman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; meskipun terkadang pendapat itu patut mendapatkan pujian(Lihat perinciannya dalam I'lamul Muwaqi'ien, 1/63 karya Ibnu Qayyim.)

Abdullah bin Mas'ud berkata,Ikutilah dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya (ajaran syari'at Islam ini) telah mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang dengan tuntunan agama yang sediakala."(Diriwayatkan oleh Waki' dalam Az Zuhd, no. 315; Abdur Razaq, no. 20465; Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu, no. 45; Ahmad dalam Az Zuhd, halaman 62; Ad Darimi 1/69; lbnu Wadhdhah dalam Al Bida', no. 60; Ibnu Nashr dalam As Sunnah. no. 78 dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845; lbnu Baththah dulam Al Ibanah / Al Iman 168- 169, 174-175 dan Al Madkhal, no. 387-388; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih, 1/43; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam ta'liq-nya atas kitab Al Ilmu, karya Abu Khaitsamah).

Abdullah bin Umar berkata,

"Semua bid'ah itu adalah sesat. meskipun manusia memandangnya baik."

(Ibnu Nashr dalam As Sunnah, 82; Al Lalika'i dalam Syarh Ushulul I'tiqad, no. 126; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, no. 191, dan sanadnya shahih.)

Dan selama pembahasan kami tentang "pengaruh perbuatan bid'ah" yang menghalangi seseorang dalam mencari jalan yang lurus, maka saya akan menyebutkan sebuah ucapan Abdullah bin Abbas perihal masalah ini, yang menunjukkan luasnya ilmu para sahabat.

menunjukkan luasnya ilmu para sahabat.

Dari Utsman bin Hadhir, ia berkata:Aku datang menjumpai Abdullah bin Abbas. Lalu aku berkata

kepadanya, (berilah wasiat kepadaku); diapun berkata,"Ya, bertaqwalah engkau kepada Allah, istiqamahlah dan(berpeganglah pada) atsar (jejak para salaf. -pent)Ikutilah, dan jangan mengada-ada dalam urusan agama."(Diriwayatkan Ad Darimi, I/53; lbnu Wadhdah dalam Al Bida', no. 61; lbnu Nashr, no.83; lbnu Baththah dalam Al lbanah, no. 200 dan 206; Al Khatib dalam Al Faqih WalMutafaqqih, 1/173, dari dua jalan yang saling menguatkan.)

Cobalah anda perhatikan ucapan ini. Dia memadukan dua hal:1. Taqwa kepada Allah, yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab ia dipadukan dengan perintah untuk berittiba' (perintah untuk mengikuti tuntunan Nabi, pent.).2. Al ittiba', yang maknanya mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana telah dijelaskan di atas.Selanjutnya, beliau mengingatkan agar waspada terhadap yang bertolak belakang dengan kedua hal di atas, yaitu bid'ah. Demikianlah mayoritas ucapan para salaf, meskipun singkat, namun selalu luas cakupannya dan membentengi (seseorang). Merupakan perangai Salafush Shalih, mereka selalu bersikap tegas dan keras terhadap orang yang mencari-cari ucapan manusia (para tokoh) untuk menandingi hukum Rasulullah, setinggi apapun kedudukan dan martabat tokohtokoh tersebut.

Tidak diragukan, bahwasanya beradab dan memelihara kesopanan terhadap para ulama', mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya, serta tudingan seseorang terhadap rasionya jika disejajarkan dengan pendapat-pendapat para ulama; semua itu perkara yang amat penting. Namun demikian, hal tersebut merupakan persoalan lain. Sedangkan mendahulukan wahyu (Al Qur'an dan As Sunnah) setelah jelas permasalahannya, juga merupakan perkara lain.

Urwah berkata kepada Ibnu Abbas,"Celaka engkau. Engkau telah menyebatkan manusia, karena memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah pada sepuluh hari (pertama bulan Dzul HWah), padahal tiada umrah pada hari-hari itu."

Maka Ibnu Abbas berkata, "Wahai Uray (Nama tasghir(kecil) Urwah bin Zubair. Wallahu a'lam, (pent).)

Tanyakanlah kepada ibumu." Urwah berkata,"Bahwasanya Abu Bakar dan Umar tidak pernah mengatakan (berpendapat) seperti itu, padahal mereka benarbenar lebih mengetahui dan lebih mengikuti Rasulullah daripada engkau." Maka dijawab oleh Ibnu Abbas, Dari sinilah kalian didatangi. Kami membawakankepadamu (perkataan) Rasulullah, dan kamu membawakan (perkataan) Abu Bakar dan Umar. Dalam riwayat lain. Ibnu Abbas berkata kepadanya, Celaka engkau. Apakah mereka berdua (Abu Bakar dan Umar, pent), lebih engkau dahulukan ataukah yang tertulis dalam Kitab Allah dan disunahkan oleh Rasulullah bagi sahabat dan umatnya? Dalam riwayat lain, ia bertutur, Keithatannya mereka akan dibinasakan, aku katakan "Nabs berkata" sedang mereka berkata Abu Bakar dan Umar telah melarangnya"

(Diriwayatkan lshaq bin Rahawi (Rahwiyah), sebagaimana dalam kitah Al Muthallibul 'Aliyah. no. 1306; Ibnu Abi Syaibah, 4/103, dan dari jalurnya dikeluarkan oleh Thabrani; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih, 379 - 380; Ibnu Abdil Baar dalam Jami'ihi, no. 2378 dan 2381; dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Al Muthalib; dan dihasankan oleh Al Haitsami dalam Al Mujma', 3/234; juga oleh Ibnu Muih dalam Al Adab Asy Syar'iyyah, 2/66.)

Setelah membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas, Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan,"Dalam ucapan Ibnu Abbas terdapat isyarat yang mcnunjukkan, bahwa seseorang yang telah sampai padanya dalil, lalu tidak mengambilnya (tidak mengamalkannya) karena bertaklid kepada imamnya, maka orang itu wajib diingkari dengan keras karena sikapnya yang menyelisihi dalil.(Lihat pada Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, halaman 338.)

Beliau juga mengatakan,"Kemungkaran ini, (Yang beliau maksud dengan "kemungkaran", yaitu mengesampingkan dalil hanya dikarenakan taqlid kepada imam (madzab)nya, Pent.) telah merebak luas terutama dari mereka yang menisbatkan diri kepada ilmu. Mereka telah menancapkan jerat-jerat dalam menghalangi (manusia) dari mengambil Al Qur'an dan As Sunnah; menghalangi mereka dari mengikuti Rasulullah dan menjunjung tinggi perintah serta larangannya." Diantara ucapan mereka, "tidak boleh berdalil dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah, kecuali seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah terputus."Ada juga yang mengatakan, "orang yang aku taklidi (ikuti), lebih mengetahui daripada kamutentang hadits, nasikh dan mansukhnya" serta ucapan-ucapan serupa dengan tujuan akhirnya untuk meninggalkan ittiba' (mengikuti) Rasulullah, yang tidak pernah berbicara karena terdorong hawa nafsu, lalu (mereka) bersandar kepada ucapan orangorang yang bisa saja berbuat kesalahan.Ada juga diantara imam yang menyelisihi dan mencegah dari perkataan Rasulullah dengan berdalih"tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya hanyalah sebagian ilmu, dan tidak semua (dikuasainya)".Maka wajib bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syari'at), jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah dan telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan mengamalkannya,meskipun ada yang menyelisihinya, sebagaimana firman Allah, "Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu sekaltart dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Arnat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS Al A'raf: 3).

FirmanNyaDan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam (Al Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bugs orang-orang yang beriman. (QS Al Ankabut: 51). Dan di depan telah disampaikan perihal ijma' (kesepakatan) para ulama' atas masalah yang kami sampaikan ini, serta keterangan, bahwa mugallid (orang yang taklid) tidak termasuk orang-orang yang berilmu. Demikian pula Abu Umar bin Abdil Barr dan ulama' lainnya, telah menceritakan ijma' atas masalah in"i(Lihat Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 339- 340.)

Pengagungan kaum salaf terhadap Sunnah Rasulullah telah sampai pada tingkatan menghunuskan pedang kepada orang yang menolak hadits Rasulullah, sebagaimana dilakukan oleh Imam Sya'i. Beliau telah mengadu kepada Al Qadhi (pemimpin mahkamah syari'at) Abul Bakhturi perihal Bisyir Al Marisi.

(Bisyir bin Ghiyats Al Marisi, seorang ahli kalam yang keluar dari ketaqwaan dan sikap wara'. Dia berakidah Jahmiyah (golongan yang mengingkari dan mena'kan sifat-sifat Allah). Dia menyatakan, bahwa Al Qur'an adalah makhluk ciptaan Allah. Oleh sebab itu, dikarkan oleh sejumlah ulama', seperti: Qutaibah bin Sa'id dan yang lainnya, meninggal tahun 218 H. Lihat SiyarA'lamin Nubala', 10 / 199, (Pent).



Beliau berkata,"Aku berdialog dengan Al Marisi tentang mengundi,Hal ini mengacu kepada hadits Imran bin Husain, Bahwasanya seorang lelaki membebaskan enam budaknya ketika ia dihampiri kematian, ia tidak memiliki harta selain mereka, maka Rasulullah memanggil mereka dan membagi menjadi tiga bagian, lalu beliau mengundi diantara mereka, kemudian beliau memerdekakan dua orang dan yang empat tetap sebagai budak dan beliau mengeluarkan kata-kata yang keras terhadap orang. (HR Muslim, 1668).

dia berkata, "Wahai Abu Abdillah, Al Qur'an (mengundi) itu Judi," maka kudatangi Abul Bakhturi, lalu kukatakan kepadanya,"Aku mendengar Al Marisi berkata, mengundi itu Judi," Abul Bakhturi menjawab, "Wahai Abu Abdillah. ajukan seorang saksi lagi. Aku akan membunuhnya." Dalam riwayat lain di aberkata,"Ajukan seorang saksi lagi, niscaya akan kuangkatnya pada sebatang kayu, lalu kusalibnya"

(Diriwayatkan Al Khalal dalam As Sunnah, 1735; Al Khatib dalam Tarikh Al Baghdad, 7/60, dan sanadnya shahih. Orang yang mengambil suatu perkara atau mengerjakan suatu amalan tanpa mengetahui sumber dalilnya.)


Dikutip dari majalah As-Sunnah 08/VII/1421H hal 28 - 34.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.