Jika udhiyah itu wajib menurut syar’i atau sunnah sebagaimana pendapat jumhur, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:
Pertama: Muslim. Orang kafir tidak diwajibkan atau tidak disunnahkan untuk berqurban karena qurban adalah bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). Sedangkan orang kafir bukanlah ahlul qurbah.
Kedua: Orang yang bermukim. Musafir tidaklah wajib untuk berqurban. Syarat ini dikenakan bagi yang menyatakan bahwa berqurban itu wajib. Karena qurban tidak diambil dari seluruh harta atau dilakukan setiap saat, namun dilakukan dengan hewan tertentu dan waktu tertentu. Sedangkan musafir tidak berada di setiap tempat dan tidak berada pada pelaksanaan qurban. Seandainya kita mewajibkan pada musafir, maka ia harus membawa hewan qurbannya saat ia bersafar. Dan tentu ini adalah suatu kesulitan atau bisa jadi pula ia harus meninggalkan safar sehingga jadilah ada dampak jelek untuk dirinya.
Namun bagi yang tidak mengatakan wajib, tidak berlaku syarat ini. Karena kalau disyaratkan, maka itu jadi beban. Artinya, boleh saja qurban dilakukan oleh seorang musafir semisal ketika berhaji dia meninggalkan negerinya, namun pun ia ikut menunaikan udhiyah atau qurban. Bahkan ada dalil yang mendukung hal ini,
عَنْ
عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم -
دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ ، قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ
وَهْىَ تَبْكِى فَقَالَ « مَا لَكِ أَنَفِسْتِ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ «
إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ ، فَاقْضِى مَا
يَقْضِى الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ » . فَلَمَّا
كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا قَالُوا
ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَنْ أَزْوَاجِهِ
بِالْبَقَرِ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menemuinya dan ia dalam keadaan haid di Sarif sebelum ia
memasuki Makkah dan ia dalam keadaan menangis. Lalu beliau berkata pada
‘Aisyah, “Ada apa engkau, apakah engkau sedang haid?” ‘Aisyah menjawab,
“Iya.” Beliau bersabda, “Ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh
Allah pada wanita. Lakukanlah seperti yang dilakukan orang yang berhaji
selain melakukan thowaf di Baitul Haram.” Ketika kami sedang di Mina,
aku pernah diberi daging sapi. Lalu aku berkata, “Apa ini?” Mereka (para
sahabat) berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk istri-istrinya dengan sapi.”[2]Inilah dalil atau alasan Imam Syafi’i di mana beliau menyatakan bahwa hukum qurban itu sunnah bagi setiap orang, termasuk bagi yang sedang berhaji di Mina dan saat itu dalam keadaan bersafar.[3]
Begitu pula dalil lainnya,
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
فِى سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً
وَفِى الْبَعِيرِ عَشَرَةً
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Kami dahulu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam suatu safar. Lalu tiba Idul Adha, lantas kami berserikat tujuh
orang untuk qurban satu ekor sapi dan sepuluh orang untuk qurban satu
ekor unta.”[4]Jadi sah-sah saja berqurban bagi musafir.[5]
Ketiga: Kaya (berkecukupan). Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa qurban itu disunnahkan bagi yang mampu, yaitu yang memiliki harta untuk berqurban, lebih dari kebutuhannya di hari Idul Adha, malamnya dan selama tiga hari tasyriq juga malam-malamnya.
Keempat: Telah baligh (dewasa) dan berakal. [6]
Demikian syarat berqurban dari sisi orangnya. Moga bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 25 Syawal 1433 H
www.rumaysho.com
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 5: 79.
[2] HR. Bukhari no. 5548.
[3] Lihat Syarh Ibnu Battol, 11: 4, Asy Syamilah.
[4] HR. Tirmidzi no. 1501. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[5] Lihat Fiqhul Udhiyah, hal. 82-83 mengenai bahasan “Udhiyah bagi Musafir”.
[6] Dikembangkan dari Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 5: 79-80.
0 komentar:
Posting Komentar