Oleh Fadhl Ihsan
Mengapa
ahlu bid'ah dan orang-orang kafir menjuluki pengikut dakwah Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai 'Wahhabi'? Tak lain tujuan mereka
hanyalah untuk menjauhkan umat dari dakwah tauhid. Sejatinya, istilah
‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan
kaidah bahasa Arab.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
“Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa
Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena
sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya
yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil
‘Ushur, hal. 162)
Begitulah kalau seseorang telah dibutakan hawa
nafsunya, tidak peduli apakah yang dikatakannya itu benar atau salah.
Dan demi menipu umat mereka pun tak segan-segan membuat kedustaan yang
dituduhkan kepada beliau rahimahullah. Berikut ini adalah bantahan
terhadap tuduhan-tuduhan dusta yang sering dilontarkan para musuh dakwah
terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi An-Najdi
rahimahullah:
1. Tuduhan: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
adalah seorang yang mengaku sebagai Nabi (1), ingkar terhadap Hadits
nabi (2), merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan:
-
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat
mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan
adanya karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, baik Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi
Khairil ‘Ibad atau pun yang terkandung dalam kitab beliau Al-Ushul
Ats-Tsalatsah.
- Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam telah wafat –semoga shalawat dan salam-Nya selalu
tercurahkan kepada beliau–, namun agamanya tetap kekal. Dan inilah
agamanya; yang tidaklah ada kebaikan kecuali pasti beliau tunjukkan
kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan kecuali pasti beliau
peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu adalah tauhid dan
segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan segala
sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan
mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al-Ushul
Ats- Tsalatsah)
- Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat
terdahulu dan yang akan datang karena mengikuti para Rasul, maka
dapatlah diketahui bahwa orang yang paling berbahagia adalah yang paling
berilmu tentang ajaran para Rasul dan paling mengikutinya. Maka dari
itu, orang yang paling mengerti tentang sabda para Rasul dan
amalan-amalan mereka serta benar-benar mengikutinya, mereka itulah
sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan tempat. Dan
merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari umat ini
adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 2/21)
-
Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau
berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman dengan
syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama
yang bisa memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat.
Tidaklah mengingkari syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini
kecuali ahlul bid’ah lagi sesat.” (Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula
Al-Wahhabiyyah, hal. 118)
2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait.
Bantahan:
-
Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak
dimiliki oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan
loyalitas yang lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/446)
- Di
antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya
putra-putra beliau dengan nama-nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain,
Ibrahim dan Abdullah.
3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij,
karena telah memberontak terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Al-Imam Al-Lakhmi
telah berfatwa bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok
sesat Khawarij ‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mu’rib
Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz
11.
Bantahan:
- Adapun pernyataan bahwa Asy-Syaikh telah
memberontak terhadap Daulah Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena
Najd kala itu tidak termasuk wilayah teritorial kekuasaan Daulah
Utsmaniyyah (3). Demikian pula sejarah mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah
belum pernah melakukan upaya pemberontakan terhadap Daulah
‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang berulang kali diserang oleh pasukan
Dinasti Utsmani.
Lebih dari itu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab mengatakan –dalam kitabnya Al-Ushulus Sittah–: “Prinsip ketiga:
Sesungguhnya di antara (faktor penyebab) sempurnanya persatuan umat
adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin (pemerintah), walaupun
pemimpin tersebut seorang budak dari negeri Habasyah.”
Dari sini
nampak jelas, bahwa sikap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap
waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.
- Mengenai fatwa
Al-Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman
bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafatnya Al-Lakhmi adalah 478
H, sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206
H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yang telah
wafat, namun berfatwa tentang seseorang yang hidup berabad-abad
setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum, maka dia
meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi
tertuju kepadanya. Berikutnya, Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan
Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika
Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi, hubungan antara Najd dengan
Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini
semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yang diperingatkan
Al-Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan para pengikutnya (4).
- Lebih dari itu, sikap
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap kelompok Khawarij
sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk penduduk Qashim–:
“Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan antara Qadariyyah
dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara Murji`ah dan
Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta antara
Murji`ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan pertengahan
antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para shahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat Tash-hihu Khatha`in
Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan
tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.
4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah mereka. (5)
Bantahan:
-
Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani)
mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah
(kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad
Al-Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya
orang yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan
orang yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak
berhijrah ke tempat kami...?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini
merupakan kedustaan yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun
Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau menggunakan kitab-kitab empat madzhab besar dalam Islam. (6)
Bantahan:
-
Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam
suratnya kepada Abdurrahman As-Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa
aku –alhamdulillah– adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan
agama yang aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut
para ulama kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.”
(Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah, hal. 75)
-
Beliau juga berkata –dalam suratnya kepada Al-Imam Ash-Shan’ani–:
“Perhatikanlah –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu– apa yang
ada pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para shahabat
sepeninggal beliau dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
hingga hari kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari
kalangan ahli hadits dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i
dan Ahmad bin Hanbal –semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhai mereka–,
supaya engkau bisa mengikuti jalan/ajaran mereka.” (Ad-Durar
As-Saniyyah 1/136)
- Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan
memuliakan mereka meskipun terkadang (ulama tersebut) mengalami
kekeliruan, dengan tidak menjadikan mereka sekutu bagi Allah Subhanahu
wa Ta'ala, merupakan jalan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Adapun mencemooh perkataan mereka dan tidak
memuliakannya, maka ini merupakan jalan orang-orang yang dimurkai Allah
Subhanahu wa Ta'ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar-Rasa`il An-Najdiyyah,
1/11-12. Dinukil dari Al-Iqna’, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi
Al-Madkhali, hal.132-133)
6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar).
Bantahan:
-
Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang
sangat perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada
para pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah
(inkarul munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya
sebagian orang yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan
(teknis) dalam mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas
kebenaran. Yaitu mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga
menimbulkan perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang
yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu
tentang apa yang akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika
beramar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan
yang menimpanya.’ Maka kalian harus memahami hal ini dan
merealisasikannya. Sesungguhnya kelemahan akan selalu ada pada orang
yang mengerti agama, ketika tidak merealisasikannya atau tidak
memahaminya. Para ulama juga menyebutkan bahwasanya jika inkarul munkar
akan menyebabkan perpecahan, maka tidak boleh dilakukan. Aku
mewanti-wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah kusebutkan dan
memahaminya dengan sebaik-baiknya. Karena, jika kalian tidak
melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan merusak
citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang
membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.
176)
7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang
yang berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin
saja ilmunya dari setan! (7)
Jawaban:
- Pernyataan ini
menunjukkan butanya tentang biografi Asy-Syaikh, atau pura-pura buta
dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.
- Bila ditengok
sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al-Qur`an sebelum berusia 10
tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai imam
shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai banyak
ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah,
Bashrah, Ahsa`, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali
ke Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak, (8) di antaranya adalah:
Di Najd: Asy-Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman (9) dan Asy-Syaikh Ibrahim bin Sulaiman. (10)
Di Makkah: Asy-Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al-Bashri Al-Makki Asy-Syafi’i. (11)
Di
Madinah: Asy-Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif. (12) Asy-Syaikh
Muhammad Hayat bin Ibrahim As-Sindi Al-Madani, (13) Asy-Syaikh Isma’il
bin Muhammad Al-Ajluni Asy-Syafi’i, (14) Asy-Syaikh ‘Ali Afandi bin
Shadiq Al-Hanafi Ad-Daghistani, (15) Asy-Syaikh Abdul Karim Afandi,
Asy-Syaikh Muhammad Al Burhani, dan Asy-Syaikh ‘Utsman Ad-Diyarbakri.
Di Bashrah: Asy-Syaikh Muhammad Al-Majmu’i. (16)
Di Ahsa`: Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy-Syafi’i.
8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya menghancurkan kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka.
Jawaban:
-
Pernyataan bahwa Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak menghormati
para wali Allah Subhanahu wa Ta'ala, merupakan tuduhan dusta. Beliau
berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan
(meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali
Allah Subhanahu wa Ta'ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan
tidak berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu
kecuali oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.”(17)
- Adapun
penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam mereka, maka
beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para ulama
Makkah–. (18) Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena
kubah/bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban
dan bernadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sementara
Asy-Syaikh sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya
kekuatan (bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih
di ‘Uyainah ataupun di Dir’iyyah.
Hal ini pun telah difatwakan
oleh para ulama dari empat madzhab. Sebagaimana telah difatwakan oleh
sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti Ibnul Jummaizi, Azh-Zhahir
At-Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan yang ada di pekuburan
Al-Qarrafah Mesir. Al-Imam Asy-Syafi’i sendiri berkata: “Aku tidak
menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk, sampai pada
tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al-Imam An-Nawawi dalam
Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara mutlak segala
bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al-Imam Malik, maka beliau juga
mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd. Sedangkan
Al-Imam Az-Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al-Kanz mengatakan:
“Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al-Imam Ibnul
Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/bangunan yang
dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di atas
kemaksiatan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Lihat
Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan
Alusy-Syaikh, hal.284-286)
Para pembaca, demikianlah bantahan
ringkas terhadap beberapa tuduhan miring yang ditujukan kepada
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Untuk mengetahui bantahan atas
tuduhan-tuduhan miring lainnya, silahkan baca karya-karya tulis
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian buku-buku para ulama
lainnya seperti:
- Ad-Durar As-Saniyyah fil Ajwibah An-Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman bin Qasim An-Najdi.
- Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy-Syaikh Dahlan, karya Al-‘Allamah Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi.
-
Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan,
demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al-Khathib.
- Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi, karya Al-Ustadz Mas’ud An-Nadwi.
- ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr. Shalih bin Abdullah Al-’Ubud.
-
Da’watu Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal
Munshifin wal Mu`ayyidin, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu,
dsb.
Wallahu a’lam bish-shawab.
_______________
(1)
Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Abdullah Al-Haddad Baa ‘Alwi dalam
kitabnya Mishbahul Anam, hal. 5-6 dan Ahmad Zaini Dahlan dalam dua
kitabnya Ad-Durar As-Saniyyah Firraddi ‘alal Wahhabiyyah, hal. 46 dan
Khulashatul Kalam, hal. 228-261.
(2) Sebagaimana dalam Mishbahul Anam.
(3)
Sebagaimana yang diterangkan pada kajian utama edisi ini/Hubungan Najd
dengan Daulah Utsmaniyyah. (Silakan baca di sini:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=334)
(4)
Untuk lebih rincinya bacalah kitab Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula
Al-Wahhabiyyah, karya Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir.
(5) Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu ‘Abidin Asy-Syami dalam kitabnya Raddul Muhtar, 3/3009.
(6) Termaktub dalam risalah Sulaiman bin Suhaim.
(7) Tuduhan Sulaiman bin Muhammad bin Suhaim, Qadhi Manfuhah.
(8) Lihat ‘Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As-Salafiyyah, 1/143-171.
(9) Ayah beliau, dan seorang ulama Najd yang terpandang di masanya dan hakim di ‘Uyainah.
(10) Paman beliau, dan sebagai hakim negeri Usyaiqir.
(11) Hafizh negeri Hijaz di masanya.
(12)
Seorang faqih terpandang, murid para ulama Madinah sekaligus murid Abul
Mawahib (ulama besar negeri Syam). Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
mendapatkan ijazah dari guru beliau ini untuk meriwayatkan, mempelajari
dan mengajarkan Shahih Al-Bukhari dengan sanadnya sampai kepada Al-Imam
Al-Bukhari serta syarah-syarahnya, Shahih Muslim serta
syarah-syarahnya, Sunan At-Tirmidzi dengan sanadnya, Sunan Abi Dawud
dengan sanadnya, Sunan Ibnu Majah dengan sanadnya, Sunan An-Nasa‘i
Al-Kubra dengan sanadnya, Sunan Ad-Darimi dan semua karya tulis Al-Imam
Ad-Darimi dengan sanadnya, Silsilah Al-‘Arabiyyah dengan sanadnya dari
Abul Aswad dari ‘Ali bin Abi Thalib, semua buku Al-Imam An-Nawawi,
Alfiyah Al-’Iraqi, At-Targhib Wat Tarhib, Al-Khulashah karya Ibnu Malik,
Sirah Ibnu Hisyam dan seluruh karya tulis Ibnu Hisyam, semua karya
tulis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani, buku-buku Al-Qadhi ‘Iyadh,
buku-buku qira’at, kitab Al-Qamus dengan sanadnya, Musnad Al-Imam
Asy-Syafi’i, Muwaththa’ Al-Imam Malik, Musnad Al-Imam Ahmad, Mu’jam
Ath-Thabrani, buku-buku As-Suyuthi dsb.
(13) Ulama besar Madinah di masanya.
(14) Penulis kitab Kasyful Khafa‘ Wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara ‘Ala Alsinatin Nas.
(15)
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bertemu dengannya di kota Madinah
dan mendapatkan ijazah darinya seperti yang didapat dari Asy-Syaikh
Abdullah bin Ibrahim bin Saif.
(16) Ulama terkemuka daerah Majmu’ah, Bashrah.
(17) Lihat Tash-hihu Khatha`in Tarikhi Haula Al Wahhabiyyah, hal. 119
(18) Ibid, hal. 76.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=337
17 September 2012
Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar