Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa
berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa pondasi merupakan perkara
yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau
bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar
Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali mereka
adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.
Yang kita bicarakan bukanlah sekedar semangat tanpa ilmu ataupun
gerakan yang tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Namun yang sedang kita perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang
penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum
muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang
membangun segala aktifitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang
bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman
salafush shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang
terlontar dari lisan mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini
bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
Raja Yang Menguasai kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang
melandasi langkah-langkahnya dengan niat ikhlas dan mengikuti ajaran
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saudara-saudaraku sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan
kekuatan iman laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya
bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana
pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda Kahfi
yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut kita
teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami mengisahkan cerita mereka kepada kamu dengan benar,
sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb
mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. al-Kahfi [18] : 13).
Sebagaimana pula di hari kiamat nanti Allah akan memberikan
naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam aktifitas ibadah
kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kebangkitan para pemuda dari berbagai belahan dunia untuk membela
agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang
menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan
yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai pemandu
perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa
perhitungan yang matang, membabi buta dan serampangan. Maka muncullah
berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan,
gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka
menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki
dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi
yaitu para ulama.
Saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan
Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang
kita dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat,
perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat
dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa
menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama,
karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok
orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi
pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua,
kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat
taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun
yang dikehendaki-Nya.
Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang
yang kamu senangi akan tetapi Allah yang memberikan petunjuk kepada
siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).
Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya,
“Asas segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun
yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan
tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala
kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib
mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia
tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya
segala keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya
dan tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon
kepada-Nya agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan
juga mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam
melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal
Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya adalah
karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat bahwa
segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan pertolongan
dari-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).
Sesungguhnya perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu
umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya
persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana.
Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan Allah
menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan
ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan
manusia yang pernah hidup di jagad raya ini. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ
فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي
قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ
خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ
عَلَى دِينِهِ
“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba. Dan Allah dapati
hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka Allah pun memilihnya
untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya.
Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para
sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan
mereka sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk
membela agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, dihasankan al-Albani dalam Takhrij at-Thahawiyah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah
mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”
(HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa
baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah bukanlah karena harta,
pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah tidaklah melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki.
Akan tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu hanya baik dari sisi
lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah
bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga telah
menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa
mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan
dalam hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk
hatinya. Allah ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah,
maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. al-Hajj [22] : 32).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya
bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah adalah
perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah
adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud
mengagungkannya adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.”
(Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/310).
Nah, bagaimana mungkin akan kita katakan bahwa para sahabat yang
tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk untuk berkurban; mereka
pun rela menyumbangkan apa saja yang mereka punyai demi dakwah Islam,
bahkan di antara mereka ada yang rela menyerahkan tubuhnya sendiri untuk
menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
anak panah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran, apakah akan kita
katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang berperilaku laksana
musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali menjadi kafir
sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda dengan wahyu
yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para
sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada
salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung
Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak
tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim).
Apakah yang membedakan tubuh kita dengan tubuh para sahabat? Mereka
punya kaki, tangan dan indera sebagaimana yang kita miliki. Mereka
mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun mengeluarkannya. Mereka
mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti mereka. Mereka
makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum. Namun,
ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita
tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat.
Mereka memiliki keimanan laksana gunung. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya
iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman segenap penduduk
bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat daripada
timbangan iman mereka.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa
di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan
yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para
sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah
manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik, dan ilmu
mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu
kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah akhlak dan
jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, dilemahkan al-Albani dalam Takhrij al-Misykat).
Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya
kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan
kalian sangat sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal
bagi kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami
menganggapnya termasuk perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari).
Lihatlah para sahabat dengan segenap kemuliaan yang mereka sandang -di
antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan seribu
empat ratus lebih orang yang dijamin masuk surga- ternyata hati mereka
sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu dengan
tiga puluh orang sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.”
Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan
mudah mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan
sebagian kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan
enteng meninggalkan perkara sunnah, yang dengan santai menyia-nyiakan
kesempatan untuk meraih perkara yang lebih utama. Aduhai, betapa jauhnya
derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit dengan bumi!
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat.
Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh
bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat
hati-hati bergetar dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu Dawud
dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati
yang bergetar ketika disebutkan tentang kebesaran Allah dan
ayat-ayat-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama
Allah hati mereka bergetar (takut), dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya maka iman mereka bertambah. Dan mereka hanya bertawakal
kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal [8] : 2).
Para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam meraih
kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala kemampuan yang ada untuk
bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa
kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan
uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun polularitas. Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. al-Hujurat [49] : 13). Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…” (HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…” (HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa memasukkan
saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…” (HR.
Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin
beramal sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan,
“Orang-orang kaya pergi dengan membawa pahala-pahala mereka.
Padahal mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa
sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan kelebihan
harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!
Para sahabat adalah orang-orang yang menunjung tinggi sabda-sabda dan
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir
saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku katakan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, namun kalian
justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar berkata lain!” (HR.
Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian orang pada masa
belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada lagi yang
berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang keabsahannya-
sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga mereka
mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan. Ada pula orang-orang yang
tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah
dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum
muslimin, kekhilafahan, daulah, dan ketenteraman seperti apakah yang
kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan dengan kerancuan
pemikiran dan penyimpangan manhaj semacam ini?!
Para sahabat adalah orang-orang yang mengimani nama-nama dan
sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak, tanpa
menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya
tentang makna istiwa’ Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti
maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang
caranya adalah bid’ah.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah).
Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di
sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan keberhasilan yang digapai oleh
para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya pedang mereka, keberanian
mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan
erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih
terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta
Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah
bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka
baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh
anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota badan.
Maka sekarang kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing : Di
tengah derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak,
perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di
negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah
Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku
aqidah yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid dan
lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian dia gunakan
untuk menyadarkan hati-hati kaum muslimin dari tidur panjang mereka,
membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam
yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
pemahaman para sahabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini
(al-Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya
karenanya.” (HR. Muslim).
Apakah sekarang -di negeri ini- kita bisa memimpikan berdirinya
sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam
segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja banyak sekali
di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai dengan
syari’at -terlebih khusus kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa
mengangankan tegaknya daulah Islam apabila ternyata di tengah-tengah
kita pornografi, kesyirikan, kebid’ahan, perbuatan keji dan kemaksiatan
dikerjakan dengan terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita
bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan
Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan, padahal
di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan
bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan sarana? Apakah kita
sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan kehidupan yang
tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam dan
mengobrak-abrik pondasi-pondasi agama berkeliaran dan mengumbar
racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh
mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat : Mereka bela mati-matian
aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan
ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka
mengatakan kepada kita : Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah
Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong
munafikin)!
Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir
ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak
tersadar bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah
kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah
selayaknya mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi
pertiwi ini dari sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan
aliran-aliran sesat lagi menyimpang. Adakah seorang muslim yang
mengatakan bahwa orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah
sebagai orang yang berakhlak? Di manakah letak kemuliaan akhlak pada
diri orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syari’at
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di manakah letak
sikap rendah hati pada diri orang yang mengatakan bahwa keyakinan bahwa
Islam sudah sempurna merupakan salah satu bentuk kemalasan berpikir?
—
Penulis: Ari Wahyudi
15 November 2012
Aqidah Kuat, Bangsa Hebat
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar