Al-Ustadz Abu Muawiah
“Dikit-dikit
bid’ah, dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!”
“kalau memang maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga
bid’ah.” Kira-kira kalimat seperti inilah yang akan terlontar dari mulut
sebagian kaum muslimin ketika mereka diingatkan bahwa perbuatan yang
mereka lakukan adalah bid’ah yang telah dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya. Semua ucapan ini dan yang senada dengannya lahir, mungkin
karena hawa nafsu mereka dan mungkin juga karena kejahilan mereka
tentang definisi bid’ah, batasannya dan nasib jelek yang akan menimpa
pelakunya.
Karenanya berikut uraian tentang difinisi bid’ah dan bahayanya dari
hadits Aisyah yang masyhur, semoga bisa meluruskan pemahaman kaum
muslimin tentang bid’ah sehingga mereka mau meninggalkannya di atas
ilmu, Allahumma amin.
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
وَفِي رِوَايَةٍ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”.
Dalam satu riwayat, “Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.
Takhrij Hadits:
Hadits ini dengan kedua lafadznya berasal dari hadits shahabiyah dan
istri Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ‘A`isyah
radhiallahu Ta’ala ‘anha.
Adapun lafadz pertama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari
(2/959/2550-Dar Ibnu Katsir) dan Imam Muslim (3/1343/1718-Dar Ihya`ut
Turots).
Dan lafadz kedua diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari secara mu’allaq (2/753/2035) dan (6/2675/6918) dan Imam Muslim (3/1343/1718).
Dan juga hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnadnya
(4594) dan Abu ‘Awanah (4/18) dengan sanad yang shohih dengan lafadz, “Siapa
saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang
tidak ada di dalamnya (urusan kami) maka dia tertolak”.
Kosa Kata Hadits:
1. “Dalam urusan kami”, maksudnya dalam agama kami, sebagaimana dalam firman Allah –Ta’ala-, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi urusannya (Nabi) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.”. (QS. An-Nur: 63)
2. “Tertolak”, (Arab: roddun) yakni tertolak dan tidak teranggap.
[Lihat Bahjatun Nazhirin hal. 254 dan Syarhul Arba’in karya Syaikh Sholih Alu Asy-Syaikh]
Komentar Para Ulama :
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Pondasi Islam dibangun di atas 3
hadits: Hadits “setiap amalan tergantung dengan niat”, hadits ‘A`isyah
“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa
yang bukan darinya maka dia tertolak” dan hadits An-Nu’man “Yang halal
itu jelas dan yang haram itu jelas””.
Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata, “Ada empat hadits
yang merupakan pondasi agama: Hadits ‘Umar “Sesungguhnya setiap amalan
hanyalah dengan niatnya”, hadits “Yang halal itu jelas dan yang haram
itu jelas”, hadits “Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara
kalian dikumpulkan dalam perut ibunya selam 40 hari” dan hadits
“Barangsiapa yang berbuat dalam urusan kami apa-apa yang bukan darinya
maka hal itu tertolak”.
Dan Abu ‘Ubaid rahimahullah berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam mengumpulkan seluruh urusan akhirat dalam satu ucapan (yaitu)
“Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa
yang bukan darinya maka dia tertolak”.
[Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarh hadits pertama]
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, “Hadits
ini adalah asas yang sangat agung dari asas-asas Islam, sebagaimana
hadits “Setiap amalan hanyalah dengan niatnya” adalah parameter amalan
secara batin maka demikian pula dia (hadits ini) adalah parameternya
secara zhohir. Maka jika setiap amalan yang tidak diharapkan dengannya
wajah Allah –Ta’ala-, tidak ada pahala bagi pelakunya, maka demikian
pula setiap amalan yang tidak berada di atas perintah Allah dan RasulNya
maka amalannya tertolak atas pelakunya. Dan setiap perkara yang
dimunculkan dalam agama yang tidak pernah diizinkan oleh Allah dan
RasulNya, maka dia bukan termasuk dari agama sama sekali”.
Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata dalam Bahjatun Nazhirin, “Hadits
ini termasuk hadits-hadits yang Islam berputar di atasnya, maka wajib
untuk menghafal dan menyebarkannya, karena dia adalah kaidah yang agung
dalam membatalkan semua perkara baru dan bid’ah (dalam agama)”.
Dan beliau juga berkata, “… maka hadits ini adalah asal dalam membatalkan pembagian bid’ah menjadi sayyi`ah (buruk) dan hasanah (terpuji)”.
Dan Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhohullah berkata dalam Syarhul Arba’in, “Hadits
ini adalah hadits yang sangat agung dan diagungkan oleh para ulama, dan
mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah asal untuk membantah semua
perkara baru, bid’ah dan aturan yang menyelisihi syari’at”.
Dan beliau juga berkata dalam mensyarh kitab Fadhlul Islam karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, “Hadits
ini dengan kedua lafadznya merupakan hujjah dan pokok yang sangat agung
dalam membantah seluruh bid’ah dengan berbagai jenisnya, dan
masing-masing dari dua lafadz ini adalah hujjah pada babnya
masing-masing, yaitu:
a. Lafadz yang pertama (ancamannya) mencakup orang yang pertama kali
mencetuskan bid’ah tersebut walaupun dia sendiri tidak beramal
dengannya.
b. Adapun lafadz kedua (ancamannya) mencakup semua orang yang
mengamalkan bid’ah tersebut walaupun bukan dia pencetus bid’ah itu
pertama kali”. Selesai dengan beberapa perubahan.
Syarh :
Setelah membaca komentar para ulama berkenaan dengan hadits ini, maka
kita bisa mengatahui bahwa hadits ini dengan seluruh lafazhya merupakan
ancaman bagi setiap pelaku bid’ah serta menunjukkan bahwa setiap bid’ah
adalah tertolak dan tercela, tidak ada yang merupakan kebaikan. Dua
pont inilah yang –insya Allah- kita akan bahas panjang lebar, akan
tetapi sebelumnya kita perlu mengetahui definisi dari bid’ah itu sendiri
agar permasalahan menjadi tambah jelas. Maka kami katakan:
A. Definisi Bid’ah.
Bid’ah secara bahasa artinya memunculkan sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya, sebagaimana dalam firman Allah -Subhanahu wa Ta’ala-:
بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah membuat bid’ah terhadap langit dan bumi”.(QS. Al-Baqarah: 117 dan Al-An’am: 101)
Yakni Allah menciptakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya yang mendahului. Dan Allah -‘Azza wa Jalla- berfirman :
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: “Aku bukanlah bid’ah dari para Rasul”. (QS. Al-Ahqaf: 9)
Yakni : Saya bukanlah orang pertama yang datang dengan membawa
risalah dari Allah kepada para hamba, akan tetapi telah mendahului saya
banyak dari para Rasul. Lihat: Lisanul ‘Arab (9/351-352)
Adapun secara istilah syari’at –dan definisi inilah yang dimaksudkan
dalam nash-nash syari’at- bid’ah adalah sebagaimana yang didefinisikan
oleh Al-Imam Asy-Syathiby dalam kitab Al-I’tishom (1/50):
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي
الشَّرْعِيَّةَ وَيُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي
التَّعَبُّدِ اللهَ سُبْحَانَهُ
“Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua jalan/cara dalam agama
yang diada-adakan, menyerupai syari’at dan dimaksudkan dalam
pelaksanaannya untuk berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”.
Penjelasan Definisi.
Setelah Imam Asy-Syathiby rahimahullah menyebutkan definisi di atas,
beliau kemudian mengurai dan menjelaskan maksud dari definisi tersebut,
yang kesimpulannya sebagai berikut:
1. Perkataan beliau “jalan/cara dalam agama”. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘A`isyah)
Dan urusan Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
tentunya adalah urusan agama karena pada urusan dunia beliau telah
mengembalikannya kepada masing-masing orang, dalam sabdanya:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”. (HSR. Bukhory)
Maka bid’ah adalah memunculkan perkara baru dalam agama dan tidak
termasuk dari bid’ah apa-apa yang dimunculkan berupa perkara baru yang
tidak diinginkannya dengannya masalah agama akan tetapi dimaksudkan
dengannya untuk mewujudkan maslahat keduniaan, seperti pembangunan
gedung-gedung, pembuatan alat-alat modern, berbagai jenis kendaraan dan
berbagai macam bentuk pekerjaan yang semua hal ini tidak pernah ada
zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka semua
perkara ini bukanlah bid’ah dalam tinjauan syari’at walaupun dianggap
bid’ah dari sisi bahasa. Adapun hukum bid’ah dalam perkara kedunian
(secara bahasa) maka tidak termasuk dalam larangan berbuat bid’ah dalam
hadits di atas, oleh karena itulah para Shahabat radhiallahu ‘anhum
mereka berluas-luasan dalam perkara dunia sesuai dengan maslahat yang
dibutuhkan.
2. Perkatan beliau “yang diada-adakan”, yaitu sesungguhnya bid’ah
adalah amalan yang tidak mempunyai landasan dalam syari’at yang
menunjukkan atasnya sama sekali. Adapun amalan-amalan yang ditunjukkan
oleh kaidah-kaidah syari’at secara umum –walaupun tidak ada dalil
tentang amalan itu secara khusus- maka bukanlah bid’ah dalam agama.
Misalnya alat-alat tempur modern yang dimaksudkan sebagai persiapan
memerangi orang-orang kafir , demikian pula ilmu-ilmu wasilah dalam
agama ; seperti ilmu bahasa Arab (Nahwu Shorf dan selainnya) , ilmu
tajwid , ilmu mustholahul hadits dan selainnya, demikian pula dengan
pengumpulan mushaf di zaman Abu Bakar dan ‘Utsman radhiallahu ‘anhuma .
Maka semua perkara ini bukanlah bid’ah karena semuanya masuk ke dalam
kaidah-kaidah syari’at secara umum.
3. Perkataan beliau “menyerupai syari’at”, yaitu bahwa
bid’ah itu menyerupai cara-cara syari’at padahal hakikatnya tidak
demikian, bahkan bid’ah bertolak belakang dengan syari’at dari beberapa
sisi:
a. Meletakkan batasan-batasan tanpa dalil, seperti orang yang
bernadzar untuk berpuasa dalam keadaan berdiri dan tidak akan duduk atau
membatasi diri dengan hanya memakan makanan atau memakai pakaian
tertentu.
b. Komitmen dengan kaifiat-kaifiat atau metode-metode tertentu yang
tidak ada dalam agama, seperti berdzikir secara berjama’ah, menjadikan
hari lahir Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai hari
raya dan yang semisalnya.
c. Komitmen dengan ibadah-ibadah tertentu pada waktu-waktu tertentu
yang penentuan hal tersebut tidak ada di dalam syari’at, seperti
komitmen untuk berpuasa pada pertengahan bulan Sya’ban dan sholat di
malam harinya.
4. Perkataan beliau “dimaksudkan dalam pelaksanaannya untuk
berlebih-lebihan dalam menyembah Allah Subhanah”. Ini merupakan
kesempurnaan dari definisi bid’ah, karena inilah maksud diadakannya
bid’ah. Hal itu karena asal masuknya seseorang ke dalam bid’ah adalah
adanya dorongan untuk konsentrasi dalam ibadah dan adanya targhib
(motivasi berupa pahala) terhadapnya karena Allah -Ta’ala- berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Maka seakan-akan mubtadi’ (pelaku bid’ah) ini menganggap bahwa inilah
maksud yang diinginkan (dengan bid’ahnya) dan tidak belum jelas baginya
bahwa apa yang diletakkan oleh pembuat syari’at (Allah dan RasulNya)
dalam perkara ini berupa aturan-atiran dan batasan-batasan sudah
mencukupi.
B. Dalil-Dalil Akan Tercelanya Bid’ah Serta Akibat Buruk yang Akan Didapatkan Oleh Pelakunya.
1. Bid’ah merupakan sebab perpecahan.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا
تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya. Itulah yang Dia diwasiatkan kepada kalian agar kalian
bertakwa”. (QS. Al-An’am: 153)
Berkata Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan makna “jalan-jalan” : “Bid’ah-bid’ah dan syahwat”. (Riwayat Ad-Darimy no. 203)
2. Bid’ah adalah kesesatan dan mengantarkan pelakunya ke dalam Jahannam.
Allah -’Azza wa Jalla- berfirman:
وَعَلَى اللَّهِ قَصْدُ السَّبِيلِ وَمِنْهَا جَائِرٌ وَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan di antara
jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia
memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).”. (QS. An-Nahl: 9)
Berkata At-Tastury : “’Qosdhus sabil’ adalah jalan sunnah ‘di
antaranya ada yang bengkok’ yakni bengkok ke Neraka yaitu agama-agama
yang batil dan bid’ah-bid’ah”.
Maka bid’ah mengantarkan para pelakunya ke dalan Neraka, sebagaimana
yang disabdakan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
dalam khutbatul hajah:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ
وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَفِي رِوَايَةٍ : وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَفِي رِوَايَةِ النَّسَائِيِّ : وَشَرُّ الْأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab
Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan
sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah
kesesatan”. (HSR. Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhuma)
Dalam satu riwayat, “Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah”.
Dan dalam riwayat An-Nasa`iy, “Sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap
bid’ah adalah kesesatan dan semua kesesatan berada dalam Neraka”.
Dan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah secara marfu’:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena
setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`iy)
3. Bid’ah itu tertolak atas pelakunya siapapun orangnya.
Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali ‘Imran: 85)
Dan bid’ah sama sekali bukan bahagian dari Islam sedikitpun juga,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits yang sedang kita bahas
sekarang.
4. Allah melaknat para pelaku bid’ah dan orang yang melindungi/menolong pelaku bid’ah.
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menegaskan:
فَمَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ
لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ لَا يُقْبَلُ
مِنْهُ عَدْلٌ وَلَا صَرْفٌ
“Barangsiapa yang memunculkan/mengamalkan bid’ah atau melindungi
pelaku bid’ah, maka atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh
manusia, tidak akan diterima dari tebusan dan tidak pula pemalingan”. (HSR. Bukhary-Muslim dari ‘Ali dan HSR. Muslim dari Anas bin Malik)
5. Para pelaku bid’ah jarang diberikan taufiq untuk bertaubat –nas`alullaha as-salamata wal ‘afiyah-.
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ احْتَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَهَا
“Sesungguhnya Allah mengahalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya”. (HR. Ath-Thobarony dan Ibnu Abi ‘Ashim dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 1620)
Berkata Syaikh Bin Baz ketika ditanya tentang makna hadits di sela-sela pelajaran beliau mensyarah kitab Fadhlul Islam, “…Maknanya
adalah bahwa dia (pelaku bid’ah ini) menganggap baik bid’ahnya dan
menganggap dirinya di atas kebenaran, oleh karena itulah kebanyakannya
dia mati di atas bid’ah tersebut –wal’iyadzu billah-, karena dia
menganggap dirinya benar. Berbeda halnya dengan pelaku maksiat yang dia
mengetahui bahwa dirinya salah, lalu dia bertaubat, maka kadang Allah
menerima taubatnya”.
6. Para pelaku bid’ah akan menanggung dosanya dan dosa setiap orang
yang dia telah sesatkan sampai hari Kiamat –wal’iyadzu billah-.
Allah-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ
مَا يَزِرُونَ
“(ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan
sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebahagian dosa-dosa orang yang
mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka
disesatkan). Ingatlah, amat buruklah dosa yang mereka pikul itu”. (QS. An-Nahl: 25)
Dan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ
مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka atasnya
dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dari
dosa mereka sedikitpun”. (HSR. Muslim dari Abu Hurairah)
7. Setiap pelaku bid’ah akan diusir dari telaga Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ وَلَيُرْفَعَنَّ مَعِي
رِجَالٌ مِنْكُمْ ثُمَّ لَيُخْتَلَجُنَّ دُونِي فَأَقُولُ يَا رَبِّ
أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Saya menunggu kalian di telagaku, akan didatangkan sekelompok
orang dari kalian kemudian mereka akan diusir dariku, maka sayapun
berkata : “Wahai Tuhanku, (mereka adalah) para shahabatku”, maka
dikatakan kepadaku : “Engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan
setelah kematianmu”. (HSR. Bukhary-Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu)
8. Para pelaku bid’ah menuduh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan agama karena
ternyata masih ada kebaikan yang belum beliau tuntunkan.
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata -sebagaimana dalam kitab
Al-I’tishom (1/64-65) karya Imam Asy-Syathiby rahimahullah-, “Siapa saja
yang membuat satu bid’ah dalam Islam yang dia menganggapnya sebagai
suatu kebaikan maka sungguh dia telah menyangka bahwa Muhammad
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengkhianati risalah,
karena Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan
telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu menjadi agama bagi kalian”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Maka perkara apa saja yang pada hari itu bukan agama maka pada hari inipun bukan agama”.
9. Dalam bid’ah ada penentangan kepada Al-Qur`an.
Al-Imam Asy-Syaukany rahimahullah berkata dalam kitab Al-Qaulul Mufid
fii Adillatil Ijtihad wat Taqlid (hal. 38) setelah menyebutkan ayat
dalam surah Al-Ma`idah di atas, “Maka bila Allah telah
menyempurnakan agamanya sebelum Dia mewafatkan NabiNya, maka apakah
(artinya) pendapat-pendapat ini yang di munculkan oleh para pemikirnya
setelah Allah menyempurnakan agamanya?!. Jika pendapat-pendapat (bid’ah
ini) bahagian dari agama –menurut keyakinan mereka- maka berarti Allah
belum menyempurnakan agamanya kecuali dengan pendapat-pendapat mereka,
dan jika pendapat-pendapat ini bukan bahagian dari agama maka apakah
faidah dari menyibukkan diri pada suatu perkara yang bukan bahagaian
dari agama ?!”.
10. Para pelaku bid’ah akan mendapatkan kehinaan dan kemurkaan dari Allah Ta’ala di dunia.
Allah –’Azza wa Jalla- menegaskan:
إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ
مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَكَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُفْتَرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai
sembahannya), kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan
kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang membuat-buat kedustaan”. (QS. Al-A’raf: 152)
Ayat ini umum, mencakup mereka para penyembah anak sapi dan yang
menyerupai mereka dari kalangan ahli bid’ah, karena bid’ah itu
seluruhnya adalah kedustaan atas nama Allah Ta’ala, sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-Imam Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah.
{Lihat : Mauqif Ahlis Sunnah (1/89-92), Al-I’tishom (1/50-53 dan 61-119) dan Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (25-35)}
SUMBER : http://al-atsariyyah.com/?p=272
* * *
TIDAK ADA BID”AH HASANAH
Al-Ustadz Abu MuawiahPendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah (yang baik) dalam Islam termasuk fitnah dan musibah terbesar dari berbagai macam fitnah dan musibah yang menimpa ummat ini. Bagaimana tidak, perkataan ini pada akhirnya akan menghalalkan semua bentuk bid’ah dalam agama yang pada gilirannya akan merubah syari’at-syari’at agama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dibakukan tatkala Dia mewafatkan NabiNya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang lebih celaka lagi, fitnah ini telah memakan banyak korban tanpa pandang bulu, mulai dari orang awwam yang tidak paham tentang agama sampai seorang yang dianggap tokoh agama yang telah meraih berbagai macam gelar –baik yang resmi maupun yang tidak- dalam ilmu agama Islam, semuanya berpendapat akan adanya bid’ah yang baik dalam Islam. Maka betapa buruknya nasib umat ini bila orang-orang yang membimbing mereka, yang mereka anggap tokoh agama berpendapat dengan pendapat ‘aneh’ seperti ini, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
A. Dalil-Dalil Tentang Buruk dan Tercelanya Semua Bentuk Bid’ah Tanpa Terkecuali.
Berikut beberapa dalil sam’iy (Al-Kitab dan AS-Sunnah) dan dalil akal yang menunjukkan akan jelek, tercela dan tertolaknya semua bentuk bid’ah :
1. Hadits Jabir riwayat Muslim :
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.
2. Hadits ‘Irbadh bin Sariyah :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i)
Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : “Maka sabda beliau “semua bid’ah adalah kesesatan”, termasuk dari jawami’ul kalim yang tidak ada sesuatupun (bid’ah) yang terkecualikan darinya, dan hadits ini merupakan pokok yang sangat agung dalam agama”.
Dan berkata Al-Imam Asy-Syathiby rahimahullah dalam Al-I’tishom (1/187), “Sesungguhnya dalil-dalil –bersamaan dengan banyaknya jumlahnya- datang secara mutlak dan umum, tidak ada sedikitpun perkecualian padanya selama-lamanya, dan tidaklah datang dalam dalil-dalil tersebut satu lafadzpun yang mengharuskan adanya di antara bid’ah-bid’ah itu yang merupakan petunjuk (hasanah), dan tidak ada dalam dalil-dalil tersebut penyebutan “semua bid’ah adalah kesesatan kecuali bid’ah ini, bid’ah ini, …”, dan tidak ada sedikitpun dari dalil-dalil tersebut yang menunjukan akan makna-makna ini (pengecualian)”.
3. Hadits ‘A`isyah radhiallahu ‘anha:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Author (2/69) : “Hadits ini termasuk dari kaidah-kaidah agama karena masuk didalamnya hukum-hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas dan betapa menunjukkan akan batilnya pendapat sebagian fuqoha` (para ahli fiqhi) yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebagian bentuknya tanpa ada dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak pula dalil akal”.
4. Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan Shahabat, tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik akan tercela dan jeleknya semua bid’ah serta wajibnya memperingatkan kaum muslimin darinya dan dari para pelakunya.
B. Penyebutan Syubhat-Syubhat Orang Yang Berpendapat Akan Adanya Bid’ah Hasanah Dalam Islam Beserta Bantahannya.
Di sini saya akan menyebutkan tujuh syubhat terbesar yang biasa di gembar-gemborkan oleh orang-orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah dalam Islam, yang hakikat dari semua syubhat mereka adalah lebih lemah dari sarang laba-laba karena syubhat-syubhat ini tidak lepas dari dua keadaan: Apakah dalilnya shohih tapi salah memahami ataukah sekedar perkataan para ulama yang telah diketahui bersama bahwa perkataan mereka bukanlah hujjah ketika menyelisihi dalil. Berikut penyebutan syubhat-syubhat mereka :
1. Surah Al-Hadid ayat 27 :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”.
Bantahan :
FirmanNya “tetapi untuk mencari keridhaan Allah” ada dua kemungkinan :
1. Bila kembalinya kepada firmanNya “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah”, maka ini berarti celaan buat mereka karena mereka berbuat bid’ah dan memunculkan suatu peribadatan yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka, kemudian bersamaan dengan itu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.
2. Bila kembalinya kepada firmanNya “padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka”, maka menunjukkan bahwa mereka memunculkan suatu peribadatan baru yang disetujui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka. Akan tetapi ayat ini bercerita tentang syari’at umat sebelum kita (Nashara) dan syari’at umat sebelum kita –menurut pendapat yang paling kuat- bukanlah menjadi syari’at kita jika bertentangan dengan dalil yang datang dalam syari’at kita. Dan telah berlalu dalil-dalil yang sangat banyak akan larangan dan ancaman berbuat bid’ah dalam agama kita dan bahwa semua bentuk bid’ah adalah tertolak.
2. Hadits Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dari hadits di atas mereka mengeluarkan pendalilan, kalau begitu bid’ah –sebagaimana sunnah- juga terbagi menjadi dua ; ada yang baik dan ada yang jelek.
Bantahan:
1. Sesungguhnya makna sabda beliau “Barangsiapa yang membuat sunnah” adalah “barangsiapa yang mengamalkan sunnah” bukan maknanya “barangsiapa yang membuat syari’at (sunnah) yang baru”, hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh sababul wurud (sebab terucapkannya) hadits ini dalam riwayat Muslim (no. 1017), yang ringkasnya : Bahwa sekelompok orang dari Bani Mudhor datang ke Medinah dan nampak dari kondisi mereka kemiskinan dan kesusahan, lalu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan motovasi kepada para shahabat untuk bersedekah. Maka datanglah seorang lelaki dari Al-Anshor dengan membawa makanan yang hampir-hampir tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, setelah itu beruntunlah para shahabat yang lain mengikutinya juga untuk memberikan sedekah lalu beliaupun mengucapkan hadits di atas.
Maka dari kisah ini jelas menunjukkan bahwa yang diinginkan dalam hadits adalah “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tsabit dari sunnah Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam …”, karena sedekah bukanlah perkara bid’ah akan tetapi sunnah dari sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
2. Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mensifati “sunnah” dalam hadits ini dengan “yang baik” dan “yang jelek”, dan sifat seperti ini (baik dan jelek) tidak mungkin diketahui kecuali dari sisi syari’at. Maka hal ini mengharuskan bahwa kata “sunnah” dalam hadits maksudnya adalah amalan yang punya asal dari sisi syari’at, apakah baik ataupun buruk, sedangkan bid’ah adalah amalan yang sama sekali tidak memiliki asal dalam syari’at.
3. Tidak dinukil dari seorangpun dari kalangan para ulama Salaf yang menafsirkan sunnah yang hasanah dalam hadits ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh manusia.
3. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –menurut sangkaan mereka- bersabda :
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
“Maka perkara apa saja yang kaum muslimin menganggapnya baik maka itu juga baik di sisi Allah dan perkara apa saja yang mereka anggap jelek maka itu jelek di sisi Allah”.
Mereka mengatakan : “Maka bila suatu bid’ah dianggap baik oleh kaum muslimin di zaman ini maka berarti bid’ah itu baik juga di sisi Allah”.
Bantahan:
1. Hadits ini tidak shohih secara marfu’ dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, akan tetapi yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Berikut perkataan sebagian ulama tentang hal ini :
· Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Al-Farusiah (hal. 167) : “Sesungguhnya atsar ini bukan dari sabda Rasullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak ada seorangpun yang menjadikan perkataan ini sebagai sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits, yang benarnya perkataan ini hanya tsabit dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
· Berkata Ibnu ‘Abdil Hadi sebagaimana dalam Kasyful Khofa` (2/245) : “Diriwayatkan secara marfu’ dari hadits Anas dengan sanad yang saqit (jatuh/sangat lemah) dan yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
2. Yang diinginkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau “kaum muslimin” dalam hadits ini adalah mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum, karena “Al” dalam kata “al-muslimun” hadits ini bermakna lil ‘ahd adz-dzihni (yang langsung terpahami oleh fikiran ketika membaca hadits ini), sehingga makna haditsnya adalah “Perkara apa saja yang kaum muslimin yang ada di zaman itu …”. Hal ini ditunjukkan oleh potongan awal hadits ini :
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ
“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hambaNya dan Dia mendapati hati Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah sebaik-baik di antara hati-hati para hamba maka Diapun memilihnya untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat lagi ke hati para hamba setelah hati Muhammad dan Dia mendapati hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba maka Diapun menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya yang mereka itu berperang dalam agamaNya. Maka apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah dan apa-apa yang jelek menurut kaum muslimin maka hal itu jelek di sisi Allah”.
Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin yang diinginkan di akhir hadits adalah mereka yang disebutkan di awal hadits.
3. Bagaimana bisa mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini untuk menganggap suatu bid’ah, padahal beliau radhiallahu ‘anhu adalah termasuk dari para shahabat yang paling keras melarang dan mentahdzir dari semua bentuk bid’ah?!, dan telah berlalu sebagian dari perkataan beliau radhiallahu ‘anhu.
4. Kalau hadits ini diterima dan maknanya seperti apa yang hawa nafsu kalian inginkan, maka ini akan membuka pintu yang sangat berbahaya untuk berubahnya agama. Karena setiap pelaku bid’ah akan bersegera membuat bid’ah yang bentuknya disukai dan sesuai dengan selera manusia, dan ketika dilarang diapun berdalilkan dengan hadits di atas, Wallahul musta’an.
4. Dalil mereka selanjutnya adalah perkataan ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu yang masyhur tentang sholat Tarwih secara berjama’ah di malam bulan Ramadhan :
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. (HR. Al-Bukhari)
Mereka berkata : “Kalau begitu ada bid’ah yang baik dalam Islam”.
Bantahan:
1. Perbuatan ‘Umar radhiallahu ‘anhu dengan cara mengumpulkan manusia untuk melaksanakan Tarwih dengan dipimpin oleh imam bukanlah bid’ah, akan tetapi sebagai bentuk menampakkan dan menghidupkan sunnah. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah melaksanakan Tarwih ini dengan mengimami manusia pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, tapi tatkala banyak manusia yang ikut sholat di belakang beliau, beliaupun meninggalkan pelaksanaannya karena takut turun wahyu yang mewajibkan sholat Tarwih sehingga akan menyusahkan umatnya sebagaimana yang disebutkan kisahnya oleh Imam Al-Buhkari dalam Shohihnya (no. 1129). Maka tatkala Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan hilang kemungkinan sholat Tarwih menjadi wajib dengan terputusnya wahyu sehingga sholat Tarwih ini tetap pada hukum asalnya yaitu sunnah, maka ‘Umar radhiallahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk melaksanakan sholat Tarwih secara berjama’ah.
2. Sesungguhnya ‘Umar radhiallahu ‘anhu tidak memaksudkan dengan perkataan beliau ini akan adanya bid’ah yang baik, karena yang beliau inginkan dengan “bid’ah” di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara syari’at, dan ini beliau katakan karena melihat keadaan zhohir dari sholat tarwih tersebut yaitu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam meninggalkan pelaksanaan sholat tarwih setelah sebelumnya beliau melaksanakannya karena takut akan diwajibkannya sholat Tarwih ini atas umatnya.
Kalau ada yang bertanya : “Kalau memang beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggalkan karena takut diwajibkan, lantas kenapa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak melakukan apa yang dilakukan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, padahal kemungkinan jadi wajibnya sholat Tarwih juga telah terputus di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dengan wafatnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”.
Maka kami jawab : “Tidak adanya pelaksanaan Tarwih berjama’ah di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak keluar dari dua alasan berikut :
a. Karena beliau radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa sholatnya manusia di akhir malam dengan keadaan mereka ketika itu lebih afdhol daripada mengumpulkan mereka di belakang satu imam (berjama’ah) di awal malam, ini disebutkan oleh Imam Ath-Thurthusy rahimahullah.
b. Karena sempitnya masa pemerintahan beliau (hanya 2 tahun) untuk melihat kepada perkara furu’ (cabang) seperti ini, bersamaan sibuknya beliau mengurus masalah banyaknya orang yang murtad dan ingin menyerang Medinah ketika Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan masalah-masalah yang lain yang lebih penting dan lebih darurat dilaksanakan dibandingkan sholat tarwih, ini disebutkan oleh Asy-Syathiby rahimahullah.
Maka tatkala sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh tidak pernah dilakukan di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, tidak pula di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan tidak pula di awal pemerintahan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, maka sholat Tarwih dengan model seperti ini (berjama’ah satu bulan penuh) dianggap bid’ah tapi dari sisi bahasa, yakni tidak ada contoh yang mendahuluinya. Adapun kalau dikatakan bid’ah secara syari’at maka tidak, karena sholat Tarwih dengan model seperti ini mempunyai asal landasan dalam syari’at yaitu beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah sholat Tarwih secara berjama’ah pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut akan diwajibkan atas umatnya, bukan karena alasan yang lain, Wallahu a’lam.
· Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-I’tishom (1/250) : “Maka siapa yang menamakannya (sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh) sebagai bid’ah karena dilihat dari sisi ini (yakni tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam walaupun memiliki asal dalam syari’at) maka tidak ada paksaan dalam masalah penamaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, maka tidak boleh berdalilkan dengannya (perkataan ‘Umar ini) akan bolehnya berbuat bid’ah dengan makna versi sang pembicara (yakni ‘Umar radhiallahu ‘anhu), karena ini adalah suatu bentuk pemalingan makna perkataan dari tempat sebenarnya”.
· Berkata Syaikhul Islam rahimahullah dalam Al-Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 276 –Darul Fikr) : “Dan yang paling banyak (didengang-dengungkan) dalam masalah ini adalah kisah penamaan ‘Umar radhiallahu ‘anhu terhadap sholat Tarwih bahwa itu adalah bid’ah bersamaan dengan baiknya amalan tersebut. Ini adalah penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syari’at, hal itu dikarenakan bid’ah secara bahasa adalah mencakup semua perkara yang diperbuat pertama kali dan tidak ada contoh yang mendahuluinya sedangkan bid’ah secara syari’at adalah semua amalan yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar’iy.
Maka jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan pernyataan yang beliau telah menunjukkan akan sunnahnya atau wajibnya suatu amalan setelah wafatnya beliau atau ada dalil yang menunjukkannya secara mutlak dan amalan tersebut tidak pernah diamalkan kecuali setelah wafatnya beliau, seperti pengadaan buku sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka jika seseorang mengamalkan amalan tersebut setelah wafatnya beliau maka syah kalau dikatakan bid’ah tapi secara bahasa karena itu adalah amalan yang belum pernah dilakukan”.
3. Sesungguhnya para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan para ulama salaf setelah mereka telah bersepakat menerima dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan tidak pernah dinukil dari seorangpun di antara mereka ada yang menyelisihinya. Ini artinya perbuatan beliau adalah kebenaran dan termasuk syari’at, karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan :
لَنْ تَجْتَمِعَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Ummatku tidak akan bersepakat di atas suatu kesesatan”. (HR. At-Tirmizi)
Dan masih ada beberapa dalil yang lain yang tidak kami sebutkan di sini karena dalil-dalil tersebut hanyalah berupa perkataan dan ijtihad seorang ulama, yang kalaupun dianggap bahwa para ulama tersebut menyatakan seperti apa yang mereka katakan berupa adanya bid’ah yang baik dalam Islam, maka ucapan dan ijtihad mereka harus dibuang jauh-jauh karena menyelisihi hadits-hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, wallahu A’lam.
Kesimpulan dari masalah ini adalah bahwa setiap perkara yang dianggap oleh sebagian ulama ataupun orang-orang yang jahil bahwa itu adalah bid’ah hasanah maka perkara tersebut tidak lepas dari dua keadaan :
1. Perkara itu bukanlah suatu bid’ah akan tetapi disangka bid’ah.
2. Perkara itu adalah bid’ah dan kesesatan akan tetapi dia tidak mengetahui akan kesesatan dan kejelekannya.
{Lihat : Al-Luma’ fir Roddi ‘ala Muhassinil Bida’ (hal. 8-54), Al-I’tishom (1/187-188 dan 228-270), Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/106-117), Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 270-278), Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (hal. 42-44), dan Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulul Mufid (hal. 133-142)}
[Diringkas dari buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi bab ketiga, karya Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah-]
SUMBER : http://al-atsariyyah.com/?p=483
* * *
0 komentar:
Posting Komentar