Tim Redaksi Assalafy.org
Sejarah
Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum
muslimin sebagai bulan maulid Nabi, karena pada bulan itulah, tepatnya
pada hari senin tanggal 12, junjungan kita nabi besar Muhammad
dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas kaum muslimin pun
beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah (kecintaan)
kepada beliau, dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari hari
raya Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Lalu sejak kapankah peringatan ini
diadakan?
Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada ‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi-
mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H hingga 567 H. Para raja
Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah
Wan Nihayah 11/172). Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam
kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah karya Asy
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)
Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar
sejarah ada yang menilai, bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan
maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad
ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu maulid Nabi,
maulid Imam Ali Radhiyallahu ‘Anhu, maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra,
maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa.
Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya,
hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy.
Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada
tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril
Ibtida’ , hal. 126)
Hukum Memperingati Maulid Nabi
Hari kelahiran Nabi mempunyai keutamaan di sisi Allah. Berkata Ibnu
Qayyim Al Jauziyyah: “Nabi Muhammad dilahirkan pada tahun gajah.
Peristiwa ini (yakni dihancurkannya tentara bergajah yang dipimpin oleh
Abrahah ketika hendak menyerang Ka’bah) adalah sebagai bentuk pemuliaan
Allah kepada Nabi-Nya dan Baitullah Ka’bah.” (Zaadul Ma’ad: 1/74)
Lalu apakah dengan kemuliaan tersebut lantas disyari’atkan untuk
memperingatinya? Para pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa tolok ukur
suatu kebenaran adalah Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful
Ummah dari kalangan sahabat Nabi. Allah berfirman (artinya): “Jika
kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah
(yakni Al Qur’an) dan Rasul-Nya (yakni As Sunnah), jika kalian
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (An Nisaa’: 59)
Subhanallah! Ketika kita kembali kepada Al Qur’an ternyata tidak
ada satu ayat pun yang memerintahkannya, demikian pula di dalam As
Sunnah Rasulullah tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya.
Padahal kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada sesuatu pun dari agama ini
yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad. Nabi bersabda (yang
artinya): “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali wajib
baginya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang
diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang
diketahuinya.” (HR. Muslim)
Bagaimanakah dengan para sahabat Nabi, apakah mereka memperingati hari kelahiran seorang yang paling mereka cintai ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Merayakan hari kelahiran
Nabi tidak pernah dilakukan oleh Salaf (yakni para sahabat), meski ada
peluang dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk
melakukannya. Kalaulah perayaan maulid ini murni suatu kebaikan atau
lebih besar kebaikannya, pastilah kaum Salaf Radhiyallahu Anhum orang
yang lebih berhak merayakannya daripada kita. Karena kecintaan dan
pengagungan mereka kepada Rasul lebih besar dari yang kita miliki,
demikian pula semangat mereka dalam meraih kebaikan lebih besar daripada
kita. (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)
Bagaimana dengan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat
(Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), apakah mereka
merayakan maulid Nabi? Jawabnya adalah bahwa mereka sama sekali tidak
pernah merayakannya.
Dan bila kita renungkan lebih dalam, ternyata peringatan Maulid
Nabi ini merupakan bentuk tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang
Nashrani. Karena mereka biasa merayakan hari kelahiran Nabi Isa Alaihis
Salam. Rasulullah bersabda (yang artinya): “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (H.R Ahmad)
Para pembaca yang budiman, mungkinkah suatu amalan yang tidak ada
perintahnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak pernah dilakukan
atau diperintahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tidak pernah
pula dilakukan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat
(Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), bahkan hasil
rekayasa para raja kerajaan Fathimiyyah yang dari keturunan Yahudi, dan
juga mengandung unsur penyerupaan terhadap orang-orang Nashrani,
tergolong sebagai amal ibadah dalam agama ini? Tentu seorang yang kritis
dan berakal sehat akan mengatakan: ‘tidak mungkin’, bahkan tergolong
sebagai amalan bid’ah yang sangat berbahaya.
Rasulullah bersabda (yang artinya): “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini yang bukan bagian darinya, maka amalannya akan tertolak.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Lebih dari itu, Allah berfirman (yang artinya): “Barangsiapa
yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti
selain jalan orang-orang mukmin (yakni sahabat Nabi), maka Aku akan
palingkan ke mana mereka berpaling dan Kami masukkan mereka ke dalam
Jahannam.” (An Nisaa’: 115)
Bagaimanakah, bila pada sebagian acara
yang tidak ada syariatnya tersebut justru diramaikan oleh senandung
syirik ala Bushiri yang ia goreskan dalam kitab Burdahnya:
“Duhai dzat yang paling mulia (Nabi Muhammad), tiada tempat
berlindung bagiku dari hempasan musibah nan menggurita selain engkau.
Bila hari kiamat engkau tak berkenan mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka katakanlah duhai orang yang binasa.
Bila hari kiamat engkau tak berkenan mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka katakanlah duhai orang yang binasa.
Karena sungguh diantara bukti kedermawananmu adalah adanya dunia
dan akhirat, dan diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuzh dan
pena pencatat takdir (ilmu tentang segala kejadian).”
Padahal, Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dengan sabda beliau (artinya): “Janganlah
kalian berlebihan didalam memuliakanku sebagaimana orang-orang Nashrani
berlebihan didalam memuliakan Isa bin Maryam, sungguh aku hanyalah
seorang hamba, maka ucapkanlah (untukku): Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Al Bukhari). Demikian pula Allah telah berfirman (artinya): “Katakanlah:
aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku,
dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, serta tidak (pula) aku
mengatakan padamu bahwa aku adalah malaikat.” (Al An’am: 50)
Serba – Serbi
Para pembaca, ketahuilah bahwa semata-mata niat baik bukanlah
timbangan segala-galanya. Lihatlah bagaimana sikap Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu ‘Anhu terhadap sekelompok muslimin yang duduk di masjid
dalam keadaan membaca takbir, tahlil, tasbih, dan berdzikir dengan cara
yang belum pernah dikerjakan Rasulullah, beliau berkata: “…celakalah
kalian hai umat Nabi Muhammad! Alangkah cepatnya kehancuran menimpa
kalian! Padahal para sahabat Nabi masih banyak yang hidup, pakaian
beliau pun belum usang, dan bejana-bejana beliau pun belum hancur. Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian merasa di atas
suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad atau kalian justru
sebagai pembuka pintu-pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu
Abdirrahman (yakni ‘kunyah’ dari Abdullah bin Mas’ud), tidaklah yang
kami inginkan (niatkan) kecuali kebaikan semata? Beliau menjawab:
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak
mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi 1/68-69).
Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Barangsiapa yang menganggap baiknya
suatu amalan (tanpa dalil), berarti ia telah membuat syari’at.” (Al
Muhalla fi Jam’il Jawaami’ 2/395)
Demikian pula semata-mata mencintai Nabi tanpa meniti jalannya dan
jalan orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya yakni para
sahabat, adalah kecintaan yang palsu. Dengan tegas Allah berfirman
(artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku.” (Ali Imran: 31)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan
cinta dan pengagungan terhadap Rasul terletak pada (kuatnya) ittiba’
(mengikuti jejaknya), ketaatan kepadanya, menjalankan perintahnya,
menghidupkan sunnahnya lahir maupun batin, dan menyebarkannya serta
berjihad dalam upaya tersebut baik dengan hati, tangan dan lisan.”
(Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)
Para pembaca, mungkin dalam hati kecil ada yang bergumam: “Tidakkah peringatan maulid Nabi ini termasuk bid’ah hasanah?”
Kita katakan bahwa Rasulullah bersabda (yang artinya): “Hati-hatilah
kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama) karena
sungguh semua yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap
bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Beranikah seorang yang mengaku cinta kepada Rasulullah menyelisihi
sabda beliau? Rasulullah nyatakan setiap bid’ah itu adalah sesat, lalu
ia menyatakan bahwa ada bid’ah yang hasanah (baik)?!! Sungguh ironis
seorang yang katanya cinta kepada Rasul sehingga sangat berkepentingan
untuk memperingati hari kelahirannya, namun dalam mewujudkannya harus
menentang Rasulullah. Apakah itu hakekat cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya? Tentu jawabannya ‘Tidak’, karena hakekat cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya adalah dengan ketaatan yang sempurna kepada keduanya,
sebagaimana yang dikandung oleh firman Allah dalam Q.S Ali Imran:31.
Cukuplah sebagai bukti kesesatannya dan bukan hasanah, ketika
Rasulullah, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para imam
setelah mereka (termasuk imam yang empat), tidak melakukannya dan tidak
pernah membimbing umat untuk mengerjakannya. Kalaulah ia hasanah, pasti
mereka telah merayakannya dan menyumbangkan segala apa yang mereka
punya untuk acara tersebut, namun ternyata mereka tidak melakukannya.
Sahabat Abdullah bin Umar berkata: “Setiap bid’ah itu sesat walaupun
orang-orang menganggapnya hasanah (baik). (Al Ushul I’tiqad Al Lika’i:
1/109)
Al Imam Malik berkata: “Barangsiapa mengada-adakan perkara baru
dalam agama yang dia pandang itu adalah baik, sungguh ia telah menuduh
bahwa nabi Muhammad telah berkhianat terhadap risalah (yang beliau
emban). Karena Allah berfirman (artinya): “Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan nikmat-Ku
atas kalian dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian”. Atas
dasar ini, segala perkara yang pada waktu itu (yakni di masa nabi/para
sahabat) bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pula perkara itu
bukan termasuk agama.” (Al I’tisham: 1/49)
Mungkin ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan
niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati agar lebih
mengenal sosok Rasulullah maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau
wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya. Kita
katakan kepadanya bahwa itu tidak benar!, karena sungguh ironis seorang
yang mengaku cinta kepada Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, mengenalinya
kok hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh
bulan atau tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu,
apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah masuk kedalam lingkup
bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil kemungkinannya bila
tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau, yang ini pun
sesungguhnya sudah masuk kedalam lingkup tasyabbuh dengan orang-orang
Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah sendiri. Sudikah kita mengenal dan
mengenang Nabi , namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita
lakukan?!
Para pembaca, demikianlah apa yang bisa kami sajikan, semoga
menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari
kebenaran. Amiin, yaa Mujiibas Saailiin.
Sumber URL : http://www.assalafy.org/mahad/?p=103
0 komentar:
Posting Komentar