: “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka..” Benarkah pernyataan ini?
Membongkar Ajaran Tasawuf: Ibadah & Agamanya (1)
Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah
Orang-orang tasawuf –khususnya generasi terakhir- memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf (ulama terdahulu) dan jauh meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan simbol-simbol dan istilah yang mereka buat-buat yang tersimpul dalam keterangan berikut :
1. Mereka hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap.
Sebagaimana yang diucapkan sebagian mereka: “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka”.
Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat asasi untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, dia merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi selainnya, seperti rasa takut (khouf), harap (roja), merendah (Dzul), tunduk (Khudhu’), doa dan lain-lain. Ibadah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah :
إِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ
“Ungkapan yang meliputi setiap apa yang Allah cintai dan ridhoi baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang zhahir (tampak) maupun yang bathin (tidak tampak)”.
Al Allamah Ibnu Qoyim berkata :
وَعِبَـادَةُ الرَّحْمَنِ غَـايَةُ حُبِّهِ
مَـعَ ذُلِّ عَـابِدِهِ هُمَا قُطْبَانِ
وَعَلَيْـهِمَا فَلَكُ الْعِبَـادَةِ دَائِرٌ
مَـا دَارَ حَتَّى قَامَتْ الْقُطْبَانُ
Menyembah Allah merupakan puncak kecintaannya
Bersama kerendahan hamba-Nya, keduanya merupa-kan dua kutub
Dan diatas keduanya rotasi ibadah berputar.
Dia tidak berputar sebelum keduanya tegak.
Karena itu sebagian salaf berkata:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْحُبِّ وَالْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ.
“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq[1]), dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah[2]) dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri [3]), dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”
Dan Allah telah menerangkan bahwa para Nabi dan Rasul-Nya berdoa kepada rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan bahwa mereka mengharap rahmat-Nya dan takut atas azab-Nya dan bahwa mereka berdoa kepadanya dengan harap dan cemas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah –rahimahullah- berkata : “Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin (yang datang kemudian) yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”.
Beliau juga berkata : “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”. [4])
Dia juga berkata: “Dan diantara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mendengarkan syair-syair cinta dan kerinduan. Memang sesunggunya itulah tujuan mereka, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tentang cinta sebagi ujian bagi kecintaan mereka, sebagaimana firmannya :
]قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ [[آل عمرن: 31]
“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”. (Ali Imran: 31)Seseorang tidak dikatakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti rasul-Nya dan ta’at kepadanya. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan merealisasikan ibadah. Masalahnya banyak diantara mereka yang mengaku cinta akan tetapi keluar dari syariat dan sunnah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu berhujjah dengan khayalan-khayalan -yang tidak cukup dalam pembahasan ini untuk menyebutkannya- hingga salah seorang diantara mereka menganggap gugurnya perintah atau menghalalkan yang haram baginya”.
Syaikhul Islam juga berkata: “Banyak diantara mereka yang sesat karena mengikuti perkara-perkara bid’ah seperti sikap zuhud, atau beribadah yang tidak berdasarkan ilmu dan cahaya dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga mereka terjerumus sebagaimana terjerumusnya orang-orang Nashrani yang mengaku cinta kepada Allah tapi menyalahi syariatnya dan meninggalkan mujahadah (bersungguh-sungguh) dija-lannya atau yang semacamnya”.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa hanya mengandalkan sisi cinta tidak dinamakan sesuatu itu sebagai ibadah, bahkan bisa jadi justru akan membawa pelakunya kepada kesesatan dan keluar dari agama.
[1]. Zindiq: Ungkapan yang umumnya diberikan kepada mereka
yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya atau kepada
mereka yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat (Mu’jam Alfaaz Al-Aqidah). (penj.)
[2] . Kelompok yang salah satu keyakinannya adalah bahwa amal
perbuatan bukan merupakan syarat keimanan. Seseorang tidak dinyatakan
hilang keimanannya –yang pernah dia ikrarkan- walau tidak pernah
beramal sama sekali (penj.)
[3] . Istilah yang diberikan kepada pengikut Khawarij, mereka adalah
kelompok yang sangat tekun beribadah namun mengkafirkan sesama muslim
dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat. Diantara keyakinan mereka
adalah bahwa siapa yang berdosa besar maka dia kafir dan kekal didalam
neraka. Kata Haruri berasal dari nama tempat dimana pada saat itu
kelompok ini banyak berkumpul.
(penj.)
1. Al-Ubudiah, oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 90, cetakan Riasah Aammah Lil Ifta’.
Sumber : http://www.salafy.or.id/2003/10/25/membongkar-ajaran-tasawuf-ciri-ibadah-agamanya/
Sumber : http://www.salafy.or.id/2003/10/25/membongkar-ajaran-tasawuf-ciri-ibadah-agamanya/
0 komentar:
Posting Komentar