ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU PRIBADI YANG MENGAGUMKAN [1]
Musuh-musuh Islam
selalu mengintai dan mencari kelengahan kaum muslimin, kemudian
melemparkan syubhat-syubhat untuk membuat keraguan atas kebenaran Islam.
Mereka berusaha mengaburkan sejarah emas generasi sahabat, dengan mencoba mencela dan melecehkannya, khususnya para perawi hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya, yaitu perawi yang banyak meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dialah Abu Hurairah. Oleh karenanya, kita perlu mengetahui sejarah kehidupannya, agar kaum muslimin memiliki hujjah, tidak terbawa arus propaganda dan provokasi musuh-musuh Islam
NAMA DAN NASABNYA
Namanya pada masa jahiliyah -menurut pendapat yang rajih- adalah Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari, AtTirmidzi dan Al Hakim. Adapun setelah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan tidak boleh memberi nama seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang boleh, hanya hamba Allah (Abdullah) semata, sehingga beliau diberi nama Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rajih.
Namanya pada masa jahiliyah -menurut pendapat yang rajih- adalah Abdu Syams, sebagaimana ditetapkan Imam Bukhari, AtTirmidzi dan Al Hakim. Adapun setelah masuk Islam, namanya telah dirubah oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini, dikarenakan tidak boleh memberi nama seseorang dengan nama “hamba fulan” (Abdul Fulan) atau hamba sesuatu. Yang boleh, hanya hamba Allah (Abdullah) semata, sehingga beliau diberi nama Abdullah atau Abdurrahman, namun Abdurrahman-lah yang lebih rajih.
Nama tersebut merupakan salah satu nama
dari sekian nama-nama yang dimiliki Abu Hurairah. Menurut Al Hakim, nama
itulah yang paling shah. Akan tetapi, Abu Ubaid berkata, bahwa nama
beliau adalah Abdullah; dan Ibnu Khuzaimah terbiasa menggunakan nama
tersebut.
Imam Bukhari dalam kitab Al Adab Al
Mufrad mengutip dari Musa bin Ya’qub Al Juma’i yang telah bertemu dengan
sahabat-sahabat setia Abu Hurairah. Bahwa sebelumnya, Abu Hurairah
bernama Abdullah. Hal ini membuat Ibnu Hajar mengakui adanya kemungkinan
benarnya dua nama tersebut.
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu adalah
orang Dausi –dengan difathahkan huruf “dal” dan disukunkan huruf “waw”-
berasal dari Bani Daus bin ‘Adtsan. Kabilah Daus ini berasal dari Al
Azd. Sedangkan Al Azd sendiri merupakan qabilah Yamaniah Qathaniyah yang
terkenal silsilah nasab keturunannya terjaga sampai kakek tertinggi Al
Azd bin Al Ghauts, sebagaimana telah dijelaskan oleh seorang pakar
sejarah terpercaya Khalifah bin Khayyath.
Jika demikian halnya, berarti dia adalah
Abu Hurairah Al Dausi Al Yamani. Imam Ad Daulabi meriwayatkan dari
seorang tabi’in terkenal, Yazid bin Abu Hubaib, bahwa Abu Hurairah Ad
Dausi Al Yamani merupakan sekutu Abu Bakar Ash Shiddiq.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka jelaslah kepalsuan dan kebodohan orang yang
menuduh, bahwa nasab Abu Hurairah tidak dikenal (majhul). Bahkan
(perlu) kami tambahkan disini dengan menyatakan, bahwa Ibnu Ishaq –
pengarang kitab sirah yang terkenal ituberkomentar tentang Abu Hurairah
seraya berkata, ”Abu Hurairah adalah seorang mulia. Berkedudukan tinggi
dan dipercaya di kalangan Bani Daus. Bani Daus senang memilikinya.”
Pamannya bernama Sa’ad bin Abu Dzubab
yang diangkat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai gubernur
wilayah Daus. Pengangkatan tersebut berlangsung hingga pemerintahan
Umar. Nampaknya, kalaulah Sa’ad pada masa jahiliyah bukan seorang
gubernur, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan
mengangkatnya sebagai gubernur. Orang-orang yang meneliti sikap politik
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengangkat gubernur atau
pemimpin bagi setiap suku atau kabilah, akan mengetahui, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu antusias mengangkat orang yang pada
masa jahiliyahnya menjadi pemimpin bagi kaumnya, jika masuk Islam dan
faqih (ahli agama), sebagaimana pengangkatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam terhadap sahabat yang mulia Jarir bin Abdullah Al Bajali untuk
menjadi wakil bagi kaumnya. (Demikian juga) Adi bin Hatim Ath Tha’i juga
diangkat sebagai pemimpin bagi kaumnya.
Abu Ubaid Al Qasim bin Salam menyatakan :
Shafwan bin Isa telah menceritakan kepada kami dari Al Harits bin
Abdurrahman bin Abu Dzubab dari Munir bin Abdullah dari ayahnya dari
Sa’ad bin Abu Dzubab, ia berkata,”Aku mendatangi Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam . Lalu aku menyatakan diri masuk Islam. Lalu aku
bertanya,’Wahai, Rasulullah. Jadikan untuk kaumku pemimpin yang akan
mengambil zakat mereka yang telah masuk Islam,’ lalu Nabi menunaikan hal
itu dan mengangkatku sebagai ‘amil untuk mengambil zakat mereka. Abu
Bakar pun mengangkatku juga. Demikian pula Umar mengangkatku untuk
melakukan tugas tersebut.”
Dalam kisah tersebut, kalau kita
perhatikan, memang tidak terdapat isyarat bahwa Sa’ad sebagai paman dari
Abu Hurairah. Namun isyarat tersebut terdapat pada sejarah biografi
anaknya, Al Harist bin Sa’ad bin Abu Dzubab. Yaitu ketika Abu Salamah
bin Abdurrahman bin Auf menjelaskan, bahwa dia adalah anak dari paman
Abu Hurairah. Telah sampai kepada kita keterangan yang jelas dari Abu
Salamah dengan sanad yang shahih diriwayatkan oleh Al Bukhari dan
Muslim. Demikian juga Ibnu Hibban menyebutkan hal itu dalam biografinya,
bahwa ia merupakan anak dari paman Abu Hurairah.
Demikianlah kemuliaan dan keutamaan yang
dimiliki Abu Hurairah dari jalur pamannya seorang gubernur. Adapun dari
jalur paman dari ibu; sesungguhnya ibunya (Umaimah binti Shufaih bin Al
Harist dari Bani Daus) memiliki saudara bernama Sa’ad bin Shufaih,
seorang pahlawan pemberani Bani Daus. Pamannya inipun telah masuk Islam.
Dengan demikian, menyatulah kemuliaan Abu Hurairah dari dua arah. Dan
nyatalah kebatilan pendapat orang yang menyatakan jika Abu Hurairah
seorang faqir terlantar.
SEBAB KUNIYAHNYA YANG ANEH
Abu Hurairah terkenal dengan kunniyah (julukan)nya. Tentang julukannya ini, Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mereka memberikan gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain karena aku pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan saat itu kudapati anak kucing liar, lalu aku masukkan ke kantong lenganku. Ketika aku pulang kembali ke rumah, mereka mendengar suara kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara apakah itu, wahai Abdu Syams?’ Akupun menjawab,‘Anak kucing yang kutemukan (saat menggembala kambing)’. Mereka berkata,‘Kalau begitu, engkau adalah Abu Hurairah’. Semenjak itu, julukan dan gelar itu terus melekat padaku.”
Abu Hurairah terkenal dengan kunniyah (julukan)nya. Tentang julukannya ini, Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Mereka memberikan gelar dan julukan kepadaku Abu Hurairah. Penyebabnya, tidak lain karena aku pernah menggembalakan kambing untuk keluargaku. Dan saat itu kudapati anak kucing liar, lalu aku masukkan ke kantong lenganku. Ketika aku pulang kembali ke rumah, mereka mendengar suara kucing di kamarku, kemudian bertanya, ‘Suara apakah itu, wahai Abdu Syams?’ Akupun menjawab,‘Anak kucing yang kutemukan (saat menggembala kambing)’. Mereka berkata,‘Kalau begitu, engkau adalah Abu Hurairah’. Semenjak itu, julukan dan gelar itu terus melekat padaku.”
Akan tetapi Abu Hurairah berkata,
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku Abu Hirin dan
orang-orang memanggilku Abu Hurairah,” karenanya ia berkata, ”Kalian
memanggil dan menjulukiku dengan julukan laki-laki (Abu Hirin), lebih
aku sukai daripada julukan wanita (Abu Hurairah).” Disebutkan di
beberapa tempat dalam Shahih Bukhari, bahwa dalam berbagai kesempatan
dan peristiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Abu
Hurairah dengan panggilan Abu Hirrin.
SIFAT (CIRI KHUSUS) YANG DIMILIKINYA
Abdurrahman bin Abu Labibah memberikan sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, bahu dan pundaknya cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang. Dhamdhan bin Jaus mensifatkannya sebagai seorang tua yang mengepang rambut kepalanya dan gigi serinya renggang.
Abdurrahman bin Abu Labibah memberikan sifat khusus bagi Abu Hurairah. Dia berkulit sawo matang, bahu dan pundaknya cukup lebar, rambutnya dikepang dan dibelah dua, dan gigi serinya renggang. Dhamdhan bin Jaus mensifatkannya sebagai seorang tua yang mengepang rambut kepalanya dan gigi serinya renggang.
Muhammad bin Sirin memberikan ciri
khusus, bahwa Abu Hurairah adalah seorang yang berkulit putih, halus,
lembut dan tidak kasar. Dia mengecat jenggotnya dengan hanna’ (pohon
pacar) dan berpakaian dengan kain katun.
KEISLAMAN DAN HIJRAHNYA
Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan kegelapan syirik, sampailah seruan dakwah tauhid dari Mekkah kepada seorang yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu Ath Thufail bin Amr Ad Dausi. Kemudian Ath Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, lalu kembali kepada kaumnya di wilayah Daus. Ia menyeru kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Diantara mereka ialah Abu Hurairah.
Di tengah-tengah kesesatan jahiliyah dan kegelapan syirik, sampailah seruan dakwah tauhid dari Mekkah kepada seorang yang mulia, penyair ulung dan dermawan, yaitu Ath Thufail bin Amr Ad Dausi. Kemudian Ath Thufail masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, lalu kembali kepada kaumnya di wilayah Daus. Ia menyeru kepada kaumnya, sehingga ada yang masuk Islam. Diantara mereka ialah Abu Hurairah.
Ibnu Hajar menyebutkan riwayat Hisyam bin
Al Kalbi tentang kisah Ath Thufail. Bahwa ia mendakwahi kaumnya untuk
masuk Islam, lalu ayahnya masuk Islam, sedangkan ibunya tidak. Dan Abu
Hurairah saja yang memenuhi panggilannya. Demikianlah permulaan kisah
keislaman Abu Hurairah.
Kemudian Ath Thufail bin Amr Ad Dausi
mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya, ”Apakah
baginda Nabi berada dalam lindungan yang cukup kuat dan jaminan
keamanan?” Dia berkata lagi,”Ada perlindungan dan suaka politik pada
Bani Daus yang ada sejak zaman jahiliyah (jika engkau ingin),” namun
Nabi enggan untuk mendapatkan jaminan keamanan tersebut, karena
(memilih) jaminan Allah kepada kaum Anshar. Ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, Ath Thufail pun hijrah ke Madinah
pula.
Ath Thufail berkata,”Aku mendatangi
Rasulullah bersama orang-orang yang telah masuk Islam dari kaumku,
sedangkan (waktu itu) Rasulullah berada di Khaibar, hingga tinggal di
Madinah tujuh puluh atau delapan puluh keluarga dari Bani Daus.”
Mulai saat itulah Abu Hurairah bertugas
dan bertanggung jawab untuk memaparkan berita-berita tentang dirinya dan
berita para delegasi tersebut. Abu Hurairah berkata, ”Ketika Rasulullah
berangkat menuju Khaibar, Beliau mengangkat Siba’ bin Al Fathah Al
Ghifari sebagai pejabat sementara Madinah, kami lalu tiba disana. Ketika
tiba di Madinah, jumlah kami sebanyak 80 keluarga Bani Daus.” Berkata
seseorang, ”Rasulullah berada di Khaibar dan akan datang menemui
kalian,” akupun menimpalinya, ”Tidaklah aku mendengar Rasulullah
beristirahat di suatu tempat, kecuali aku mendatanginya. Lalu kami
menemui Siba’ bin Al Fathah dan kami bersiap-siap. Kemudian aku menemui
Rasulullah pada suatu hari sebelum penaklukan (kota Makkah) atau sehari
setelahnya.
Rasulullah telah menaklukan An Nuthah dalam keadaan mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun bertahan disana hingga Allah Ta’ala membukanya untuk kami.”
Rasulullah telah menaklukan An Nuthah dalam keadaan mengepung Ahli Kutaibah (penduduk benteng Kutaibah). Kamipun bertahan disana hingga Allah Ta’ala membukanya untuk kami.”
MASA PERSAHABATANNYA DENGAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu datang ke Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga lamanya bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya, ”Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu datang ke Khaibar pada bulan Shafar tahun ke 7 H, sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriah. Sehingga lamanya bersahabat dengan Nabi sekitar 4 tahun lebih. Masa-masa itulah yang ditegaskan oleh Humaid bin Abdurrahman Al Himyari dengan pernyataannya, ”Aku berteman dan berjumpa dengan orang-orang yang bersahabat dengan Nabi sebagaimana persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi selama empat tahun.”
Namun Abu Hurairah sendiri menjelaskan
dalam Shahih Bukhari, bahwa ia menemani Rasulullah selama 3 tahun.
Seolah-olah Abu Hurairah menghitung masa menjadi pengikut setia
‘mulazamah’ hanya selama 3 tahun, yaitu setelah kedatangan mereka dari
Khaibar, atau ia tidak menghitung waktu-waktu safar (perjalanan) bersama
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik untuk berperang, berhaji
maupun umrah. Sebab, mulazamahnya ketika berada di Madinah sangatlah
berbeda dengan mulazamah sewaktu bepergian. Atau masa-masa tersebut
diartikan sebagai waktu ketika dia berada di Shuffah (menjadi Ahli
Shuffah) yang sangat bersemangat dan antusias. Sedangkan pada waktu
lainnya, sikap antusiasme tersebut tidak sebagaimana disebutkan. Wallahu
a’lam. Atau kurangnya hitungan masa tersebut dengan tidak memasukkan
perhitungan saat bepergian ke Bahrain tahun ke delapan Hijriah ditemani
Al Alla’ Al Hadrami, gubernur Nabi untuk wilayah Bahrain.
KEUTAMAAN YANG DIRAIH ABU HURAIRAH
Sungguh, masuknya Abu Hurairah ke kalangan para sahabat, memberinya keutamaan bertambah. Dia mendapatkan pahala sebagai sahabat Nabi, mendapatkan sifat ‘adalah (adil) yang menempel pada semua sahabat yang telah ditetapkan dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mulia. Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak Al Qur’an dan hadits shahih serta ijma’ generasi /pertama dari kaum muslimin.
Sungguh, masuknya Abu Hurairah ke kalangan para sahabat, memberinya keutamaan bertambah. Dia mendapatkan pahala sebagai sahabat Nabi, mendapatkan sifat ‘adalah (adil) yang menempel pada semua sahabat yang telah ditetapkan dalam ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang mulia. Barangsiapa yang menolaknya, berarti telah menolak Al Qur’an dan hadits shahih serta ijma’ generasi /pertama dari kaum muslimin.
Dia mendapatkan keutamaan atas do’a Rasulullah kepada kabilahnya, Daus, agar mendapat petunjuk.
Juga mendapatkan keutamaan Yaman, karena ia sebagai orang Yaman.
Demikian juga mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan RasulNya,
karena hijrahnya sebelum penaklukan kota Mekkah dan mendapatkan
keutamaan do’a Rasulullah kepadanya. Sekaligus mendapatkan keutamaan
sebagai orang miskin dan Ahli Shuffah, pahala berjihad di bawah panji
Rasulullah serta pahala menghafal hadits Rasulullah dan menyampaikannya.
CINTA ABU HURAIRAH KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataannya: “Wahai, baginda Rasulullah. Ketika aku melihat engkau, bahagia kurasakan dalam diriku dan sejuk pandanganku”. Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap nama Rasulullah, sampai-sampai ia tidak mampu menguasai dirinya, terisak menangis berkali-kali sampai pingsan.
Abu Hurairah sangat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketulusan cintanya diungkapkan dengan pernyataannya: “Wahai, baginda Rasulullah. Ketika aku melihat engkau, bahagia kurasakan dalam diriku dan sejuk pandanganku”. Kecintaan itu menanamkan perasaan mendalam terhadap nama Rasulullah, sampai-sampai ia tidak mampu menguasai dirinya, terisak menangis berkali-kali sampai pingsan.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan dengan
sanad hasan (baik) sampai kepada Syafi’i Al Ashbahi tentang gambaran
nyata cinta Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ketika kecintaannya itu
sedang menguasai dirinya.
Ketika Syafi’i memasuki Madinah,
tiba-tiba ada seseorang tengah dikelilingi banyak orang. Ia bertanya,
”Siapakah orang itu?” Mereka menjawab, ”Abu Hurairah.” Lalu aku
mendekatinya hingga duduk di hadapannya, sedangkan ia sedang
menyampaikan hadits kepada mereka. Ketika ia diam dan sendirian, aku
bertanya kepadanya, Aku tegaskan dengan sebenar-benarnya, ketika anda
menyampaikan kepadaku satu hadits yang anda dengar dari Rasulullah, anda
faham dan ketahui.” Lalu Abu Hurairah menjawab,”Ya. Akan aku sampaikan
kepadamu satu hadits yang telah disampaikan Rasulullah kepadaku, aku
faham dan ketahui,” lalu Abu Hurairah tertegun sampai tercengang.
KESABARAN ABU HURAIRAH MENAHAN LAPAR UNTUK BELAJAR
Abu Hurairah hidup pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Shuffah dalam keadaan faqir, tidak memiliki harta, rumah dan mata pencaharian. Dia merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah kepadanya dan kepada para ahlus shuffah, yaitu berupa hadiah untuk mereka dan makanan yang dinikmati bersama dengan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menyiapkan diri menemani dan mulazamah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, hanya karena ingin mendengarkan dan menghafal seluruh sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk menyebarkannya. Juga untuk melihat perbuatan, keadaan, pergaulan dan keputusan hukum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya ialah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Muhammad bin Sirin, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. Dia memakai dua helai pakaian yang dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari bahan katun, lalu ia menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, bakh!” Abu Hurairah menarik pakaiannya seraya berkata,”Sungguh aku pernah terjatuh di antara mimbar Nabi dan kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam keadaan pingsan, lalu datanglah seseorang dengan meletakkan kakinya di leherku. Dia menganggapku sudah gila, padahal aku tidak gila. Tidak menimpaku, kecuali kelaparan.
Abu Hurairah hidup pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Shuffah dalam keadaan faqir, tidak memiliki harta, rumah dan mata pencaharian. Dia merasa cukup dengan kemudahan yang diberikan Allah kepadanya dan kepada para ahlus shuffah, yaitu berupa hadiah untuk mereka dan makanan yang dinikmati bersama dengan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menyiapkan diri menemani dan mulazamah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, hanya karena ingin mendengarkan dan menghafal seluruh sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan untuk menyebarkannya. Juga untuk melihat perbuatan, keadaan, pergaulan dan keputusan hukum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya ialah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dari Muhammad bin Sirin, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Abu Hurairah. Dia memakai dua helai pakaian yang dicelup dengan tanah merah (berwarna merah) dari bahan katun, lalu ia menariknya seraya mengucapkan, “Bakh, bakh!” Abu Hurairah menarik pakaiannya seraya berkata,”Sungguh aku pernah terjatuh di antara mimbar Nabi dan kamar Aisyah Radhiyallahu ‘anha dalam keadaan pingsan, lalu datanglah seseorang dengan meletakkan kakinya di leherku. Dia menganggapku sudah gila, padahal aku tidak gila. Tidak menimpaku, kecuali kelaparan.
ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ANHU BERJIHAD
Abu Hurairah pun tidak tertinggal melaksanakan tugas suci membela agama dengan berperang di jalan Allah, sebagaimana nampak jelas keikut sertaannya dalam beberapa peperangan Nabi, diantaranya:
Abu Hurairah pun tidak tertinggal melaksanakan tugas suci membela agama dengan berperang di jalan Allah, sebagaimana nampak jelas keikut sertaannya dalam beberapa peperangan Nabi, diantaranya:
1. Keikutsertaannya dalam perang Khaibar dan perang di Wadi Al Qura’.
2. Keikutsertaanya dalam Umratul Qadha (umrahpengganti).
3. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’, sebagaimana disampaikan Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatakan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah : “Pernahkah anda shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab,”Pernah.” Marwan bertanya,”Kapan?” Abu Hurairah menjawab,”Tahun terjadinya perang Dzaturiqa.”
2. Keikutsertaanya dalam Umratul Qadha (umrahpengganti).
3. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam perang Dzatur Riqa’, sebagaimana disampaikan Imam Al Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ”Aku shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peperangan yang kami mendapati shalat khauf (shalat karena takut).” Juga dikuatkan oleh kisah yang diriwayatakan Abu Dawud dari Urwah bin Zubair yang menceritakan dari Marwan bin Al Hakam, bahwa ia bertanya kepada Abu Hurairah : “Pernahkah anda shalat bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat khauf?” Abu Hurairah menjawab,”Pernah.” Marwan bertanya,”Kapan?” Abu Hurairah menjawab,”Tahun terjadinya perang Dzaturiqa.”
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga
hadir dalam mengusir sebagian bangsa Yahudi Madinah. Imam Al Bukhari
meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu tentang pengusiran
tersebut. Ia berkata: Ketika kami di dalam masjid, Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar, seraya bersabda, ”Berangkatlah menuju
pemukiman Yahudi.” Kamipun keluar hingga sampai di Baitul Midras.” Lalu
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Masuklah ke dalam agama
Islam, niscaya anda selamat. Ketahuilah, bahwa bumi ini milik Allah dan
RasulNya. Dan aku akan mengusir kalian dari tempat ini. Barangsiapa
diantara kalian memiliki sedikit harta, maka juallah. Jika tidak,
ketahuilah bahwa daerah ini milik Allah dan RasulNya.” Kisah ini
diriwayatkan juga oleh Imam Muslim.
4. Keikutsertaan Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu dalam Al Fath Al Akbar (penaklukan Makkah), Hunain
dan Thaif. Dipaparkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata: Maukah aku ajarkan pada kalian satu hadits tentang kalian,
wahai seluruh kaum Anshar? (Lalu ia menyebut penaklukan kota Mekkah),
seraya berkata,”Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Mekkah.
Setelah sampai disana, lalu Beliau mengangkat Az Zubair (sebagai
pemimpin pasukan) di salah satu sayap pasukan. Dan di sayap lainnya
mengangkat Khalid. Beliau juga mengutus Abu Ubaidah (memimpin) pasukan
infantri yang tidak berpakaian baju besi.
Mereka pun mengambil tempat dan posisi di
tengah-tengah lembah. Sementara itu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berada dalam kelompok kecil (peleton) tersendiri. Beliau
memandang sekeliling dan melihatku, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya,”Abu Hurairahkah anda?” Aku pun menjawab, ”Kupenuhi panggilan
engkau, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ”Tidak boleh menemuiku, kecuali dari kalangan Anshar -selain
Syaiban, menambahkan-(tambahan dari salah seorang perawi hadits ini).
“Panggilkan kaum Anshar.” Dia Radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Mereka pun
mengelilingi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan orang
Quraisy dengan seluruh kabilah dan pengikutnya berkumpul sambil
berkata,”Kita dahulukan mereka. Jika mereka mendapatkan sesuatu
(kemenangan), kita pun akan (merasakan) bersama mereka. Dan jika mereka
mendapatkan musibah, kita akan berikan yang diminta dari kita.” Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,”Tidakkah kalian menyaksikan
kumpulan kabilah Quraisy dan pengikut pengikut mereka?” Lalu Beliau
meletakkan salah satu telapak tangannya di atas yang lainnya dan
berkata, ”Temuilah aku di Shafa.” Abu Hurairah berkata, ”Kami pun
bergegas berangkat. Maka tidak ada seorang pun dari kami yang ingin
membunuh seseorang, kecuali membunuhnya. Dan tidak seorang pun dari
mereka menghadang kami, sedikitpun.”
5. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam
perang Tabuk, sebagaimana diriwayatkan Imam Ath Thahawi dengan sanad
yang shahih sampai kepada beliau Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami
keluar bersama Rasul n pada perang Tabuk.”
6. Keikutsertaan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dalam perang Mu’tah.
7. Keikutsertaannya menumpas gerakan
pemurtadan (harakatu ar riddah), sebagaimana telah diriwayatkan Imam Al
Bukhari dalam kisah penumpasan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu terhadap
gerakan pemurtadan ini. Abu Hurairah berkata: Ketika Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah wafat dan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu diangkat
sebagai pengganti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta kufurlah
orang-orang yang kufur dari bangsa Arab. Umar bertanya kepada Abu
Bakar,”Wahai, Abu Bakar. Bagaimana anda akan memerangi mereka? Padahal
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Aku diperintahkan
untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi ‘Tidak ada sesembahan
yang benar selain Allah’. Karenanya, barangsiapa telah mengucapkannya,
ia telah terjaga dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan cara yang haq.
Dan hisab berikutnya berada pada Allah’.” Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu
menjawab, ”Demi Allah. Aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan
antara shalat dan zakat, sebab zakat adalah haknya harta. Demi Allah.
Jika mereka menghalangiku meskipun cuma sedikit –dalam riwayat lain
(ikat kepala)- padahal sebelumnya (pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam) mereka menunaikannya, niscaya aku perangi mereka karena
keengganannya (itu).” Umar pun menimpalinya,” Demi Allah. Tidaklah aku
melihat, melainkan Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk
memerangi mereka. Aku pun mengetahui dia (berada) pada kebenaran. Imam
Muslim, Abu Dawud dan An Nasa’i juga memaparkan kisah ini. Tetapi
lafadznya tidak menunjukkan keikutsertaan Abu Hurairah dalam peperangan
itu, kecuali dalam riwayat An Nasa’i dengan sanad yang tidak kuat. Namun
dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad yang telah dishahihkan oleh
Syaikh Ahmad Syakir, terdapat pernyataan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
setelah pemaparannya mengenai kisah tersebut: “Kami berperang bersama
Abu Bakar, lalu kami memandangnya sebagai keputusan yang sangat tepat”.
8. Keikut sertaannya dalam perang Yarmuk,
peperangan di Armenia dan daerah Jurjan, sebagaimana dipaparkan Ibnu
Asakir tentang kisah perang Yarmuk. Demikian juga Ibnu Hajar
menyebutkannya dalam Al Ishabah menukil dari Ibnu Asakir juga.
Sedangkan Ibnu Khaldun memberikan
catatan, bahwa pada masa kekhalifahan Utsman, Abu Hurairah tinggal
bersama Gubernur Armenia Abdurrahman bin Rabi’ah. Ketika Abdurrahman
terbunuh dalam peperangan melawan Turki, sebagian tentaranya menuju
Jailan dan Jurjan. Di dalam barisan tentara tersebut terdapat Salman Al
Farisi dan Abu Hurairah.
Abu Hurairah tidak hanya mencukupkan
dengan jihad yang terus-menerus, mencurahkan kemampuan dan
pengorbanannya ini saja, (tetapi) ia juga berharap menambah dengan yang
lainnya.
Imam An Nasa’i meriwayatkan dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjanjikan kami untuk memerangi India. Jika aku mendapatinya,
maka akan aku korbankan jiwa dan hartaku. Karena jika aku terbunuh, maka
aku adalah syuhada’ yang paling utama. Dan jika aku kembali, maka aku
adalah Abu Hurairah, orang yang dibebaskan dari api neraka (al
muharrarah).
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz: Jika aku mendapatkan
syahid, maka aku menjadi sebaik-baiknya syuhada. Dan jika aku kembali
(masih hidup), maka aku adalah Abu Hurairah Al Muharrarah (terbebas dari
api neraka).
Itulah gambaran singkat pribadi yang
agung seorang sahabat besar yang namanya sengaja dicaci maki secara
membabi buta oleh musuhmusuh Islam, kaum zindiq yang berkedok cinta ahli
bait- red.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
03/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183
Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Difa’ ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Asy Syuruq, Bairut. Dengan bahasa bebas telah diindonesiakan dengan judul Kecemerlangan Abu Hurairah, yang akan diterbitkan oleh Pustaka Sunnah, Surabaya, Insya Allah.
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3095/slash/0/abu-hurairah-radhiyallahu-anhu-pribadi-yang-mengagumkan/
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari kitab Difa’ ‘An Abi Hurairah, karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Asy Syuruq, Bairut. Dengan bahasa bebas telah diindonesiakan dengan judul Kecemerlangan Abu Hurairah, yang akan diterbitkan oleh Pustaka Sunnah, Surabaya, Insya Allah.
0 komentar:
Posting Komentar