Bulan yang penuh berkah telah datang. Menambah nuansa keimanan
dengan amalan yang penuh keutamaan. Ibadah puasa tak pelak lagi,
mengandung hikmah yang banyak, yang Allah Jalla wa ‘Ala mensyariatkannya
untuk menjadikan para hamba-Nya orang-orang yang bertaqwa secara
paripurna.
Puasa, ibadah yang mengusung nilai kebersamaan. Hamba yang kaya
maupun yang miskin, pejabat tinggi negara hingga rakyat jelata,
sama-sama merasakan haus, lapar dan kelemahan karenanya. Inilah keadaan
yang akrab dengan kaum fakir dan miskin, sehingga diharapkan yang kaya
pun turut merasakan kesusahan yang biasa dirasakan si miskin. Dengan
demikian diharapkan kepedulian sosial dan jalinan hati antara kaum
muslimin semakin erat, sebab dalam satu waktu mereka sama-sama bersabar
dalam ibadah puasa yang mulia dan bergembira bersama tatkala berbuka.
Namun, kenyataan yang kita hadapi, kebersamaan ini sedikit banyak
“terusik” dengan adanya perbedaan pandangan dalam penentuan awal waktu
berpuasa dan Iedul Fitri. Padahal ibadah puasa dan ‘Iedul Fitri
merupakan syi’ar Islam yang sangat nampak di hadapan umat Islam dan umat
non muslim. Untuk ibadah seagung dan sebesar ini pun umat Islam sulit
untuk se-iya dan sekata. Gambaran yang sering pula kita saksikan dalam
perkara agama yang lain. Itulah kesan negatif yang ditangkap dari
realita yang klasik ini. Setidak-tidaknya keindahan Islam sebagai agama
yang penuh rahmah ini tercoreng dengannya.
Untuk itulah kami menurunkan tulisan yang sederhana ini, untuk
melihat secara obyektif dan ilmiah tentang bagaimana Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cara menentukan awal waktu
Ramadhan dan Syawal. Tulisan ini semata-mata mengemban amanah ilmiyah
tanpa memihak atau mendiskreditkan pihak tertentu.
Adapun cara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menentukan awal masuknya bulan dengan salah satu dari dua perkara:
1. Melihat hilal dengan mata kepala (bulan kecil tanggal satu) di ufuk, hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut ini:
Allah ta’ala berfirman yang artinya:
Dan lebih jelas lagi bila kita menengok sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata:
Zakaria bin Muhammad Al-Anshary Asy-Syafi’i menegaskan wajibnya puasa Ramadhan adalah dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari atau dengan rukyat (melihat) hilal atau dengan menetapkan hilal berdasarkan saksi yang adil.(Manhaajut Tullab Fii Fiqhi Al Imam Asy Syafi’i, 1/hal. 62).
2. Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari; karena bulan dalam penanggalan hijriyah tidak mungkin melampaui tiga puluh hari dan tidak mungkin pula lebih kurang dari dua puluh sembilan hari.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan, dari sini diketahui bahwa tidak wajib berpuasa semata-mata berpatokan pada perhitungan hisab, karena syari’at ini menyandarkan adanya hukum berpuasa dengan sesuatu yang bisa dijangkau panca indra yaitu rukyat, dengan penglihatan mata. (Fiqih Al Mar ah Al Muslimah min Alkitabi wa Sunnah, hal. 196).
Maka ini merupakan intisari dari hadits Rasulullah dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda:
Dan Allah Jalla wa ‘Ala tidak membebani kita untuk mengetahui waktu awal bulan qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui oleh segelintir orang mengenai metodologi perhitungannya, yaitu ilmu hisab karena Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman:
Rukyatul hilal inilah yang diamalkan Rasulullah, para khalifah rasyidin dan para sahabatnya serta imam madzhab yang empat. Guna menentukan kewajiban berpuasa dan tidaknya. Ini menunjukkan peran rukyatul hilal sangat signifikan dalam syariah Islamiyah, yang tidak boleh dianggap remeh, sebab meremehkan rukyatul hilal berimbas kepada penistaan syariat Islam itu sendiri. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman:
Ibadah puasa dan hari raya Iedul Fitri, merupakan ibadah yang diamalkan secara bersama-sama, selain menambah kesolidan kaum muslimin, ini pula yang diperintahkan Rasulullah , dimana beliau bersabda:
Diantara para ulama kita, adalah Asy-Syaikh Al-Albany yang berkata,”saya memandang atas penduduk suatu negeri hendaklah berpuasa bersama penguasanya, dan tidak berjalan sendiri sehingga yang terjadi sebagian kaum muslimin berpuasa bersama pemerintahnya namun sebagian lain tidak bersama pemerintahnya. Kadang mendahului pemerintahnya dan kadang lebih lambat. Sebab hal itu akan menambah luas perbedaan dalam satu negeri tersebut.” (Tamaamul minnah, hal. 398)
Sebagai pelajaran yang bisa kita ambil hikmahnya, adalah apa yang dituturkan Al-Imam Abu Dawud (1/307) mengenai ibadah haji, ketika di Mina Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah shalat empat raka’at sedangkan Abdullah bin Mas’ud berpendapat sholat dengan mengqashar menjadi dua raka’at. Namun ketika di Mina Abdullah bin Mas’ud tetap sholat empat raka’at, lalu dikatakan kepada beliau,”Engkau menyalahkan Utsman tapi engkau tetap shalat empat raka’at?” Ibnu Mas’ud menjawab, ”Perselisihan itu jelek.”
Demikian juga Al-Imam Ismail Ash-Shabuni mengatakan, dan para ahli hadits memandang bahwa shalat jum’at, shalat dua hari raya dan shalat-shalat yang lain dilaksanakan di belakang komando seorang penguasa baik dia itu orang yang shalih atau tidak. (‘Aqidaatus Salaf Ashabul Hadits, hal. 92).
Sedikit lebih rinci, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menjabarkan bahwa wewenang seorang penguasa muslim tertera dalam kitab-kitab Fiqih dan Akidah, yakni:
1. Penguasa muslim berwenang memimpin shalat jum’at dan shalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha dan kaum muslimin shalat di belakangnya, kecuali bila penguasa itu mewakilkan kepada ulama atau kepada seorang penuntut ilmu syar’i, namun pada asalnya yang berhak memimpin adalah penguasa muslim tersebut.
2. Penguasa muslim berwenang mengurusi haji, mengatur para jama’ah haji dan memperhatikan kesulitan mereka.
3. Penguasa muslim berwenang menegakkan jihad fii sabilillah, dia berhak memberi komando, mengatur bendera perang dan merekrut pasukan. (Ittihaaful Qoori’, jilid 1/hal. 224-225 diterjemahkan secara ringkas).
Ini semua merupakan amalan dari hadits Rasulullah di atas dan Allah Jalla wa ‘Alaa mengingatkan dalam firman-Nya,
Demikianlah yang bisa kami sampaikan, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah dan generasi umat ini yang terbaik dalam memahami agama dan mengamalkannya adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam.
0 komentar:
Posting Komentar