At Tauhid edisi VI/18. Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni[1] dalam Majmu’ Al Fatawa-nya mengatakan, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
[Amalan yang Bermanfaat bagi Mayit]
Adapun
sedekah untuk mayit, itu akan bermanfaat baginya berdasarkan
kesepakatan (ijma’) kaum muslimin. Terdapat dalil yang shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini. Semacam
perkataan Sa’ad, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku tiba-tiba
meninggal dunia. Seandainya beliau berbicara, tentu beliau akan
menyedekahkan hartanya. Apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah
untuknya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya bermanfaat.”
Begitu
pula menghajikan si mayit, menyembelih kurban atas namanya,
memerdekakan budak atas namanya, mendoakan dan memintakan ampun
untuknya, ini semua bermanfaat bagi mayit dan tidak ada perselisihan di
antara para ulama mengenai hal ini.
[Puasa, Shalat dan Bacaan Al Qur’an untuk Mayit]
Adapun
mempuasakan si mayit, shalat sunnah diniatkan untuknya dan membacakan
Al Qur’an untuknya, permasalahan ini terdapat perselisihan di antara
para ulama. Pendapat pertama: amalan-amalan tadi bermanfaat untuk
mayit. Inilah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama
Syafi’iyah dan selainnya. Pendapat kedua: pahala amalan tersebut tidak
sampai kepada mayit. Inilah pendapat yang masyhur dari madzhab Imam
Malik dan Imam Asy Syafi’i.
[Meminta Upah dari Bacaan Al Qur’an]
Adapun
meminta upah dan memberi hadiah karena membaca Al Qur’an untuk si
mayit, maka ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Para ulama masih
berselisih pendapat tentang bolehnya mengambil upah dari pengajaran Al
Qur’an, mengumandangkan adzan, menjadi imam dan menghajikan orang lain
karena orang yang memberi upah itu mendapatkan manfaat.
Pendapat pertama: Ada ulama yang mengatakan bolehnya hal ini sebagaimana pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i.
Pendapat kedua: Namun
ada ulama yang mengatakan bahwa hal ini tidak dibenarkan karena amal
yang dikhususkan untuk ketaatan kepada Allah hanya diperuntukkan bagi
orang muslim, bukan orang kafir. Oleh karena itu, amalan seperti ini
tidaklah boleh dilakukan melainkan untuk mengharap wajah Allah dalam
rangka melakukan ketaatan kepada-Nya. Jika amalan tersebut dilakukan
untuk mendapatkan kemewahan dunia, maka amalan tersebut tidaklah akan
berbuah pahala -berdasarkan kesepakatan para ulama-. Sesungguhnya Allah
hanyalah menerima amalan yang dilakukan untuk mengharap wajah-Nya,
bukan untuk mencari kemewahan dunia.
Pendapat ketiga: Ulama
lainnya juga mengatakan bahwa boleh mengambil upah, jika orang
tersebut adalah orang fakir dan bukan orang yang mampu (kaya). Inilah
pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Mereka menyamakan hal ini
sebagaimana Allah mengizinkan bagi wali yatim yang miskin untuk memakan
harta anak yatim, namun tidak diperbolehkan untuk wali yatim yang
kaya. Pendapat ketiga ini adalah pendapat yang lebih kuat dari pendapat
lainnya. Oleh karena itu, apabila orang yang miskin memelihara anak
yatim dengan diniatkan karena Allah, lalu dia mengambil upah untuk
memenuhi kebutuhannya dan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka
Allah akan memberikan dia pahala sesuai dengan niatnya. Jika dia
memakan harta tadi, dia berarti telah memakan makanan yang thoyib dan
amalan yang dia lakukan adalah amalan sholeh.
Adapun jika
dia membaca Al Quran dalam rangka mendapatkan kemewahan dunia, maka
dia tidak akan mendapatkan pahala dari amalannya tadi. Jika amalannya
sendiri tidak bernilai pahala (karena tidak ikhlash), maka pahala
tersebut sangat tidak mungkin sampai pada mayit. Karena yang sampai
pada mayit adalah pahala amalan dan bukan amalan itu sendiri. Malah
jika hartanya tadi disedekahkan kepada orang yang membutuhkan dan
diniatkan untuk mayit, itu akan lebih bermanfaat dan akan sampai pada
mayit. Jika sedekah tadi diserahkan kepada orang yang membantu dalam
qira’ah Al Qur’an, pembelajaran Al Qur’an, maka itu lebih baik dan
sangat bagus. Alasannya, menolong kaum muslimin dengan jiwa dan harta
mereka untuk mengajari dan mempelajari Al Qur’an adalah amalan yang
paling utama.
[Keluarga Mayit Membuatkan Makanan untuk Orang Lain]
Adapun
keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka
ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran
yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah
mengatakan, “Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si
mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”
Bahkan
yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang
memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya).
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan, “Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”
[Membaca Al Qur’an di Sisi Kubur]
Adapun membaca Al Qur’an terus menerus di sisi kubur, maka ini tidaklah pernah dikenal oleh para ulama salaf.
Para
ulama pun berselisih pendapat mengenai masalah membaca Al Qur’an di
kuburan. Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad (menurut
kebanyakan pendapat dari beliau) melarang hal ini. Namun, Imam Ahmad
memberikan keringanan dalam masalah ini dalam pendapat beliau yang
terakhir. Yang menjadi dasar Imam Ahmad dari pendapatnya yang terakhir
adalah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar pernah mewasiatkan agar dibacakan
bagian awal dan akhir surat Al Baqarah ketika pemakamannya. Begitu pula
ada riwayat dari beberapa kaum Anshor bahwasanya Ibnu ‘Umar pernah
mewasiatkan agar membaca surat Al Baqarah di kuburnya (sebelum
pemakaman). Namun ingat, ini semua dilakukan sebelum pemakaman.
Adapun pembacaan Al Qur’an untuk mayit sesudah pemakaman, maka tidak
ada satu riwayat pun dari salaf tentang hal ini. Oleh karena itu,
pendapat ketiga ini membedakan antara membacakan Al Qur’an ketika
pemakaman dan pembacaan Al Qur’an terus menerus sesudah pemakaman. Pembacaan
Al Qur’an sesudah pemakaman adalah amalan yang tidak ada tuntunan
dalam agama ini (baca: bid’ah). Amalan seperti ini tidak memiliki
landasan dalil sama sekali.
[Mayit Mendapatkan Pahala karena Mendengar Al Qur’an yang Dibacakan padanya]
Sedangkan
jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia
diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika
mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda, “Jika
manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga
perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak
sholeh yang mendo’akan dirinya. ”
Oleh karena itu,
setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan
Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit
mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang
mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat,
amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan
berpengaruh padanya.
[Membangun Masjid di Atas Kubur]
Adapun membangun masjid di atas kubur yang biasa disebut dengan masyahid, seperti
ini tidaklah diperbolehkan. Bahkan seluruh ulama kaum muslimin
melarang perbuatan semacam ini karena ada sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah
melaknat orang Yahudi dan orang Nashrani karena mereka telah
menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid. Allah memperingatkan
apa yang mereka lakukan.”
‘Aisyah mengatakan, “Seandainya
bukan karena larangan beliau ini, tentu kubur beliau akan dikeluakan.
Akan tetapi, hal ini dilarang karena ditakutkan kalau kuburnya
dijadikan masjid.”
Dalam hadits yang shahih pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian, mereka menjadikan kubur-kubur sebagai
masjid.. Ingatlah janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid,
karena sesungguhnya aku melarang kalian dari hal ini.”
Dalam kitab sunan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melakanat para wanita yang sering menziarahi kubur dan orang yang menjadikan kubur sebagai masjid serta memasang lentera di atasnya.”
[Shalat di Masjid yang Dibangun Di Atas Kubur dan Shalat di Daerah Pekuburan]
Para ulama telah bersepakat bahwa shalat di masyahid (masjid yang berada di atas kubur) tidaklah diperintahkan sama sekali baik dengan perintah wajib atau pun sunnah. Shalat di masyahid yang berada di atas kubur dan semacamnya tidaklah memiliki keutamaan dari tempat-tempat lainnya. Lebih-lebih lagi shalat di masyahid tidaklah lebih utama dari shalat di masjid berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin.
Barangsiapa
meyakini bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur lebih
memiliki keutamaan dari shalat di tempat lainnya atau lebih utama dari
shalat di sebagian masjid, maka dia telah keluar dari jama’ah kaum
muslimin dan telah keluar dari agama ini. Bahkan yang diyakini oleh
umat ini bahwa shalat di masjid yang dibangun di atas kubur adalah
sesuatu yang terlarang dengan larangan haram. Walaupun di sana, para
ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat di daerah pekuburan,
apakah diharamkan, dimakruhkan, atau mubah? Atau dibedakan antara kubur
yang baru digali dengan kubur yang sudah lama. Hal ini dikarenakan
apakah larangan shalat di pekuburan tadi karena alasan najis yaitu
bercampurnya tanah dengan darah mayit ataukah bukan?
Namun sebenarnya, larangan shalat di pekuburan tadi karena di sana terdapat tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang musyrik dan inilah asal penyembahan berhala.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan)
tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan
(penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”.” (QS. Nuh: 23)
Lebih
dari satu orang sahabat dan tabi’in mengatakan bahwa berhala-berhala
tadi adalah nama orang sholeh dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka mati,
kaumnya beri’tikaf di atas pekuburan mereka. Lalu kaumnya membuat
patung yang menyerupai orang sholeh tadi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwattho’-, “Ya
Allah janganlah engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah.
Sesungguhnya Allah amat murka terhadap kaum yang menjadikan kubur
nabi-nabi mereka sebagai masjid.”
[Nadzar di Masyahid]
Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak disyari’atkannya nadzar di masyahid
(masjid yang berada di atas kubur) baik dengan zaitun, lilin, dirham
dan selainnya dan tidak boleh ditujukan pada tetangga kubur atau orang
penunggu kubur (khoddam). Hal ini tidak diperbolehkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melaknat orang yang menjadikan kubur sebagai masjid dan memasang
lentera (penerangan) di atas kubur. Barangsiapa melakukan semacam ini,
maka dia berarti telah melakukan nadzar maksiat.
Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa melakukan nadzar untuk mentaati Allah, maka lakukanlah
nadzar tersebut. Namun, barangsiapa melakukan nadzar yang mengandung
maksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada Allah (dengan
melaksanakan nadzar tersebut).”
Adapun kafaroh (tebusan) untuk orang yang melakukan nadzar semacam ini ada dua pendapat di antara para ulama.
Menurut madzhab Imam Ahmad dan selainnya, kafarohnya adalah sama dengan kafaroh sumpah[2]. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kafaroh nadzar sama dengan kafaroh sumpah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.
Dalam kitab sunan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa melakukan nadzar untuk mentaati Allah, maka lakukanlah
nadzar tersebut. Namun, barangsiapa melakukan nadzar yang mengandung
maksiat kepada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada Allah (dengan
melaksanakan nadzar tersebut).”
Adapun
madzhab Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, dan selainnya, mereka
berpendapat bahwa tidak ada kafaroh dalam nadzar seperti ini. Akan
tetapi, dia boleh memberi sedekah -karena nadzar yang dia niatkan di masyahid tadi-
kepada para faqir dari kaum muslimin, di mana para fiqir berarti telah
menolong dirinya dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ini adalah perbuatan yang sangat baik dan pahalanya di sisi Allah.
[Yang Dianjurkan Ketika Menziarahi Masyahid dan Kubur Lainnya]
Adapun kubur yang terdapat di masyahid
dan kubur lainnya, maka yang disunnahkan bagi orang yang menziarahinya
adalah memberi salam kepada si mayit dan mendo’akan dirinya seperti
pada shalat jenazah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajarkan para sahabatnya bacaan ketika berziarah kubur, “Assalaamu
‘alaikum ahlad diyaar minal mu’miniina wal muslimiin, wa inna insyaa
Allah bikum ‘an qoriibin laahiquun wa yarhamullahul mustaqdimiina minnaa
wa minkum wal musta’khiriin. Nas-alullaha lanaa wa lakumul ‘aafiyah.
Allahumma laa tahrimnaa ajrohum wa laa taftinnaa ba’dahum waghfir lanaa
wa lahum.”
[Anggapan Ibadah Di Sisi Kubur Lebih Utama dari Tempat Lainnya]
Adapun
mengusap-ngusap kubur, shalat di sisinya, bersengaja berdo’a di sisi
kubur karena berkeyakinan bahwa do’a di tempat tersebut adalah lebih
utama dari do’a di tempat lainnya, atau berkeyakinan pula bahwa nadzar
di sisi kubur lebih utama dari tempat lainnya, maka amalan dan
keyakinan semacam ini bukanlah ajaran Islam. Akan tetapi, ini semua
termasuk ajaran yang jelek yang tidak ada tuntunannya (alias bid’ah qobihah, yang teramat jelek) dan semacam ini termasuk cabang-cabang kesyirikan. Wallahu a’lam wa ahkam.”
[Diterjemahkan dan diringkas dari Majmu’ Al Fatawa, 24/314-321, Abul ‘Abbas Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni. Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal[3]]
_____________
[1]
Beliau adalah Syaikhul Islam Al Imam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus
Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr
bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah
beliau adalah Abul ‘Abbas. Beliau terkenal dengan julukan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Beliau lahir tahun 661 H di Haron dan meninggal
tahun 728 H. [2] Kafarohnya adalah memberi makan kepada 10 orang miskin
sebagaimana makanan yang diberi pada keluarganya, atau memberi pakaian
kepada 10 orang miskin, atau memerdekakan seorang budak. Jika tiga
pilihan ini tidak mampu, maka kafarohnya adalah berpuasa selama tiga
hari. Lihat Surat Al Maidah ayat 89. [3] NB: Yang didalam kurung seperti ini [ ], itu adalah tambahan judul dari kami untuk memudahkan pembaca.
Sumber: http://buletin.muslim.or.id/aqidah/kekeliruan-seputar-mayit-dan-kubur
Artikel terkait:
Artikel terkait:
- Amalan-amalan Yang Bermanfaat Bagi Mayit
- Ritual Tahlilan Dalam Timbangan Islam
- Tradisi Masyarakat Islam Yang Bersumber Dari Ajaran Agama Hindu
- Untuknya Kukirim al-Fatihah..
- Hukum Membaca Al-Qur’an Untuk Mayit Bersama Al-Imam Syafi’i
- Catatan-Catatan Penting Seputar Yasinan
- Derajat Hadits Fadhilah Surat Yasin
- Orang Mati Tidak Bisa Mendengar
- Misteri Alam Kubur
- Tafsir Qs. Ibrahim : 27
- Keutamaan Mendoakan Orang Lain Tanpa Sepengetahuannya
0 komentar:
Posting Komentar