Semoga Allah senantiasa memperbaiki keadaan setiap muslim dengan mengetahui kesalahan-kesalahan ini.
Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin.
1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Tidaklah tepat ada yang
meyakini bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk
menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan
“nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati
kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah
jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan
meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan
Tidaklah tepat amalan sebagian
orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan
terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama
sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya
lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang
melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat
pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak
mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan
perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah
umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis) dan tidak
pula mengenal hisab. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan
bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab
ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil
dan syari’at ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena
ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti
(qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya
penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini
maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu
hisab ini kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156)
4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian
mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya,
kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari
tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
”Barangsiapa berpuasa pada
hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
5. Melafzhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin”
mam Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)
6. Membangunkan Sahur … Sahur
Sebenarnya Islam sudah memiliki
tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum
yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua
ketika adzan shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan
minum. Inilah cara untuk memberitahukan pada kaum muslimin bahwa masih
diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu
sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan
meneriakkan sahur … sahur …. baik melalui speaker atau pun datang ke
rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini
sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini.
Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan.
Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum.
Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah
(petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat
bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.”(Lihat pembahasan at tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336)
7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah.
Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang
menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih).
Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari
makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan
shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata,”Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata,”Sekitar 50 ayat”.
(HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan
iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat
dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an
(sekitar 10 atau 15 menit).
8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu”
Ada beberapa riwayat yang
membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam
Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah
no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan hal ini
adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang
mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi
yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta oleh
para ulama pakar hadits. (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy). Do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah “Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah
(artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala
telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
9. Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak
diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan
tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri
tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah
(bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at
Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189).
10. “Ash Sholaatul Jaami’ah” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih
Ulama-ulama hanabilah
berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan
ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara
yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)
11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Jika imam melaksanakan shalat
tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan
bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
12. Perayaan Nuzulul Qur’an
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabatnya. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama
pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah.
Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan
segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
13. Membayar Zakat Fithri dengan Uang
Syaikh Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam
membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya.
Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang,
tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka
yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita). “. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)
14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan 1 Syawal kepada Pemerintah
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi
Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi
perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah
dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika
penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang
ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.”
(Fatawa no. 388)
15. Takbiran di Malam Idul Fithri
Yang sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah takbiran dilakukan ketika keluar dari rumah menuju lapangan shalat ‘ied.
Demikian beberapa kesalahan
atau kekeliruan di bulan Ramadhan yang mesti kita tinggalkan dan mesti
kita menasehati saudara kita yang lain untuk meninggalkannya.
Semoga Allah memberi kita
petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan diri dari hal yang tidak
diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan. Semoga Allah memperbaiki
keadaan setiap orang yang membaca risalah ini.
Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.pengusahamuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar