Menentukan awal ramadhan dilakukan dengan salah satu dari dua cara berikut:
- Melihat hilal ramadhan.
- Menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara
kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ لَيْلَةً ،
فَلاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
الْعِدَّةَ ثَلاَثِينَ
”Apabila bulan telah masuk kedua
puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban, pen). Maka janganlah kalian
berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila mendung, sempurnakanlah bulan
Sya’ban menjadi tiga puluh hari.”[1]
Menurut mayoritas ulama, jika seorang yang ‘adl (sholih) dan terpercaya melihat hilal Ramadhan, beritanya diterima. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ
وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang berusaha untuk melihat
hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian beliau berpuasa dan
memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”[2]
Sedangkan untuk hilal syawal mesti dengan dua orang saksi. Inilah pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena
melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban
karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari pandangan kalian,
sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang saksi,
berpuasa dan berbukalah kalian.”[3]
Dalam hadits ini dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal
Ramadhan dan Syawal. Namun untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi
karena hadits ini dikhususkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat.[4]
Menentukan Awal Ramadhan dengan Ru’yah Bukan dengan Hisab
Perlu diketahui bersama bahwasanya
mengenal hilal adalah bukan dengan cara hisab. Namun yang lebih tepat
dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengenal hilal adalah dengan ru’yah (yaitu melihat bulan langsung dengan mata telanjang). Karena Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi contoh dalam kita beragama telah bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
”Sesungguhnya kami adalah umat ummiyah. Kami tidak mengenal kitabah (tulis-menulis)[5] dan tidak pula mengenal hisab[6]. Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).”[7]
Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah menerangkan,
“Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-
mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap.
Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa
dan ibadah lainnya dengan ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam
menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu. Seterusnya
hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan ru’yah walaupun orang-orang
setelah generasi terbaik membuat hal baru (baca: bid’ah) dalam masalah
ini. Jika kita melihat konteks yang dibicarakan dalam hadits, akan
nampak jelas bahwa hukum sama sekali tidak dikaitkan dengan hisab.
Bahkan hal ini semakin terang dengan penjelasan dalam hadits,
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
“Jika mendung (sehingga kalian tidak bisa
melihat hilal), maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30
hari.” Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengatakan, “Tanyakanlah pada ahli hisab”. Hikmah kenapa mesti
menggenapkan 30 hari adalah supaya tidak ada peselisihihan di
tengah-tengah mereka.
Sebagian kelompok memang ada yang sering merujuk pada ahli astronom dalam berpatokan pada ilmu hisab yaitu kaum Rofidhoh. Sebagian ahli fiqh pun ada yang satu pendapat dengan mereka. Namun Al Baaji mengatakan, “Cukup kesepakatan (ijma’) ulama salaf (yang berpedoman dengan ru’yah, bukan hisab, -pen) sebagai sanggahan untuk meruntuhkan pendapat mereka.” Ibnu Bazizah pun mengatakan, “Madzhab (yang berpegang pada hisab, pen) adalah madzhab batil. Sunguh syariat Islam elah melarang seseorang untuk terjun dalam ilmu nujum. Karena
ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti
(qoth’i) bahkan bukan sangkaan kuat. Seandainya suatu perkara dikaitkan
dengan ilmu hisab, sungguh akan mempersempit karena tidak ada yang
menguasai ilmu ini kecuali sedikit”.[8]
Apabila pada Malam Ketigapuluh Sya’ban Tidak Terlihat Hilal
Apabila pada malam ketigapuluh Sya’ban
belum juga terlihat hilal karena terhalangi oleh awan atau mendung maka
bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari.
Salah seorang ulama Syafi’i, Al Mawardi rahimahullah mengatakan, “Allah Ta’ala
memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal
bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara.
Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan.
Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari
dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada
hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari
ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada.”[9]
Puasa dan Hari Raya Bersama Pemimpin dan Mayoritas Manusia
Jika salah seorang atau satu organisasi
melihat hilal Ramadhan atau Syawal, lalu persaksiannya ditolak oleh
penguasa apakah yang melihat tersebut mesti puasa atau mesti berbuka?
Dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama.
Salah satu pendapat menyatakan bahwa ia mesti puasa jika ia melihat hilal Ramadhan dan ia mesti berbuka jika ia melihat hilal Syawal. Namun keduanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi[10]
agar tidak menyelisi mayoritas masyarakat di negeri tersebut. Inilah
pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, salah satu pendapat dari
Imam Ahmad dan pendapat Ibnu Hazm. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
”Karena itu, barangsiapa di antara
kamu menyaksikan (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Pendapat lainnya menyatakan bahwa
hendaklah orang yang melihat hilal sendiri hendaklah berpuasa
berdasarkan hilal yang ia lihat. Namun hendaklah ia berhari raya bersama
masyarakat yang ada di negerinya. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah,
Imam Malik dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad.
Sedangkan pendapat yang terakhir
menyatakan bahwa orang tersebut tidak boleh mengamalkan hasil ru’yah, ia
harus berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat yang ada di
negerinya.Dalil dari pendapat terakhir ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala
mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas
kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian
beridul adha.”[11] Ketika menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan,
”Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan
hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum
muslimin) dan mayoritas manusia (masyarakat)”. ”
Pendapat terakhir ini menjadi pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[12] Pendapat inilah pendapat yang kami nilai lebih kuat. Penjelasannya sebagai berikut.
Perlu diketahui bahwa hilal bukanlah
sekedar fenomena alam yang terlihat di langit. Namun hilal adalah
sesuatu yang telah masyhur di tengah-tengah manusia, artinya semua orang
mengetahuinya.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Hilal asalnya bermakna kata zuhur (artinya: nampak) dan rof’ush shout
(meninggikan suara). [Artinya yang namanya hilal adalah sesuatu yang
tersebar dan diketahui oleh orang banyak, -pen]. Jika hilal hanyalah
nampak di langit saja dan tidak nampak di muka bumi (artinya, diketahui
orang banyak, -pen), maka semacam itu tidak dikenai hukum sama sekali
baik secara lahir maupun batin. Akar kata dari hilal sendiri adalah dari
perbuatan manusia. Tidak disebut hilal kecuali jika ditampakkan.
Sehingga jika hanya satu atau dua orang saja yang mengetahuinya lantas
mereka tidak mengabarkan pada yang lainnya, maka tidak disebut hilal.
Karenanya, tidak ada hukum ketika itu sampai orang yang melihat hilal
tersebut memberitahukan pada orang banyak. Berita keduanya yang menyebar
luas yang nantinya disebut hilal karena hilal berarti mengeraskan suara
dengan menyebarkan berita kepada orang banyak.”[13]
Beliau rahimahullah mengatakan
pula, “Allah menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia dan sebagai
tanda waktu berhaji. Ini tentu saja jika hilal tersebut benar-benar
nampak bagi kebanyakan manusia dan masuknya bulan begitu jelas. Jika
tidak demikian, maka bukanlah disebut hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Dasar dari permasalahan ini, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengaitkan hukum syar’i -semacam puasa, Idul Fithri dan Idul Adha- dengan istilah hilal dan syahr (masuknya awal bulan). Allah Ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS. Al Baqarah: 189)[14]
Ibnu Taimiyah kembali menjelaskan,
“Syarat dikatakan hilal dan syahr (masuknya awal bulan) apabila
benar-benar diketahui oleh kebanyakan orang dan nampak bagi mereka.
Misalnya saja ada 10 orang yang melihat hilal namun persaksiannya
tertolak. Lalu hilal ini tidak nampak bagi kebanyakan orang di negeri
tersebut karena mereka tidak memperhatikannya, maka 10 orang tadi sama
dengan kaum muslimin lainnya. Sebagaimana 10 orang tadi tidak melakukan
wukuf, tidak melakukan penyembelihan (Idul Adha), dan tidak shalat ‘ied
kecuali bersama kaum muslimin lainnya, maka begitu pula dengan puasa,
mereka pun seharusnya bersama kaum muslimin lainnya. Karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan tatkala
mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas
kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian
beridul adha”
Imam Ahmad –dalam salah satu pendapatnya- berkata,
يَصُومُ مَعَ الْإِمَامِ وَجَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي الصَّحْوِ وَالْغَيْمِ
“Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan
bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat
hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.”
Imam Ahmad juga mengatakan,
يَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.[15]
Jika Satu Negeri Melihat Hilal, Apakah Berlaku Bagi Negeri Lainnya?
Misalnya ketika di Saudi sudah melihat
hilal, apakah mesti di Indonesia juga berlaku hilal yang sama? Ataukah
masing-masing negeri berlaku hilal sendiri-sendiri?
Berikut kami nukilkan keterangan dari
para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia).
Pertanyaan: “Bagaimana
menurut Islam mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul
Fithri dan Idul Adha? Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini,
kita akan berpuasa pada hari yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan
berhari raya pada hari yang sebenarnya wajib untuk berpuasa. Kami
mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah yang krusial ini
sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah. Apabila
dalam penentuan hari raya atau puasa
ini terdapat perselisihan, ini bisa terjadi ada perbedaan dua sampai
tiga hari. Jika agama Islam ini ingin menyelesaikan perselisihan ini,
apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah
sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan
hal ini terbukti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama
berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat
lain dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua
pendapat. Pendapat pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di
tempat lain dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda
matholi’ (wilayah terbitnya hilal). Pendapat kedua adalah yang
menyatakan tidak teranggapnya hilal di tempat lain. Masing-masing dari
dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As Sunnah dan qiyas.
Terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah dalil yang sama.
Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di antara
kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu juga firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan pendapat menjadi dua kubu
semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami
dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada ruang untuk
berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat
dalam masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri
yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah
negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika
di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah
dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika
penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang
ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.
Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia
mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua
dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan
dan melaksanakan shalat ‘ied.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[16]
Semoga sajian kali ini bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1]HR. Bukhari no. 1907 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[2] HR. Abu Daud no. 2342. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92.
[5] Maksudnya, dulu kitabah (tulis-menulis) amatlah jarang ditemukan. (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[6] Yang dimaksud hisab di sini adalah hisab dalam ilmu nujum (perbintangan) dan ilmu tas-yir (astronomi). (Lihat Fathul Bari, 4/127)
[7] HR. Bukhari no. 1913 dan Muslim no. 1080, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[8] Fathul Bari, 4/127.
[9] Al Hawi Al Kabir, 3/877.
[10]
Bukan terang-terangan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang
atau sebagian organisasi Islam di negeri ini ketika mereka telah
menyaksikan adanya hilal namun berbeda dengan pemerintah.
[11] HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 25/109-110.
[14] Majmu’ Al Fatawa, 25/115-116.
[15] Majmu’ Al Fatawa, 25/117.
[16]
Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388,
10/101-103. Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi
selaku wakil ketua; Syaikh Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin
Ghudayan selaku anggota.
0 komentar:
Posting Komentar