Oleh: Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani
Banyak sekali Syubuhat dilontarkan kepada salafiyyun ahlus sunnah,
bahwa salafiyyun dituduh loyal terhadap kaum kuffar hanya karena keras
di dalam membantah ahli bid’ah semisal kelompok sesat Syiah, khowarij,
murji’ah dan hizbiyyah lainnya.
Mereka menyatakan bahwa sikap keras terhadap ahli bid’ah merupakan sikap loyalitas kepada kaum kuffar. Benarkah tuduhan ini? Mari kita simak ulasan Fadhilatusy Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani hafizhahullahu.
Beliau hafizhahullahu berkata :
Pada prinsipnya, “Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar” (perintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran) dilakukan dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالحِكْمَةِ وَالمَوْعِظَةِ الحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ….” [An-Nahl : 125]
Demikian pula firmanNya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimas Salam :
اذْهَبَا إِلى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” [Thaha : 43-44]
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ما كان الرفق في شيء إلا زانه، ولا نُزع الرفق من شيء إلا شانه
“Sesungguhnya, tidaklah suatu kelembutan ada pada sesuatu kecuali ia pasti menghiasinya dan tidak pula kelembutan itu dicabut kecuali akan memperburuknya” [Hadits Riwayat Muslim No. 2594]
Namun demikian, apabila kemunkaran tidak berubah kecuali dengan menggunakan semacam kekasaran/kekerasan, maka tidaklah mengapa bila digunakannya, sekalipun terhadap sesama kaum muslimin.
Tidaklah engkau melihat bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membolehkan peperangan untuk menegakkan hal itu? Dan tiada kekerasan yang melebihi peperangan,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ المُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلى أَمْرِ اللهِ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang bebruat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [Al-Hujarat : 9]
Terkadang, seorang mukmin bersikap sangat keras dalam mengingkari saudaranya melibihi sikap kerasnya terhadap musuh/lawannya.
Tidaklah engkau lihat kelembutan Nabi Musa terhadap Fir’aun, sementara beliau bersikap keras terhadap saudaranya, Harun?
Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan dengan firmanNya :
وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ
“Dan dia (Musa) memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya” [Al-A’raf : 150]
(Dari tindakan yang dilakukan oleh Musa terhadap saudaranya Harun,-pent) dapatkah seseorang melakukan protes terhadap Musa dengan menggunakan alasan “al-wala” (loyalitas) dan “al-bara” (sikap berlepas diri), yaitu dengan menuduh beliau membentangkan lisan dan tangan beliau terhadap saudaranya sendiri dan bersikap lemah lembut terhadap para thaghut?!
Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun terkadang mencela para ulama dari kalangan sahabat beliau dengan celaan yang lebih keras dari pada celaan beliau terhadap sahabat lainnya (yang bukan ulama, -pent) apabila mereka berbuat kesalahan.
Sebagai contoh, ucapan beliau kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu tatkala Mu’adz memanjangkan shalat ketika menjadi imam, memimpin kaumnya shalat berjama’ah, beliau mengatakan :
أفتّان أنت يا معاذ؟!
“Apakah engkau ingin menimbulkan fitnah, wahai Mu’adz?” [Hadist shahih riwayat Al-Bukhari no. 6126 dan Muslim no. 465]
Sebaliknya, sikap lemah lembut beliau terhadap seorang Badui (dari gurun pasir) yang kencing di masjid (beliau) sebagaimana termaktub dalam Shahih Al-Bukhari dan kitab-kitab hadits lainnya. [1]
Demikian pula sabda beliau kepada Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu tatkala ia membunuh seorang musyrik dalam peperangan setelah orang itu mengucapkan “kalimat tauhid” (Laa Ilaaha illallah) :
يا أسامة! أقتلته بعدما قال:لا إله إلا الله؟! « قال أسامة: ” فما زال يكررها حتى تمنيتُ أني لم أكن أسلمت قبل ذلك اليوم
“Wahai Usamah ! Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan ‘Laa Ilaaha illallah?! Usamah berkata : ‘beliau terus mengulang-ulangi ucapan itu, sehingga aku berangan-angan (seandainya) aku belum memeluk Islam sebelum hari itu” {Riwayat Al-Bukhari no. 4269 dan Muslim no. 96]
Dan sungguh Usamah telah mengambil pelajaran penting dari sikap keras Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya, ia menjadikannya sebagai sebuah nasihat pada masa terjadinya fitnah setelah peristiwa pembunuhan Khalifah Ar-Rasyid, Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, Tindakan keras Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut atas dirinya telah mewariskan padanya sikap ‘tawarru’ (berhati-hati) dari darah-darah kaum muslimin.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
انتفع أسامة من يوم النبي ، إذ يقول له : كيف بلا إله إلا الله يا أسامة؟! فكفَّ يده، ولزم بيته، فأحسن
“Usamah telah mengambil pelajaran penting sejak hari ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya ; ‘Bagaimana dengan Laa Ilaaha illallah’ wahai Usamah ?!’ Maka dia pun menahan tangannya menetapi rumahnya, dengan demikian dia telah berbuat baik” [Lihat pada Siyar A’laamin Nubalaa II/500-501]
Aku (penulis) berkata : “Allohu Akbar ! Allah Mahabesar, alangkah agungnya pendidikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan alangkah hinanya pendidikan ala hizbiyyah [2], yang mana sejak ia mengharamkan prinsip ‘bantahan terhadap orang yang menyelisihi kebenaran’ sementara para pengikut mereka tidak memelihara diri mereka dari menumpahkan darah kaum muslimin, mereka menumpahkan darah-darah itu secara sia-sia dengan mengatas namakan jihad, hampir saja tidak ada suatu fitnah yang terjadi kecuali mereka sebagai bahan bakar atau penyulutnya”
Semua itu sebagai akibat dari sikap ‘mudahanah’ (berbasa-basi dalam masalah agama) di antara mereka karena beranggapan bahwa dengan berbuat demikian, mereka memanfaatkan orang-orang kafir.
Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
المؤمن للمؤمن كاليدين تغسل إحداهما الأخرى، وقد لا ينقلع الوسخ إلا بنوع من الخشونة، لكن ذلك يوجب من النظافة والنعومة ما نَحمد معه ذلك التخشين
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lainnya ibarat kedua tangan, yang satu mencuci lainnya, terkadang kotoran (yang ada) tidak mudah lepas kecuali dengan mengunakan sejenis (gosokan) keras yang mengharuskannya menjadi bersih dan halus, dengan demikian kita memuji kekerasan tersebut” [3]
Jika demikian halnya, maka kelembutan yang diterapkan oleh sejumlah jama’ah Islam terhadap perorangan atau kelompok dari golongan orang-orang jahil yang bertindak semena-mena tanpa memikirkan akibatnya sehingga menyebabkan (para penguasa) meminta bantuan dari musuh-musuh (Islam) untuk menghancurkan kaum muslimin, (sikap lemah lembut tersebut terhadap mereka) tidak termasuk bagian dari al-wala (loyalitas) sedikitpun.
Karena sikap tersebut, menjadikan mereka semakin tenggelam dalam kesesatan karena mereka tidak pernah merasa akan besarnya tindak kejahatan mereka. Tidak hanya itu, pada hakikatnya kekerasan yang terkadang ditempuh terhadap kaum muslimin (yang menyelisihi kebenaran), didorong oleh perasaan “ghairah” (kecemburuan) atas mereka karena melihat mereka dikotori oleh beberapa perbuatan yang kotor serta terdorong pula oleh sebuah upaya untuk mengokohkan barisan dan menutup/membendung celah/lubang barisan itu, agar tidak dimasuki (oleh musuh,-pent). Maka hendaknya diketahui latar belakang penggunaan kekerasan tersebut!!!
Oleh sebab itu, Al-Alamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata di bawah sebuah judul tulisannya “Dalil-dalil Yang Menyingkap Kekeliruan Sebagian Penulis” :
ولا شك أن الشريعة الإسلامية الكاملة جاءت بالتحذير من الغلوّ في الدين، وأمرت بالدعوة إلى سبيل الحق بالحكمة والموعظة الحسنة والجدال بالتي هي أحسن، ولكنها لم تهمل جانب الغلظة والشدّة في محلّها حيث لا ينفع اللين والجدال بالتي هي أحسن
Tidak diragukan bahwasanya syari’at Islam yang sempurna telah datang dengan membawa peringatan agar waspada terhadap sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama dan memerintahkan agar berdakwah kepada jalan kebenaran dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta membantah dengan cara yang lebih baik.
Namun demikian, syari’at Islam tidak mengenyampingkan sikap kekerasan dan kekasaran jika memang cara itu diletakkan pada tempatnya, yaitu ketika tidak bermanfaat lagi penggunaan kelembutan dan dialog (berbantah-bantahan) dengan cara yanbg lebih baik.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يَأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الكُفَّارَ وَالمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka ….”
[At-Taubah : 73]
يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ مَعَ المُتَّقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitarmu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah berserta orang-orang yang bertakwa” [At-Taubah : 123]
Juga firmanNya :
وَلاَ تُجادِلُوا أَهْلَ الكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka …” [Al-Ankabut : 46]
أما إذا لم ينفع واستمرّ صاحب الظلم أو الكفر أو الفسق في عمله ولم يبال بالواعظ والناصح، فإن الواجب الأخذ على يديه ومعاملته بالشدة وإجراء ما يستحقه من إقامة حدّ أو تعزير أو تهديد أو توبيخ حتى يقف عند حدّه وينزجر عن باطله
Adapun jika orang yang berbuat kezhaliman, kekufuran atau kefasikan senantiasa melakukannya dan peringatan serta nasihat tidak bermanfaat baginya dan tidak diperhatikannya, maka merupakan kewajiban untuk menghukuminya dan mensikapinya dengan keras serta memberlakukan hukum yang berhak atasnya, berupa pelaksanaan hadd [4], celaan, ancaman atau teguran yang tegas sehingga dia berhenti pada batasnya dan berhenti dari perbuatan bathilnya. [5]
Padahal, realita yang muncul dari sikap basa-basi ala partai-partai dan hizib-hizib Islam terhadap pelaku bid’ah serta sikap diam mereka terhadap kesalahan-kesalahan dan kekeliruan mereka, yaitu karena mereka telah membatasi jalan untuk menuju kepada kejayaan muslimin hanya melalui kotak-kotak suara pemilihan umum,
lalu merekapun murka terhadap kritikan, karena khawatir akan merusak (mengurangi) jumlah suara (pendukung mereka, -pent). Demikianlah suatu perbuatan jelek akan diikuti dengan perbuatan-perbuatan jelek lainnya.
Demikianlah ulasan ini dan oleh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan kepada kita akan adanya mukhalif (orang-orang yang menyelisihi kebenaran), maka kami pun menempuh jalan “tashfiyah” (pemurnian Islam dari hal-hal yang tidak Islami), karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kita untuk membantahnya sebagaimana telah saya jelaskan pada prinsip ini.
Dan oleh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat kemuliaan bagi para ulama dan orang-orang yang mengajarkan ilmu mereka sebagaimana yang telah kami jelaskan pada dua pilar sebelum pilar yang kelima ini, maka kamipun menempuh jalan tarbiyah (pembinaan generasi muslim di atas Islam yang telah dimurnikan,-pent) dan penjelasan tentang kedua hal ini tasfiyah dan tarbiyah akan datang sesudah prinsip ini.
[Disalin dari kitab Sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar, terj 6 Pilar Utama Dakwah Salafiyah, karya Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, Penerjemahguru kami, al-Ustadz Mubarak Bamuallim LC, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Dari Anas bin Malik : Bahwasanya seorang Arab gurun kencing di masjid, maka para sahabat bangkit, (memarahinya), maka Rasulullah bersabda :
“Janganlah kalian memutuskan kencingnya!” Lalu beliau menyuruh dibawakan seember air, kemudian dituangkan di atas tempat kencing tersebut” {HR Al-Bukhari no. 6025],-pent
[2]. Seperti pendidikan ala Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Islamiyah, Quthbiyyah (Para pengagum pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb rahimahullah), Sururiyyah (sebuah kelompok yang dipelopori oleh Muhammad Surur Zainal Abidin) dan lain-lainnya, -pent
[3]. Majmuu ‘Al-Fatawaa 28/53-54
[4]. Hadd adalah sangsi yang telah ditetapkan karena pelanggaran terhadap hak-hak Allah, seperti hadd zina, hadd menuduh orang berzina tanpa mendatangkan empat orang saksi, hadd pencurian, hadd karena minum-minuman keras dan setersunya, (Lihat Fiqh Sunnah II/317-318, cetakan Darul Kitab Al-Arabi, -pent)
[5]. Majmuu Al-Fatawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah III/202-203, karya Asy-Syaih Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Sumber: http://abusalma.net/?p=383
CATATAN ke II
Sebagian orang-orang yang lemah hatinya dan sedikit ilmunya akan sempit dadanya ketika menelaah kitab-kitab yang berisi bantahan. Ini didasari bahwa menjauhi bantah-membantah merupakan jalan yang paling dekat kepada waro’, dan lebih menjaga kehormatan kaum muslimin.
Namun jika seseorang mau sedikit meneliti sejarah perjalanan para ulama’ kita, maka hal itu akan mengabarkan anda bahwa tak ada suatu zaman pun yang kosong dari bantahan atas mukholif (orang menyelisihi kebenaran), walaupun ia (orang yang dibantah) adalah orang pilihan.
[Tapi tentunya dengan cara hikmah (bijak), sebab salafiyyun tahu berbuat bijak, bukan seperti yang dituduhkan oleh kaum hizbiyyun bahwa mereka (Salafiyyun) adalah kaum yang jahil, tidak memiliki fikih dalam mengingkari. Malah kaum hizbiyyun sebenarnya yang jahil, tak berhikmah. Lihat saja ketika mereka menasihati penguasa, mereka menyelisihi manhaj salaf !!]
Tatkala hampir semua kelompok-kelompok hizbiyyah berusaha menguburkan perkara an-naqd adz-dzati (bantahan atas person tertentu), menggugurkan amar ma’ruf nahi munkar , dan mengosongkan pertahanan kaum muslimin. Terkadang dengan dalih “menutupi aib kaum muslimin”, mengumpulkan makar bagi orang-orang kafir, dan lainnya diantar hujjah-hujjah yang didasari oleh perasaan yang menjadikan akal-akal mereka tercekoki di saat lemahnya ilmu. Semua ini mengharuskan kita untuk mengembalikan kebenaran pada tempatnya.
“agar dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)”. (QS. Al-Anfaal: 42).
Syaikh Bakr Ibn Abdillah Abu Zaid -hafizhahullah- berkata, “Orang-orang yang bersilat lidah demi mengingkari naqd (bantahan) terhadap kebatilan –walaupun sebagian diantara mereka nampak kesholehan-, tapi semua ini adalah bentuk lemahnya semangat, kurang memahami kebenaran. Bahkan pada hakikatnya, itu adalah bentuk larinya seseorang dari medan laga di hari peperangan; lari dari daerah pertahanan agama Allah. Ketika itu orang yang terdiam dari ucapan kebenaran laksana orang yang berbicara dengan kebatilan dalam dosa.
Abu Ali Ad-Daqqoq berkata, “Orang yang terdiam dari kebenaran adalah setan bisu; orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara”.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah mengabarkan tentang berpecahnya ummat ini menjadi 73 golongan. Keselamatan darinya bagi satu golongan yang berada di atas manhaj kenabian.
Apakah orang-orang yang mengingkari boleh memberikan pengingkaran dan bantahan kepada orang-orang yang menyimpang; apakah mereka ini menjadikan ummat ini menjadi satu golongan saja. Padahal terjadi perbedaan aqidah yang saling kontradiksi; ataukah itu adalah propaganda untuk mencerai-beraikan kalimat tauhid. Waspadailah !!
Mereka tak punya hujjah, selain lontaran ucapan-ucapan batil (mereka seperti):
“Jangan kalian memecah barisan dari dalam” (“Jangan mengguting dalam lipatan”) ,
“Jangan kalian menghamburkan debu di luar” (“Jangan mengacaukan suasana”, “Jangan memancing di air keruh”),
“Jangan kalian mengobarkan khilaf di natara kaum muslimin!”,
“Kita bersatu dalam perkara yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam perkara yang kita perselisihkan”.
Demikianlah halnya.
Iman yang paling rendah, kita katakan kepada mereka, “Apakah para pelaku kebatilan itu mau diam afar kita juga bisa diam; ataukah mereka menyerang aqidah di depan mata dan pendengaran kita, lalu kita diminta diam? Ya Allah, ini tak mungkin !!”
Kami memohon perlindungan kepada Allah bagi setiap muslim dari serangan hujjah orang-orang Yahudi. Mereka (orang-orang Yahudi) berselisih (berpecah-belah) tentang Al-Kitab, dan menyelisihi Al-Kitab. Sekalipun demikian mereka berusaha menampakkan persatuan dan kebersamaan. Namun Allah -Ta’ala- telah mendustakan mereka seraya berfirman,
“Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu Karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti”. (QS. Al-Hasyr:14).
Diantara sebab mereka dilaknat, apa yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat”. (QS. Al-Maa’idah:79)” .
Selesai ucapan Syaikh Bakr Abu Zaid -hafizhahullah-.
(Lihat Ar-Rodd ala Al-Mukholif min Ushul Al-Islam (hal.75-76) karya Syaikh Abu Zaid, dan Sittu Duror min Ushul Ahlil Atsar (hal. 109-110) karya Syaikh Abdul Malik Romadhoniy Al-Jaza’iriy.)
Syaikh Bakr Abu Zaid -hafizhahullah- berkata lagi,“Oleh karena ini, Jika Anda melihat ada orang yang membantah orang menyelisihi (kebenaran, -pent) dalam hal keganjilan fiqih, atau ucapan bid’ah, maka bersyukurlah kepadanya atas pembelaannya, sesuai kemampuannya.
Janganlah engkau menggembosinya dengan ucapan yang hina ini, (“Kenapa orang-orang sekuler tak dibantah?!“).
Manusia masing-masing memiliki kemampuan dan bakat (Maksud beliau bahwa jika ada orang yang membantah pelaku kebatilan, yah itulah kemampuan dan kesempatannya. Lalu kenapa tidak membantah orang-orang sekuler, yah serahkan kepada yang lain lagi, yang memiliki kemampuan membantah orang-orang sekuler !!), sedang membantah kebatilan adalah wajib (bagi setiap orang,-pent), walaupun bagaimana tingkatannya.
Setiap muslim berada dalam batas pertahanan agamanya”. [Lihat Ar-Rodd ala Al-Mukholif (hal.57), dan Sittu Duror (hal.111)]
Memberikan peringatan sesatnya suatu kelompok , baik dalam bentuk ceramah, maupun tulisan, itu bukanlah ghibah yang diharamkan. Boleh menyebutkan kesesatan seseorang, dan penyimpangannya di depan orang banyak, jika kemaslahatan menuntut hal itu.
Ibrahim An-Nakho’iy-rahimahullah- berkata, “Tak ada ghibah bagi pelaku bid’ah (ajaran baru)”. [Lihat Sunan Ad-Darimiy (394)]
Muhammad bin Bundar As-Sabbak Al-Jurjaniy-rahimahullah- berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal,
“Sungguh amat berat aku bilang, “si Fulan orangnya lemah, si fulan pendusta”.
Imam Ahmad berkata, “Jika kau diam, dan aku juga diam, maka siapakah yang akan memberitahukan seorang yang jahil bahwa ini yang benar, dan ini yang sakit (salah)”. [Lihat Thobaqot Al-Hanabilah (1/287)]
Sekali lagi kami nyatakan bahwa mengingkari penyimpangan, dan kekeliruan sebuah kelompok atau person bukanlah celaan atau ghibah. Tapi ia merupakan nasihat yang akan menjaga kemurnian Islam dari tangan-tangan jahil. Andaikan pengingkaran seperti ini tak ada, maka hancurlah agama yang suci ini, dan dunia ikut menjadi binasa.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam”. (QS. Al-Baqoroh: 251 )..
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Hajj: 40).
Allahu a’lamu
Mereka menyatakan bahwa sikap keras terhadap ahli bid’ah merupakan sikap loyalitas kepada kaum kuffar. Benarkah tuduhan ini? Mari kita simak ulasan Fadhilatusy Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani hafizhahullahu.
Beliau hafizhahullahu berkata :
Pada prinsipnya, “Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu anil Munkar” (perintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran) dilakukan dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالحِكْمَةِ وَالمَوْعِظَةِ الحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ….” [An-Nahl : 125]
Demikian pula firmanNya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘Alaihimas Salam :
اذْهَبَا إِلى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” [Thaha : 43-44]
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ما كان الرفق في شيء إلا زانه، ولا نُزع الرفق من شيء إلا شانه
“Sesungguhnya, tidaklah suatu kelembutan ada pada sesuatu kecuali ia pasti menghiasinya dan tidak pula kelembutan itu dicabut kecuali akan memperburuknya” [Hadits Riwayat Muslim No. 2594]
Namun demikian, apabila kemunkaran tidak berubah kecuali dengan menggunakan semacam kekasaran/kekerasan, maka tidaklah mengapa bila digunakannya, sekalipun terhadap sesama kaum muslimin.
Tidaklah engkau melihat bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membolehkan peperangan untuk menegakkan hal itu? Dan tiada kekerasan yang melebihi peperangan,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ المُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلى أَمْرِ اللهِ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang bebruat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” [Al-Hujarat : 9]
Terkadang, seorang mukmin bersikap sangat keras dalam mengingkari saudaranya melibihi sikap kerasnya terhadap musuh/lawannya.
Tidaklah engkau lihat kelembutan Nabi Musa terhadap Fir’aun, sementara beliau bersikap keras terhadap saudaranya, Harun?
Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan dengan firmanNya :
وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ
“Dan dia (Musa) memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya” [Al-A’raf : 150]
(Dari tindakan yang dilakukan oleh Musa terhadap saudaranya Harun,-pent) dapatkah seseorang melakukan protes terhadap Musa dengan menggunakan alasan “al-wala” (loyalitas) dan “al-bara” (sikap berlepas diri), yaitu dengan menuduh beliau membentangkan lisan dan tangan beliau terhadap saudaranya sendiri dan bersikap lemah lembut terhadap para thaghut?!
Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun terkadang mencela para ulama dari kalangan sahabat beliau dengan celaan yang lebih keras dari pada celaan beliau terhadap sahabat lainnya (yang bukan ulama, -pent) apabila mereka berbuat kesalahan.
Sebagai contoh, ucapan beliau kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu tatkala Mu’adz memanjangkan shalat ketika menjadi imam, memimpin kaumnya shalat berjama’ah, beliau mengatakan :
أفتّان أنت يا معاذ؟!
“Apakah engkau ingin menimbulkan fitnah, wahai Mu’adz?” [Hadist shahih riwayat Al-Bukhari no. 6126 dan Muslim no. 465]
Sebaliknya, sikap lemah lembut beliau terhadap seorang Badui (dari gurun pasir) yang kencing di masjid (beliau) sebagaimana termaktub dalam Shahih Al-Bukhari dan kitab-kitab hadits lainnya. [1]
Demikian pula sabda beliau kepada Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu tatkala ia membunuh seorang musyrik dalam peperangan setelah orang itu mengucapkan “kalimat tauhid” (Laa Ilaaha illallah) :
يا أسامة! أقتلته بعدما قال:لا إله إلا الله؟! « قال أسامة: ” فما زال يكررها حتى تمنيتُ أني لم أكن أسلمت قبل ذلك اليوم
“Wahai Usamah ! Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan ‘Laa Ilaaha illallah?! Usamah berkata : ‘beliau terus mengulang-ulangi ucapan itu, sehingga aku berangan-angan (seandainya) aku belum memeluk Islam sebelum hari itu” {Riwayat Al-Bukhari no. 4269 dan Muslim no. 96]
Dan sungguh Usamah telah mengambil pelajaran penting dari sikap keras Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya, ia menjadikannya sebagai sebuah nasihat pada masa terjadinya fitnah setelah peristiwa pembunuhan Khalifah Ar-Rasyid, Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, Tindakan keras Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut atas dirinya telah mewariskan padanya sikap ‘tawarru’ (berhati-hati) dari darah-darah kaum muslimin.
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata :
انتفع أسامة من يوم النبي ، إذ يقول له : كيف بلا إله إلا الله يا أسامة؟! فكفَّ يده، ولزم بيته، فأحسن
“Usamah telah mengambil pelajaran penting sejak hari ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya ; ‘Bagaimana dengan Laa Ilaaha illallah’ wahai Usamah ?!’ Maka dia pun menahan tangannya menetapi rumahnya, dengan demikian dia telah berbuat baik” [Lihat pada Siyar A’laamin Nubalaa II/500-501]
Aku (penulis) berkata : “Allohu Akbar ! Allah Mahabesar, alangkah agungnya pendidikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan alangkah hinanya pendidikan ala hizbiyyah [2], yang mana sejak ia mengharamkan prinsip ‘bantahan terhadap orang yang menyelisihi kebenaran’ sementara para pengikut mereka tidak memelihara diri mereka dari menumpahkan darah kaum muslimin, mereka menumpahkan darah-darah itu secara sia-sia dengan mengatas namakan jihad, hampir saja tidak ada suatu fitnah yang terjadi kecuali mereka sebagai bahan bakar atau penyulutnya”
Semua itu sebagai akibat dari sikap ‘mudahanah’ (berbasa-basi dalam masalah agama) di antara mereka karena beranggapan bahwa dengan berbuat demikian, mereka memanfaatkan orang-orang kafir.
Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
المؤمن للمؤمن كاليدين تغسل إحداهما الأخرى، وقد لا ينقلع الوسخ إلا بنوع من الخشونة، لكن ذلك يوجب من النظافة والنعومة ما نَحمد معه ذلك التخشين
“Seorang mukmin bagi mukmin yang lainnya ibarat kedua tangan, yang satu mencuci lainnya, terkadang kotoran (yang ada) tidak mudah lepas kecuali dengan mengunakan sejenis (gosokan) keras yang mengharuskannya menjadi bersih dan halus, dengan demikian kita memuji kekerasan tersebut” [3]
Jika demikian halnya, maka kelembutan yang diterapkan oleh sejumlah jama’ah Islam terhadap perorangan atau kelompok dari golongan orang-orang jahil yang bertindak semena-mena tanpa memikirkan akibatnya sehingga menyebabkan (para penguasa) meminta bantuan dari musuh-musuh (Islam) untuk menghancurkan kaum muslimin, (sikap lemah lembut tersebut terhadap mereka) tidak termasuk bagian dari al-wala (loyalitas) sedikitpun.
Karena sikap tersebut, menjadikan mereka semakin tenggelam dalam kesesatan karena mereka tidak pernah merasa akan besarnya tindak kejahatan mereka. Tidak hanya itu, pada hakikatnya kekerasan yang terkadang ditempuh terhadap kaum muslimin (yang menyelisihi kebenaran), didorong oleh perasaan “ghairah” (kecemburuan) atas mereka karena melihat mereka dikotori oleh beberapa perbuatan yang kotor serta terdorong pula oleh sebuah upaya untuk mengokohkan barisan dan menutup/membendung celah/lubang barisan itu, agar tidak dimasuki (oleh musuh,-pent). Maka hendaknya diketahui latar belakang penggunaan kekerasan tersebut!!!
Oleh sebab itu, Al-Alamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata di bawah sebuah judul tulisannya “Dalil-dalil Yang Menyingkap Kekeliruan Sebagian Penulis” :
ولا شك أن الشريعة الإسلامية الكاملة جاءت بالتحذير من الغلوّ في الدين، وأمرت بالدعوة إلى سبيل الحق بالحكمة والموعظة الحسنة والجدال بالتي هي أحسن، ولكنها لم تهمل جانب الغلظة والشدّة في محلّها حيث لا ينفع اللين والجدال بالتي هي أحسن
Tidak diragukan bahwasanya syari’at Islam yang sempurna telah datang dengan membawa peringatan agar waspada terhadap sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama dan memerintahkan agar berdakwah kepada jalan kebenaran dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta membantah dengan cara yang lebih baik.
Namun demikian, syari’at Islam tidak mengenyampingkan sikap kekerasan dan kekasaran jika memang cara itu diletakkan pada tempatnya, yaitu ketika tidak bermanfaat lagi penggunaan kelembutan dan dialog (berbantah-bantahan) dengan cara yanbg lebih baik.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يَأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الكُفَّارَ وَالمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka ….”
[At-Taubah : 73]
يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ مَعَ المُتَّقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitarmu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah berserta orang-orang yang bertakwa” [At-Taubah : 123]
Juga firmanNya :
وَلاَ تُجادِلُوا أَهْلَ الكِتَابِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka …” [Al-Ankabut : 46]
أما إذا لم ينفع واستمرّ صاحب الظلم أو الكفر أو الفسق في عمله ولم يبال بالواعظ والناصح، فإن الواجب الأخذ على يديه ومعاملته بالشدة وإجراء ما يستحقه من إقامة حدّ أو تعزير أو تهديد أو توبيخ حتى يقف عند حدّه وينزجر عن باطله
Adapun jika orang yang berbuat kezhaliman, kekufuran atau kefasikan senantiasa melakukannya dan peringatan serta nasihat tidak bermanfaat baginya dan tidak diperhatikannya, maka merupakan kewajiban untuk menghukuminya dan mensikapinya dengan keras serta memberlakukan hukum yang berhak atasnya, berupa pelaksanaan hadd [4], celaan, ancaman atau teguran yang tegas sehingga dia berhenti pada batasnya dan berhenti dari perbuatan bathilnya. [5]
Padahal, realita yang muncul dari sikap basa-basi ala partai-partai dan hizib-hizib Islam terhadap pelaku bid’ah serta sikap diam mereka terhadap kesalahan-kesalahan dan kekeliruan mereka, yaitu karena mereka telah membatasi jalan untuk menuju kepada kejayaan muslimin hanya melalui kotak-kotak suara pemilihan umum,
lalu merekapun murka terhadap kritikan, karena khawatir akan merusak (mengurangi) jumlah suara (pendukung mereka, -pent). Demikianlah suatu perbuatan jelek akan diikuti dengan perbuatan-perbuatan jelek lainnya.
Demikianlah ulasan ini dan oleh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan kepada kita akan adanya mukhalif (orang-orang yang menyelisihi kebenaran), maka kami pun menempuh jalan “tashfiyah” (pemurnian Islam dari hal-hal yang tidak Islami), karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kita untuk membantahnya sebagaimana telah saya jelaskan pada prinsip ini.
Dan oleh karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencatat kemuliaan bagi para ulama dan orang-orang yang mengajarkan ilmu mereka sebagaimana yang telah kami jelaskan pada dua pilar sebelum pilar yang kelima ini, maka kamipun menempuh jalan tarbiyah (pembinaan generasi muslim di atas Islam yang telah dimurnikan,-pent) dan penjelasan tentang kedua hal ini tasfiyah dan tarbiyah akan datang sesudah prinsip ini.
[Disalin dari kitab Sittu Durar min Ushuuli Ahlil Atsar, terj 6 Pilar Utama Dakwah Salafiyah, karya Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani, Penerjemahguru kami, al-Ustadz Mubarak Bamuallim LC, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Foote Note
[1]. Dari Anas bin Malik : Bahwasanya seorang Arab gurun kencing di masjid, maka para sahabat bangkit, (memarahinya), maka Rasulullah bersabda :
“Janganlah kalian memutuskan kencingnya!” Lalu beliau menyuruh dibawakan seember air, kemudian dituangkan di atas tempat kencing tersebut” {HR Al-Bukhari no. 6025],-pent
[2]. Seperti pendidikan ala Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Islamiyah, Quthbiyyah (Para pengagum pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb rahimahullah), Sururiyyah (sebuah kelompok yang dipelopori oleh Muhammad Surur Zainal Abidin) dan lain-lainnya, -pent
[3]. Majmuu ‘Al-Fatawaa 28/53-54
[4]. Hadd adalah sangsi yang telah ditetapkan karena pelanggaran terhadap hak-hak Allah, seperti hadd zina, hadd menuduh orang berzina tanpa mendatangkan empat orang saksi, hadd pencurian, hadd karena minum-minuman keras dan setersunya, (Lihat Fiqh Sunnah II/317-318, cetakan Darul Kitab Al-Arabi, -pent)
[5]. Majmuu Al-Fatawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah III/202-203, karya Asy-Syaih Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Sumber: http://abusalma.net/?p=383
CATATAN ke II
Sebagian orang-orang yang lemah hatinya dan sedikit ilmunya akan sempit dadanya ketika menelaah kitab-kitab yang berisi bantahan. Ini didasari bahwa menjauhi bantah-membantah merupakan jalan yang paling dekat kepada waro’, dan lebih menjaga kehormatan kaum muslimin.
Namun jika seseorang mau sedikit meneliti sejarah perjalanan para ulama’ kita, maka hal itu akan mengabarkan anda bahwa tak ada suatu zaman pun yang kosong dari bantahan atas mukholif (orang menyelisihi kebenaran), walaupun ia (orang yang dibantah) adalah orang pilihan.
[Tapi tentunya dengan cara hikmah (bijak), sebab salafiyyun tahu berbuat bijak, bukan seperti yang dituduhkan oleh kaum hizbiyyun bahwa mereka (Salafiyyun) adalah kaum yang jahil, tidak memiliki fikih dalam mengingkari. Malah kaum hizbiyyun sebenarnya yang jahil, tak berhikmah. Lihat saja ketika mereka menasihati penguasa, mereka menyelisihi manhaj salaf !!]
Tatkala hampir semua kelompok-kelompok hizbiyyah berusaha menguburkan perkara an-naqd adz-dzati (bantahan atas person tertentu), menggugurkan amar ma’ruf nahi munkar , dan mengosongkan pertahanan kaum muslimin. Terkadang dengan dalih “menutupi aib kaum muslimin”, mengumpulkan makar bagi orang-orang kafir, dan lainnya diantar hujjah-hujjah yang didasari oleh perasaan yang menjadikan akal-akal mereka tercekoki di saat lemahnya ilmu. Semua ini mengharuskan kita untuk mengembalikan kebenaran pada tempatnya.
“agar dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)”. (QS. Al-Anfaal: 42).
Syaikh Bakr Ibn Abdillah Abu Zaid -hafizhahullah- berkata, “Orang-orang yang bersilat lidah demi mengingkari naqd (bantahan) terhadap kebatilan –walaupun sebagian diantara mereka nampak kesholehan-, tapi semua ini adalah bentuk lemahnya semangat, kurang memahami kebenaran. Bahkan pada hakikatnya, itu adalah bentuk larinya seseorang dari medan laga di hari peperangan; lari dari daerah pertahanan agama Allah. Ketika itu orang yang terdiam dari ucapan kebenaran laksana orang yang berbicara dengan kebatilan dalam dosa.
Abu Ali Ad-Daqqoq berkata, “Orang yang terdiam dari kebenaran adalah setan bisu; orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara”.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah mengabarkan tentang berpecahnya ummat ini menjadi 73 golongan. Keselamatan darinya bagi satu golongan yang berada di atas manhaj kenabian.
Apakah orang-orang yang mengingkari boleh memberikan pengingkaran dan bantahan kepada orang-orang yang menyimpang; apakah mereka ini menjadikan ummat ini menjadi satu golongan saja. Padahal terjadi perbedaan aqidah yang saling kontradiksi; ataukah itu adalah propaganda untuk mencerai-beraikan kalimat tauhid. Waspadailah !!
Mereka tak punya hujjah, selain lontaran ucapan-ucapan batil (mereka seperti):
“Jangan kalian memecah barisan dari dalam” (“Jangan mengguting dalam lipatan”) ,
“Jangan kalian menghamburkan debu di luar” (“Jangan mengacaukan suasana”, “Jangan memancing di air keruh”),
“Jangan kalian mengobarkan khilaf di natara kaum muslimin!”,
“Kita bersatu dalam perkara yang kita sepakati, dan saling memaafkan dalam perkara yang kita perselisihkan”.
Demikianlah halnya.
Iman yang paling rendah, kita katakan kepada mereka, “Apakah para pelaku kebatilan itu mau diam afar kita juga bisa diam; ataukah mereka menyerang aqidah di depan mata dan pendengaran kita, lalu kita diminta diam? Ya Allah, ini tak mungkin !!”
Kami memohon perlindungan kepada Allah bagi setiap muslim dari serangan hujjah orang-orang Yahudi. Mereka (orang-orang Yahudi) berselisih (berpecah-belah) tentang Al-Kitab, dan menyelisihi Al-Kitab. Sekalipun demikian mereka berusaha menampakkan persatuan dan kebersamaan. Namun Allah -Ta’ala- telah mendustakan mereka seraya berfirman,
“Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu Karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti”. (QS. Al-Hasyr:14).
Diantara sebab mereka dilaknat, apa yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat”. (QS. Al-Maa’idah:79)” .
Selesai ucapan Syaikh Bakr Abu Zaid -hafizhahullah-.
(Lihat Ar-Rodd ala Al-Mukholif min Ushul Al-Islam (hal.75-76) karya Syaikh Abu Zaid, dan Sittu Duror min Ushul Ahlil Atsar (hal. 109-110) karya Syaikh Abdul Malik Romadhoniy Al-Jaza’iriy.)
Syaikh Bakr Abu Zaid -hafizhahullah- berkata lagi,“Oleh karena ini, Jika Anda melihat ada orang yang membantah orang menyelisihi (kebenaran, -pent) dalam hal keganjilan fiqih, atau ucapan bid’ah, maka bersyukurlah kepadanya atas pembelaannya, sesuai kemampuannya.
Janganlah engkau menggembosinya dengan ucapan yang hina ini, (“Kenapa orang-orang sekuler tak dibantah?!“).
Manusia masing-masing memiliki kemampuan dan bakat (Maksud beliau bahwa jika ada orang yang membantah pelaku kebatilan, yah itulah kemampuan dan kesempatannya. Lalu kenapa tidak membantah orang-orang sekuler, yah serahkan kepada yang lain lagi, yang memiliki kemampuan membantah orang-orang sekuler !!), sedang membantah kebatilan adalah wajib (bagi setiap orang,-pent), walaupun bagaimana tingkatannya.
Setiap muslim berada dalam batas pertahanan agamanya”. [Lihat Ar-Rodd ala Al-Mukholif (hal.57), dan Sittu Duror (hal.111)]
Memberikan peringatan sesatnya suatu kelompok , baik dalam bentuk ceramah, maupun tulisan, itu bukanlah ghibah yang diharamkan. Boleh menyebutkan kesesatan seseorang, dan penyimpangannya di depan orang banyak, jika kemaslahatan menuntut hal itu.
Ibrahim An-Nakho’iy-rahimahullah- berkata, “Tak ada ghibah bagi pelaku bid’ah (ajaran baru)”. [Lihat Sunan Ad-Darimiy (394)]
Muhammad bin Bundar As-Sabbak Al-Jurjaniy-rahimahullah- berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal,
“Sungguh amat berat aku bilang, “si Fulan orangnya lemah, si fulan pendusta”.
Imam Ahmad berkata, “Jika kau diam, dan aku juga diam, maka siapakah yang akan memberitahukan seorang yang jahil bahwa ini yang benar, dan ini yang sakit (salah)”. [Lihat Thobaqot Al-Hanabilah (1/287)]
Sekali lagi kami nyatakan bahwa mengingkari penyimpangan, dan kekeliruan sebuah kelompok atau person bukanlah celaan atau ghibah. Tapi ia merupakan nasihat yang akan menjaga kemurnian Islam dari tangan-tangan jahil. Andaikan pengingkaran seperti ini tak ada, maka hancurlah agama yang suci ini, dan dunia ikut menjadi binasa.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam”. (QS. Al-Baqoroh: 251 )..
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Hajj: 40).
Allahu a’lamu
sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=244017955712462&set=p.244017955712462&type=1
0 komentar:
Posting Komentar