-->

04 September 2012

Talak Bagian 8 (‘Iddah)

Setelah Suami dan Istri Berpisah

Seorang wanita yang telah berpisah dengan suaminya, baik karena suaminya telah meninggal dunia atau karena suaminya telah menceraikannya, maka dia akan menjadi seorang janda. Wanita yang baru saja berpisah dengan suaminya harus melewati masa ‘iddah, yaitu masa di mana seorang wanita menunggu untuk dibolehkan menikah lagi setelah habis waktunya, baik dengan hitungan quru’ (masa haidh) atau dengan hitungan bulan. [Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (VII/265), Terj. Al-Wajiz (hal. 642), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/418), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 321)]
Adapun hikmah disyari’atkannya ‘iddah adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui terbebasnya rahim, dan sehingga tidak bersatu air mani dari dua laki-laki atau lebih yang telah menggauli wanita tersebut pada rahimnya. Sehingga nasab anak yang mungkin dilahirkan tidak menjadi kacau.
  2. Menunjukkan keagungan, kemulian masalah pernikahan dan hubungan badan.
  3. Memberi kesempatan bagi sang suami yang telah mentalak istrinya untuk rujuk kembali. Karena bisa jadi ada suami yang menyesal setelah mentalak istrinya.
  4. Memuliakan kedudukan sang suami di mata sang istri. Sehingga dengan adanya masa iddah akan semakin menampakkan pengaruh perpisahan antara pasangan suami-istri. Karena itu, di masa iddah karena ditinggal mati, wanita dilarang untuk berhias dan mempercantik diri, sebagai bentuk berkabung atas meninggalkan sang kekasih.
  5. Berhati-hati dalam menjaga hak suami, kemaslahatan istri dan hak anak-anak, serta melaksanakan hak Allah yang telah mewajibkannya. [Lihat I'laamul Muwaqqi'iin (II/85)]
Masa ‘iddah setiap wanita dapat berbeda-beda, berdasarkan keadaannya dan sebab perpisahannya. Berikut beberapa rinciannya:
  1. Wanita yang ditinggal mati suaminya, baik dia sudah dicampuri ataupun belum, maka masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
    وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّـوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ ازْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ارْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًاۚ…
    Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah selama) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. Al-Baqarah: 234)
  2. Wanita yang ditalak dan sudah dicampuri suami, serta masih dalam usia haid maka masa ‘iddahnya adalah selama tiga kali haid. Setelah masuk masa suci yang ketiga maka masa ‘iddahnya telah habis. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
    والْمُطَـلَّقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَـلَـثَـةَ قُرُوْءٍۗ …
    Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Qs. Al-Baqarah: 228)
    Dan lafazh quru’ (قروء ) pada ayat di atas maknanya adalah haidh. [Lihat penjelasan mengenai hal ini dalam Terj. Subulus Salam (III/126-132) dan kitab lainnya]
  3. Wanita yang ditalak dan tidak mengalami haid, misalnya karena masih kecil atau sudah tua (menopause), maka masa ‘iddahnya adalah 3 bulan. Allah berfirman :
    وَالَئِيْ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِسَآئٍكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِـدَّتُهُنَّ ثَلَـثَةُ اَشْهُـرٍ وَّالَّئِيْ لَمْ يَحِضْنَۗ …
    Wanita-wanita yang tidak haidh lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.” (Qs. Ath-Thalaaq: 4)
  4. Wanita yang ditalak oleh suaminya dan belum dicampuri, maka tidak ada ‘iddah baginya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
    يَـاَيُّـهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْآ اِذَا نَكُحْتُمُ الْمُؤْمِنَتِ ثُـمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْ هُنَّ فَمَالَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَـدُّوْ نَهَاۚ …
    Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa ‘iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan..” (Qs. Al-Ahzaab: 49)
  5. Wanita yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
    وَاُلَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ …
    Dan wanita-wanita yang hamil, (waktu ‘iddah mereka itu) adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Qs. Ath-Thalaq: 4)
    Catatan:
    • Wanita hamil yang berpisah dengan suaminya, diperbolehkan untuk menikah lagi, setelah dia melahirkan, meskipun masa nifasnya belum selesai. Namun suami yang barunya tidak boleh mencampurinya hingga wanita tersebut suci dari darah nifasnya. [Lihat Umdatul Ahkaam Kitab Ath-Thalaq bab 'Iddah (no. 325) dan Terj. Subulus Salam (III/108-109)]
    • Wanita hamil yang mengalami keguguran sehingga mengakibatkan luruhnya janin dari rahimnya maka masa ‘iddahnya selesai bersamaan dengan gugurnya janin. [Lihat penjelasan Syaikh 'Abdurrahman As-Sa'di dalam Al-Majmu' Al-Kamilah Limu'allafatisy Syaikh 'Abdurrahman As-Sa'di (VII/384-385) dan Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (II/224-225). Lihat juga Terj. Subulus Salam (III/109)]
  6. Wanita al-Murtaabah. Wanita murtabah adalah wanita yang siklus haidnya tidak teratur. Wanita dalam kondisi ini ada dua keadaan:
    • Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah karena sebab yang diketahui, seperti menyusui, cacat atau sakit yang masih ada harapan untuk sembuh. Dalam kondisi ini, wanita diwajibkan untuk bersabar sampai siklus haidnya kembali normal, meskipun waktunya panjang. Setelah siklus haid kembali normal maka dia menjalani masa iddahnya dengan hitungan quru’ (menjalani 3 kali haid). Ini adalah pendapat Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum.
    • Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah namun sebabnya tidak diketahui. Dalam kondisi ini, wanita wajib menunggu selama 9 bulan, sehingga diketahui dengan pasti bahwa rahimnya bersih, kemudian melakukan ‘iddahnya selama 3 bulan. Dengan demikian, ‘iddahnya menjadi 1 tahun. [Lihat Ad-Dasuqi (II/470), Al-Mughni (VII/466), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/420-421), Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (XXIX/329)]Hal ini berdasarkan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, tentang wanita murtabah namun sebabnya tidak diketahui, “Hendaklah ia menunggu selama sembilan bulan, kemudian jika tidak nampak pada dirinya (tanda-tanda) kehamilan, maka hendaklah ia melakukan ‘iddah selama tiga bulan, maka semuanya menjadi satu tahun penuh.” [Riwayat Imam Asy-Syafi'i dalam Musnadnya (II/107 Syifaa-ul 'Ayy)]
  7. Wanita al-mustahadhah. Dalam kondisi istihadhah, wanita ada dua keadaan:
    • Dia dapat membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah, maka ‘iddahnya adalah tiga kali siklus haid.
    • Dia tidak dapat membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Wanita yang mengalami kondisi semacam ini disebut al-mutahayyirah (wanita yang ragu), dan masa ‘iddahnya adalah selama 3 bulan. [Lihat Fat-hul Baari (IV/312), Ad-Dasuqi (II/470), Mughni Muhtaaj (III/385), Al-Mughni (III/468), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/ 421)]Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
      … إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِـدَّتُهُنَّ ثَلَـثَةُ اَشْهُـرٍ …
      “…jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddahnya adalah tiga bulan…” (Qs. Ath-Thalaaq: 4)
  8. Wanita menuntut cerai kepada suaminya (melakukan khulu’), maka tidak ada ‘iddah baginya, karena khulu’ adalah fasakh (pembatalan akad nikah) dan bukan talak. Namun wanita tersebut menunggu selama satu kali haidh, setelah itu halal baginya untuk menikah lagi. [Lihat Zaadul Ma'ad (V/199), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/428)]Sebagaimana diriwayatkan dari Rubayi’ binti Mu’awwidz,
    أَنَّهَا اِخْتَـلَعْـتَ مِنْ زَوْجِهَا فَـأَتَتْ عُـثْمَانَ بْنَ عَـفَّانَ فَـسَأَلْـتَهُ : مَاذَا عَـلَيَّ مِنَ الْعِـدَّةِ ؟ فَـقَالَ : لاَعِـدَّةَ عَلَيْـكِ إِلاَّ أَنْ تَـكُوْ نِيْ حَدِيْـثَـةَ عَـهْـدٍ بِهِ فَـتَمْكُثِي حَتَّى تَحِيضِي حَيْضَةً ، قَالَ : وَأَنَا مُتَّبِـعٌ فِي ذَلِـكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي مَرْيَمَ الْمُغَالِيَّةِ ، كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسْ فَاخْتَـلَعَتْ مِنْهُ .
    Bahwasanya dia mengajukan khulu’ dari suaminya, lalu dia mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan dan bertanya kepadanya, ‘Apakah ada kewajiban ‘iddah kepadaku?’ Utsman menjawab, ‘Tidak ada ‘iddah kepadamu, kecuali kamu baru saja bersenggama dengannya sehingga datang kepadamu haidh satu kali.’ ‘Utsman melanjutkan perkataannya, ‘Dan aku mengikuti apa yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam masalah ini kepada Maryam al-Mughaliyah.’ Dia (Maryam) adalah istri Tsabit bin Qais bin Syammas yang mengajukan khulu’ darinya.” [Hadits shahih li ghairih. Riwayat An-Nasa'i (VI/186) dan Ibnu Majah (no. 2058)]
Setelah mengetahui batasan waktu yang ditetapkan oleh Islam untuk wanita yang menjalani masa ‘iddah, maka kita pun perlu mengetahui apa saja yang ditetapkan oleh syari’at untuk wanita yang sedang dalam masa ‘iddah.
  1. Wanita tersebut wajib untuk tetap tinggal di rumah suaminya atau di rumah mahramnya. Dan dia tidak keluar rumah kecuali untuk suatu kebutuhan yang mendesak dan bergegas kembali apabila kebutuhannya telah terpenuhi.
  2. Wajib bagi wanita tersebut untuk menjauhi segala bentuk perhiasan, wewangian, dan aktivitas berhias, seperti bercelak, mengenakan inai (pacar) dan sebagainya yang dapat membangkitkan hasrat lawan jenis untuk meminangnya. [Lihat Al-'Adad wal Ihdaad (hal. 18), Al-Mughni (VII/518), Al-Muwaththa' (II/599), Terj. Subulus Salam (III/117-123), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/408-411)]
bersambung insyaallah
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:
  • Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
  • Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
  • Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
  • Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
  • Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
  • Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
  • Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
  • Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
  • Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
  • Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
  • Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
  • ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.