Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah senantiasa memberikan rahmatNya kepada kita semua….
Para penentang Ahlussunnah telah menyebarkan tuduhan bahwa Syaikh Bin Baz telah mengkafirkan Sahabat Nabi. Mereka mengambil kesimpulan yang salah terhadap pernyataan Syaikh Bin Baz rahimahullah dalam ta’liq terhadap kitab Fathul Bari. Insya Allah nanti akan terlihat dengan jelas kedustaan tuduhan tersebut. Hanya kepada Allahlah kita berserah diri dan memohon pertolongan.
Untuk memperjelas, akan dinukilkan penjelasan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari yang dita’liq oleh Syaikh Bin Baz tersebut. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany rahimahullah menyatakan:
وَرَوَى اِبْن أَبِي شَيْبَة بِإِسْنَادٍ صَحِيح مِنْ رِوَايَة أَبِي صَالِح السَّمَّانِ عَنْ مَالِك الدَّارِيّ – وَكَانَ خَازِن عُمَر – قَالَ ” أَصَابَ النَّاس قَحْط فِي زَمَن عُمَر فَجَاءَ رَجُل إِلَى قَبْر النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُول اللَّه اِسْتَسْقِ لِأُمَّتِك فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا ، فَأُتِيَ الرَّجُلُ فِي الْمَنَام فَقِيلَ لَهُ : اِئْتِ عُمَر ” الْحَدِيث . وَقَدْ رَوَى سَيْف فِي الْفُتُوح أَنَّ الَّذِي رَأَى الْمَنَام الْمَذْكُور هُوَ بِلَال بْن الْحَارِث الْمُزَنِيُّ أَحَد الصَّحَابَة ، وَظَهَرَ بِهَذَا كُلّه مُنَاسَبَة التَّرْجَمَة لِأَصْلِ هَذِهِ الْقِصَّة أَيْضًا وَاَللَّه الْمُوَفِّق
“Dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari riwayat Abu Sholih as-Sammaan dari Malik ad-Daari – yang merupakan bendahara Umar- ia berkata: “manusia tertimpa kekeringan pada zaman Umar, kemudian datang seorang laki-laki ke kuburan Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah untuk umatmu agar diturunkan hujan karena mereka telah binasa. Kemudian laki-laki itu dalam mimpinya didatangi oleh seseorang yang berkata: ‘Datangilah Umar’ (al-hadits). Dan Saif telah meriwayatkan dalam ‘alFutuh’ bahwa lelaki yang melihat dalam mimpinya tersebut adalah Bilal bin al-Harits al-Muzany salah seorang Sahabat. Nampak jelaslah dengan ini seluruhnya kesesuaian penjelasan dengan dasar kisah ini juga, Allahlah satu-satunya Pemberi taufiq (Fathul Baari juz 3 halaman 441).
Penjelasan al-Hafidz Ibnu Hajar tersebut dita’liq oleh Syaikh Bin Baz sebagai berikut:
هذا الأثر على فرض صحته كما قال الشارح ليس بحجة على جواز الاستسقاء بالنبي صلى الله عليه وسلم بعد وفاته لأن السائل مجهول ولأن عمل الصحابة رضي الله عنهم على خلافه وهم أعلم الناس بالشرع ولم يأت أحد منهم إلى قبره يسأله السقيا ولا غيرها بل عدل عمر عنه لما وقع الجدب إلى الاستسقاء بالعباس ولم يُنكر ذلك عليه أحد من الصحابة فعُلم أن ذلك هو الحق وأن ما فعله هذا الرجل منكر ووسيلة إلى الشرك بل قد جعله بعض أهل العلم من أنواع الشرك . وأما تسمية السائل في رواية سيف المذكور بلال بن الحارث ففي صحة ذلك نظر ، ولم يذكر الشارح سند سيف ، وعلى تقدير صحته عنه لا حجة فيه ، لأن عمل كبار الصحابة يخالفه وهم أعلم بالرسول وشريعته من غيرهم والله أعلم
Atsar ini kalau kita terima keshahihannya sebagaimana penjelasan pensyarah (Ibnu Hajar) bukanlah hujjah atas bolehnya istisqo’ (doa meminta hujan) setelah wafatnya Nabi. Karena orang yang meminta tersebut adalah majhul (tidak dikenal), dan perbuatan para Sahabat radliyallaahu ‘anhum berbeda dengannya. Padahal mereka (para Sahabat Nabi) adalah orang yang paling mengetahui tentang syariat. Tidak ada salah seorangpun dari mereka yang datang ke kuburan Nabi dan meminta agar diturunkan hujan, tidak pula Ulama’ yang lain.
Bahkan Umar (bin al-Khottob) menghindar darinya ketika terjadi paceklik (kekeringan), (justru) meminta didoakan (istisqo’) kepada Abbas, dan hal ini tidaklah diingkari oleh seorangpun dari kalangan Sahabat. Maka itu menunjukkan bahwa hal tersebut adalah benar (haq), dan apa yang dilakukan oleh laki-laki tersebut adalah kemunkaran dan wasilah (perantara) kepada kesyirikan. Bahkan sebagian Ulama’ menjadikannya termasuk kesyirikan.
Sedangkan penyebutan nama orang yang meminta tersebut dalam riwayat Saif tersebut adalah Bilal bin al-Harits, maka keshahihannya perlu ditinjau lagi. Dan pensyarah (Ibnu Hajar) tidak menyebutkan sanad (pada riwayat) Saif. Kalaupun riwayat itu shahih, itu tidaklah bisa dijadikan sebagai hujjah. Karena amalan-amalan kibaarus Shohaabah (pemuka-pemuka dari kalangan Sahabat Nabi) menyelisihinya padahal mereka lebih mengetahui tentang Rasul dan syariatnya dibandingkan selain mereka. Wallaahu a’lam.
Demikianlah penjelasan dari Syaikh Bin Baz. Jika kita mencermati penjelasan tersebut, kita akan mendapatkan beberapa hal:
1). Syaikh Bin Baz meragukan keshahihan riwayat tersebut.
Hal-hal yang menunjukkan beliau meragukan keshahihan riwayat tersebut adalah:
a). Beliau menyatakan: “Atsar ini kalau kita terima keshahihannya…”
(Insya Allah nanti akan dijelaskan lebih lanjut bahwa atsar tersebut sebenarnya lemah).
b). Salah satu indikasi kelemahan riwayat tersebut adalah pertentangan dengan amalan Sahabat Nabi yang lain. Seperti yang dilakukan Umar bin al-Khottob, bukannya meminta ke kuburan Nabi, namun meminta Abbas yang masih hidup untuk berdoa meminta diturunkan hujan.
2). Syaikh Bin Baz cenderung berpendapat bahwa laki-laki yang berkata dalam mimpinya tersebut adalah majhul (tidak dikenal).
Syaikh Bin Baz menyatakan: “Karena orang yang meminta tersebut adalah majhul (tidak dikenal)”.
Syaikh Bin Baz tidak menyakini bahwa orang yang disebutkan dalam kisah tersebut adalah Sahabat Nabi. Beliau menyatakan: “ Sedangkan penyebutan nama orang yang meminta tersebut dalam riwayat Saif adalah Bilal bin al-Harits, maka keshahihannya perlu ditinjau lagi. Dan pensyarah (Ibnu Hajar) tidak menyebutkan sanad (pada riwayat) Saif”.
Sehingga nampak jelaslah kedustaan tuduhan tersebut. Syaikh Bin Baz sama sekali tidak mengkafirkan Sahabat Nabi. Sungguh jauh hal itu dari beliau. Beliau hanya menyatakan bahwa menurut sebagian Ulama’ perbuatan laki-laki tersebut adalah kesyirikan. Beliau tidak meyakini laki-laki tersebut sebagai Sahabat Nabi. Meskipun perbuatan laki-laki tersebut telah melakukan perbuatan kesyirikan, tidak serta merta ia dinilai sebagai orang yang kafir. Harus dibedakan antara penilaian terhadap perbuatan/ ucapan dengan pelaku. Perbuatan kekafiran tidak langsung menyebabkan seseorang langsung divonis kafir. Harus dilihat faktor-faktor yang lain. Silakan disimak penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin yang kami nukilkan pada tulisan bantahan seri ke-12 berjudul: KEDUSTAAN TUDUHAN : AL-UTSAIMIN MENGKAFIRKAN ANNAWAWI DAN IBNU HAJAR.
Benarkah laki-laki itu adalah Sahabat Nabi yang bernama Bilal bin al-Harits?
Jika dikaji lebih jauh, ternyata tidak benar jika laki-laki tersebut adalah Sahabat Nabi yang bernama Bilal bin al-Harits. Bagaimana bisa demikian?
Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyatakan bahwa penyebutan nama laki-laki tersebut sebagai Bilal bin al-Harits terdapat dalam riwayat Saif. Siapakah Saif tersebut? Saif adalah penyusun kitab ‘al-Futuh’ –sebagaimana disebutkan dalam Fathul Baari tersebut-.
Saif tersebut sebenarnya adalah Saif bin Umar atTamimi. Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyatakan:
سيف بن عمر التميمي الأسدي الكوفي صاحب الفتوح وكتاب الردة
“Saif bin Umar atTamiimy al-Asady al-Kuufiy penyusun ‘al-Futuuh’ dan kitaabur Riddah” (Lihat Lisaanul Miizan karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany juz 3 halaman 209, sebagian kitab menyebutkan no perawi yang ke 3259 pada bagian nama-nama perawi: Sayyaar, Siidan, dan Saif)
Saif itu sendiri adalah perawi yang secara kesepakatan Ulama’ Ahlul hadits ditinggalkan (matruk) periwayatannya. Al-Hafidz adz-Dzahaby menyatakan:
سيف بن عمر التميمي الأسدي له تواليف متروك باتفاق وقال ابن حبان اتهم بالزندقة قلت ادرك التابعين وقد اتهم قال ابن حبان يروي الموضوعات
“Saif bin Umar atTamimi al-Asady ia memiliki karangan-karangan yang bermacam-macam, ia matruk (ditinggalkan) secara kesepakatan. Ibnu Hibban menyatakan: ia tertuduh sebagai zindiq. Aku mengatakan (Adz-Dzahaby) ia mendapati para tabi’in. Dan ia adalah seorang tertuduh. Ibnu Hibban berkata: Ia meriwayatkan riwayat-riwayat palsu” (Lihat al-Mughni fid Dlu’afaa’ karya Adz-Dzahaby juz 1 halaman 292 nomor perawi 2716).
Sebenarnya, al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany sendiri menilai Saif tersebut sebagai perawi yang lemah. Silakan disimak pernyataan Ibnu Hajar berikut dalam kitab Taqriibut Tahdziib:
سيف بن عمر التميمي صاحب كتاب الردة ويقال له الضبي ويقال غير ذلك الكوفي ضعيف الحديث
“Saif bin Umar atTamimi penyusun kitab ar-Riddah, dia disebut juga ad-Dlabiy, disebut juga dengan penyebutan yang lain, al-Kuufi (tinggal di Kufah), dia adalah dhaiful hadits (lemah dalam meriwayatkan hadits)(Lihat Taqriibut Tahdziib juz 1 halaman 408).
Atas dasar itulah, benar apa yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany ketika menyebutkan kelemahan atsar tersebut:
لا حجة فيها ، لأن مدارها على رجل لم يسمَّ فهو مجهول أيضا ، وتسميته بلالا في رواية سيف لا يساوي شيئا ، لأن سيفا هذا هو ابن عمر التميمي ، متفق على ضعفه عند المحدثين بل قال ابن حبان فيه : يروي الموضوعات عن الأثبات وقالوا : إنه كان يضع الحديث ، فمن كان هذا شأنه لا تُقبل روايته ولا كرامة لاسيما عند المخالفة
“Atsar tersebut tidak bisa digunakan sebagai hujjah, karena berkisar pada seorang laki-laki yang tidak disebutkan namanya, maka ia adalah majhul (tidak dikenal). Penyebutan namanya sebagai Bilal dalam riwayat Saif tidak bisa mendukungnya sama sekali. Karena Saif tersebut adalah Ibnu Umar atTamimi, yang disepakati kelemahannya oleh para Ulama Ahlul hadits. Bahkan Ibnu Hibban menyatakan tentangnya: ‘ia meriwayatkan riwayat-riwayat palsu dari orang-orang yang terpercaya. Ibnu Hibban juga menyatakan: ‘ia adalah pemalsu hadits’. Jika demikian keadaannya, maka tidaklah diterima periwayatannya, tidak ada kehormatan, apa lagi periwayatan yang menyelisihi (riwayat yang shahih)(Lihat ‘atTawassul karya Syaikh alAlbany halaman 132).
SISI LAIN KELEMAHAN ATSAR TERSEBUT
Atsar tersebut adalah atsar yang lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Beberapa sisi kelemahan atsar tersebut di antaranya:
1) Salah satu perawinya adalah al-A’masy yang menyebutkan periwayatan dengan kalimat ‘an (dari), bukan dengan menyatakan : haddatsanaa, akhbaronaa, atau semisalnya. Sedangkan al-‘Amasy adalah perawi yang mudallis.
Adz-Dzahaby menyatakan tentang al-A’masy:
أحد الأئمة الثقات ، عِداده في صغار التابعين ، ما نَقَمُوا عليه إلاَّ التدليس
‘Dia adalah salah seorang Imam yang terpercaya, terhitung sebagai shigharut taabi’in. Kami tidaklah menuduhnya kecuali bahwa ia (suka melakukan) tadlis”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan atsar tersebut dengan menyatakan:
حدثنا أبو معاوية عن الأعمش عن أبي صالح عن مالك الدار
“Telah memberitakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari al-A’masy dari Abu Shalih dari Maalik ad-Daar”(Mushonnaf Ibn Abi Syaibah juz 7 halaman 482).
2) Malik ad-Daar tidak dikenal (majhul) di kalangan Ulama’ Ahlul hadits.
Al-Haitsamy menyatakan : ‘Maalik ad-Daar, aku tidak mengenalnya’ (lihat Majma’uz Zawaaid (3/125). Demikian juga yang dinyatakan oleh al-Hafidz al-Mundziri dalam kitab ‘AtTarghib wat Tarhiib’ (2/41)
(Silakan disimak lagi, tulisan kami berjudul: HADITS / ATSAR LEMAH DAN PALSU TENTANG TAWASSUL(II) seri bantahan yang ke-6, bantahan terhadap syubhat yang ke-8).
0 komentar:
Posting Komentar