-->

16 Oktober 2012

Mencermati Dua Pola Penyebaran 'Virus' Syiah



http://gavinrozzitechnology.com/wp-content/uploads/2012/07/hpv_6816_Viruses-s399x336-10354-580.jpg
Salah satu ciri khas yang kita dapati dalam perkembangan syiah di Indonesia khususnya di Makassar, ialah pergerakan yang santun. Mereka menyebut ajarannya dengan mazhab ahlul bait atau mazhab akhlak dan cinta, dengan slogan “dahulukan akhlak diatas Fiqih” untuk menghindari perbedaan dan menarik simpati masyarakat muslim pada umumnya. Kami tertarik mencermati pergerakan ajaran ini dengan dua pola. pertama, pola Top to Down. kedua, Down to Top. Pada pola Top to down, atau pergerakan dari atas ke bawah,  mereka berusaha merangkul para petinggi dan tokoh masyarakat yang diharapkan nantinya dapat menggiring masyarakat meneladani tokoh mereka yang pro-terhadap syiah, minimal memberi ruang untuk pergerakan mereka sebagai bentuk ukhuwah. 
Upaya menggalakkan ukhuwah antara syiah dan sunnah adalah tahap awal dari pergerakan Top to Down mereka. Pada pola ini, syiah mulai menarik hati para tokoh masyarakat dan petinggi lembaga yang dipercaya. Hal ini dapat kita lihat dari gencarnya audiensi dan kehadiran tokoh-tokoh mereka pada acara-acara penting suatu lembaga kemasyarakatan, audiensi/ silaturrahmi dengan MUI provinsi, serta kerjasama bidang budaya dengan lembaga – lembaga pendekatan mazhab dari negeri Iran. Sebagai contoh, kehadiran mereka dalam acara-acara diskusi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Berdasarkan informasi yang kami peroleh, mereka telah mengadakan kerjasama dengan Universitas Islam Negeri di Makassar dalam bidang akademik.  Kerjasama itu biasanya berupa, studi banding, workshop atau sekedar untuk meninjau masyarakat muslim disana. Di Universitas Hasanuddin (Unhas) terdapat Iranian Corner, ‘sudut’ ruang unhas yang disediakan untuk mengenal Iran lebih jauh. Disini juga kita dapat memproleh berita dan data tentang beasiswa ke negeri Persia, juga terdapat perpustakaan  dengan literature berbahasa persia. Banyak pula dari mereka gencar menulis buku atau jurnal untuk menarik para akademisi yang dekat dengan penelitian atau pun karya ilmiah. Tidak ketinggalan undangan perjalanan berlabel studi banding juga diberikan kepada ICMI untuk ‘meninjau’ masyarakat Negara Iran dan melihat ajaran syiah lebih dekat. pembentukan MUHSIN - Majelis Ukhuwah Syiah Sunni – untuk menyeru kepada ukhuwah dan saling menghormati juga telah digelar.
Jika seandainya kaum syiah jujur dalam keinginan untuk membangun islam bersama-sama, dengan ukhuwah dan kasih sayang terhadap kaum muslim, tentu dengan hati yang terbuka dan dada yang lapang mereka akan kita terima dengan sangat santun. Sebagaimana apa yang dicontohkan Rasulullah dalam mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar. Namun, satu demi satu itikad kurang baik tertumpuk, saat waktu membuka tabir keinginan mereka dibalik semua ‘bujuk rayu’ persatuan dan ukhhuwah tersebut.
Kerjasama dengan salah satu Universitas Islam Negeri adalah awal untuk melegitimasi penyebaran ajaran mereka. Undangan mereka terhadap para guru besar Universitas Negeri Islam ke Iran, tersamarkan menjadi kunjungan atas nama MUI. Betapa tidak para guru besar itu kebanyakannya adalah petinggi MUI provinsi ataupun MUI Pusat bidang Ukhuwah. Salah satu agenda kunjungan tersebut adalah penandatanganan MoU mengakui ajaran mereka adalah salah satu mazhab yang sah dalam Islam. Label MUI terikut disana. Berita yang mencuat di publik pada 1 Mei 2011 lalu berjudul “MUI: Syiah sah sebagai Mazhab”. Kami pun ‘mengecek’ pemberitaan tersebut ke MUI pusat. Kami meminta kejelasan apakah benar telah ada MoU antara MUI dan Majma Taghrib bainal Mazahib dimana poin penting dalam MoU tersebut ialah bahwa Syiah termasuk mazhab Islam yang sah di Indonesia. Jawabannya mengejutkan, tidak ada utusan resmi yang dikirim MUI Pusat ke Iran, apalagi untuk menandatangani MoU seperti itu. Mereka yang pergi ke Iran adalah atas nama pribadi atau lembaga lain, meskipun secara personal mereka adalah petinggi MUI pusat dan provinsi.
Sekembalinya para tokoh umat ini dari Iran, seruan untuk pro-terhadap ajaran ini juga semakin subur, minimal memberi jalan pergerakan syiah melaju. Tulisan opini di Koran publik sampai pemberitaan mengenai hasil kunjungan mereka, dimuat di halaman depan sebuah Koran lokal dalam beberapa edisi. terlebih mereka menanam benih penyebaran syiah di kalangan intelektual dengan mendirikan Iranian Corner di beberapa universitas di Indonesia. Tidak tanggung tanggung Yogya, sebagai kota pelajar terdapat setidaknya tiga buah Iranian Corner disana. Masyarakat mungkin akan segera terhasut untuk meneladani pemikiran para tokoh mereka yang telah berkunjung ke Iran. Mereka berdalih telah meninjau dan berdiskusi langsung dengan ulama syiah di Iran yang merupakan pusat ajaran ini. Mereka mengklaim tidak menemukan kejanggalan (perbedaan pokok) terhadap hasil tinjauan atau diskusinya tersebut. Dengan sangat bijak mereka menyeru untuk mempersatukan Sunnah dan Syiah dan menepikan sejarah Islam di masa lalu untuk kemaslahatan umat. Tidak hanya itu, peluang agar pelajar Indonesia mendapat beasiswa untuk belajar (dengan kemungkinan besar menjadi da’i kilat nan militan penyebar syiah sekembalinya dari Iran) di Republik Syi’ah tersebut.
Sayangnya, keinginan merajut ukhuwah itu terkendala besar dengan kebiasaan (ritual), mereka yang mengaku mencintai ahlul bait ini. Tiap tahun, tak terkecuali di Makassar acara asyuro diadakan. Pers Koran local melaporkan isi acara tersebut. Dari pelaporan itu saja, kita tahu, ada sesuatu yang kurang pas. Ajaran yang mengaku mengedepankan akhlak itu, rupanya memiliki ritual pelaknatan terhadap para sahabat Nabi saw, Abu Bakar, Umar, dan Usman. Terutama Muawiyah, yang tiap tahun semakin membusuk namanya di acara-acara asyuro. Sahabat nabi yang oleh kaum mayoritas muslim dimuliakan bahkan digelari radhiyallahu ‘anhu seolah berubah pada hari itu menjadi orang-orang yang la’natullah ‘alaihi. Isak tangis dan haru mewarnai acara tersebut saat kisah penghianatan dan penderitaan  yang dialami ahlul bait dinarasikan. Nasyid dan nyayian haru diiringi genderang lantang yang menghujam ke dada, menambah suasana pilu. Sembari memukul-mukul dada mereka melantunkan bait lagu keharuan. Dalam doktrin mereka, Islam akan subur jika disirami darah para syuhada. Oleh karenanya tidak jarang, mereka melukai diri mereka hingga berdarah darah dalam acara asyuro (dapat dilihat melalui youtube) untuk mengekspresikan keinginan mereka, syahid bersama Imam Husain a.s. Namun benarkah, ini ajaran Ahlul Bait?
Sangat sulit untuk menerima tawaran ukhuwah sunnah Syiah, jika salah satu kelompok tidak jujur untuk merealisasikannya. Acara seperti aysuro adalah tusukan dari belakang nan mendalam, bagi kaum muslimin. Sementara dihadapan khalayak, kelompok syiah mengobral ‘gombal’ ukhuwah dan persatuan. Dimanakah letak ukhuwah dan persatuan, sementara genderang pelecehan selalu terdengar dalam ceramah dan tertulis di buku-buletin mereka. Siapakah sebenarnya yang melestarikan perpecahan dan menolak persatuan? Ketidak jujuran dalam berkata dan berbuat menjadi titik pertama penolakan terhadap kelompok Syiah Imamiyah. Hingga akhirnya dipahami, Syiah Imamiyah memiliki konsep unik dalam prinsip perjuangan yang terselubung dan tersembunyi. Konsep itu disebut, konsep “Taqiyyah”. Secara ringkas Taqiyah adalah menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya untuk mengelabui manusia (lihat al kaafi fil ushul Juz II hal 217).
Cita-cita untuk menyatukan keduanya mungkin hanya akan menjadi ilusi. Jika pun terjadi mungkin hanya bisa ‘dipaksakan’ dan berada dalam kepura-puraan. Terlebih ada doktrin Taqiyyah (menyembunyikan keyakinan sesungguhnya) kepada ‘lawan’ oleh pihak syiah. Perlu ada rumusan ukuwah yang konkret, karenanya menurut Prof. Mohammad Baharun, belum pernah ada contoh persatuan atau ukhuwah seungguhan antara ahlus sunnah dan Syiah. Perlu ditekankan, ukhuwah memang penting tetapi pendidikan dan keimanan lebih penting, tegas Prof. Baharun. Umat mayoritas di negeri (Sunni) seperti Indonesia ini terluka karena pelecehan dan penistaan yang diakibatkan oleh buku-buku dan ceramah orang syiah, bahkan secara terang-terangan melaknat/ mengkafirkan pemuka sahabat Nabi (Amirul Mukminin) dan Istri Nabi (Ummul Mukminin) serta sering juga mendekonstruksi hadis-hadis Sunni dengan mencela Bukhari dan Muslim. Kesadaran untuk memahami hal ini kiranya perlu dibangun agar tidak terjebak dalam perangkap ukhuwah yang semu.

http://www.rkm.com.au/VIRUS/HIV/HIV-images/HIV-virus.jpgPada pola kedua, Down to Top. Penyebaran syiah dimulai dari grass root (masyarakat kalangan bawah). Mereka memulai dengan mengkristalisasi truth claim (klaim kebenaran). Pihak syiah merasa teologi yang dianutnya mutlak paling benar sendiri. Mereka kemudian didukung da’i da’i kilat yang militant lulusan Qom, Iran, lantas mereka mencoba dengan berbagai metode-mendiskulifikasi akidah Sunni. Maka yang terjadi selama ini adalah ‘perang teologi’. Propagandis-propagandis syiah yang dilengkapi ‘ilmu jidal’ sekadarnya; didukung buku-buku euphoria revolusi, dan terjemahan pengarang Iran khhususnya mengenai filsafat dan pemikiran-rupanya sempat berhasil merekrut sejumlah pemeluk dari kalangan Sunni awam di Pakistan. Inilah yang kemudian menjadi sumber konflik antara dua faham yang diametral dan antagonistis itu. (Dikutip dari Epistemologi Antagonism Syi’ah dari IMAMAH sampai MUTAH oleh Muhammad Baharun, 2008. hlm. 4)
Organisasi mahasiswa juga menjadi target utama dalam penyebaran melalui pola Down to Top ini. Dengan melakukan penyusupan dan menjadi pengurus tinggi di organisasi kemahasiswaan itu, mereka kemudian dapat dengan leluasa dan legal mengadakan rekrutmen/ kaderisasi untuk melanjutkan misinya. Mahasiswa ini diharapkan nantinya ketika ada yang menjadi pemimpin dapat memberi dukungan bahkan sebagai penyebar utama faham ini. Lihatlah suatu organisasi mahasiswa di Surabaya yang rupanya sempat keceplosan’ mengusulkan untuk membuka semacam posko kawin mut’ah –ala Syiah- di kompleks pelacuran-katanya demi memberi solusi masalah perzinahan. Mereka begitu antusias memasyarakatkan mut’ah ini, hingga mereka yakin bahwa inilah solusi penting untuk mengatasi pelacuran dan prostitusi. Lebih dari itu, organisasi mahasiswa yang telah tesusupi (bukan tidak mungkin akan dijadikan organisasi mahasiswa syiah skala nasional) akan menjadi ujung tombak penyebaran syiah pola ini. Keuntungannya, karena organisasi ini telah menyebar  di tiap wilayah di tanah air. Hal ini dapat kita lihat karena mereka juga merangkap sebagai pengurus organisasi Syiah di Indonesia.
Propaganda mut’ah yang telah disinggung sebelumnya. Juga menjadi hal yang utama dalam pola Down to Top penyebaran syiah. Doktrin mut’ah ini akan menjadi daya tarik ampuh bagi para kader dan pengikut syiah, terutama kalangan remaja agar bersemangat dalam gerakan revivalisme Syiah. Untuk mendukungnya dikaranglah buku-buku khusus masalah mut’ah yang dikemas begitu menarik disertai argument filosofis, yang mungkin sudah banyak beredar disekitar kita. Sekaligus, buku-buku tersebut berfungsi untuk mematahkan argument non-syiah yang mengharamkan mut’ah. Salah satunya adalah buku tebitan IJABI yang ditulis oleh ‘pentolannya’ Emilia Renita dan Jalaluddin Rakhmat. Adanya doktrin mut’ah tentu sangat meresahkan masyarakat terutama kalangan orang tua yang anaknya indekos di luar kota. Bukan tidak mungkin seperti kejadian di Jawa tengah, sang putri yang ternyata hamil duluan sebelum nikah-setelah mengikuti ‘pengajian ekslusif’, dan ternyata diam-diam ia jadi ‘korban mut’ah’.
Dalam fiqih nikah mut’ah merupakan perkawinan sementara atau kawin kontrak yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan kenikmatan pada masa yang ditentukan dalam hubungan berpasangan secara berjangka. Bukan niat untuk ibadah sebagaimana perkawinan resmi melalui wali dan saksi. Bahkan Rasulullah pernah mengatakan “ Buatlah pesta undangan Walimah (untuk akad nikah) meski dengan hanya seekor kambing” hal ini merupakan penekanan beliau untuk publikasi hubungan ini agar terekspos keluar ke tengah masyarakat. Berbeda dengan mut’ah (yang jaraknya dengan perzinahan sangat dekat) yang hanya berupa lamanya hubungan (kontrak) dan pembayaran yang ditentukan (ajr)-yang dalam pelacuran pun hal ini dilakukan kedua pasangan untuk dapat menikmati hubungan singkat yang sesaat yang sama-sama diinginkan.
Pada nikah  mut’ah wanita bagaikan barang yang dapat dipindah tangankan. Motto “mawaddah wa rahmah” (diliputi Susana cinta kasih) tentu tidak terdapat dalam nikah mut’ah. Bahkan sebaliknya motto “habis manis sepah dibuang” atau “habis kontrak anda diganti” adalah motto mut’ah. Karena itu jika punya anak (dari perkawinan ini) maka sang anak tidak dapat mewarisi harta pusaka ‘mantan’ ayahnya. Begitu pula sang istri, tak berhak mendapatkan nafkah, karena ‘ajr’ dalam kontrak itulah haknya berdasarkan kesepakatan kedua pasangan (transaksi mut’ah), juga tidak ada zihar dan talak dalam perkawinan macam ini.
Dalam proses gonta-ganti mitra mut’ah tersebut sudah dapat diketahui resiko untuk terjangkiti penyakit AIDS (yang tidak ada obatnya) akan sangat besar. Di Iran (pusat mut’ah) sendiri pada tahun 1994 sudah mencatat angka 5000 orang penderita AIDS, 82 diantaranya meninggal (Republika 26 Juli 1994) hari ini, penderita tersebut kemungkinan besar akan bertambah jika mereka masih terus seperti itu (menjalankan mut’ah dan menyebarkan AIDS). Berita memilukan lainnya ialah adanya 250 ribu anak terlantar tanpa bapak (Majalah Asshira’ dari Teluk) akibat nikah mut’ah yang tak bertanggung jawab ini.
Bahkan kalangan wanita Iran sendiri menentang praktek nikah mut’ah ini, kaum hawa Iran berunjuk rasa dan menuntut penghapusan mut’ah dari Persia yang dipelopori oleh Fatimah Karroubi-Putri Mahdi Karroubi, Ketua Parlemen Iran (Majalah Semesta, Juli 1992). Itulah efek buruk (yang signifikan) dari nikah mutah Syiah, karena jika tidak dicegah akan merusak citra pernikahan yang merupakan sunnah Rasul.
Memang benar bahwa mut’ah yang merupakan peninggalan Arab pra Islam sempat diizinkan Nabi untuk dipraktikkan sebagian sahabat. Yaitu pada mulanya tatkala pada ekspedisi militer yang diikuti sahabat dan sudah tentu dengan harus meninggalkan rumah sampai lama (dalam permulaan perkembangan Islam), sebagian mereka meminta Izin kepada Nabi agar dibolehkan mengebiri kemaluannya sendiri. Izin itu diajukan tidak lain lantaran mereka tidak mampu menahan dorongan seksual, ketika meninggalkan keluarga masing-masing di rumah begitu lama. Tentu saja izin ini ditolak oelh Nabi saw. Nabipun melarang niat itu dan membolehkan mut’ah dalam kondisi yang amat darurat, karena kuatir mereka tak punya keturunan lagi.
Setelah itu, dalam berbagai kesempatan, Rasul melarang praktek nikah mut’ah (seperti dalam Hadis Bukhari-Muslim, bahwa perawi utamanya adalah ‘Ali bin Abi Thalib) yang pernah di Izinkan dalam keadaan darurat itu, (lihat; misalnya sahih Bukhari Bab Rasulullah SAW Larang Nikah Mut’ah Terakhir & Sahih Muslim Bab Nikah Mut’ah dan penjelasan bahwa pernah dihalalkan lalu dihapus lalu dihalalkan lalu dihapus dan ditetapkan keharamannya sampai hari kiamat).
Sementara Nabi sendiri dalam kesempatan yang lain menganjurkan kepada kaum remaja yang belum mampu kawin supaya berpuasa untuk ‘meredam’ gejolak hawa nafsu libido. Ini berbeda dengan anjuran kaum syiah untuk berut’ah dulu sebelum nikah yang sebenarnya. Umat Islam (ahlu sunnah wal jamaah) sepakat bahwa nikah model ini telah dinyatakan mutlak haram. Hanya syiah yang tetap bersikukuh bahwa nikah mut’ah ini tidak dilarang dalam ajaran Islam – kecuali oleh ‘Umar bin Khattab di masa khalifahnya. Ditimbulkan kesan bahwa ‘Umar mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Nabi, yang punya otoritas untuk menetapkan halal atau haram seuatu perkara tertentu. Padahal tidak demikian sebenarnya, justru khalifah Umar melaksanakan peninjauan atas suatu ketetapan dari Nabi yang nyaris sudah dilupakan orang.
Asumsi yang menyebutkan Umar melarang mutah, secara otomatis juga menuduh Sayyidina Ali bin Abi Thalib besekongkol dan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, karena di masa Umar beliau menjabat sebagai Mustasyar (penasehat keagamaan) Khalifah. Lihatlah perkataan Umar bahwa “Tanpa keterlibatan Ali maka gagallah (dalam pemerintahan Umar” (Laula Ali lahalaka Umar).
Tidak semua Syi’ah menerima mut’ah, misalnya Syiah Zaidiyah, sebuah aliran pemikiran yang mendekati Sunni mengharaman mut’ah berdasarkan hadis-hadis Nabi. Sebaliknya Syiah itsna Asyariyah (dua belas Imam) yang muasalnya dari negeri Iran sekarang ini, menganggap kawin mut’ah itu sah dan halal. Merekalah yang sangat pantas kita waspadai pergerakannya. Sebagaimana fatwa MUI yang menjelaskan keharaman nikah mut’ah ini, karena dipandang (salah satunya) sebagai alat propaganda Syiah di Indonesia. Sementara  doktrin syiah telah diundangkan dikonstitusi yang kemudian Khomeini dengan yakin meyeru:”…Aku mau ekspor revolusi ke luar!” inilah cita cita pola penyebaran mereka, yang akan (merencanakan) mengadakan ekspor revolusi Syiah. Wallahu a’lam.

*Dalam tulisan ini syiah yang kami maksud ialah syiah imamiayah itsna asyariah, mazhab ahlul bait, atau syiah 12 imam, yang merupakan produk impor dari Negara Iran, dan di Indonesia di identikkan dengan  gerakan Ikatan Jamaah Ahlul Bait (IJABI) atau yang semisalnya.
(Sulfandy/lppimakassar.com)http://www.lppimakassar.com/2012/09/mencermati-dua-pola-penyebaran-virus.html

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.