Salah satu ciri khas yang kita dapati dalam perkembangan syiah di
Indonesia khususnya di Makassar, ialah pergerakan yang santun. Mereka menyebut
ajarannya dengan mazhab ahlul bait atau mazhab akhlak dan cinta, dengan slogan
“dahulukan akhlak diatas Fiqih” untuk menghindari perbedaan dan menarik simpati
masyarakat muslim pada umumnya. Kami tertarik mencermati pergerakan ajaran ini dengan
dua pola. pertama, pola Top to Down. kedua, Down to Top. Pada
pola Top to down, atau pergerakan dari atas ke bawah, mereka berusaha merangkul para petinggi dan
tokoh masyarakat yang diharapkan nantinya dapat menggiring masyarakat
meneladani tokoh mereka yang pro-terhadap syiah, minimal memberi ruang untuk
pergerakan mereka sebagai bentuk ukhuwah.
Upaya menggalakkan ukhuwah antara syiah dan sunnah adalah tahap awal
dari pergerakan Top to Down mereka. Pada pola ini, syiah mulai menarik hati
para tokoh masyarakat dan petinggi lembaga yang dipercaya. Hal ini dapat kita
lihat dari gencarnya audiensi dan kehadiran tokoh-tokoh mereka pada acara-acara
penting suatu lembaga kemasyarakatan, audiensi/ silaturrahmi dengan MUI
provinsi, serta kerjasama bidang budaya dengan lembaga – lembaga pendekatan
mazhab dari negeri Iran. Sebagai contoh, kehadiran mereka dalam acara-acara
diskusi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Berdasarkan informasi yang kami peroleh, mereka telah mengadakan
kerjasama dengan Universitas Islam Negeri di Makassar dalam bidang akademik. Kerjasama itu biasanya berupa, studi banding,
workshop atau sekedar untuk meninjau masyarakat muslim disana. Di Universitas Hasanuddin
(Unhas) terdapat Iranian Corner, ‘sudut’ ruang unhas yang disediakan
untuk mengenal Iran lebih jauh. Disini juga kita dapat memproleh berita dan
data tentang beasiswa ke negeri Persia, juga terdapat perpustakaan dengan literature berbahasa persia. Banyak
pula dari mereka gencar menulis buku atau jurnal untuk menarik para akademisi
yang dekat dengan penelitian atau pun karya ilmiah. Tidak ketinggalan undangan
perjalanan berlabel studi banding juga diberikan kepada ICMI untuk ‘meninjau’ masyarakat
Negara Iran dan melihat ajaran syiah lebih dekat. pembentukan MUHSIN - Majelis
Ukhuwah Syiah Sunni – untuk menyeru kepada ukhuwah dan saling menghormati juga
telah digelar.
Jika seandainya kaum syiah jujur dalam keinginan untuk membangun islam
bersama-sama, dengan ukhuwah dan kasih sayang terhadap kaum muslim, tentu
dengan hati yang terbuka dan dada yang lapang mereka akan kita terima dengan
sangat santun. Sebagaimana apa yang dicontohkan Rasulullah dalam
mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar. Namun, satu demi satu itikad kurang
baik tertumpuk, saat waktu membuka tabir keinginan mereka dibalik semua ‘bujuk
rayu’ persatuan dan ukhhuwah tersebut.
Kerjasama dengan salah satu Universitas Islam Negeri adalah awal untuk
melegitimasi penyebaran ajaran mereka. Undangan mereka terhadap para guru besar
Universitas Negeri Islam ke Iran, tersamarkan menjadi kunjungan atas nama MUI. Betapa
tidak para guru besar itu kebanyakannya adalah petinggi MUI provinsi ataupun
MUI Pusat bidang Ukhuwah. Salah satu agenda kunjungan tersebut adalah
penandatanganan MoU mengakui ajaran mereka adalah salah satu mazhab yang sah
dalam Islam. Label MUI terikut disana. Berita yang mencuat di publik pada 1 Mei
2011 lalu berjudul “MUI: Syiah sah sebagai Mazhab”. Kami pun ‘mengecek’
pemberitaan tersebut ke MUI pusat. Kami meminta kejelasan apakah benar telah
ada MoU antara MUI dan Majma Taghrib bainal Mazahib dimana poin penting
dalam MoU tersebut ialah bahwa Syiah termasuk mazhab Islam yang sah di
Indonesia. Jawabannya mengejutkan, tidak ada utusan resmi yang dikirim MUI
Pusat ke Iran, apalagi untuk menandatangani MoU seperti itu. Mereka yang pergi
ke Iran adalah atas nama pribadi atau lembaga lain, meskipun secara personal
mereka adalah petinggi MUI pusat dan provinsi.
Sekembalinya para tokoh umat ini dari Iran, seruan untuk pro-terhadap
ajaran ini juga semakin subur, minimal memberi jalan pergerakan syiah melaju. Tulisan
opini di Koran publik sampai pemberitaan mengenai hasil kunjungan mereka,
dimuat di halaman depan sebuah Koran lokal dalam beberapa edisi. terlebih
mereka menanam benih penyebaran syiah di kalangan intelektual dengan mendirikan
Iranian Corner di beberapa universitas di Indonesia. Tidak tanggung tanggung
Yogya, sebagai kota pelajar terdapat setidaknya tiga buah Iranian Corner
disana. Masyarakat mungkin akan segera terhasut untuk meneladani pemikiran para
tokoh mereka yang telah berkunjung ke Iran. Mereka berdalih telah meninjau dan
berdiskusi langsung dengan ulama syiah di Iran yang merupakan pusat ajaran ini.
Mereka mengklaim tidak menemukan kejanggalan (perbedaan pokok) terhadap hasil
tinjauan atau diskusinya tersebut. Dengan sangat bijak mereka menyeru untuk
mempersatukan Sunnah dan Syiah dan menepikan sejarah Islam di masa lalu untuk
kemaslahatan umat. Tidak hanya itu, peluang agar pelajar Indonesia mendapat
beasiswa untuk belajar (dengan kemungkinan besar menjadi da’i kilat nan militan
penyebar syiah sekembalinya dari Iran) di Republik Syi’ah tersebut.
Sayangnya, keinginan merajut ukhuwah itu terkendala besar dengan
kebiasaan (ritual), mereka yang mengaku mencintai ahlul bait ini. Tiap tahun,
tak terkecuali di Makassar acara asyuro diadakan. Pers Koran local melaporkan
isi acara tersebut. Dari pelaporan itu saja, kita tahu, ada sesuatu yang kurang
pas. Ajaran yang mengaku mengedepankan akhlak itu, rupanya memiliki ritual
pelaknatan terhadap para sahabat Nabi saw, Abu Bakar, Umar, dan Usman. Terutama
Muawiyah, yang tiap tahun semakin membusuk namanya di acara-acara asyuro.
Sahabat nabi yang oleh kaum mayoritas muslim dimuliakan bahkan digelari radhiyallahu
‘anhu seolah berubah pada hari itu menjadi orang-orang yang la’natullah
‘alaihi. Isak tangis dan haru mewarnai acara tersebut saat kisah penghianatan
dan penderitaan yang dialami ahlul bait
dinarasikan. Nasyid dan nyayian haru diiringi genderang lantang yang menghujam
ke dada, menambah suasana pilu. Sembari memukul-mukul dada mereka melantunkan
bait lagu keharuan. Dalam doktrin mereka, Islam akan subur jika disirami darah
para syuhada. Oleh karenanya tidak jarang, mereka melukai diri mereka hingga
berdarah darah dalam acara asyuro (dapat dilihat melalui youtube) untuk
mengekspresikan keinginan mereka, syahid bersama Imam Husain a.s. Namun
benarkah, ini ajaran Ahlul Bait?
Sangat sulit untuk menerima tawaran ukhuwah sunnah Syiah, jika salah
satu kelompok tidak jujur untuk merealisasikannya. Acara seperti aysuro adalah
tusukan dari belakang nan mendalam, bagi kaum muslimin. Sementara dihadapan khalayak,
kelompok syiah mengobral ‘gombal’ ukhuwah dan persatuan. Dimanakah letak
ukhuwah dan persatuan, sementara genderang pelecehan selalu terdengar dalam
ceramah dan tertulis di buku-buletin mereka. Siapakah sebenarnya yang
melestarikan perpecahan dan menolak persatuan? Ketidak jujuran dalam berkata
dan berbuat menjadi titik pertama penolakan terhadap kelompok Syiah Imamiyah.
Hingga akhirnya dipahami, Syiah Imamiyah memiliki konsep unik dalam prinsip
perjuangan yang terselubung dan tersembunyi. Konsep itu disebut, konsep
“Taqiyyah”. Secara ringkas Taqiyah adalah menampakkan sesuatu yang berbeda
dengan yang sebenarnya untuk mengelabui manusia (lihat al kaafi fil ushul Juz
II hal 217).
Cita-cita untuk menyatukan keduanya mungkin hanya akan menjadi ilusi.
Jika pun terjadi mungkin hanya bisa ‘dipaksakan’ dan berada dalam
kepura-puraan. Terlebih ada doktrin Taqiyyah (menyembunyikan keyakinan
sesungguhnya) kepada ‘lawan’ oleh pihak syiah. Perlu ada rumusan ukuwah yang konkret,
karenanya menurut Prof. Mohammad Baharun, belum pernah ada contoh persatuan
atau ukhuwah seungguhan antara ahlus sunnah dan Syiah. Perlu ditekankan,
ukhuwah memang penting tetapi pendidikan dan keimanan lebih penting, tegas
Prof. Baharun. Umat mayoritas di negeri (Sunni) seperti Indonesia ini terluka
karena pelecehan dan penistaan yang diakibatkan oleh buku-buku dan ceramah
orang syiah, bahkan secara terang-terangan melaknat/ mengkafirkan pemuka
sahabat Nabi (Amirul Mukminin) dan Istri Nabi (Ummul Mukminin) serta sering juga
mendekonstruksi hadis-hadis Sunni dengan mencela Bukhari dan Muslim. Kesadaran
untuk memahami hal ini kiranya perlu dibangun agar tidak terjebak dalam
perangkap ukhuwah yang semu.
Pada pola kedua, Down to Top. Penyebaran syiah dimulai dari grass
root (masyarakat kalangan bawah). Mereka memulai dengan mengkristalisasi truth
claim (klaim kebenaran). Pihak syiah merasa teologi yang dianutnya mutlak
paling benar sendiri. Mereka kemudian didukung da’i da’i kilat yang militant
lulusan Qom, Iran, lantas mereka mencoba dengan berbagai metode-mendiskulifikasi
akidah Sunni. Maka yang terjadi selama ini adalah ‘perang teologi’.
Propagandis-propagandis syiah yang dilengkapi ‘ilmu jidal’ sekadarnya; didukung
buku-buku euphoria revolusi, dan terjemahan pengarang Iran khhususnya mengenai
filsafat dan pemikiran-rupanya sempat berhasil merekrut sejumlah pemeluk dari
kalangan Sunni awam di Pakistan. Inilah yang kemudian menjadi sumber konflik
antara dua faham yang diametral dan antagonistis itu. (Dikutip dari
Epistemologi Antagonism Syi’ah dari IMAMAH sampai MUTAH oleh Muhammad Baharun,
2008. hlm. 4)
Organisasi mahasiswa juga menjadi target utama dalam penyebaran melalui
pola Down to Top ini. Dengan melakukan penyusupan dan menjadi pengurus tinggi
di organisasi kemahasiswaan itu, mereka kemudian dapat dengan leluasa dan legal
mengadakan rekrutmen/ kaderisasi untuk melanjutkan misinya. Mahasiswa ini
diharapkan nantinya ketika ada yang menjadi pemimpin dapat memberi dukungan
bahkan sebagai penyebar utama faham ini. Lihatlah suatu organisasi mahasiswa di
Surabaya yang rupanya sempat keceplosan’ mengusulkan untuk membuka semacam
posko kawin mut’ah –ala Syiah- di kompleks pelacuran-katanya demi memberi
solusi masalah perzinahan. Mereka begitu antusias memasyarakatkan mut’ah ini,
hingga mereka yakin bahwa inilah solusi penting untuk mengatasi pelacuran dan
prostitusi. Lebih dari itu, organisasi mahasiswa yang telah tesusupi (bukan
tidak mungkin akan dijadikan organisasi mahasiswa syiah skala nasional) akan
menjadi ujung tombak penyebaran syiah pola ini. Keuntungannya, karena
organisasi ini telah menyebar di tiap
wilayah di tanah air. Hal ini dapat kita lihat karena mereka juga merangkap
sebagai pengurus organisasi Syiah di Indonesia.
Propaganda mut’ah yang telah disinggung sebelumnya. Juga menjadi hal
yang utama dalam pola Down to Top penyebaran syiah. Doktrin mut’ah ini akan
menjadi daya tarik ampuh bagi para kader dan pengikut syiah, terutama kalangan
remaja agar bersemangat dalam gerakan revivalisme Syiah. Untuk mendukungnya
dikaranglah buku-buku khusus masalah mut’ah yang dikemas begitu menarik
disertai argument filosofis, yang mungkin sudah banyak beredar disekitar kita.
Sekaligus, buku-buku tersebut berfungsi untuk mematahkan argument non-syiah
yang mengharamkan mut’ah. Salah satunya adalah buku tebitan IJABI yang ditulis
oleh ‘pentolannya’ Emilia Renita dan Jalaluddin Rakhmat. Adanya doktrin mut’ah
tentu sangat meresahkan masyarakat terutama kalangan orang tua yang anaknya
indekos di luar kota. Bukan tidak mungkin seperti kejadian di Jawa tengah, sang
putri yang ternyata hamil duluan sebelum nikah-setelah mengikuti ‘pengajian
ekslusif’, dan ternyata diam-diam ia jadi ‘korban mut’ah’.
Dalam fiqih nikah mut’ah merupakan perkawinan sementara atau kawin
kontrak yang tujuan pokoknya untuk mendapatkan kenikmatan pada masa yang
ditentukan dalam hubungan berpasangan secara berjangka. Bukan niat untuk ibadah
sebagaimana perkawinan resmi melalui wali dan saksi. Bahkan Rasulullah pernah
mengatakan “ Buatlah pesta undangan Walimah (untuk akad nikah) meski dengan
hanya seekor kambing” hal ini merupakan penekanan beliau untuk publikasi
hubungan ini agar terekspos keluar ke tengah masyarakat. Berbeda dengan mut’ah
(yang jaraknya dengan perzinahan sangat dekat) yang hanya berupa lamanya
hubungan (kontrak) dan pembayaran yang ditentukan (ajr)-yang dalam pelacuran
pun hal ini dilakukan kedua pasangan untuk dapat menikmati hubungan singkat
yang sesaat yang sama-sama diinginkan.
Pada nikah mut’ah wanita bagaikan
barang yang dapat dipindah tangankan. Motto “mawaddah wa rahmah” (diliputi
Susana cinta kasih) tentu tidak terdapat dalam nikah mut’ah. Bahkan sebaliknya
motto “habis manis sepah dibuang” atau “habis kontrak anda diganti” adalah
motto mut’ah. Karena itu jika punya anak (dari perkawinan ini) maka sang anak
tidak dapat mewarisi harta pusaka ‘mantan’ ayahnya. Begitu pula sang istri, tak
berhak mendapatkan nafkah, karena ‘ajr’ dalam kontrak itulah haknya berdasarkan
kesepakatan kedua pasangan (transaksi mut’ah), juga tidak ada zihar dan talak
dalam perkawinan macam ini.
Dalam proses gonta-ganti mitra mut’ah tersebut sudah dapat diketahui
resiko untuk terjangkiti penyakit AIDS (yang tidak ada obatnya) akan sangat
besar. Di Iran (pusat mut’ah) sendiri pada tahun 1994 sudah mencatat angka 5000
orang penderita AIDS, 82 diantaranya meninggal (Republika 26 Juli 1994) hari
ini, penderita tersebut kemungkinan besar akan bertambah jika mereka masih
terus seperti itu (menjalankan mut’ah dan menyebarkan AIDS). Berita memilukan
lainnya ialah adanya 250 ribu anak terlantar tanpa bapak (Majalah Asshira’ dari
Teluk) akibat nikah mut’ah yang tak bertanggung jawab ini.
Bahkan kalangan wanita Iran sendiri menentang praktek nikah mut’ah ini,
kaum hawa Iran berunjuk rasa dan menuntut penghapusan mut’ah dari Persia yang
dipelopori oleh Fatimah Karroubi-Putri Mahdi Karroubi, Ketua Parlemen Iran
(Majalah Semesta, Juli 1992). Itulah efek buruk (yang signifikan) dari nikah
mutah Syiah, karena jika tidak dicegah akan merusak citra pernikahan yang
merupakan sunnah Rasul.
Memang benar bahwa mut’ah yang merupakan peninggalan Arab pra Islam
sempat diizinkan Nabi untuk dipraktikkan sebagian sahabat. Yaitu pada mulanya
tatkala pada ekspedisi militer yang diikuti sahabat dan sudah tentu dengan
harus meninggalkan rumah sampai lama (dalam permulaan perkembangan Islam),
sebagian mereka meminta Izin kepada Nabi agar dibolehkan mengebiri kemaluannya
sendiri. Izin itu diajukan tidak lain lantaran mereka tidak mampu menahan
dorongan seksual, ketika meninggalkan keluarga masing-masing di rumah begitu
lama. Tentu saja izin ini ditolak oelh Nabi saw. Nabipun melarang niat itu dan
membolehkan mut’ah dalam kondisi yang amat darurat, karena kuatir mereka tak
punya keturunan lagi.
Setelah itu, dalam berbagai kesempatan, Rasul melarang praktek nikah
mut’ah (seperti dalam Hadis Bukhari-Muslim, bahwa perawi utamanya adalah ‘Ali bin
Abi Thalib) yang pernah di Izinkan dalam keadaan darurat itu, (lihat; misalnya
sahih Bukhari Bab Rasulullah SAW Larang Nikah Mut’ah Terakhir & Sahih
Muslim Bab Nikah Mut’ah dan penjelasan bahwa pernah dihalalkan lalu dihapus
lalu dihalalkan lalu dihapus dan ditetapkan keharamannya sampai hari kiamat).
Sementara Nabi sendiri dalam kesempatan yang lain menganjurkan kepada
kaum remaja yang belum mampu kawin supaya berpuasa untuk ‘meredam’ gejolak hawa
nafsu libido. Ini berbeda dengan anjuran kaum syiah untuk berut’ah dulu sebelum
nikah yang sebenarnya. Umat Islam (ahlu sunnah wal jamaah) sepakat bahwa nikah
model ini telah dinyatakan mutlak haram. Hanya syiah yang tetap bersikukuh bahwa
nikah mut’ah ini tidak dilarang dalam ajaran Islam – kecuali oleh ‘Umar bin
Khattab di masa khalifahnya. Ditimbulkan kesan bahwa ‘Umar mengharamkan sesuatu
yang dihalalkan oleh Nabi, yang punya otoritas untuk menetapkan halal atau
haram seuatu perkara tertentu. Padahal tidak demikian sebenarnya, justru
khalifah Umar melaksanakan peninjauan atas suatu ketetapan dari Nabi yang
nyaris sudah dilupakan orang.
Asumsi yang menyebutkan Umar melarang mutah, secara otomatis juga
menuduh Sayyidina Ali bin Abi Thalib besekongkol dan sebagai pihak yang paling
bertanggung jawab, karena di masa Umar beliau menjabat sebagai Mustasyar (penasehat
keagamaan) Khalifah. Lihatlah perkataan Umar bahwa “Tanpa keterlibatan Ali maka
gagallah (dalam pemerintahan Umar” (Laula Ali lahalaka Umar).
Tidak semua Syi’ah menerima mut’ah, misalnya Syiah Zaidiyah, sebuah
aliran pemikiran yang mendekati Sunni mengharaman mut’ah berdasarkan
hadis-hadis Nabi. Sebaliknya Syiah itsna Asyariyah (dua belas Imam) yang
muasalnya dari negeri Iran sekarang ini, menganggap kawin mut’ah itu sah dan
halal. Merekalah yang sangat pantas kita waspadai pergerakannya. Sebagaimana
fatwa MUI yang menjelaskan keharaman nikah mut’ah ini, karena dipandang (salah
satunya) sebagai alat propaganda Syiah di Indonesia. Sementara doktrin syiah telah diundangkan dikonstitusi
yang kemudian Khomeini dengan yakin meyeru:”…Aku mau ekspor revolusi ke luar!”
inilah cita cita pola penyebaran mereka, yang akan (merencanakan) mengadakan
ekspor revolusi Syiah. Wallahu a’lam.
*Dalam tulisan ini syiah yang kami
maksud ialah syiah imamiayah itsna asyariah, mazhab ahlul bait, atau syiah 12
imam, yang merupakan produk impor dari Negara Iran, dan di Indonesia di
identikkan dengan gerakan Ikatan Jamaah
Ahlul Bait (IJABI) atau yang semisalnya.
(Sulfandy/lppimakassar.com)http://www.lppimakassar.com/2012/09/mencermati-dua-pola-penyebaran-virus.html
0 komentar:
Posting Komentar