Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sebagian ahli
bid’ah berkata : “Bagaimana kalian bisa mengatakan bahwa semua bid’ah
itu sesat ? (Kalau semuanya sesat) lantas apa yang dapat kalian katakan
dengan pemberian sakl/ (harakat tanda baca) dan titik-titik dalam
Al-Qur’an yang semuanya itu terjadi setelah masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ?” Bagaimana kita menjawab mereka ?
Jwaban
Umat Islam diperintahkan untuk menjaga Al-Qur’an, baik dalam penulisan
maupun tilawah, dan membacanya sesuai dengan cara yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sungguh dahulu bahasa para
sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah bahasa Arab yang salimah (baik dan
benar) karena sangat sedikit orang dari luar Arab di antara mereka.
Perhatian mereka dengan tilawah (bacaan) seperti yang diturunkan sangat
luar biasa. Yang demikian itu berlangsung terus sampai masa Al-Khulafa
Ar-Rasyidin dan belum dikhawatirkan terjadi lahn (kesalahan) dalam
membaa Al-Qur’an.
Pada masa itu tulisan masih asli tanpa titik
dan harakat dan bukan suatu yang sulit bagi mereka untuk membacanya.
Akan tetapi, ketika sampai pada kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan dan
semakin banyak kaum muslimin dari luar Arab maka mulai dikhawatirkan
terjadi lahn dalam membaca. Begitu terasa berat membaca dari mushaf
tanpa titik dan sakl (harakat). Maka Abdul Malik bin Marwan
memerintahkan untuk memberi titik pada Al-Qur’an dan mengharakatinya.
Tampillah Hasan Basri dan Yahya bin Ya’mur rahimahumallahu yang termasuk
orang-orang yang paling alim dan bertaqwa di antara tabi’in. Semua itu
demi menjaga dan membentengi Al-Qur’an dari kecenderungan terjadinya
perubahan, dan agar mudah dibaca, dipelajari, dan diajarkan sebagaimana
yang telah tetap dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian jelaslah bahwa semua titik dan sakl (harakat) Al-Qur’an
–meskipun tidak ada pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
termasuk dalam keumuman perintah untuk menjaga, belajar, dan mengajarkan
Al-Qur’an sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada ummatnya demi menyempurnakan penyampaian dan
meratakan pensyariatan. Dan ini terus berlangsung sampai hari kiamat.
Jadi, bukan termasuk bid’ah, karena bid’ah adalah apa-apa yang baru yang
tidak ada dalil khusus maupun umum yang menunjukkan atasnya baik
untuknya maupun untuk selainnya.
Dalam masalah ini sebagian
ulama yang mengkaji tentang sunnah dan bi’dah mengistilahkan dengan
maslahat mursalah bukan bid’ah, dan terkadang juga dinamakan bid’ah dari
segi bahasa karena tidak ada contoh sebelumnya, tetapi bukan dari segi
syari’at, karena ia masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan atas
wajibnya menjaga Al-Qur’an dan menyempurnakan dalam hal membaca,
mempelajari dan mengajarkannya. Seperti perkataan Umar Radhiyallahu
‘anhu ketika mengumpulkan manusia di belakang satu imam dalam shalat
tarawih, “Ini adalah sebaik-baik bid’ah”. Yang jelas penambahan titik
dan sakl (harakat) masih masuk di dalam keumuman nas-nas yang
menunjukkan atas wajibnya menjaga Al-Qur’an sebagaimana ketika
diturunkan.
Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan sahabat-shabatnya.
[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da’imah Fatwa I/112-115 Pertanyaan ke 3 dari
fatwa no 2263 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul
Asimah Riyadh. Disalin ulang dari Majalah Fatawa edisi 09/I/ 1424H –
2003M]
Posted in: Adab Dan Hukum, Bid'ah, Fatwa, Sejarah Islam, Soal Dan Jawab
0 komentar:
Posting Komentar