Al
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari sahabat yang mulia Al ‘Irbadh bin
Sariyah Radhiyallahu 'Anhu bahwa ia berkata: Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam menasihatkan kepada kami dengan satu nasihat yang
menggetarkan hati-hati kami dan air mata pun berlinang karenanya. Maka
ketika itu kami mengatakan: “Duhai Rasulullah nasihat ini seperti nasihat orang yang mau mengucapkan selamat tinggal karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun bersabda:
"Aku
wasiatkan kepada kalian bertakwa kepada Allah untuk mendengar dan taat
walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan barangsiapa di
antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat
perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang
dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan
petunjuk. Pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan
hati-hati kalian dari perkara-perkara baru karena setiap perkara baru
itu sesat.”
Penjelasan Hadits
Al Hafidz Abu Nu‘aim berkata: “Hadits ini jayyid termasuk hadits yang shahih dari periwayatan orang-orang Syam.” Beliau juga mengatakan: “Al Bukhari dan Muslim meninggalkan hadits ini bukan karena mengingkarinya.”
Al Hakim menyatakan Al Bukhari dan Muslim meninggalkan penyebutan hadits ini disebabkan anggapan yang keliru dari keduanya bahwa tidak ada seorang rawi pun yang meriwayatkan dari Khalid bin Ma‘dan kecuali Ats Tsaur bin Yazid padahal sebenar ada perawi lain yang meriwayatkan dari Khalid seperti Buhair bin Sa‘ad Muhammad bin Ibrahim At Taimi dan selain keduanya.
Namun pernyataan Al Hakim ini dijawab oleh Al Hafidz Ibnu Rajab: “Sebenar hal ini tidaklah seperti persangkaan Al Hakim. Adapun Al Bukhari dan Muslim tidak mengambil hadits ini karena hadits ini tidak memenuhi syarat mereka berdua di dalam kitab shahih di mana Al Bukhari dan Muslim sama sekali tidak mengeluarkan dalam shahih riwayat dari Abdurrrahman bin Amr As Sulami dan dari Hujr Al Kala`i. Dan juga dua orang rawi yang disebut ini tidaklah terkenal dalam keilmuan dan periwayatan hadits.”
Adapun Abdurrahman As Sulami salah seorang perawi dalam hadits ini maka ia masturul hal walaupun telah meriwayatkan dari jama‘ah namun tidak ada seorang alim yang mu‘tabar yang men-tsiqah-kan . Ibnul Qaththan Al Fasi mendha’ifkan hadits ini karena hal tersebut.
Demikian pula dengan Hujr bin Hujr Al Kala‘i tidak ada yang meriwayatkan kecuali Khalid bin Ma‘dan dan tidak ada seorang alim yang mu‘tabar yang men-tsiqah- kan sehingga ia dinyatakan majhulul ‘ain . Berkata Ibnul Qaththan: “Orang ini tidak dikenal.” Namun sebagaimana kata Al Imam Al Hakim di atas hadits ini diriwayatkan juga dari selain mereka berdua dan disebuntukan jalan-jalan yang saling menguatkan satu dengan lain oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ul ‘Ulum maka hadits ini hasan. Penghasanan hadits ini dinyatakan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi‘i rahimahullah walaupun ada sebagian ulama yang menshahihkan sehingga mereka bersepakat bahwa hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali Ibnul Qaththan Al Fasi yang mendha’ifkan hadits ini.
.
Kandungan Hadits
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya :
“Berilah nasihat kepada mereka dan katakanlah kepada mereka ucapan yang bisa dipahami mengena dan menancap di jiwa-jiwa mereka.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki sifat selalu memberikan bimbingan kepada jalan yang lurus terhadap siapa saja dari kalangan umat sehingga ketika para sahabat meminta agar beliau memberikan nasihat maka beliau pun memenuhi diiringi dengan hikmah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih kata-kata yang tepat lafadz yang indah mengena di hati dan menancap dengan dalam. Beliau tidak menyampaikan nasihat dengan kalimat yang panjang lagi bertele-tele namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabat sebagai orang yang memiliki jawami`ul kalim . Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Aku diutus dengan jawami‘ul kalim.”
‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan dipenuhi dengan kata-kata yang tepat yang indah dan menancap di hati. Seusai khutbah ada seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi dengan jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya panjang shalat seseorang dan ringkas khutbah merupakan tanda kefaqihannya. Karena itu panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan ada yang membuat orang tersihir.”
Nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu sangatlah menancap di hati para sahabat hingga hati mereka bergetar dan air mata mereka pun berlinang karenanya. Inilah sifat kaum mukminin tatkala mendengar nasihat dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya:
“Hanyalah yang dikatakan orang-orang beriman itu adalah mereka yang ketika disebut nama Allah bergetar hati-hati mereka.”
“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul engkau akan melihat mereka berlinangan air mata karena apa yang mereka ketahui dari kebenaran.”
Demikianlah nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang seolah-olah beliau akan pergi meninggalkan mereka dengan memberikan nasihat perpisahan. Sebagaimana yang telah diketahui orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan sesuatu yang penting kecuali disampaikan dan dipesankannya.
Setelah mendengar nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam para sahabat pun khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rasulullah sehingga untuk menyempurnakan nasihat yang ada mereka meminta wasiat beliau seraya berkata: “Wahai Rasulullah seakan-akan ini nasihat orang yang akan berpisah karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat di antaranya:
Wasiat untuk Takwa kepada Allah
Berkata ahlul ilmi takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa ini.
Takwa ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun yang belakangan sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orangyang diberikan Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.”
Kita diperintah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengan sebagaimana firman-Nya:
“Berbekallah kalian maka sesungguh sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Oleh karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.
Wasiat untuk Mendengar dan Taat
Yang dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin karena taat kepada mereka akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan mentaati mereka akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin dan menjadi amanlah negeri di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.
Hal ini merupakan kewajiban agama karena Allah telah berfirman:
“Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian.”
Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin itu seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat sekalipun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah yang rambutnya seperti kismis.”
Al Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied Rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi sama halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besar hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuk sebuah rumah di surga.” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”
Dimungkinkan pula di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan rusak perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahli sampai akhir kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak . Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi tetaplah kalian mendengar dan taat terpaksa menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana apabila membangkang akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.”
Tentu ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf tanpa melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.”
Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah
Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”
Ini merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di mana beliau mengabarkan kepada para sahabat tentang perkara yang akan datang sepeninggalnya yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 70 lebih golongan semua masuk neraka kecuali satu yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegang oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Karena itulah sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Saking kuat keharusan berpegang tersebut hingga diibaratkan seperti menggigit dengan geraham . Ditambahkan oleh Syaikhul Islam bahwa dikhususkan penyebutan geraham dalam hadits ini karena gigitan gigi geraham ini sangat kokoh.
Kata Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap kepayahan yang menimpa di jalan Allah sebagaimana yang harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpa dari sakitnya.”
Adapun sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas.
Selain mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelah untuk memegangi sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu ‘Anhum kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para khalifah ini disifatkan dengan karena mereka mengetahui mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya. Mereka adalah karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri dan bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari Sunnah Nabi secara global dan rinci yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi yang lainnya.
Al Imam Asy Syaukani dalam Al Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang ditempuh sehingga seakan-akan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Tempuhlah jalanku dan jalan Al Khulafa’ Ar Rasyidin’. Jalan Al Khulafa’ Ar Rasyidin di sini sama dengan jalan Rasulullah karena mereka merupakan orang yang paling bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkan dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaan mereka sangatlah berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sekalipun dalam perkara yang terbilang kecil terlebih lagi dalam perkara yang besar.”
Beliau kemudian melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah ra`yu yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain mereka sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah dan juga lebih baik dari pada tidak ada dalil.”
Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ah
Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:“Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru” merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asal sama sekali di dalam syariat ini. Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini dengan sabdanya: “ karena tiap bid`ah itu sesat”.
Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka kembali hal tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan bid‘ah menurut syariat (agama). Cobalah sedikit berfikir kritis dengan logika. Ana contohkan seperti perkataan Umar Radhiyallahu ‘Anhu ketika melihat kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin seorang imam ia berucap: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perbuatan ini.”
Ketahuilah, shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i karena perbuatan ini telah ada asal dalam syariat di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukan bersama para sahabat selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun Umar hanya menghidupkan kembali setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melanjutkan pelaksanaan karena khawatir perkara tersebut akan diwajibkan kepada umat beliau sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu melaksanakannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawaab
[dari penjelasan Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsary]
Ikhwah Fillah.. cobalah untuk berfikir jernih dan tanyakan pada hati nurani yang jujur kemudian pahami “Kaidah” yang agung ini:
لو كان خيرا لسبقون اليه
“Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi”
SEANDAINYA PERBUATAN ITU BAIK (DALAM AGAMA), MAKA RASULULLAH, PARA SAHABAT, TABI’IN DAN TABIUT TABI’IN PASTI MEREKA LEBIH DAHULU MENGAMALKANNYA DARI PADA KITA.
Karena mereka paling tahu tentang nilai sebuah kebaikan (agama) dari pada kita yang hidup di zaman sekarang ini. :www.ibnunirwana.co.cc
Penjelasan Hadits
Al Hafidz Abu Nu‘aim berkata: “Hadits ini jayyid termasuk hadits yang shahih dari periwayatan orang-orang Syam.” Beliau juga mengatakan: “Al Bukhari dan Muslim meninggalkan hadits ini bukan karena mengingkarinya.”
Al Hakim menyatakan Al Bukhari dan Muslim meninggalkan penyebutan hadits ini disebabkan anggapan yang keliru dari keduanya bahwa tidak ada seorang rawi pun yang meriwayatkan dari Khalid bin Ma‘dan kecuali Ats Tsaur bin Yazid padahal sebenar ada perawi lain yang meriwayatkan dari Khalid seperti Buhair bin Sa‘ad Muhammad bin Ibrahim At Taimi dan selain keduanya.
Namun pernyataan Al Hakim ini dijawab oleh Al Hafidz Ibnu Rajab: “Sebenar hal ini tidaklah seperti persangkaan Al Hakim. Adapun Al Bukhari dan Muslim tidak mengambil hadits ini karena hadits ini tidak memenuhi syarat mereka berdua di dalam kitab shahih di mana Al Bukhari dan Muslim sama sekali tidak mengeluarkan dalam shahih riwayat dari Abdurrrahman bin Amr As Sulami dan dari Hujr Al Kala`i. Dan juga dua orang rawi yang disebut ini tidaklah terkenal dalam keilmuan dan periwayatan hadits.”
Adapun Abdurrahman As Sulami salah seorang perawi dalam hadits ini maka ia masturul hal walaupun telah meriwayatkan dari jama‘ah namun tidak ada seorang alim yang mu‘tabar yang men-tsiqah-kan . Ibnul Qaththan Al Fasi mendha’ifkan hadits ini karena hal tersebut.
Demikian pula dengan Hujr bin Hujr Al Kala‘i tidak ada yang meriwayatkan kecuali Khalid bin Ma‘dan dan tidak ada seorang alim yang mu‘tabar yang men-tsiqah- kan sehingga ia dinyatakan majhulul ‘ain . Berkata Ibnul Qaththan: “Orang ini tidak dikenal.” Namun sebagaimana kata Al Imam Al Hakim di atas hadits ini diriwayatkan juga dari selain mereka berdua dan disebuntukan jalan-jalan yang saling menguatkan satu dengan lain oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ul ‘Ulum maka hadits ini hasan. Penghasanan hadits ini dinyatakan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al Wadi‘i rahimahullah walaupun ada sebagian ulama yang menshahihkan sehingga mereka bersepakat bahwa hadits ini bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali Ibnul Qaththan Al Fasi yang mendha’ifkan hadits ini.
.
Kandungan Hadits
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya :
“Berilah nasihat kepada mereka dan katakanlah kepada mereka ucapan yang bisa dipahami mengena dan menancap di jiwa-jiwa mereka.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki sifat selalu memberikan bimbingan kepada jalan yang lurus terhadap siapa saja dari kalangan umat sehingga ketika para sahabat meminta agar beliau memberikan nasihat maka beliau pun memenuhi diiringi dengan hikmah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menyampaikan nasihat senantiasa memilih kata-kata yang tepat lafadz yang indah mengena di hati dan menancap dengan dalam. Beliau tidak menyampaikan nasihat dengan kalimat yang panjang lagi bertele-tele namun cukup dengan kalimat yang ringkas namun mencakup dan dimengerti. Karena itulah beliau dikenal oleh para sahabat sebagai orang yang memiliki jawami`ul kalim . Sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Aku diutus dengan jawami‘ul kalim.”
‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhu pernah menyampaikan khutbah dengan ringkas dan dipenuhi dengan kata-kata yang tepat yang indah dan menancap di hati. Seusai khutbah ada seseorang yang menegurnya. Maka ‘Ammar pun menanggapi dengan jawaban yang tepat: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya panjang shalat seseorang dan ringkas khutbah merupakan tanda kefaqihannya. Karena itu panjangkanlah shalat dan ringkaskanlah khutbah. Sesungguhnya di antara penyampaian dan ucapan ada yang membuat orang tersihir.”
Nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika itu sangatlah menancap di hati para sahabat hingga hati mereka bergetar dan air mata mereka pun berlinang karenanya. Inilah sifat kaum mukminin tatkala mendengar nasihat dari Allah dan Rasul-Nya sebagaimana firman-Nya:
“Hanyalah yang dikatakan orang-orang beriman itu adalah mereka yang ketika disebut nama Allah bergetar hati-hati mereka.”
“Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul engkau akan melihat mereka berlinangan air mata karena apa yang mereka ketahui dari kebenaran.”
Demikianlah nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang seolah-olah beliau akan pergi meninggalkan mereka dengan memberikan nasihat perpisahan. Sebagaimana yang telah diketahui orang yang akan pergi jauh tidak akan meninggalkan sesuatu yang penting kecuali disampaikan dan dipesankannya.
Setelah mendengar nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam para sahabat pun khawatir mereka tidak akan bertemu lagi dengan Rasulullah sehingga untuk menyempurnakan nasihat yang ada mereka meminta wasiat beliau seraya berkata: “Wahai Rasulullah seakan-akan ini nasihat orang yang akan berpisah karena itu berilah wasiat kepada kami.” Beliau pun memberikan wasiat di antaranya:
Wasiat untuk Takwa kepada Allah
Berkata ahlul ilmi takwa merupakan pokok kebaikan dan inti dari segala perkara. Seluruh seruan kepada pintu kebaikan maupun larangan kepada kejelekan terkumpul dalam kalimat takwa ini.
Takwa ini pula merupakan wasiat Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang-orang terdahulu maupun yang belakangan sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sungguh Kami telah mewasiatkan kepada orang-orangyang diberikan Al Kitab sebelummu dan juga kepada kalian agar bertakwa kepada Allah.”
Kita diperintah oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk berbekal dengan sebagaimana firman-Nya:
“Berbekallah kalian maka sesungguh sebaik-baik bekal adalah takwa.”
Oleh karena itu terkumpul dalam takwa ini kebaikan dunia dan akhirat.
Wasiat untuk Mendengar dan Taat
Yang dimaksud dengan mendengar dan taat oleh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di sini adalah kepada para pemimpin kaum muslimin karena taat kepada mereka akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dimana dengan mentaati mereka akan baiklah kehidupan orang-orang yang dipimpin dan menjadi amanlah negeri di samping juga dapat membantu menegakkan agama mereka.
Hal ini merupakan kewajiban agama karena Allah telah berfirman:
“Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasulullah dan kepada pemimpin di antara kalian.”
Kewajiban mendengar dan taat ini tetap berlaku bahkan ketika yang menjadi pemimpin itu seorang budak sekalipun. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berpesan: “Tetaplah kalian mendengar dan taat sekalipun yang memimpin kalian itu seorang budak Habasyah yang rambutnya seperti kismis.”
Al Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied Rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi sama halnya dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besar hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuk sebuah rumah di surga.” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan.”
Dimungkinkan pula di sini Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan rusak perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahli sampai akhir kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak . Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi tetaplah kalian mendengar dan taat terpaksa menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana apabila membangkang akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.”
Tentu ketaatan kepada pemimpin itu sebatas dalam perkara yang ma‘ruf tanpa melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Ketaatan itu hanyalah dalam perkara kebaikan.”
Wasiat untuk Berpegang Teguh dengan Sunnah
Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengatakan: “Siapa di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigit/pegang erat-erat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.”
Ini merupakan salah satu tanda di antara tanda-tanda kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di mana beliau mengabarkan kepada para sahabat tentang perkara yang akan datang sepeninggalnya yakni akan terjadi perselisihan yang banyak di kalangan umat beliau. Hal ini sesuai dengan pengabaran beliau bahwasanya umat ini akan berpecah belah menjadi 70 lebih golongan semua masuk neraka kecuali satu yang selamat yaitu mereka yang berpegang dengan apa yang dipegang oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Karena itulah sebagai bahtera penyelamat dari gelombang perselisihan dan perpecahan ini adalah berpegang teguh dengan sunnah beliau dan para Al Khulafa’ Ar Rasyidin. Saking kuat keharusan berpegang tersebut hingga diibaratkan seperti menggigit dengan geraham . Ditambahkan oleh Syaikhul Islam bahwa dikhususkan penyebutan geraham dalam hadits ini karena gigitan gigi geraham ini sangat kokoh.
Kata Al Imam As Sindi: “Hal ini menunjukkan keharusan untuk bersabar terhadap kepayahan yang menimpa di jalan Allah sebagaimana yang harus dihadapi orang yang sakit terhadap derita yang menimpa dari sakitnya.”
Adapun sunnah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah jalan hidup beliau yang lurus dan jelas.
Selain mengikuti Sunnah beliau, diperintahkan pula setelah untuk memegangi sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dan mereka yang dimaksud di sini adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhiyallahu ‘Anhum kata Ibnu Daqiqil `Ied. Para khalifah ini disifatkan dengan karena mereka mengetahui mengenali kebenaran dan memutuskan dengannya. Mereka adalah karena Allah telah memberi petunjuk mereka kepada kebenaran dan tidak menyesatkan mereka dari kebenaran tersebut.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggandengkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan Sunnah beliau karena para khalifah ini tatkala menetapkan sunnah bisa jadi mengikuti Sunnah Nabi itu sendiri dan bisa pula mereka mengikuti apa yang mereka pahami dari Sunnah Nabi secara global dan rinci yang mana perkara tersebut tersembunyi bagi yang lainnya.
Al Imam Asy Syaukani dalam Al Fathur Rabbani mengatakan: “Sunnah adalah jalan yang ditempuh sehingga seakan-akan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ‘Tempuhlah jalanku dan jalan Al Khulafa’ Ar Rasyidin’. Jalan Al Khulafa’ Ar Rasyidin di sini sama dengan jalan Rasulullah karena mereka merupakan orang yang paling bersemangat dalam berpegang dengan Sunnah beliau dan mengamalkan dalam segala perkara. Bagaimana pun keadaan mereka sangatlah berhati-hati dan menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke dalam perkara yang menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sekalipun dalam perkara yang terbilang kecil terlebih lagi dalam perkara yang besar.”
Beliau kemudian melanjutkan: “Minimal dari faidah hadits ini adalah ra`yu yang bersumber dari mereka adalah lebih utama dari pendapat orang selain mereka sekalipun ternyata setelah ditinjau kembali hal itu merupakan Sunnah Rasulullah dan juga lebih baik dari pada tidak ada dalil.”
Wasiat untuk Berhati-hati dari Bid‘ah
Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:“Hati-hati kalian dari perkara-perkara baru” merupakan peringatan kepada umat beliau dari perkara baru yang diada-adakan lalu disandarkan kepada agama sementara perkara tersebut tidak ada asal sama sekali di dalam syariat ini. Dan beliau tekankan lagi peringatan beliau ini dengan sabdanya: “ karena tiap bid`ah itu sesat”.
Adapun ucapan para ulama yang menganggap baik sebagian bid‘ah maka kembali hal tersebut kepada pengertian bid‘ah secara bahasa bukan bid‘ah menurut syariat (agama). Cobalah sedikit berfikir kritis dengan logika. Ana contohkan seperti perkataan Umar Radhiyallahu ‘Anhu ketika melihat kaum muslimin shalat tarawih berjamaah dipimpin seorang imam ia berucap: “Sebaik-baik bid‘ah adalah perbuatan ini.”
Ketahuilah, shalat tarawih berjamaah ini bukanlah bid‘ah dalam pengertian syar‘i karena perbuatan ini telah ada asal dalam syariat di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukan bersama para sahabat selama beberapa malam dari malam-malam Ramadhan. Adapun Umar hanya menghidupkan kembali setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melanjutkan pelaksanaan karena khawatir perkara tersebut akan diwajibkan kepada umat beliau sementara mungkin ada di antara mereka yang tidak mampu melaksanakannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish shawaab
[dari penjelasan Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsary]
Ikhwah Fillah.. cobalah untuk berfikir jernih dan tanyakan pada hati nurani yang jujur kemudian pahami “Kaidah” yang agung ini:
لو كان خيرا لسبقون اليه
“Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi”
SEANDAINYA PERBUATAN ITU BAIK (DALAM AGAMA), MAKA RASULULLAH, PARA SAHABAT, TABI’IN DAN TABIUT TABI’IN PASTI MEREKA LEBIH DAHULU MENGAMALKANNYA DARI PADA KITA.
Karena mereka paling tahu tentang nilai sebuah kebaikan (agama) dari pada kita yang hidup di zaman sekarang ini. :www.ibnunirwana.co.cc
0 komentar:
Posting Komentar