Dalam berbagai tulisan di website,
sebagian
cendekiawan Syiah menolak menyamakan kitab hadits al-Kafi dengan Shahih
Bukhari. Mereka tidak setuju jika ada orang menilai kedudukan Al Kafi di
sisi Syiah sama dengan Shahih Bukhari di sisi Sunni. Bahkan mereka
menuduh orang yang melakukan
hal itu bertujuan untuk mengelabui orang awam yang tidak
tahu-menahu tentang Al Kafi.
Mereka mengakui bahwa Al Kafi, karya
al-Kulaini memang menjadi rujukan
Syiah tetapi tidak ada ulama Syiah yang dapat membuktikan bahwa semua
riwayat
Al Kafi shahih. Karena itu, dalam mengambil hadits sebagai rujukan,
ulama Syiah akan menilai kedudukan haditsnya, baru menetapkan fatwa.
Hal ini jelas berbeda dengan Shahih Bukhari dimana Bukhari sendiri
menyatakan
bahwa semua hadisnya adalah shahih, dan sudah menjadi ijma ulama Sunni
bahwa
kitab tersebut paling shahih setelah Al Quran.
Mereka mengatakan bahwa Al
Kulaini menuliskan riwayat apa saja yang dia dapatkan dari orang yang mengaku mengikuti
para Imam Ahlul Bait as. Ia hanyalah mengumpulkan hadis-hadis dari Ahlul Bait. Menurut mereka tidak ada sedikitpun
pernyataan Al Kulaini bahwa semua hadis yang dia kumpulkan otentik. Oleh karena
Itulah ulama-ulama sesudahnya
telah menseleksi hadits dalam kitab
tersebut dan menentukan kedudukan setiap haditsnya. Allamah Al Hilli misalkan, yang telah mengelompokkan
hadis-hadis Al Kafi menjadi shahih, muwatstsaq, hasan dan dhaif. Sayyid Ali Al
Milani menyatakan bahwa 5.072 hadis shahih, 144 hasan, 1128 hadis muwatstsaq
(hadis yang diriwayatkan perawi bukan Syiah tetapi dipercayai oleh Syiah), 302
hadis Qawiy (kuat) dan 9.480 hadis dhaif.
Al-Sayyid Muhammad
al-Mujahid al-Tabataba’i (1242H) juga mengemukakan hujah bahwa tidak semua
riwayat al-Kafi sahih. Hal ini diungkapkan oleh Hasyim Ma’ruf Husyein dalam
kitabnya, Dirasat Hadits. (hal.135-136)
Hal yang sama juga
dikatakan oleh Ayatullah Husayn `Ali al-Muntazari mengenai ketidaksahihan
riwayat dalam al-Kafi dalam kitabnya
Dirasah fi Makasib al Muharomah, juz III, hal. 123. Ia mengatakan: “Kepercayaan al-Kulaini akan kesahihan riwayat (di
dalam kitabnya) tidak termasuk dalam hujah syar’iah karena dia bukanlah ma’sum
di sisi kami.”
Pernyataan dan fakta di atas menarik untuk
dikritisi. Sebab penilaian bahwa al-Kafi diakui sebagai kitab yang shahih di
sisi Syiah berasal dari ulama mereka sendiri, bukan dari ulama Sunni. Sebut
saja misalkan Sayyid Husein Bahrul Ulum mengatakan,“Sesungguhnya ijtihad
(ulama) di sisi Syi’ah bergantung kepada kitab yang empat: al-Kafi al-Kulaini,
Man la Yahdhuru al-Faqih al-Saduq, al-Tahdhib dan al-Istibsar al-Tusi. Ini
adalah (kitab) usul yang diterima sebagai Sahih Sittah (kitab-kitab sahih yang
enam) di sisi awam (golongan sunnah)” (Sayyid Husain Bahrul Ulum,
Talkhis al-Shafi, dinukil oleh Muhammad SholehAl-Dhowi dalam
karyanya berjudul Shorih al-Imammiyah, Bukhus Naqdi li Mutuni Riwayah
Imamaiyah fi Ushulul Kafi, 6.)
Demikian juga Abdul
Husain Syafruddin Al-Musawi, dalam kitabnya “Al-Muraja’at” dengan tegas mengatakan
bahwa keempat kitab tersebut menjadi referensi (Syi’ah) Imamiyah dalam
ushul dan furu’nya, dari zaman pertama hingga zaman kini. Riwayat keempat kitab tersebut mutawatir dan
kandungannya dipastikan keshahihannya. Dan Al-Kafi yang tertua, termulia,
terbaik, dan yang paling teliti.(Al-Musyawi, al-Muraja'at,
No. 110 hal. 314)
Al-Kulaini sendiri menyatakan,“Sesungguhnya Anda ingin mempunyai sebuah
kitab yang lengkap yang terhimpun di dalamnya semua bidang ilmu agama (Islam)
yang memadai bagi seseorang pelajar, yang menjadi rujukan bagi pencari hidayah
dan orang yang menginginkan ilmu agama serta mau beramal dengannya, bisa
mengambil daripadanya melalui riwayat-riwayat yang sahih dari
orang-orang yang benar a.s. (Imam-imam Ahl al-Bait)dan (berisi) sunnah yang
diyakini bisa diamalkan serta (dengan athar-athar ini) bisa dilaksanakan
segala kefardhuan yang ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan sunnah nabi-Nya
s.a.w. dan keluarganya. Dan aku katakan: “Jika demikian, aku harapkan ia
(kitab) ini menjadi sebab untuk Allah memberikan pertolongan dan taufiq-Nya
kepada saudara-saudara kita dan penganut ajaran kita serta memberikan petunjuk
kepada mereka”.(al-Kulanī, Mukaddimah al-Usul min al-Kafi, juz.
1,hal. 8)
Dari pernyataan Al Kulaini
di atas beberapa ulama Syi’ah menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat dalam Al Kafi
shahih menurut Al Kulaini,“Sesungguhnya dia (al-Kulaini) (semoga Allah
merahmatinya) telah mengumpulkan di dalam kitabnya hadits Imam-imam (yang
menjadi petunjuk) a.s yang sahih di sisinya.”(Ali al-Ţabaţaba’i, Riyadh
al-Masail fī Bayan Aĥkam al-Shar` wa al-Dala’il, juz. I, hal. 31)
Hal yang sama juga
dikatakan Ayatullah Abu Talib al-Tajlil al-Tibrizi yang membenarkan
pengakuan al-Kulaini dalam mukaddimah kitabnya Mu`jam al-Mahasin wa
al-Masawi. Dia menulis tentang al-Kulaini dan kitab al-Kafi sebagaimana
berikut:“Sesungguhnya dia (al-Kulaini) telah menjelaskan dalam muqaddimah
kitabnya tentang kesahihan hadith-hadithnya (al-Kafi)”. (Abu Ţalib al-Tajlil
al-Tibrizi, Mu`jam al-Maĥasin wa al-Masami, hal. 17)
Al-Huur al-‘Amili (1104H),
seorang ulama hadith Syi’ah yang mashyur juga menyakini kesahihan semua riwayat
yang terdapat di dalam kitab al-Kafi. “Hal itu juga fakta yang
jelas dalam pengesahan kesahihan hadits-hadits yang terdapat di dalam kitabnya (al-Kafi)
karena beberapa faktor. Diantaranya kata-katanya (al-Kulaini di dalam
mukaddimah al-Kafi): “Dengan atsar-atsar yang
sahih”. Dan satu hal yang sudah dimaklumi bahwa dia (al-Kulaini) tidak
menyebutkan tentang kaedah (yang dapat digunakan) untuk membedakan
riwayat-riwayat yang sahih dan tidak sahih jika memang terdapat riwayat-riwayat
yang tidak sahih di dalamnya dan tidak ada juga istilah ulama mutaakhirin pada
zamannya sebagaimana yang akan dijelaskan. Maka karena itu diyakini bahwa
setiap riwayat yang terdapat di dalamnya adalah sahih mengikuti istilah
mutaqaddimin dengan maknanya yang tsabit dari al-Ma’sum (Imam-imam Syi’ah)
berdasarkan bukti-bukti yang qat’i atau tawatur.(Muhammad Husein al-Hurr
al-`Amili, Wasaa’il al-Shiah ilá Tahsil Masaa’il al-Shari`a, Tahqiq Oleh
Muhammad Ar Razi , juz XX, hal. 63)
Maksud perkataan
al-Hurr (istilah ulama mutaakhirin) adalah istilah yang mengklasifikasikan
riwayat-riwayat menurut derajat kesahihan (sahih, muwaththaq, qawi, hasan dan
da’if). Hal ini tidak digunakan oleh ulama Syi’ah Itsna’ Ashariyyah melainkan
setelah abad ke-7. Sebelumnya ulama mutaqqidimin mereka hanya menggunakan istilah sahih
atau tidak sahih.
Melihat perbedaan tersebut, Dr. I. K. A. HowardAl-Serat, sengaja meniliti kitab al-Kafi dan menemukan
fakta bahwa kitab tersebut sudah sejak lama digunakan sebagai pegangan oleh
kaum Syiah dalam mencari hujjah keagamaan. (Great Shi'i Works'Al-Kafi'
by Al-Kulayni, (Published by the Muhammadi Trust of Great Britain and Northern Ireland, 1976) Vol. 2, No. 1).
Bahkan di antara mereka
ada yang mencukupkan atas kitab tersebut tanpa melakukan ijtihad. Ini artinya, walau ulama Syi’ah berbeda
pendapat tentang keseluruhan kitab al-Kafi mengenai sahih atau tidak, namun
mayoritas menyakini kesahihannya secara keseluruhan sebagaimana diyakini oleh al-Kulaini sendiri dan ia mengesahkan kesahihan
kitabnya.
Sedang mereka yang tidak menyetujuinya,
seharusnya tidak boleh menyalahkan orang lain ketika menggunakan al-Kafi untuk
mengkritisi ajaran Syiah. Para ulama atau cendekiawan Syiah seharusnya bisa
menyelesaikan persoalan itu sendiri tanpa menyalahkan orang lain.
Selama masalah ini belum tuntas, maka persoalan
hadits Syiah tidak akan pernah selesai. Hal ini tidak akan terjadi pada hadits
Sunni. Sebab telah ada kesepakatan diantara ulama Sunni tentang kitab
hadits yang sahih. Misalkan para ulama Sunni telah sepakat bahwa kitab hadits
Bukhari sebagai kitab yang sahih.
Oleh: Bahrul Ulum, Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam
(InPAS) Surabaya di Hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar