Umumnya
atau biasanya seseorang yang terpengaruh dengan lingkungannya,
cenderung untuk “menyamakan” dirinya dengan masyarakat di sekitarnya.
Ketika ada suatu sunnah yang tidak dikerjakan oleh masyarakat
sekitarnya, maka ia tidak berani melakukannya. Hal itu dikarenakan rasa
malu, minder atau khawatir dianggap tidak bermasyarakat. Padahal justru
pada masa-masa seperti itu seseorang yang menerapkan sunnah akan
mendapatkan pahala besar, lima puluh kali lipat pahala para sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Ini sesuai dengan sabda beliau
yang artinya:
“Sesungguhnya di belakang kalian nanti
ada hari-hari sabar bagi orang-orang yang pada waktu itu berpegang
dengan apa yang kalian ada di atasnya. Mereka akan mendapatkan pahala
lima puluh kali dari kalian”. Para shahabat bertanya: “Wahai Nabi Allah,
apakah lima puluh kali pahalanya dari mereka?” beliau menjawab: “Bahkan
dari kalian”. (HR. Marwazi dalam As-Sunnah)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamalkan amalan tersebut. Para Shahabat bertanya: “Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka?” Rasulullah menjawab: “Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Maka, dalam mengamalkan sunnah terdapat kaidah yang harus diperhatikan dan dipahami dengan benar, yaitu “Kita tetap mengamalkan sunnah walaupun seluruh manusia meninggalkannya”. Hal ini tidaklah bertentangan dengan memperhatikan maslahat dan mafsadah, karena matinya suatu sunnah jelas merupakan mafsadah besar. Oleh karena itu ketika manusia melupakan suatu sunnah, maka semestinya kita menghidupkannya agar manusia mengenalinya. Sunnah yang dimaksudkan bukanlah sebagaimana pengertian menurut ulama fiqh, yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Namun yang dimaksud adalah jalan hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam beragama.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah : ”Tidak mengapa kita meninggalkan suatu perkara yang mustahab (tidak wajib), tetapi kita tetap tidak boleh meninggalkan keyakinan disunnahkannya amalan tersebut. Karena mengenali sunnahnya amalan tersebut merupakan fardhu kifayah agar tidak hilang sedikitpun dari agama ini.” (Majmu’ Fatawa)
Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim Rahimahullah ketika dia berkata : “Kalau semua perkara yang mustahab ditinggalkan, maka akan hilanglah sunnah-sunnah Rasulullah dan akan lenyap garis-garisnya serta sirna jejak-jejaknya. Betapa banyak amalan-amalan yang dilaksanakan menyelisihi sunnah yang jelas, sesuai dengan bertambah jauhnya zaman sampai sekarang. Setiap waktu ada sunnah yang ditinggalkan dan dikerjakan yang selainnya, begitulah seterusnya. Akhirnya kau lihat sedikit sekali sunnah yang dikerjakan, itupun dalam keadaan tidak sempurna.” (I’lamul Muwaqi’in)
Demikianlah, jika manusia dibiarkan meninggalkan perkara yang sunnah, kemudian kita juga tidak mau menegakkannya karena masyarakat tidak mengerjakannya, niscaya akan matilah sunnah dan tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Suatu saat kelak ketika ada yang mengerjakan sunnah tersebut akan dianggap sebagai orang yang mengerjakan kebid’ahan.
Sebagai contoh, sunnah yang telah diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, para shahabatnya dan para ulama yang setelahnya, yakni bersungguh-sungguh dalam meluruskan dan merapatkan shaf sholat berjama’ah, hingga antara mata kaki dan bahu-bahu makmum dengan lainnya rapat.
Hadits riwayat Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Luruskanlah barisan kalian. Sesungguhnya kelurusan barisan shalat termasuk bagian dari kesempurnaan sHalat."
Hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu :
Dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Luruskanlah barisan dalam shalat, karena lurusnya barisan itu termasuk kebaikan shalat."
Hadits riwayat Nukman bin Basyir Radhiyallahu 'Anhu , ia berkata :
Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Sebaiknya engkau mau meluruskan barisanmu atau Allah akan menancapkan rasa permusuhan di antara engkau."
Dari Busyair bin Yasar al Anshari Radliyallaahu 'Anhu dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu bahwasanya ia datang di Madinah lalu ditanyakan kepadanya, "Apakah ada sesuatu yang kamu ingkari (anggap tidak baik) dari apa yang kami semua lakukan sejak hari kamu bergaul bersama Rasulullah?" Ia berkata, "Saya tidak mendapat sesuatu yang patut saya ingkari kecuali kalian tidak meluruskan shaf pada waktu shalat." (HR. Bukhari)
Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'Anhu berkata, "Aku melihat bahwa setiap orang di antara kami merapatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya." (HR. Bukhari)
Ikhwatul Islam A'a zaniyallohu wa iyyakum, tidakkah terlihat saat shalat berjama’ah betapa banyaknya di masjid-masjid yang melupakan sunnah yang satu ini? Bahkan, sang imam pun seolah menganggap remeh sunnah ini dan tak jarang ketika penulis mencoba menerapkan sunnah ini, si Fulan justru menghindar dan mengingkarinya. Bukankah lurus dan rapatnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat?
Contoh nyata lainnya, yaitu sunnah taaddud atau Poligami. Betapa kerasnya manusia bahkan kaum muslimin sendiri yang menentang sunnah ini. Orang yang melakukannya seakan-akan dia adalah orang jahat yang melakukan suatu aib yang besar. Padahal asal perintah Allah dalam masalah perkawinan adalah untuk berpoligami. Kecuali mereka yang tidak mampu untuk berbuat adil, maka diberi keringanan untuk beristeri satu saja.
Allah berfirman:
…maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa’: 3)
Sedikit cerita, pernah suatu waktu, pengalaman di tempat kerja penulis, si Fulan dengan penampilan berjenggot dan celana cingkrangnya serta Fulanah bercadar dengan warna gelap datang ke kantor untuk mengajukan izin poligami “secara negara”, karena demi kemaslahatan di negara kita ini seorang ikhwan bila ingin berpoligami harus seizin istri pertamanya, namun betapa sinisnya orang di sekitar melihatnya, termasuk rekan kerja yang juga pegawai bersama penulis, entah itu karena penampilan mereka atau mungkin karena keperluannya tersebut. Penulis mencontohkan sunnah poligami bukan berarti mencoba menyudutkan atau membentuk gap barisan antara yang pro dan kontra terhadap poligami, tapi Ya Ikhwah Fillah, ketahuilah! Hal itu adalah sunnah dari agama kita, Islam, tak ada yang salah, yang salah adalah pemeluknya. Entah itu karena poligami yang dimanfaatkan oleh pelakunya yang tidak sesuai syari’at, atau dianggap perusak rumah tangga orang lain, penyebab perceraian atau alasan lainnya yang dibuat-buat. Apa lantas dibenarkan, dua insan berlainan jenis non mahram yang seolah tak malu dan tak peduli “memadu kasih” sementara mereka tidak ada ikatan yang halal berlabel pernikahan? Apakah dibenarkan pula, seorang suami yang diam-diam “jajan” sembarangan dibelakang istrinya? Lalu mengapa sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ini diatur negara sedangkan perkara Taqrabuzzina (mendekati zina) bahkan zinanya itu sendiri seolah tak ada aturan? Dimana letak keislaman di negeri kita yang notabene negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia? Na’am, bisa jadi inilah bukti betapa jauhnya manusia dari sunnah. Karena itulah adanya Islam, datang memberikan solusi terbaik. Jika memang mampu, silahkan, jika tidak nikahilah seorang saja.
Adapun penampilan berjenggot, celana cingkrang, bercadar merupakan ketentuan syari’at Islam dan merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentu saja itu menjadi ciri khas bagi kaum muslimin yang taat menjalankan ajaran syari’at, cinta kepada bimbingan Nabinya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Penampilan Islami tersebut merupakan ciri-ciri orang yang bertaqwa, ciri orang yang shalih, ciri orang yang taat dan cinta pada agama Islam.
Penampilan Islami tersebut bukan bikinan kelompok/golongan atau bangsa tertentu, bukan pula ciri khas kelompok atau bangsa tertentu, bukan pula sekedar adat kebiasan masyarakat, bangsa, atau kelompok tertentu. Tapi merupakan aturan syariat Islam, merupakan ketentuan yang berasal dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang diajarkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Begitu banyak dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki) sebagai dasar kewajiban mengangkat celana, jangan sampai menutupi mata kaki bagi laki-laki muslim, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhori).
Dan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha: “Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257).
Nah, kemudian muncul klaim bahwa isbal jika tidak sombong itu dibolehkan. Oleh karena itu penulis perlu menjawab dalil-dalil yang biasa digunakan untuk membolehkan isbal jika tidak bermaksud sombong.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda : "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat!" Abu Bakar bertanya, "Ya Rasulullah, sarungku sering melorot kecuali bila aku menjaganya!" Rasulullah menjawab, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong." (HR. Bukhari)
Argumennya adalah berdalil dengan sabda Rasulullah, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.", bahwasanya isbal tidak sombong dibolehkan.
Dijawab oleh para Masyaikh Ahlussunnah, berkata Syaikh Al-Albani : “Dan termasuk perkara yang aneh, ada sebagian orang yang mempunyai pengetahuan tentang Islam, mereka berdalil bolehnya memanjangkan pakaian atas dasar perkatan Abu Bakar ini. Maka aku katakan bahwa hadits di atas sangat gamblang bahwa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan pakaiannya, sarungnya selalu melorot tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha untuk selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini sementara perbedaannya sangat jelas, apa yang terjadi pada diri Abu Bakar dan orang yang selalu memanjangkan pakaiannya? Kita memohon kepada Allah keselamatan dari hawa nafsu. Kemudian Syaikh berkata di tempat yang lain : “Dalam hadits riwayat Muslim, Ibnu Umar pernah lewat di hadapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sedangkan sarungnya melorot, Rasulullah menegur Ibnu Umar dan berkata, "Wahai Abdulloh, naikkan sarungmu!". Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk shahabat yang mulia dan utama, Nabi tidak tinggal diam terhadap sarungnya yang melorot bahkan memerintahkannya untuk mengangkat sarung tersebut, bukankah ini menunjukkan bahwa isbal itu tidak berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Dan adapun orang yang berhujjah dengan hadits Abu Bakar, maka kita jawab dari dua sisi. "Pertama, bahwa salah satu sisi sarung Abu Bakar kadang melorot tanpa disengaja, maka beliau tidak menurunkan sarungnya atas kehendak dirinya dan ia selalu berusaha menjaganya. Sedangkan orang yang mengklaim bahwa dirinya isbal karena tidak sombong, mereka menurunkan pakaian mereka karena kehendak mereka sendiri. Oleh karena itu, kita katakan kepada mereka, 'Jika kalian menurunkan pakaian kalian di bawah mata kaki tanpa niat sombong, maka kalian akan diadzab dengan apa yang turun di bawah mata kaki dengan Neraka. Jika kalian menurunkan pakaian karena sombong, maka kalian akan diadzab dengan siksa yang lebih pedih, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan berbicara kepada kalian, tidak dilihat oleh-Nya, tidak disucikan oleh-Nya dan bagi kalian adzab yang pedih”. Yang kedua, Abu Bakar mendapat rekomendasi dan tazkiah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia bukan termasuk orang yang sombong, maka, apakah kalian juga mendapat tazkiah dan rekomendasi yang serupa?"
Maka, cukuplah dalil dari Hadits Jabir bin Sulaim radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadanya:
"…dan jauhilah olehmu terhadap isbalnya sarung (pakaian), karena sesungguhnya isbalnya sarung (pakaian) itu adalah bagian dari kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan.”
Maknanya adalah bahwa Isbal itu sendiri artinya bagian dari kesombongan. Hujjah di atas sering dipakai untuk membantah dibolehkannya Isbal selama tidak dengan niat sombong.
Sedangkan untuk muslimah berbeda ketentuannya, melihat kembali dalil Hadits dari Ummu Salamah menuturkan, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda (yang artinya):
"Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat."
Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana wanita memperlakukan ujung pakaiannya?"
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Ulurkan sejengkal."
Ummu Salamah berkata, "Jika demikian, kaki mereka kelihatan."
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Hendaknya mereka mengulurkannya sehasta dan jangan ditambah lagi."
(HR al-Bukhari).
Kemudian jenggot yang seharusnya dibiarkan tumbuh bagi laki-laki Muslim, cukup banyak dalil yang mewajibkannya, diantaranya:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan janggut.” (HR. Muslim).
Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Muslim).
Dan masih banyak hadits lain senada yang menunjukkan perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk membiarkan janggut tumbuh, sedang perintah hukum asalnya adalah wajib sepanjang tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal.
Muncul pula argumen yang menjelaskan ”Sekarang ini orang-orang non muslim, para biksu, dan Yahudi ortodok juga memanjangkan jenggot. Kalau demikian berjenggot juga dapat dikatakan tasyabuh (menyerupai) orang kafir. Sehingga sekarang kita harus menyelisihi mereka dengan mencukur jenggot.”
Ikhwah Fillah, pernyataan ini dijawab dan dibantah oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim (karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
Beliau rahimahullah mengatakan, ”Ini sungguh kekeliruan yang besar. Karena larangan ini berkaitan dengan memelihara jenggot. Jika saat ini orang-orang kafir menyerupai kita, maka tetap saja kita tidak boleh berpaling dari apa yang telah diperintahkan walaupun mereka menyamai kita. Di samping memelihara jenggot untuk menyelisihi orang kafir, memelihara jenggot adalah termasuk fitroh (yang tidak boleh diubah). Sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ada sepuluh fitroh, di antaranya memelihara (membiarkan) jenggot’. Maka dalam masalah memelihara jenggot ada dua perintah yaitu untuk menyelisihi orang kafir dan juga termasuk fithroh.”
Kalau pun sebagian ikhwan yang jenggotnya tidak tumbuh, tidak berarti mereka tidak mengamalkan sunnah yang satu ini, melainkan karena tidak dianugerahi jenggot. Dan walaupun sebagian atau semua orang kafir yang cirinya adalah berkumis dan sekarang tidak berkumis lagi atau bahkan malah berjenggot sesuai sunnah Rasulullah, tidak menjadikan kita (para ikhwan) harus memotong jenggotnya untuk menyelisihi orang non muslim. Akan tetapi menyelisihi mereka adalah dengan menyelisihi apa yang ada pada mereka yang telah menyimpang dari kebenaran dan yang telah keluar dari fithroh yang selamat serta akhlaq yang mulia.
Dan sesuatu yang telah diselisihi oleh orang majusi, orang musyrik, dan orang kafir lainnya adalah dalam masalah mencukur jenggot. Dengan melakukan hal ini, mereka telah menyimpang dari kebenaran dan keluar dari fithroh yang bersih serta telah menyelisihi ciri khas para Nabi dan Rasul. Maka menyelisihi mereka dalam hal ini adalah wajib yaitu dengan memelihara (membiarkan) jenggot dan memendekkan kumis.
Selanjutnya adalah penggunaan cadar bagi Muslimah, Istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mulia: ‘Aisyah Radhiyallahu’anha dan para wanita di zamannya juga menggunakan cadar, sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha berikut:
“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
“Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita generasi awal kaum Anshar. Ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (sampai) ke dadanya.” (An-Nur: 31), maka mereka langsung memotong-motong kain mereka dan berikhtimar (menutup wajah) dengannya.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Hafiz Ibnu Hajar Rahimahullah menerangkan makna berikhtimar dalam hadits di atas adalah, “Para wanita sahabat Anshar menutup wajah mereka.”
Ya Akhi wal Ukhti Fillah, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita shahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan. Kemudian membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian shahabiyah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya. Tapi ketahuilah, jika para shahabiyah di zaman Rasul saja bercadar dengan hijab syar'inya di hadapan para shahabat yang padahal kita ketahui kualitas agama dan keimanan para shahabat tidak perlu diragukan lagi. Maka, bagaimana dengan era sekarang ini? Di zaman yang penuh fitnah seperti sekarang ini!
Memang, dalil-dalil yang disebutkan dan ditunjukkan oleh para ulama yang menyimpulkan hingga derajat wajib akan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Dan juga dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar pun begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup tetapi tetap dengan berhijab syar'i dan tidaklah mengapa bila tidak mengenakannya namun yang mengenakannya berarti ia telah melakukan kebaikan (lebih utama dan lebih mulia), inilah pandangan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Maka terhadap masalah ini seorang muslim/ah tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan. Dan bukan pula ini menjadi hujjah bagi yang tidak bercadar untuk memamerkan wajahnya atau bersikap lemah lembut yang karena hal itu dapat menjadi fitnah bagi lawan jenisnya. Rasulullah bersabda, "Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari penjelasan-penjelasan diatas, yang sangat disesalkan adalah justru sebagaian kaum muslimin sendiri menjadi benci terhadap jenggot, gamis, cadar, celana cingkrang dan penampilan "nyunnah" lainnya serta ikutan-ikutan menaruh curiga kepada setiap orang yang mengenakannya. Maka suasana ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membenci syariat Islam, untuk kembali menghembuskan isu bahwa penampilan tersebut bukan bagian dari Islam, itu hanya adat arab badui, atau merupakan ciri-ciri kelompok garis keras. Sungguh keyakinan demikian telah menginjak-injak syari’at Islam, dan disadari maupun tidak merupakan pengingkaran terhadap sebagian ajaran Islam. Yang lebih disesalkan adalah justru stigma negatif di atas juga disuarakan oleh orang-orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh Islam, atau cendekiawan muslim. Sungguh komentar-komentar mereka tidak memberikan solusi, tapi malah membuat suasana semakin keruh.
Sikap sebagian kaum muslimin yang menaruh curiga terhadap segala atribut Islami di atas sebagai teroris bahkan di beberapa daerah sampai pada tindakan main hakim sendiri yang bukanlah solusi untuk memberantas terorisme. Justru hal itu menunjukkan ketidakpahaman umat terhadap hakikat terorisme, di sisi lain menunjukkan betapa rapuhnya aqidah umat sehingga sangat mudah dikendalikan oleh media massa dan tokoh-tokoh yang tidak jelas. Bukankah tidak bijak menganggap seseorang dengan penampilan tertentu sebagai ciri teroris? Apa iya apabila seorang koruptor yang ternyata lulusan sebuah universitas ternama menjadikan suatu kesimpulan universitas tersebut mendidik mahasiswanya menjadi koruptor? Apa lantas dikatakan seorang maling yang berasal dari kampung tertentu menunjukkan semua warga yang tinggal di kampung tersebut adalah maling? Begitu pula penampilan tertentu bila dianggap teroris, apa lantas penampilan yang sama menunjukkan semua yang berpenampilan sama tersebut adalah teroris. Sungguh syubhat yang besar yang melanda umat Islam.
Hal ini adalah salah satu, salah dua atau salah semua sebagai bukti tentang suatu perkara sunnah yang jika ditinggalkan oleh kebanyakan kaum muslimin dalam kurun waktu yang lama, maka manusia akan mengingkari sunnah tersebut seperti pengingkaran mereka terhadap suatu kebid’ahan atau bahkan lebih dari itu. Semoga Allah menjaga kita dalam keistiqomahan sunnah dan melindungi kita dari ingkarusunnah.
PAHALA BESAR BAGI YANG MENGHIDUPKAN SUNNAH YANG DITINGGALKAN MASYARAKAT
Hendaklah kita ingat dan ketahui, bahwasanya menghidupkan sunnah dalam kondisi seperti ini akan lebih afdhal (utama) secara berlipat ganda dari pada beramal dengan sunnah pada masyarakat yang sudah berpegang dengannya.
Memang orang yang memulai untuk menghidupkan suatu sunnah pada masa umat meninggalkannya akan mendapatkan resiko yang berat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat yang sebelumnya sudah dijelaskan. Orang yang mengerjakannya seperti orang yang memegang bara api. Jika dipegang tangan terbakar, namun jika dilepaskan kita akan tersesat jauh dari jalan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun resiko itu sesuai dengan pahalanya yang besar, yaitu lima puluh kali para shahabat!
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing seperti permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing (al-ghuroba’)." (HR. Muslim)
Di samping itu, agama ini memang bermula dengan keasingan dan pada saatnya akan kembali asing seperti permulaannya. Jika dengan alasan masih asing, kemudian kita meninggalkan sunnah maka akan lenyaplah Islam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengabarkan akan asingnya agama ini pada mulanya dan akan kembali menjadi asing pada saatnya. Namun beliau juga sekaligus memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang terasing karena menjalankan agama ini.
JANGAN MALU UNTUK MENEGAKKAN SUNNAH!
Sering kali terjadi pada sebagian orang yang mencintai sunnah, merasa bimbang dan ragu dalam menghidupkan suatu sunnah yang tidak nampak di dalam masyarakatnya. Yang mendorong dia bersikap seperti ini adalah perasaan "malu" (atau lebih tepatnya minder) dan yang sejenisnya.
Sikap orang ini lebih tepat dinamakan dengan minder (bukan malu), karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Malu itu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan." (HR. Bukhari dan Muslim dari 'Imran bin Hushain rodhiyallahu 'anhu).
Yaitu perasaan malu untuk melakukan kejelekan dan kemaksiatan.
Berkata 'Iyyadh dan lainnya: "Rasa malu yang berakibat adanya pengurangan terhadap hak-hak, bukanlah malu yang syar'i bahkan hal itu adalah kelemahan dan kerendahan serta kehinaan. Dan hanya saja kata "malu" digunakan untuknya (malu yang tercela) karena kesamaannya (dari segi penamaan) terhadap "malu yang syar'i"." (Fathul Baari)
Maka rasa malu yang mengantarkan pemiliknya pada pengurangan terhadap hak-hak Allah, lalu dia beribadah kepada Allah di atas kebodohan, tidak bertanya tentang agamanya dan mengurangi dalam melaksanakan hak-hak-Nya, hak-hak orang yang ia dzalimi dan hak-hak kaum muslimin, maka rasa malu ini adalah tercela karena hal itu adalah kelemahan dan kerendahan.
Demikian pula orang yang malu untuk menampakkan syi'ar-syi'ar Islam dan kewajiban-kewajibannya seperti shalat berjama'ah di masjid terutama bagi seorang muslim (karena muslimah lebih utama shalat di rumahnya), memakai pakaian islami (seperti gamis dan sejenisnya), menghadiri majelis 'ilmu yang disampaikan oleh Ahlus Sunnah yang komitmen dengan sunnah, mengajak orang kepada kebaikan dan amalan-amalan ketaatan yang lainnya, maka ini adalah malu yang tercela yang harus dihindari sejauh-jauhnya.
Untuk itu janganlah perasaan asing, malu, takut, dan lain-lain menjadikan kita meninggalkan sunnah. Kita harus ingat bahwa sunnah adalah Islam, dan Islam tidak lain melainkan kumpulan sunnah-sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Barbahari dalam bukunya, Syarhus Sunnah: “Islam adalah sunnah dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya.”
KEWAJIBAN MENGHIDUPKAN SUNNAH
Betapa indahnya apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman :
"Seandainya setiap sunnah yang ditinggalkan itu dari sunnah-sunnah qauliyyah (ucapan) atau fi'liyyah (perbuatan) yang ada pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam -yang manusia bermudah-mudah (menggampangkan) dalam meninggalkannya, yaitu dari amalan yang manusia diberi pahala karena mengerjakannya dan tidak disiksa karena meninggalkannya- ketika datang seorang pemberi kabar memberitahukan, bahwa itu adalah sunnah mahjuurah (yang ditinggalkan) dan tidak dilakukan: bahwa pemberi kabar itu (dituduh sebagai) seorang yang mengacaukan manusia apabila beramal dengannya (sunnah) niscaya tertutuplah pintu ilmu dan matilah sunnah-sunnah dan dengan itu muncullah berbagai kerusakan yang tidak ada yang bisa menghitungnya, kecuali Allah."
Dan sungguh benar perkataannya Rahimahullah: "Maka kerusakan manakah yang lebih besar yang menimpa pemeluk Islam dan sunnah dari matinya sunnah, yang merupakan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sehingga (datanglah) generasi-generasi yang tidak mengenali sunnah tersebut, yang seandainya sunnah itu dikerjakan pada kalangan mereka, pastilah mereka akan mengingkarinya." (Tahqiiqul Kalaam fii Masyruu'iyyatil Jahr bidz Dzikri ba'das Salaam)
TERUSKAN UNTUK TEGAK MENGHIDUPKAN SUNNAH!
Al-Khathib meriwayatkan, bahwa 'Abdullah bin Al-Hasan sering duduk dengan Rabi'ah. Ia berkata: "Pada suatu hari mereka berdua memperbincangkan tentang sunnah-sunnah, maka berkatalah seseorang yang berada di majelis itu : "Beramal itu bukanlah di atas ini." Maka 'Abdullah berkata: "Tidakkah engkau melihat, bahwa jika telah banyak orang-orang bodoh sehingga merekalah yang menjadi pemimpin, adakah mereka itu sebagai hujjah atas sunnah?!
Maka berkata Rabi'ah: "Aku bersaksi, bahwa ini adalah perkataan anak keturunan para Nabi." (Al-Faqiih wal Mutafaqqih)
Tidaklah akan mati sunnah itu, kecuali sebagai pertanda akan muncul dan tersebarluasnya bid'ah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhu: "Tidaklah datang suatu zaman kepada manusia, kecuali mereka telah mengadakan suatu perbuatan bid'ah di dalamnya dan mereka mematikan suatu sunnah di dalamnya. Sehingga hiduplah bid'ah-bid'ah dan matilah sunnah-sunnah." (Riwayat Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida' wan Nahyu 'anhaa)
Meninggalkan sunnah itu akan mengantarkan kepada ketidaktahuan terhadap sunnah tersebut, sebagaimana hal ini dapat disaksikan sekarang ini.
Berkata Syaikhul Islam: "Boleh untuk meninggalkan perkara yang mustahab, tetapi tidak boleh meyakini keistihbaban (dianjurkannya) meninggalkannya, sedangkan mengetahui hukum keistihbabannya adalah fardhu kifayah, agar tidak ada satupun perkara agama ini yang tersia-siakan." (Majmu' Fatawa)
Semoga Allah selalu merahmati Ibnul Qayyim, ketika beliau mengatakan: "Seandainya sunnah-sunnah ini ditinggalkan untuk suatu pekerjaan, niscaya akan berhentilah sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan hilang jejaknya serta matilah sunnah."
Berapa banyak amalan yang dilakukan untuk menyelisihi sunnah yang terang dari jaman dulu sampai sekarang.
Setiap waktu satu sunnah ditinggalkan dan dikerjakanlah amalan yang menyelisihinya, serta terus-menerus amalan itu dikerjakan, sehingga akan didapati sedikit sekali sunnah yang diamalkan, itupun dengan cara yang banyak kekurangan.
Coba ambillah sesuai dengan kehendak Allah satu sunnah yang telah dilalaikan dan telah diabaikan pengamalan sunnah tersebut secara keseluruhan, maka seandainya sunnah itu diamalkan oleh orang yang mengetahuinya, pastilah manusia akan mengatakan: "Telah ditinggalkan sunnah..." (I'laamul Muwaqqi'iin)
Ikhwah Fillah aa zaniyallahu wa iyyakum, jika berkurang satu sunnah maka berkuranglah kesempurnaan Islam, begitulah seterusnya hingga akan hilanglah Islam secara keseluruhan. Berkata Abdullah Ibnu Dailami: ”Sesungguhnya awal pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya sunnah. Agama ini akan hilang satu sunnah demi satu sunnah seperti hilangnya tali satu kekuatan demi kekuatan”. (Ushul I’tiqad Ahlussunnah).
Oleh karena itulah Ahlul bid’ah dikatakan oleh para ulama sebagai orang yang ikut andil dalam menghancurkan Islam. Karena dengan kebid’ahan yang mereka lakukan, maka ada sunnah yang tergeser. Semakin banyak bid’ah dikerjakan, semakin banyak pula sunnah yang hilang, hingga hancurlah Islam.
Berkata Al Auza’i dari Hassan bin Athiyyah: ”Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisalnya. Kemudian tidak akan dikembalikan kepada mereka sampai hari kiamat”.
Dan berkata Ibnu Abbas : “Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka mengadakan satu kebid’ahan dan mematikan satu sunnah. Demikianlah hingga berkembanglah kebid’ahan dan matilah sunnah”. (al-Bida’ wa nahyu ‘anha).
Sedangkan Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’nya menyatakan bahwa orang-orang yang mematikan sunnah itu ada dua jenis. Pertama orang-orang yang mengerjakan kebid’ahan-kebid’ahan dan yang kedua orang-orang yang tidak mau menghidupkan sunnah.
TANYAKAN PADA HATI, SIAPA LAGI YANG AKAN MENGHIDUPKAN SUNNAH KALAU BUKAN KITA (KAUM MUSLIMIN)?
Ya Akhi wa Akhwat Fillah, berhati-hatilah dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maksudnya siapa yang akan mengamalkan sunnah tersebut kalau bukan kita? Hidupkanlah sunnah itu sekuat tenaga dan sungguh suatu kewajiban kita yang tahu dan paham untuk paling tidak mengamalkan sunnah dan semampunya memberikan bimbingan pada manusia beramal dengannya (sunnah –red), karena hal itu pertanda kecintaan yang sempurna kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan pertanda sikap mutaba'ah (mengikuti) yang jujur kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Dan janganlah kebencian orang-orang yang ta'ashshub (fanatik) menghambat dalam melaksanakan sunnah Rasul Allah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak pula teror dan intimidasi dari ahlul bathil, tidak pula larinya orang-orang awam yang terfitnah, karena sesungguhnya sunnah itu pada hari ini asing. Segala daya upaya untuk menghancurkannya terus-menerus menyerang dan mengoyak dari seluruh penjuru. Maka pada hari ini, ia benar-benar sangat dibutuhkan oleh generasi sunnah yang ikhlas, yang siap mengemban dan menghadapi berbagai halangan dan rintangan di jalan yang penuh duri dan kerikil tajam, serta lebih mementingkan sunnah dari pada kepentingan dan keuntungan pribadi, kapanpun dengan mengikhlaskan niat hanya karena dan untuk Allah 'Azza wa Jalla dan mengharap pahala dari-Nya semata dengan amalan yang besar ini.
Di sini sangatlah perlu kita ingat akan pengalaman yang telah terjadi di zaman Al-Imam Asy-Syathibi Rahimahullah ketika bertekad bulat untuk menghidupkan sunnah dengan menumpahkan seluruh upaya untuknya, walaupun manusia menyelisihinya, yang berakibat ia harus berhadapan dengan kemurkaan manusia, penghinaan dan berbagai tuduhan yang jelek dan jahat. Namun, akhir yang baik itu bagi orang-orang yang bertaqwa saja.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (Al-Hajj:40)
Berkata Asy-Syathibi : "... kebimbangan menyelimuti: apabila mengikuti sunnah dengan syarat menyelisihi kebiasaan yang dilakukan oleh manusia, maka sepatutnya akan memperoleh segala yang didapatkan oleh orang-orang yang menyelisihi kebiasaan/adat dan tradisi -terutama apabila orang-orangnya mengaku, bahwa keberadaan mereka adalah di atas sunnah, bukan di atas yang lainnya-, namun di dalam mengemban tugas yang berat ini terdapat pahala yang besar. Dan apabila mengikuti mereka (kebanyakan mereka) dengan syarat menyelisihi sunnah dan As-Salafush Shalih, sehingga aku akan masuk di bawah judul biografi: "Orang-orang Sesat dan Penyesat" -aku berlindung kepada Allah dari hal itu-.
Dengan menyetujui atau mengikuti kebiasaan manusia yang ada, maka aku akan dikategorikan sebagai orang-orang yang bergabung (dengan kebanyakan manusia) dan bukan golongan orang-orang yang menyelisihi adat dan tradisi mereka.
Maka aku memandang, bahwa kebinasaan dalam mengikuti sunnah itu sesungguhnya adalah keselamatan. Dan sesungguhnya manusia tidak akan dapat menolongku sedikitpun di hadapan Allah." (Al-I'tishaam).
Ketahuilah Ikhwatul Iman a'a zaniyallahu wa iyyakum, bahwa di samping resiko yang akan dihadapi oleh orang yang memulai menghidupkan sunnah, ada pula maslahat bagi agama yang besar yaitu hidupnya sunnah. Adapun mafsadah atau resiko yang dihadapinya hanyalah bersifat pribadi. Tentunya maslahat agama harus lebih diutamakan dari pada maslahat pribadi.
Dan ketahuilah pula ya ikhwah fillah, ada dua hidayah yang merupakan kenikmatan terbesar, sampai-sampai ada seorang ulama yang tidak tahu mana yang lebih utama..
Ya… dua hidayah itu adalah hidayah masuk Islam dan hidayah mengikuti sunnah…
Betapa banyak manusia yang tidak mendapat kedua hidayah tersebut..
Betapa banyak manusia yang tidak mendapat hidayah masuk Islam dan menjadi orang kafir, na'udzubillah,
Ada juga orang yang mendapat hidayah Islam, namun ia terhalang mendapat hidayah mengikuti sunnah..
Sungguh suatu kenikmatan yang tiada ternilai ketika seseorang diberi taufiq dan hidayah untuk memeluk Islam dan mengenal serta mengikuti sunnah Nabi ‘Alaihis Sholatu Wassalam..
Yaitu dengan berakidah, bermanhaj sebagaimana para pendahulu kita. Mengikuti salafusholih, menjadi ahlussunnah, ahlul hadits, ahlul atsar, firqotunnajiyah, ath-thoifah al mansurah, Alghuroba, berpegang teguh dengan Al-qur’an dan As-sunnah sesuai dengan pemahaman salafus sholih.
Akhirul Qalam, adakah hari-hari dimana kita diharuskan bersabar dalam menegakkan sunnah dengan pahala setara lima puluh kali para shahabat adalah di zaman kita sekarang ini? Karena Qadarullah, tidakkah terasa berpegang teguh di atas sunnah pada hari ini amat berat laksana memegang bara api dan laksana orang asing. Maka, setelah kita mengenal islam dan sunnah, berusahalah sekuat dan semampu mungkin menghidupkan syiar Islam, paling tidak pada hati dan amalan diri pribadi dalam menerapkan kaidah
"TEGAKKANLAH SUNNAH! WALAUPUN SEBAGIAN ATAU BAHKAN SELURUH MANUSIA MENINGGALKANNYA".
والله تعالى أعلم بالصواب
SUMBER: IBNU NIRWANA
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari dimana orang yang sabar ketika itu seperti memegang bara api. Mereka yang mengamalkan sunnah pada hari itu akan mendapatkan pahala lima puluh kali dari kalian yang mengamalkan amalan tersebut. Para Shahabat bertanya: “Mendapatkan pahala lima puluh kali dari kita atau dari mereka?” Rasulullah menjawab: “Bahkan lima puluh kali pahala dari kalian”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Maka, dalam mengamalkan sunnah terdapat kaidah yang harus diperhatikan dan dipahami dengan benar, yaitu “Kita tetap mengamalkan sunnah walaupun seluruh manusia meninggalkannya”. Hal ini tidaklah bertentangan dengan memperhatikan maslahat dan mafsadah, karena matinya suatu sunnah jelas merupakan mafsadah besar. Oleh karena itu ketika manusia melupakan suatu sunnah, maka semestinya kita menghidupkannya agar manusia mengenalinya. Sunnah yang dimaksudkan bukanlah sebagaimana pengertian menurut ulama fiqh, yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa. Namun yang dimaksud adalah jalan hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam beragama.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah : ”Tidak mengapa kita meninggalkan suatu perkara yang mustahab (tidak wajib), tetapi kita tetap tidak boleh meninggalkan keyakinan disunnahkannya amalan tersebut. Karena mengenali sunnahnya amalan tersebut merupakan fardhu kifayah agar tidak hilang sedikitpun dari agama ini.” (Majmu’ Fatawa)
Semoga Allah merahmati Ibnul Qayyim Rahimahullah ketika dia berkata : “Kalau semua perkara yang mustahab ditinggalkan, maka akan hilanglah sunnah-sunnah Rasulullah dan akan lenyap garis-garisnya serta sirna jejak-jejaknya. Betapa banyak amalan-amalan yang dilaksanakan menyelisihi sunnah yang jelas, sesuai dengan bertambah jauhnya zaman sampai sekarang. Setiap waktu ada sunnah yang ditinggalkan dan dikerjakan yang selainnya, begitulah seterusnya. Akhirnya kau lihat sedikit sekali sunnah yang dikerjakan, itupun dalam keadaan tidak sempurna.” (I’lamul Muwaqi’in)
Demikianlah, jika manusia dibiarkan meninggalkan perkara yang sunnah, kemudian kita juga tidak mau menegakkannya karena masyarakat tidak mengerjakannya, niscaya akan matilah sunnah dan tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Suatu saat kelak ketika ada yang mengerjakan sunnah tersebut akan dianggap sebagai orang yang mengerjakan kebid’ahan.
Sebagai contoh, sunnah yang telah diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, para shahabatnya dan para ulama yang setelahnya, yakni bersungguh-sungguh dalam meluruskan dan merapatkan shaf sholat berjama’ah, hingga antara mata kaki dan bahu-bahu makmum dengan lainnya rapat.
Hadits riwayat Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Luruskanlah barisan kalian. Sesungguhnya kelurusan barisan shalat termasuk bagian dari kesempurnaan sHalat."
Hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu :
Dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Luruskanlah barisan dalam shalat, karena lurusnya barisan itu termasuk kebaikan shalat."
Hadits riwayat Nukman bin Basyir Radhiyallahu 'Anhu , ia berkata :
Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Sebaiknya engkau mau meluruskan barisanmu atau Allah akan menancapkan rasa permusuhan di antara engkau."
Dari Busyair bin Yasar al Anshari Radliyallaahu 'Anhu dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu bahwasanya ia datang di Madinah lalu ditanyakan kepadanya, "Apakah ada sesuatu yang kamu ingkari (anggap tidak baik) dari apa yang kami semua lakukan sejak hari kamu bergaul bersama Rasulullah?" Ia berkata, "Saya tidak mendapat sesuatu yang patut saya ingkari kecuali kalian tidak meluruskan shaf pada waktu shalat." (HR. Bukhari)
Nu'man bin Basyir Radhiyallahu 'Anhu berkata, "Aku melihat bahwa setiap orang di antara kami merapatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya." (HR. Bukhari)
Ikhwatul Islam A'a zaniyallohu wa iyyakum, tidakkah terlihat saat shalat berjama’ah betapa banyaknya di masjid-masjid yang melupakan sunnah yang satu ini? Bahkan, sang imam pun seolah menganggap remeh sunnah ini dan tak jarang ketika penulis mencoba menerapkan sunnah ini, si Fulan justru menghindar dan mengingkarinya. Bukankah lurus dan rapatnya shaf adalah bagian dari kesempurnaan shalat?
Contoh nyata lainnya, yaitu sunnah taaddud atau Poligami. Betapa kerasnya manusia bahkan kaum muslimin sendiri yang menentang sunnah ini. Orang yang melakukannya seakan-akan dia adalah orang jahat yang melakukan suatu aib yang besar. Padahal asal perintah Allah dalam masalah perkawinan adalah untuk berpoligami. Kecuali mereka yang tidak mampu untuk berbuat adil, maka diberi keringanan untuk beristeri satu saja.
Allah berfirman:
…maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An-Nisa’: 3)
Sedikit cerita, pernah suatu waktu, pengalaman di tempat kerja penulis, si Fulan dengan penampilan berjenggot dan celana cingkrangnya serta Fulanah bercadar dengan warna gelap datang ke kantor untuk mengajukan izin poligami “secara negara”, karena demi kemaslahatan di negara kita ini seorang ikhwan bila ingin berpoligami harus seizin istri pertamanya, namun betapa sinisnya orang di sekitar melihatnya, termasuk rekan kerja yang juga pegawai bersama penulis, entah itu karena penampilan mereka atau mungkin karena keperluannya tersebut. Penulis mencontohkan sunnah poligami bukan berarti mencoba menyudutkan atau membentuk gap barisan antara yang pro dan kontra terhadap poligami, tapi Ya Ikhwah Fillah, ketahuilah! Hal itu adalah sunnah dari agama kita, Islam, tak ada yang salah, yang salah adalah pemeluknya. Entah itu karena poligami yang dimanfaatkan oleh pelakunya yang tidak sesuai syari’at, atau dianggap perusak rumah tangga orang lain, penyebab perceraian atau alasan lainnya yang dibuat-buat. Apa lantas dibenarkan, dua insan berlainan jenis non mahram yang seolah tak malu dan tak peduli “memadu kasih” sementara mereka tidak ada ikatan yang halal berlabel pernikahan? Apakah dibenarkan pula, seorang suami yang diam-diam “jajan” sembarangan dibelakang istrinya? Lalu mengapa sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ini diatur negara sedangkan perkara Taqrabuzzina (mendekati zina) bahkan zinanya itu sendiri seolah tak ada aturan? Dimana letak keislaman di negeri kita yang notabene negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia? Na’am, bisa jadi inilah bukti betapa jauhnya manusia dari sunnah. Karena itulah adanya Islam, datang memberikan solusi terbaik. Jika memang mampu, silahkan, jika tidak nikahilah seorang saja.
Adapun penampilan berjenggot, celana cingkrang, bercadar merupakan ketentuan syari’at Islam dan merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tentu saja itu menjadi ciri khas bagi kaum muslimin yang taat menjalankan ajaran syari’at, cinta kepada bimbingan Nabinya Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Penampilan Islami tersebut merupakan ciri-ciri orang yang bertaqwa, ciri orang yang shalih, ciri orang yang taat dan cinta pada agama Islam.
Penampilan Islami tersebut bukan bikinan kelompok/golongan atau bangsa tertentu, bukan pula ciri khas kelompok atau bangsa tertentu, bukan pula sekedar adat kebiasan masyarakat, bangsa, atau kelompok tertentu. Tapi merupakan aturan syariat Islam, merupakan ketentuan yang berasal dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang diajarkan dan disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Begitu banyak dalil yang melarang isbal (memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki) sebagai dasar kewajiban mengangkat celana, jangan sampai menutupi mata kaki bagi laki-laki muslim, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu:
“Bagian kain sarung yang terletak di bawah kedua mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Al-Bukhori).
Dan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha: “Bagian kain sarung yang terletak di bawah mata kaki berada di dalam neraka.” (HR. Ahmad, 6/59,257).
Nah, kemudian muncul klaim bahwa isbal jika tidak sombong itu dibolehkan. Oleh karena itu penulis perlu menjawab dalil-dalil yang biasa digunakan untuk membolehkan isbal jika tidak bermaksud sombong.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda : "Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat!" Abu Bakar bertanya, "Ya Rasulullah, sarungku sering melorot kecuali bila aku menjaganya!" Rasulullah menjawab, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong." (HR. Bukhari)
Argumennya adalah berdalil dengan sabda Rasulullah, "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong.", bahwasanya isbal tidak sombong dibolehkan.
Dijawab oleh para Masyaikh Ahlussunnah, berkata Syaikh Al-Albani : “Dan termasuk perkara yang aneh, ada sebagian orang yang mempunyai pengetahuan tentang Islam, mereka berdalil bolehnya memanjangkan pakaian atas dasar perkatan Abu Bakar ini. Maka aku katakan bahwa hadits di atas sangat gamblang bahwa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan pakaiannya, sarungnya selalu melorot tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha untuk selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini sementara perbedaannya sangat jelas, apa yang terjadi pada diri Abu Bakar dan orang yang selalu memanjangkan pakaiannya? Kita memohon kepada Allah keselamatan dari hawa nafsu. Kemudian Syaikh berkata di tempat yang lain : “Dalam hadits riwayat Muslim, Ibnu Umar pernah lewat di hadapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sedangkan sarungnya melorot, Rasulullah menegur Ibnu Umar dan berkata, "Wahai Abdulloh, naikkan sarungmu!". Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk shahabat yang mulia dan utama, Nabi tidak tinggal diam terhadap sarungnya yang melorot bahkan memerintahkannya untuk mengangkat sarung tersebut, bukankah ini menunjukkan bahwa isbal itu tidak berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Dan adapun orang yang berhujjah dengan hadits Abu Bakar, maka kita jawab dari dua sisi. "Pertama, bahwa salah satu sisi sarung Abu Bakar kadang melorot tanpa disengaja, maka beliau tidak menurunkan sarungnya atas kehendak dirinya dan ia selalu berusaha menjaganya. Sedangkan orang yang mengklaim bahwa dirinya isbal karena tidak sombong, mereka menurunkan pakaian mereka karena kehendak mereka sendiri. Oleh karena itu, kita katakan kepada mereka, 'Jika kalian menurunkan pakaian kalian di bawah mata kaki tanpa niat sombong, maka kalian akan diadzab dengan apa yang turun di bawah mata kaki dengan Neraka. Jika kalian menurunkan pakaian karena sombong, maka kalian akan diadzab dengan siksa yang lebih pedih, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan berbicara kepada kalian, tidak dilihat oleh-Nya, tidak disucikan oleh-Nya dan bagi kalian adzab yang pedih”. Yang kedua, Abu Bakar mendapat rekomendasi dan tazkiah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia bukan termasuk orang yang sombong, maka, apakah kalian juga mendapat tazkiah dan rekomendasi yang serupa?"
Maka, cukuplah dalil dari Hadits Jabir bin Sulaim radhiallahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadanya:
"…dan jauhilah olehmu terhadap isbalnya sarung (pakaian), karena sesungguhnya isbalnya sarung (pakaian) itu adalah bagian dari kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan.”
Maknanya adalah bahwa Isbal itu sendiri artinya bagian dari kesombongan. Hujjah di atas sering dipakai untuk membantah dibolehkannya Isbal selama tidak dengan niat sombong.
Sedangkan untuk muslimah berbeda ketentuannya, melihat kembali dalil Hadits dari Ummu Salamah menuturkan, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda (yang artinya):
"Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat."
Ummu Salamah bertanya, "Lalu bagaimana wanita memperlakukan ujung pakaiannya?"
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Ulurkan sejengkal."
Ummu Salamah berkata, "Jika demikian, kaki mereka kelihatan."
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam menjawab, "Hendaknya mereka mengulurkannya sehasta dan jangan ditambah lagi."
(HR al-Bukhari).
Kemudian jenggot yang seharusnya dibiarkan tumbuh bagi laki-laki Muslim, cukup banyak dalil yang mewajibkannya, diantaranya:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong kumis dan membiarkan janggut.” (HR. Muslim).
Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berbedalah dengan orang-orang musyrik; potonglah kumis dan biarkanlah janggut.” (HR. Muslim).
Dan masih banyak hadits lain senada yang menunjukkan perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam untuk membiarkan janggut tumbuh, sedang perintah hukum asalnya adalah wajib sepanjang tidak ada dalil yang memalingkannya dari hukum asal.
Muncul pula argumen yang menjelaskan ”Sekarang ini orang-orang non muslim, para biksu, dan Yahudi ortodok juga memanjangkan jenggot. Kalau demikian berjenggot juga dapat dikatakan tasyabuh (menyerupai) orang kafir. Sehingga sekarang kita harus menyelisihi mereka dengan mencukur jenggot.”
Ikhwah Fillah, pernyataan ini dijawab dan dibantah oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim (karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
Beliau rahimahullah mengatakan, ”Ini sungguh kekeliruan yang besar. Karena larangan ini berkaitan dengan memelihara jenggot. Jika saat ini orang-orang kafir menyerupai kita, maka tetap saja kita tidak boleh berpaling dari apa yang telah diperintahkan walaupun mereka menyamai kita. Di samping memelihara jenggot untuk menyelisihi orang kafir, memelihara jenggot adalah termasuk fitroh (yang tidak boleh diubah). Sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ada sepuluh fitroh, di antaranya memelihara (membiarkan) jenggot’. Maka dalam masalah memelihara jenggot ada dua perintah yaitu untuk menyelisihi orang kafir dan juga termasuk fithroh.”
Kalau pun sebagian ikhwan yang jenggotnya tidak tumbuh, tidak berarti mereka tidak mengamalkan sunnah yang satu ini, melainkan karena tidak dianugerahi jenggot. Dan walaupun sebagian atau semua orang kafir yang cirinya adalah berkumis dan sekarang tidak berkumis lagi atau bahkan malah berjenggot sesuai sunnah Rasulullah, tidak menjadikan kita (para ikhwan) harus memotong jenggotnya untuk menyelisihi orang non muslim. Akan tetapi menyelisihi mereka adalah dengan menyelisihi apa yang ada pada mereka yang telah menyimpang dari kebenaran dan yang telah keluar dari fithroh yang selamat serta akhlaq yang mulia.
Dan sesuatu yang telah diselisihi oleh orang majusi, orang musyrik, dan orang kafir lainnya adalah dalam masalah mencukur jenggot. Dengan melakukan hal ini, mereka telah menyimpang dari kebenaran dan keluar dari fithroh yang bersih serta telah menyelisihi ciri khas para Nabi dan Rasul. Maka menyelisihi mereka dalam hal ini adalah wajib yaitu dengan memelihara (membiarkan) jenggot dan memendekkan kumis.
Selanjutnya adalah penggunaan cadar bagi Muslimah, Istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mulia: ‘Aisyah Radhiyallahu’anha dan para wanita di zamannya juga menggunakan cadar, sebagaimana penuturan ‘Aisyah radhiyallahu’anha berikut:
“Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).
“Semoga Allah Ta’ala merahmati para wanita generasi awal kaum Anshar. Ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (sampai) ke dadanya.” (An-Nur: 31), maka mereka langsung memotong-motong kain mereka dan berikhtimar (menutup wajah) dengannya.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Hafiz Ibnu Hajar Rahimahullah menerangkan makna berikhtimar dalam hadits di atas adalah, “Para wanita sahabat Anshar menutup wajah mereka.”
Ya Akhi wal Ukhti Fillah, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh Ummahatul Mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita shahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan. Kemudian membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian shahabiyah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya. Tapi ketahuilah, jika para shahabiyah di zaman Rasul saja bercadar dengan hijab syar'inya di hadapan para shahabat yang padahal kita ketahui kualitas agama dan keimanan para shahabat tidak perlu diragukan lagi. Maka, bagaimana dengan era sekarang ini? Di zaman yang penuh fitnah seperti sekarang ini!
Memang, dalil-dalil yang disebutkan dan ditunjukkan oleh para ulama yang menyimpulkan hingga derajat wajib akan cadar begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Dan juga dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar pun begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan aurat yang harus ditutup tetapi tetap dengan berhijab syar'i dan tidaklah mengapa bila tidak mengenakannya namun yang mengenakannya berarti ia telah melakukan kebaikan (lebih utama dan lebih mulia), inilah pandangan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Maka terhadap masalah ini seorang muslim/ah tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan. Dan bukan pula ini menjadi hujjah bagi yang tidak bercadar untuk memamerkan wajahnya atau bersikap lemah lembut yang karena hal itu dapat menjadi fitnah bagi lawan jenisnya. Rasulullah bersabda, "Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari penjelasan-penjelasan diatas, yang sangat disesalkan adalah justru sebagaian kaum muslimin sendiri menjadi benci terhadap jenggot, gamis, cadar, celana cingkrang dan penampilan "nyunnah" lainnya serta ikutan-ikutan menaruh curiga kepada setiap orang yang mengenakannya. Maka suasana ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang membenci syariat Islam, untuk kembali menghembuskan isu bahwa penampilan tersebut bukan bagian dari Islam, itu hanya adat arab badui, atau merupakan ciri-ciri kelompok garis keras. Sungguh keyakinan demikian telah menginjak-injak syari’at Islam, dan disadari maupun tidak merupakan pengingkaran terhadap sebagian ajaran Islam. Yang lebih disesalkan adalah justru stigma negatif di atas juga disuarakan oleh orang-orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh Islam, atau cendekiawan muslim. Sungguh komentar-komentar mereka tidak memberikan solusi, tapi malah membuat suasana semakin keruh.
Sikap sebagian kaum muslimin yang menaruh curiga terhadap segala atribut Islami di atas sebagai teroris bahkan di beberapa daerah sampai pada tindakan main hakim sendiri yang bukanlah solusi untuk memberantas terorisme. Justru hal itu menunjukkan ketidakpahaman umat terhadap hakikat terorisme, di sisi lain menunjukkan betapa rapuhnya aqidah umat sehingga sangat mudah dikendalikan oleh media massa dan tokoh-tokoh yang tidak jelas. Bukankah tidak bijak menganggap seseorang dengan penampilan tertentu sebagai ciri teroris? Apa iya apabila seorang koruptor yang ternyata lulusan sebuah universitas ternama menjadikan suatu kesimpulan universitas tersebut mendidik mahasiswanya menjadi koruptor? Apa lantas dikatakan seorang maling yang berasal dari kampung tertentu menunjukkan semua warga yang tinggal di kampung tersebut adalah maling? Begitu pula penampilan tertentu bila dianggap teroris, apa lantas penampilan yang sama menunjukkan semua yang berpenampilan sama tersebut adalah teroris. Sungguh syubhat yang besar yang melanda umat Islam.
Hal ini adalah salah satu, salah dua atau salah semua sebagai bukti tentang suatu perkara sunnah yang jika ditinggalkan oleh kebanyakan kaum muslimin dalam kurun waktu yang lama, maka manusia akan mengingkari sunnah tersebut seperti pengingkaran mereka terhadap suatu kebid’ahan atau bahkan lebih dari itu. Semoga Allah menjaga kita dalam keistiqomahan sunnah dan melindungi kita dari ingkarusunnah.
PAHALA BESAR BAGI YANG MENGHIDUPKAN SUNNAH YANG DITINGGALKAN MASYARAKAT
Hendaklah kita ingat dan ketahui, bahwasanya menghidupkan sunnah dalam kondisi seperti ini akan lebih afdhal (utama) secara berlipat ganda dari pada beramal dengan sunnah pada masyarakat yang sudah berpegang dengannya.
Memang orang yang memulai untuk menghidupkan suatu sunnah pada masa umat meninggalkannya akan mendapatkan resiko yang berat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam riwayat yang sebelumnya sudah dijelaskan. Orang yang mengerjakannya seperti orang yang memegang bara api. Jika dipegang tangan terbakar, namun jika dilepaskan kita akan tersesat jauh dari jalan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun resiko itu sesuai dengan pahalanya yang besar, yaitu lima puluh kali para shahabat!
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Sesungguhnya Islam bermula dengan keasingan dan akan kembali asing seperti permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing (al-ghuroba’)." (HR. Muslim)
Di samping itu, agama ini memang bermula dengan keasingan dan pada saatnya akan kembali asing seperti permulaannya. Jika dengan alasan masih asing, kemudian kita meninggalkan sunnah maka akan lenyaplah Islam. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengabarkan akan asingnya agama ini pada mulanya dan akan kembali menjadi asing pada saatnya. Namun beliau juga sekaligus memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang terasing karena menjalankan agama ini.
JANGAN MALU UNTUK MENEGAKKAN SUNNAH!
Sering kali terjadi pada sebagian orang yang mencintai sunnah, merasa bimbang dan ragu dalam menghidupkan suatu sunnah yang tidak nampak di dalam masyarakatnya. Yang mendorong dia bersikap seperti ini adalah perasaan "malu" (atau lebih tepatnya minder) dan yang sejenisnya.
Sikap orang ini lebih tepat dinamakan dengan minder (bukan malu), karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Malu itu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan." (HR. Bukhari dan Muslim dari 'Imran bin Hushain rodhiyallahu 'anhu).
Yaitu perasaan malu untuk melakukan kejelekan dan kemaksiatan.
Berkata 'Iyyadh dan lainnya: "Rasa malu yang berakibat adanya pengurangan terhadap hak-hak, bukanlah malu yang syar'i bahkan hal itu adalah kelemahan dan kerendahan serta kehinaan. Dan hanya saja kata "malu" digunakan untuknya (malu yang tercela) karena kesamaannya (dari segi penamaan) terhadap "malu yang syar'i"." (Fathul Baari)
Maka rasa malu yang mengantarkan pemiliknya pada pengurangan terhadap hak-hak Allah, lalu dia beribadah kepada Allah di atas kebodohan, tidak bertanya tentang agamanya dan mengurangi dalam melaksanakan hak-hak-Nya, hak-hak orang yang ia dzalimi dan hak-hak kaum muslimin, maka rasa malu ini adalah tercela karena hal itu adalah kelemahan dan kerendahan.
Demikian pula orang yang malu untuk menampakkan syi'ar-syi'ar Islam dan kewajiban-kewajibannya seperti shalat berjama'ah di masjid terutama bagi seorang muslim (karena muslimah lebih utama shalat di rumahnya), memakai pakaian islami (seperti gamis dan sejenisnya), menghadiri majelis 'ilmu yang disampaikan oleh Ahlus Sunnah yang komitmen dengan sunnah, mengajak orang kepada kebaikan dan amalan-amalan ketaatan yang lainnya, maka ini adalah malu yang tercela yang harus dihindari sejauh-jauhnya.
Untuk itu janganlah perasaan asing, malu, takut, dan lain-lain menjadikan kita meninggalkan sunnah. Kita harus ingat bahwa sunnah adalah Islam, dan Islam tidak lain melainkan kumpulan sunnah-sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam al Barbahari dalam bukunya, Syarhus Sunnah: “Islam adalah sunnah dan Sunnah adalah Islam. Tidak akan tegak salah satunya kecuali dengan yang lainnya.”
KEWAJIBAN MENGHIDUPKAN SUNNAH
Betapa indahnya apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Sulaiman bin Sahman :
"Seandainya setiap sunnah yang ditinggalkan itu dari sunnah-sunnah qauliyyah (ucapan) atau fi'liyyah (perbuatan) yang ada pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam -yang manusia bermudah-mudah (menggampangkan) dalam meninggalkannya, yaitu dari amalan yang manusia diberi pahala karena mengerjakannya dan tidak disiksa karena meninggalkannya- ketika datang seorang pemberi kabar memberitahukan, bahwa itu adalah sunnah mahjuurah (yang ditinggalkan) dan tidak dilakukan: bahwa pemberi kabar itu (dituduh sebagai) seorang yang mengacaukan manusia apabila beramal dengannya (sunnah) niscaya tertutuplah pintu ilmu dan matilah sunnah-sunnah dan dengan itu muncullah berbagai kerusakan yang tidak ada yang bisa menghitungnya, kecuali Allah."
Dan sungguh benar perkataannya Rahimahullah: "Maka kerusakan manakah yang lebih besar yang menimpa pemeluk Islam dan sunnah dari matinya sunnah, yang merupakan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sehingga (datanglah) generasi-generasi yang tidak mengenali sunnah tersebut, yang seandainya sunnah itu dikerjakan pada kalangan mereka, pastilah mereka akan mengingkarinya." (Tahqiiqul Kalaam fii Masyruu'iyyatil Jahr bidz Dzikri ba'das Salaam)
TERUSKAN UNTUK TEGAK MENGHIDUPKAN SUNNAH!
Al-Khathib meriwayatkan, bahwa 'Abdullah bin Al-Hasan sering duduk dengan Rabi'ah. Ia berkata: "Pada suatu hari mereka berdua memperbincangkan tentang sunnah-sunnah, maka berkatalah seseorang yang berada di majelis itu : "Beramal itu bukanlah di atas ini." Maka 'Abdullah berkata: "Tidakkah engkau melihat, bahwa jika telah banyak orang-orang bodoh sehingga merekalah yang menjadi pemimpin, adakah mereka itu sebagai hujjah atas sunnah?!
Maka berkata Rabi'ah: "Aku bersaksi, bahwa ini adalah perkataan anak keturunan para Nabi." (Al-Faqiih wal Mutafaqqih)
Tidaklah akan mati sunnah itu, kecuali sebagai pertanda akan muncul dan tersebarluasnya bid'ah. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhu: "Tidaklah datang suatu zaman kepada manusia, kecuali mereka telah mengadakan suatu perbuatan bid'ah di dalamnya dan mereka mematikan suatu sunnah di dalamnya. Sehingga hiduplah bid'ah-bid'ah dan matilah sunnah-sunnah." (Riwayat Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida' wan Nahyu 'anhaa)
Meninggalkan sunnah itu akan mengantarkan kepada ketidaktahuan terhadap sunnah tersebut, sebagaimana hal ini dapat disaksikan sekarang ini.
Berkata Syaikhul Islam: "Boleh untuk meninggalkan perkara yang mustahab, tetapi tidak boleh meyakini keistihbaban (dianjurkannya) meninggalkannya, sedangkan mengetahui hukum keistihbabannya adalah fardhu kifayah, agar tidak ada satupun perkara agama ini yang tersia-siakan." (Majmu' Fatawa)
Semoga Allah selalu merahmati Ibnul Qayyim, ketika beliau mengatakan: "Seandainya sunnah-sunnah ini ditinggalkan untuk suatu pekerjaan, niscaya akan berhentilah sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan hilang jejaknya serta matilah sunnah."
Berapa banyak amalan yang dilakukan untuk menyelisihi sunnah yang terang dari jaman dulu sampai sekarang.
Setiap waktu satu sunnah ditinggalkan dan dikerjakanlah amalan yang menyelisihinya, serta terus-menerus amalan itu dikerjakan, sehingga akan didapati sedikit sekali sunnah yang diamalkan, itupun dengan cara yang banyak kekurangan.
Coba ambillah sesuai dengan kehendak Allah satu sunnah yang telah dilalaikan dan telah diabaikan pengamalan sunnah tersebut secara keseluruhan, maka seandainya sunnah itu diamalkan oleh orang yang mengetahuinya, pastilah manusia akan mengatakan: "Telah ditinggalkan sunnah..." (I'laamul Muwaqqi'iin)
Ikhwah Fillah aa zaniyallahu wa iyyakum, jika berkurang satu sunnah maka berkuranglah kesempurnaan Islam, begitulah seterusnya hingga akan hilanglah Islam secara keseluruhan. Berkata Abdullah Ibnu Dailami: ”Sesungguhnya awal pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya sunnah. Agama ini akan hilang satu sunnah demi satu sunnah seperti hilangnya tali satu kekuatan demi kekuatan”. (Ushul I’tiqad Ahlussunnah).
Oleh karena itulah Ahlul bid’ah dikatakan oleh para ulama sebagai orang yang ikut andil dalam menghancurkan Islam. Karena dengan kebid’ahan yang mereka lakukan, maka ada sunnah yang tergeser. Semakin banyak bid’ah dikerjakan, semakin banyak pula sunnah yang hilang, hingga hancurlah Islam.
Berkata Al Auza’i dari Hassan bin Athiyyah: ”Tidaklah suatu kaum mengadakan suatu kebid’ahan kecuali Allah akan mencabut suatu sunnah yang semisalnya. Kemudian tidak akan dikembalikan kepada mereka sampai hari kiamat”.
Dan berkata Ibnu Abbas : “Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka mengadakan satu kebid’ahan dan mematikan satu sunnah. Demikianlah hingga berkembanglah kebid’ahan dan matilah sunnah”. (al-Bida’ wa nahyu ‘anha).
Sedangkan Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’nya menyatakan bahwa orang-orang yang mematikan sunnah itu ada dua jenis. Pertama orang-orang yang mengerjakan kebid’ahan-kebid’ahan dan yang kedua orang-orang yang tidak mau menghidupkan sunnah.
TANYAKAN PADA HATI, SIAPA LAGI YANG AKAN MENGHIDUPKAN SUNNAH KALAU BUKAN KITA (KAUM MUSLIMIN)?
Ya Akhi wa Akhwat Fillah, berhati-hatilah dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, maksudnya siapa yang akan mengamalkan sunnah tersebut kalau bukan kita? Hidupkanlah sunnah itu sekuat tenaga dan sungguh suatu kewajiban kita yang tahu dan paham untuk paling tidak mengamalkan sunnah dan semampunya memberikan bimbingan pada manusia beramal dengannya (sunnah –red), karena hal itu pertanda kecintaan yang sempurna kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan pertanda sikap mutaba'ah (mengikuti) yang jujur kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
Dan janganlah kebencian orang-orang yang ta'ashshub (fanatik) menghambat dalam melaksanakan sunnah Rasul Allah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, tidak pula teror dan intimidasi dari ahlul bathil, tidak pula larinya orang-orang awam yang terfitnah, karena sesungguhnya sunnah itu pada hari ini asing. Segala daya upaya untuk menghancurkannya terus-menerus menyerang dan mengoyak dari seluruh penjuru. Maka pada hari ini, ia benar-benar sangat dibutuhkan oleh generasi sunnah yang ikhlas, yang siap mengemban dan menghadapi berbagai halangan dan rintangan di jalan yang penuh duri dan kerikil tajam, serta lebih mementingkan sunnah dari pada kepentingan dan keuntungan pribadi, kapanpun dengan mengikhlaskan niat hanya karena dan untuk Allah 'Azza wa Jalla dan mengharap pahala dari-Nya semata dengan amalan yang besar ini.
Di sini sangatlah perlu kita ingat akan pengalaman yang telah terjadi di zaman Al-Imam Asy-Syathibi Rahimahullah ketika bertekad bulat untuk menghidupkan sunnah dengan menumpahkan seluruh upaya untuknya, walaupun manusia menyelisihinya, yang berakibat ia harus berhadapan dengan kemurkaan manusia, penghinaan dan berbagai tuduhan yang jelek dan jahat. Namun, akhir yang baik itu bagi orang-orang yang bertaqwa saja.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (Al-Hajj:40)
Berkata Asy-Syathibi : "... kebimbangan menyelimuti: apabila mengikuti sunnah dengan syarat menyelisihi kebiasaan yang dilakukan oleh manusia, maka sepatutnya akan memperoleh segala yang didapatkan oleh orang-orang yang menyelisihi kebiasaan/adat dan tradisi -terutama apabila orang-orangnya mengaku, bahwa keberadaan mereka adalah di atas sunnah, bukan di atas yang lainnya-, namun di dalam mengemban tugas yang berat ini terdapat pahala yang besar. Dan apabila mengikuti mereka (kebanyakan mereka) dengan syarat menyelisihi sunnah dan As-Salafush Shalih, sehingga aku akan masuk di bawah judul biografi: "Orang-orang Sesat dan Penyesat" -aku berlindung kepada Allah dari hal itu-.
Dengan menyetujui atau mengikuti kebiasaan manusia yang ada, maka aku akan dikategorikan sebagai orang-orang yang bergabung (dengan kebanyakan manusia) dan bukan golongan orang-orang yang menyelisihi adat dan tradisi mereka.
Maka aku memandang, bahwa kebinasaan dalam mengikuti sunnah itu sesungguhnya adalah keselamatan. Dan sesungguhnya manusia tidak akan dapat menolongku sedikitpun di hadapan Allah." (Al-I'tishaam).
Ketahuilah Ikhwatul Iman a'a zaniyallahu wa iyyakum, bahwa di samping resiko yang akan dihadapi oleh orang yang memulai menghidupkan sunnah, ada pula maslahat bagi agama yang besar yaitu hidupnya sunnah. Adapun mafsadah atau resiko yang dihadapinya hanyalah bersifat pribadi. Tentunya maslahat agama harus lebih diutamakan dari pada maslahat pribadi.
Dan ketahuilah pula ya ikhwah fillah, ada dua hidayah yang merupakan kenikmatan terbesar, sampai-sampai ada seorang ulama yang tidak tahu mana yang lebih utama..
Ya… dua hidayah itu adalah hidayah masuk Islam dan hidayah mengikuti sunnah…
Betapa banyak manusia yang tidak mendapat kedua hidayah tersebut..
Betapa banyak manusia yang tidak mendapat hidayah masuk Islam dan menjadi orang kafir, na'udzubillah,
Ada juga orang yang mendapat hidayah Islam, namun ia terhalang mendapat hidayah mengikuti sunnah..
Sungguh suatu kenikmatan yang tiada ternilai ketika seseorang diberi taufiq dan hidayah untuk memeluk Islam dan mengenal serta mengikuti sunnah Nabi ‘Alaihis Sholatu Wassalam..
Yaitu dengan berakidah, bermanhaj sebagaimana para pendahulu kita. Mengikuti salafusholih, menjadi ahlussunnah, ahlul hadits, ahlul atsar, firqotunnajiyah, ath-thoifah al mansurah, Alghuroba, berpegang teguh dengan Al-qur’an dan As-sunnah sesuai dengan pemahaman salafus sholih.
Akhirul Qalam, adakah hari-hari dimana kita diharuskan bersabar dalam menegakkan sunnah dengan pahala setara lima puluh kali para shahabat adalah di zaman kita sekarang ini? Karena Qadarullah, tidakkah terasa berpegang teguh di atas sunnah pada hari ini amat berat laksana memegang bara api dan laksana orang asing. Maka, setelah kita mengenal islam dan sunnah, berusahalah sekuat dan semampu mungkin menghidupkan syiar Islam, paling tidak pada hati dan amalan diri pribadi dalam menerapkan kaidah
"TEGAKKANLAH SUNNAH! WALAUPUN SEBAGIAN ATAU BAHKAN SELURUH MANUSIA MENINGGALKANNYA".
والله تعالى أعلم بالصواب
SUMBER: IBNU NIRWANA
0 komentar:
Posting Komentar