Oleh : Ustadz Abu Salmah al-Atsari
diantara karakteristik mereka :
2. Bodoh terhadap Aqidah Salafiyah dan Manhaj Salaf
Ini
adalah karakter yang menonjol dari mereka, yaitu bodoh terhadap aqidah
salafiyah dan manhaj salaf, walaupun mereka mengaku dan mengklaim
berada di atasnya. Pengaku-ngakuan mereka hanyalah isapan jempol belaka
dan angan-angan melayang yang dibawa pergi seekor burung di angkasa.
Diantara kebodohan mereka ini adalah :
a. Tidak bisa membedakan antara mentazkiyah dan menukil
Menurut mereka, menukil dari ahli bid’ah, atau yang mereka tuduh bid’ah, maka sama artinya mentazkiyah (memuji)
ahli bid’ah. Apabila kita perhatikan tulisan-tulisan mereka yang
dimuat di sebuah website antik, yang modalnya hanyalah makian, celaan,
fitnah dan dusta, maka akan didapatkan ucapan-ucapan kebodohan mereka.
Mereka menuduh Ustadz Arifin Baderi telah mentazkiyah Abduh Zulfidar Akaha hanya karena menukil buku yang ditulisnya bersama Hartono A. Jaiz (”Bila Kyai
Dipertuhankan”), mereka juga menuduh al-Akh Abu Hannan hanya karena
menukil tulisan M. Ihsan dalam masalah kasus Lebanon dan menukil dari
Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi hafizhahullahu yang dituduh mereka ”Tablighi”, dan lainnya…
Ini
menunjukkan bagaimana bodohnya orang-orang ini, padahal apabila mereka
menelaah kitab-kitab para ulama, niscaya mereka akan mendapatkan
nukilan-nulilan dari ulama-ulama yang bukan ahlus sunnah. Perhatikanlah
ucapan Ma’ali Syaikh Sholih Alu Syaikh berikut ini :
وهذا منهج عام لإقامة الحجة وإيضاح المحجة في أبواب الدين كله؛ وهو أنه لا يلزم من نقل الناقل عن كتاب أنه يزكيه مطلقا،
وقد ينقل عنه ما وافق فيه الحق تأييدا للحق، وإن كان خالف الحق في غير
ذلك فلا يعاب على من نقل من كتاب اشتمل على حق وباطل إذا نقل ما اشتمل
عليه من الحق. وأيضا تكثير النقول عن الناس على اختلاف مذاهبهم هذا يفيد
في أن الحق ليس غامضا؛ بل هو كثير شائع بيِّن.
”Dan
hal ini termasuk manhaj yang umum di dalam menegakkan hujjah dan
menerangkan pusat sasaran di semua bab-bab permasalahan agama, yaitu
bahwasanya tidaklah melazimkan seseorang yang menukil dari sebuah buku bahwa ini artinya ia mentazkiyahnya secara mutlak.
Ia terkadang menukil darinya yang selaras dengan kebenaran dalam
rangka menyokong kebenaran, walaupun (di dalam buku itu) ada yang
menyelisihi kebenaran, namun tidaklah tercela bagi orang yang menukil
dari buku yang mengandung kebenaran dan kebatilan apabila ia menukilkan
bagian yang benar darinya. Dan juga, memperbanyak nukilan-nukilan dari
manusia tentang perbedaan madzhab-madzhab mereka, hal ini membuahkan
faidah bahwa kebenaran itu tidaklah samar, namun ia banyak tersebar luas dan terang.”[1]
Apakah mereka memahai qo’idah ’aamah (kaidah umum) ini?!! Padahal di dalam risalah di atas, penjelasan ini termasuk ke dalam qo’idah ’aamah yang seharusnya thullabul ’ilmi
pemula memahaminya. Apabila kaidah umum seperti ini saja mereka tidak
faham, lantas atas dasar apa mereka menulis bantahan-bantahan kejinya
kepada para du’at dan thullabul ’ilmi ahlis sunnah?!! La haula wa laa quwwata illa billah.
b. Tidak faham bedanya mencari ilmu dengan menerima ilmu
Kaidah
ini berhubungan dengan kaidah di atas, yaitu mereka benar-benar tidak
faham bedanya antara mencari/menuntut ilmu dari ahli bid’ah dengan
menerima kebenaran darinya. Menurut mereka, seakan-akan apa yang keluar
hanya dari mereka saja itulah yang benar dan yang keluar dari selain
mereka semuanya salah walaupun pada realitanya ucapan lawan mereka ini
benar.
Mereka tidak segan-segan mencela dan mengumpat siapa saja dari kalangan salafiyin misalnya, yang menerima ucapan tokoh-tokoh hizbiyyin yang selaras dengan al-haq, karena menurut mereka ini sama saja dengan tazkiyah atau merekomendasi kaum hizbiyyin dan segala kesesatan mereka. Padahal hakikatnya tidak mutlak demikian, dan inilah letak kebodohan mereka.
Ma’ali Syaikh Shalih bin ’Abdil ’Aziz Alu Syaikh hafizhahullahu berkata :
فيقبل الحق ممن جاء به ولو كان كافرا،
كما قبل الحق من الشيطان في قصة أبي هريرة مع الشيطان في صدقة الفطر
المعروفة؛ حيث جاء يأخذ فمسكه أبو هريرة، ثم جاء يأخذ فمسكه، ثم جاء يأخذ
فمسكه، ثم قال له: ألا أدلك على كلمة إذا قلتها كنت في أمان أو عصمتك
ليلتك كلها اقرأ آية الكرسي كل ليلة فإنه لا يزال عليك من الله حافظ حتى
تصبح. فأخبر النبي عليه الصلاة والسلام بذلك فقال عليه الصلاة والسلام «صدقك وهو كذوب» سلم بهذا التعليم وأخذ به مع أنه من الشيطان.
”Kebenaran diterima dari mana saja datangnya walaupun dari seorang kafir, sebagaimana diterimanya kebenaran dari Syaithan di dalam kisah Abi Hurairoh bersama Syaithan di dalam kisah penjagaan gudang beras yang berisi beras fithri yang telah ma’ruf.
Dimana Syaithan datang (hendak mencuri) namun Abu Hurairoh
menangkapnya, ia datang lagi ditangkap lagi, kemudian ia datang lagi
dan ditangkap lagi, kemudian Syaithan berkata kepadanya : “maukah
engkau aku tunjukkan sebuah kalimat yang apabila engkau mengucapkannya
maka engkau akan menjadi aman atau terjaga seluruh malammu, yaitu
bacalah ayat kursi setiap malan karena sesungguhnya engkau akan
senantiasa terjaga oleh penjagaan Alloh sampai datangnya waktu pagi.”
Kemudian Abu Hurairoh mengabarkan hal ini kepada Nabi ‘alaihi Sholatu wa Salam, lalu Nabi ‘alaihi Sholatu wa Salam menukas : “Dia telah jujur padamu padahal dia adalah pendusta.” Beliau menerima pengajaran ini dan mengambilnya padahal pengajaran ini datang dari Syaithan.”[2]
Namun sayang, mereka yang mengaku-ngaku sebagai salafiy ahlus sunnah sejati ini tidak faham dan jahil
akan kaidah seperti ini. Semoga hal ini bisa menjadi cambukan dan
nasehat bagi mereka, agar mereka kembali kepada manhaj yang benar dan
meninggalkan karakter ghuluw dan haddadiyahnya yang membinasakan. Allohul Muwafiq ila sawa’is sabiil.
c. Tidak memahami kaidah bahwa tidak setiap orang yang jatuh kepada kebid’ahan otomatis menjadi mubtadi’.
Ini
adalah diantara kebodohan mereka yang kesekian kalinya, karena mereka
bodoh terhadap kaidah dasar ahlus sunnah ini. Seringkali kita melihat,
mendengar atau membaca tulisan-tulisan mereka yang penuh dengan makian,
umpatan, cercaan dan hujatan, bahkan tidak segan-segan mereka
memberikan label-label yang merupakan salah satu bentuk tabdi’ mu’ayan
(vonis bid’ah secara spesifik) kepada orang-orang tertentu. Padahal
tidak setiap orang yang jatuh kepada bid’ah maka oromatis menjadi ahli
bid’ah, yang harus digempur dengan makian, cercaan, celaan dan umpatan
keji lainnya.
Lihatlah bagaimana mereka menuduh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza`iri sebagai Tablighiy, menuduh Syaikh Ahmad as-Surkati dengan beraneka tuduhan, mulai dari Aqlaniy, Mubtadi’, penyeru kesesatan Pan Islamisme sampai menuduh aqidah beliau dengan tuduhan antek Belanda. Wal’iyadzubillah. Belum lagi kepada para du’at salafiyyin, maka gelar al-Hizbi, as-Sururi, al-kadza wa kadza
merupakan mainan mereka sehari-hari. Karena mereka telah termakan oleh
manhaj Haddadiyah yang menyatakan bahwa “setiap orang jatuh kepada
kebid’ahan maka otomatis menjadi ahli bid’ah”.
ingatlah ucapan al-Imam al-Albani rahimahullahu di dalam kaset Haqiqotul Kufr wal Bida’ :
ليس كل من وقع في البدعة وقعت البدعة عليه وليس من وقع في الكفر وقع الكفرعليه
“Tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kebid’ahan maka otomatis dengan serta merta dia menjadi mubtadi’ dan tidak setiap orang yang jatuh ke dalam kekufuran maka dengan serta mertia menjadi menjadi kafir.”
Adakah mereka memahami kaidah dan prinsip dasar seperti ini?
Perhatikan pula ucapan Ma’ali Syaikh Shalih Alu Syaikh hafizhahullahu berikut ini :
من الذي يحكم بالبدعة : البدعة حكم شرعي, والحكم على من قامت به بأنه مبتدع هذا حكم شرعي غليظ, لأن الأحكام الشرعية تبع الأشخاص: الكافر, ويليه المبتدع, ويليه الفاسق. وكل واحدة من هذه إنما يكون الحكم بها لأهل العلم, لأنه لا تلازم بين الكفر والكافر, فليس كل من قام به كفر فهو كافر, ثنائية غير متلازمة, وليس كل من قامت به بدعة فهو مبتدع, وليس كل من فعل فسوقا فهو فاسق بنفس الامر
“Siapakah
(yang layak) dihukumi dengan bid’ah? Bid’ah itu merupakan hukum
syar’i, dan menghukumi orang yang mengamalkan suatu bid’ah merupakan
hukum syar’i yang sangat berat. Karena hukum syar’i yang ditujukan
kepada seseorang sebagai kafir, mubtadi’ dan fasiq,
maka salah satu dari setiap hukum ini adalah haknya ahli ilmu (ulama).
Karena tidaklah mesti kekufuran itu menyebabkan pelakunya kafir, dan
tidaklah setiap orang yang melakukan kekafiran maka ia (dengan serta
merta) menjadi kafir. Suatu tsana’iyah (pasangan) itu tidaklah saling mengharuskan. Tidaklah
setiap orang yang melakukan kebid’ahan maka ia menjadi mubtadi’ dan
tidaklah pula setiap orang yang melakukan kefasikan ia dengan serta
merta menjadi fasiq.”[3]
Aduhai,
orang-orang bodoh ini tidak faham kaidah mendasar seperti ini, lantas
mengapa dengan begitu mudahnya mereka menvonis ini sesat, ini mubtadi’,
ini sururi, ini… dan itu… Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
d. Gegabah di dalam tabdi’ (menvonis bid’ah) seseorang dan menempatkan diri sebagai ulama
Ini
merupakan lanjutan dari kaidah sebelumnya. Dikarenakan mereka tidak
faham kaidah bahwa tidak setiap orang yang jatuh kepada kebid’ahan
tidak otomatis menjadikannya mubtadi’, maka mereka dengan
mudahnya dan lancangnya menempatkan diri sebagai ulama bahkan seorang
mufti yang berhak menvonis ini sesat dan itu bid’ah… mereka melompati
kapasitas diri mereka yang dikatakan sebagai penuntut ilmu pemula saja
belum bisa. Karena modal utama mereka bukanlah ilmu namun tahdzir sana sini dengan kejahilan dan kedustaan.
Perhatikan ucapan Syaikh Shalih Alu Syaikh nafa’allahu bihi ketika menjelaskan hak seseorang yang boleh melakukan vonis bid’ah (tabdi’). Beliau hafizhahullahu berkata :
فالحكم بالبدعة وبأنّ قائل هذا القول مبتدع و أنّ هذا القول بدعة ليس لآحد من عرف السنة, وإنما هو لأهل العلم, لأنه لا يحكم بذلك إلا بعد وجود الشرائط وانتفاء الموانع, وهذه المسألة راجعة إلى أهل الفتوى وأنّ اجتماع الشروط وانتفاء الموانع من صنعة المفتي.
“Menghukumi
suatu bid’ah dimana orang yang berkata dengan perkataan ini (divonis
sebagai) mubtadi’ atau perkataan itu sendiri sebagai suatu bid’ah bukanlah hak setiap orang yang mengetahui sunnah, namun sesungguhnya hal ini merupakan hak ahli ilmu (ulama).
Dikarenakan (seseorang) tidak dihukumi dengan bid’ah melainkan setelah
terwujudnya syarat-syarat dan dihilangkannya penghalang-penghalang
(jatuhnya vonis bid’ah). Dan masalah ini dikembalikan kepada ahli Fatwa
(mufti) yang mana mewujudkan syarat-syarat dan menghilangkan
penghalang adalah termasuk tugas seorang mufti.”[4]
Namun karena berhubung mereka ini merasa sok alim, sok menjadi mufti dan sok ahli jarh wa ta’dil, maka mereka ambil peran dan tugas para ulama atau thullabatul ‘ilmi yang mutamakkin (mumpuni) dan mereka terapkan ke sana
kemari secara serampangan dan asal-asalan. Dan akibatnya adalah, fitnah
kesana kemari dan larinya manusia dari dakwah al-haq ini. Allohumaa.
e. Berprinsip : “Barangsiapa yang membela ahli bid’ah maka otomatis ia adalah mubtadi’”
Prinsip
ini dilariskan oleh pembesar Haddadiyah zaman ini, Falih bin Nafi’
al-Harbi yang dulu mereka puja puji, yang mereka sebut dengan Mujahid, Ahli Jarh wa Ta’dil, manusia yang paling faham tentang kesesatan hizbiyah,
dan pujian-pujian selangit lainnya. Bahkan, saya pernah berdiskusi
dulu dengan salah satu pembebeknya –sebelum Syaikh Falih ditahdzir-,
dan saya mengatakan padanya bahwa tidak setiap ucapan beliau ini harus
diterima, karena banyak ulama lain yang berbeda pendapat dengannya di
dalam menvonis seseorang. Namun, si pembebek ini dengan serta merta
marah dan menuduh saya telah mencela kibarul ulama’.
Lalu saya bawakan padanya ucapan al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad dari sebuah mukalamah hatifiyah (percakapan via telepon) antara beliau dengan seorang da’i Eropa dari QSS (Qur’an Sunnah Society) atau Jum’iyah Ahlil Qur’an was Sunnah di
Toronto Kanada, dimana ketika da’i ini bertanya pada Syaikh ‘Abdul
Muhsin tentang Syaikh Falih al-Harbi, apakah ia termasuk kibarul ulama,
maka Syaikh ‘Abdul Muhsin menjawab : “Abadan Abadan.” (sama
sekali bukan! Sama sekali bukan!), saya juga membawakan ucapan Syaikh
Muqbil bin Hadi yang telah berfirasat sebelum wafatnya akan perihal
Syaikh Falih dengan mengatakan : “Falih ghoyru Falih” (Si Falih yang tidak beruntung). Namun, si ikhwan ini malah marah-marah dan memaki-maki saya dan menuduh saya sebagai hizbiy karena mencela ulama.
Namun, setelah buku al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullahu keluar, yang berjudul Al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah keluar dan mentahdzir Falih dengan menyebutnya : “rangkingnya dia ketika masih kuliah dulu adalah 104 dari 119 siswa.”, beliau juga mengatakan : “wa
huwa ghoyru ma’ruf bil isytighol bil ‘ilmi, wa laa a’rifu lahu
duruusan ‘ilmiyyan musajjalatan, wa laa mu’allafan fil ‘ilmi shogiiron
walaa kabiiron, wa jullu bidho’atihi at-Tajriih wat Tabdii’ wat
Tahdziir min Katsiiriina min Ahlis Sunnah…”
(Orang ini tidak dikenal menyibukkan diri dengan ilmu, aku tidak
mengetahui dia memiliki pelajaran ilmiah yang direkam, dia juga tidak
memiliki tulisan-tulisan di dalam masalah ilmu baik kecil maupun besar,
dan modal utamanya adalah mencela, menvonis bid’ah dan mentahdzir
mayoritas ahlis sunnah…) [lih. Al-Hatstsu hal. 64], setelah tahdzir dari al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin ini maka mayoritas ulama ahlis sunnah turut mentahdzirnya juga, namun ikhwan
ini tidak pernah menyatakan kesalahannya dulu atas pembelaan
fanatiknya kepada Falih al-Harbi, namun ia mencuci tangan dengan turut
mengkritiknya walaupun ia masih mengadopsi manhajnya. Allahul Musta’an.
Diskusi ini sebenarnya berawal ketika saya membawakan ucapan-ucapan Masyaikh Yordania raghmun unufihim,
namun ia dengan serta merta membawakan ucapan Syaikh Falih yang
mentahdzir masyaikh Yordania tersebut (masyaikh dari Markaz al-Imam
al-Albani) dengan mengatakan : “manhaj mereka lemah setelah wafatnya
al-Albani, dan mereka sekarang bergabung dengan hizbiyyun di dalam halaqoh dan dauroh-dauroh hizbiyyun, mereka sekarang berada di atas manhaj ha`ula’i hizbiyyin…” demikian nukilan yang diberikan oleh di ikhwan ini
dari website berbahasa Inggris “salafitalk” yang menukilnya dari
“sahab.net” (dulu sebelum mereka juga akhirnya mendepaknya keluar) dari
percakapan telepon antara Falih al-Harbi dengan seorang dari
al-Jaza`iri.
Falih al-Harbi berargumentasi : man dafa’a saqith fahuwa saqith (barangsiapa yang membela orang yang keliru maka ia juga keliru), lalu ia menyatakan pula : man dafa’a mubtadi’ fahuwa mubtadi’, man dafa’a hizbiy fahuwa hizbiy…
dan inilah kaidah yang saya maksudkan, yaitu barangsiapa yang membela
seorang yang tersalah maka ia juga tersalah. Perhatikanlah sekarang
mereka yang terpengaruh oleh manhaj ini, mereka mengatakan bahwa
membela Syaikh Ahmad Surkati di dalam perkara yang haq dari beliau,
maka sama saja dengan membela kesesatan-kesesatan dan
penyimpangan-penyimpangan beliau, oleh karena itu pembelanya layak
disebut sebagai Surkatiyyun, Irsyadiyyun atau tuduhan-tuduhan semisal.
Ini jelas-jelas merupakan salah satu kebodohan mereka dan atsar (bekas) dari manhaj Haddadiyah
yang ditinggalkan Ja’far Umar Thalib dan Falih al-Harbi beserta
cs.-nya semisal Fauzi al-Bahraini kepada mereka, telah merasuk dan
menancap sangat kuat hingga ke sanubari dan menjadikannya sebagai ciri
khas manhaj mereka yang utama.
f. Menguji manusia dengan perseorangan
Ini
merupakan bentuk bid’ah yang dimunculkan kembali hari ini yang telah
diwanti-wanti oleh al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullahu di dalam buku beliau, al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah, terutama pada bab Bid’atu imtihaani an-Naas bil Askhosh (Bid’ah menguji manusia dengan perseorangan).
Maksudnya adalah, ada beberapa oknum segolongan kecil atau fi`atun qoliilah –demikianlah sebutan yang diberikan oleh al-‘Allamah al-‘Abbad kepada mereka- yang menyibukkan diri dengan tattabu’ al-Aktho’ (mencari-cari kesalahan) dan tajassus (memata-matai) para du’at
da ulama. Mereka setiap kali bertemu dengan orang, bertanya :
“Bagaimana pandangan antum dengan Syaikh atau ustadz Fulan?” Apabila
orang tersebut menjawab dengan jawaban yang sama, maka ia dipuji dan
dijadikan sebagai sahabatnya. Namun, apabila orang tersebut menjawab
yang berlainan dengannya, atau tawaqquf (berdiam diri) karena
ketidaktahuannya akan hakikat sebenarnya, maka mereka akan memaksanya
untuk berpendapat dengan pendapatnya, apabila tidak maka ia akan turut
ditahdzir, dihajr (dikucilkan), dicela, dimaki dan dijelek-jelekkan.
Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr hafizhahullahu wa atholallohu umurahu berkata :
ومن
البدع المنكرة ما حدث في هذا الزمان من امتحان بعض من أهل السنَّة بعضاً
بأشخاص، سواء كان الباعث على الامتحان الجفاء في شخص يُمتحن به، أو كان
الباعث عليه الإطراء لشخص آخر، وإذا كانت نتيجة الامتحان الموافقة لِمَا
أراده الممتحِن ظفر بالترحيب والمدح والثناء، وإلاَّ كان حظّه التجريح
والتبديع والهجر والتحذير…
“Dan termasuk diantara bid’ah munkarah
yang terjadi di zaman ini adalah menguji sebagian ahlis sunnah dengan
ahlus sunnah lainnya dengan perseorangan tertentu. Sama saja, baik
orang yang berkecimpung dalam pembahasan pengujian manusia ini adalah
orang yang merendahkan orang yang diuji tersebut atau yang
menyanjung-nyanjungnya individu lainnya. Apabila hasil pengujian ini
selaras dengan yang dikehendaki oleh penguji maka akan membuahkan
pujian dan sanjungan padanya, namun apabila tidak maka ia akan dijarh, ditabdi’, dihajr dan ditahdzir…”[5]
Pembahasan
lebih lengkap silakan dirujuk langsung kepada kitab tersebut, insya
Alloh banyak faidah yang bisa dipetik darinya, dan inilah nasihat emas
yang mengalir dari ulama senior ahli hadits zaman ini yang seharusnya
kita jadikan sebagai cambukan untuk muhasabah dan mengevaluasi diri kita atas kesesuaian kita dengan manhaj as-Salaf ash-Shalih.
g. Tidak berihtimam dengan ilmu namun lebih menyibukkan diri dengan tabdi’, tafsiq dan tadhlil.
Apabila para pembaca budiman membaca artikel dan uraian para pemuda yang terpengaruh manhaj Haddadiyah ini,
mereka seringkali menyebut diri mereka sebagai “orang awam”, “orang
yang bodoh”, “si miskin ini”, “bocah ingusan ini” dan ucapan-ucapan
yang merendahkan diri lainnya. Alhamdulillah, dari sini sebenarnya mereka faham bahwa mereka ini adalah orang-orang bodoh yang miskin ilmu. Namun anehnya, ketika mereka menyadari hal ini, mereka bukannya menyibukkan diri dengan ilmu dan berihtimam
dengannya namun malah menyibukkan diri dengan vonis-vonis yang
bukanlah merupakan hak orang yang bodoh, miskin, bocah ingusan dan yang
semisalnya seperti mereka.
Apabila
ada diantara para pembaca budiman yang pernah membuka website gelap
yang tak jelas pengelolanya, yang tidak jelas dimana alamat mereka,
berapa nomor telepon yang bisa dihubungi atau siapa penanggung jawabnya
yang dapat dikontak, maka akan mendapatkan tulisan-tulisan yang
kesemuanya 100% adalah bantahan, tahdzir, tanfir, jarh, makian, umpatan, cacian dan semisalnya yang dibalut dengan kedustaan, fitnah, iftiro’, ikhtiro’ dan
segala bentuk investigasi dan manipulasi lainnya, dan tidak akan
menemukan artikel-artikel ilmiah lainnya yang ummat bisa lebih beristifadah
dengannya, semisal masalah fiqh, aqidah, apalagi masalah adab dan
akhlaq. Pun, di website-website lainnya yang ilmiah, tidak pernah kita
dengar kontributor mereka semisal Abdul Ghafur misalnya, atau Abdul
Hadi, atau Ibrahim, atau siapapun namanya, menuliskan artikel ilmiah
seputar masalah fiqh misalnya, atau masalah aqidah misalnya, atau
bantahan ilmiah terhadap para hizbiyun yang mencela dakwah salafiyyah, atau bahasan ilmiah lainnya. Seakan-akan menunjukkan bahwa jullu bithonatihim (modal utama mereka) adalah tajrih, tahdzir, tahjir dan yang semisalnya.
Hal ini semakin meyakinkan bahwa mereka memang jahil dan bukan seorang thullabul ‘ilmi, namun lebih tepatnya disebut thullabul fitan.
Karena tidaklah keluar dari orang-orang semisal mereka melainkan hanya
fitnah, kedustaan, sumpah serapah dan segala bentuk sampah-sampah lisan
dan pemikiran mereka, wal’iyadzubillah. Aduhai, alangkah
lebih baik apabila mereka juga menyibukkan diri dengan ilmu syar’i,
bahasan ilmiah seputar fikih, aqidah ataupun manhaj, atau rudud-rudud ilmiyah kepada hizbiyun atau harokiyun yang mencela dan menuduh dakwah salafiyah dengan tuduhan-tuduhan dusta. Bukannya malah, membantu kaum hizbiyun untuk membenarkan tuduhan-tuduhan mereka, menyokong hizbiyun dengan menunjukkan bahwa dakwah salafiyyah ini adalah dakwahnya munaffirin
(orang-orang yang melarikan manusia dari al-Haq), atau malah
membenarkan tuduhan-tuduhan mereka sebagaimana tuduhan Halawi Makmun
yang menuduh bahwa perbedaan salafiyin bukanlah dikarenakan perbedaan
pendapat, namun lebih karena perbedaan PENDAPATAN. Dan tuduhan semisal
ini bukannya malah dicounter oleh mereka, namun malah dibenarkan dan dijadikan sarana untuk menyerang sesama ahlis sunnah. Allohu Akbar!!
Apabila kita lihat lagi di forum-forum internet semisal di MyQuran, ketika salafiyyun dibantah oleh kaum hizbiyyun, mereka bukan malah mengcounternya, namun malah menbuka celah bagi hizbiyyun
untuk lebih getol menyerang dakwah salafiyyah ini. Mereka nukil
tulisan-tulisan sampah di sebuah website gelap tersebut lalu
dipastekannya ke forum-forum di internet yang esensinya tidak ada
bantahan ilmiah sama sekali di dalamnya, namun hanyalah
investigasi-investigasi ala agen rahasia yang orang kafir pun mampu
melakukannya. Mereka ini pada hakikatnya tidak faham dengan thoriqotus salafiyyah
dan manhaj salaf, dan mereka menisbatkan apa-apa yang bukan dari manhaj
salaf sebagai bagian dari manhaj salaf karena kebodohan semata.
Al-‘Allamah Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata :
فإذا أردت أن تتبع السلف لا بد أن تعرف طريقتهم ، فلا يمكن أن تتبع السلف إلا إذا عرفت طريقتهم وأتقنت
منهجهم من أجل أن تسير عليه ، وأما مع الجهل فلا يمكن أن تسير على
طريقتهم وأنت تجهلها ولا تعرفها ، أو تنسب إليهم ما لم يقولوه ولم يعتقدوه
، تقول : هذا مذهب السلف ، كما يحصل من بعض الجهال – الآن – الذين يسمون أنفسهم (سلفيين) ثم يخالفون السلف ،ويشتدون ويكفرون ، ويفسقون ويبدعون . السلف ما كانوا يبدعون ويكفرون ويفسقون إلا بدليل وبرهان ، ما هو بالهوى أو الجهل
“Apabila
kamu telah tahu bahwa meneladani salaf itu mengharuskanmu untuk
mengetahui jalan mereka, maka tidaklah mungkin kamu bisa meneladani
salaf kecuali apabila kamu mengetahui jalan mereka dan memahami manhaj
mereka supaya kamu dapat meniti di atas jalan itu. Adapun dengan
kebodohan maka tidak mungkin kamu dapat meniti di atas jalan mereka
sedangkan kamu bodoh terhadapnya dan tidak mengetahuinya, atau kamu
menyandarkan kepada mereka apa-apa yang tidak mereka ucapkan dan yakini,
lantas kamu berkata : “ini madzhab salaf”, sebagaimana yang tengah terjadi saat ini pada sebagian orang-orang bodoh, yang menamakan diri mereka dengan salafiyin,
namun mereka menyelisihi salaf, mereka bersikap arogan dan
mengkafirkan, menfasikkan dan membid’ahkan (siapa saja yang menyelisihi
mereka). Para salaf, mereka tidak pernah membid’ahkan, mengkafirkan dan menfasikkan melainkan dengan dalil dan burhan (bukti yang terang), bukannya dengan hawa nafsu dan kebodohan.”[6]
h. Lebih senang menyerang sesama ahlus sunnah dan menyibukkan diri dengan mencela mereka
Ini merupakan karakter mereka yang sangat tampak sekali. Mereka lebih senang menyibukkan diri dengan sesama ahlus sunnah
daripada membantah ahli bid’ah yang jelas-jelas akan kesesatan dan
penyimpangannya. Mereka lebih terobsesi untuk menjelek-jelekkan sesama
ahlis sunnah daripada selainnya. Perilaku inilah yang menyebabkan
dakwah salafiyah semakin dijauhi dan dakwah hizbiyyah semakin digandrungi, kaum hizbiyun
dan ahli bid’ah bertepuk tangan berbahagia melihat percekcokan
diantara sesama ahlus sunnah ini, karena dengan sibuknya antara sesama
ahlus sunnah, maka mereka kaum hizbiyyun akan selamat dari kritikan dan tahdzir ahlus sunnah kepada mereka.
Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad sendiri telah mewanti-wanti masalah ini, semenjak beliau menulis Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah hingga risalah beliau al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah. Mereka para pemuda yang terpengaruh manhaj rusak haddadiyah ini, tidak sedikitpun mengambil ifadah
dari nasehat-nasehat dari para ulama semisal Syaikh ‘Abdul Muhsin
al-‘Abbad ini. Bahkan mereka mencela buku beliau ini dan melakukan
penolakan besar-besaran. Padahal, mereka sendiri telah mengetahui latar
belakang penulisan buku Rifqon Ahlas Sunnah ini.
Berikut ini adalah ulasan Syaikh di dalam Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah bab Fitnatut Tajrih wal Hajr min Ba’dhi Ahlis Sunnah fi Hadzal Ashr (Fitnah sikap saling mencela dan mengisolir diantara sebagian ahlus sunnah di zaman ini)
حصل
في هذا الزمان انشغال بعض أهل السنة ببعض تجريحاً وتحذيراً، وترتب على
ذلك التفرق والاختلاف والتهاجر، وكان اللائق بل المتعين التواد والتراحم
بينهم، ووقوفهم صفاً واحداً في وجه أهل البدع والأهواء المخالفين لأهل
السنة والجماعة…
“Telah terjadi di zaman ini, sibuknya sebagian ahlus sunnah dengan sebagian lainnya dengan tajrih (saling mencela) dan tahdzir,
dan implikasi dari hal ini menyebabkan terjadinya perpecahan,
perselisihan dan saling mengisolir. Padahal sepantasnya bahkan
seharusnya bagi mereka untuk saling mencintai dan berkasih sayang
terhadap sesama mereka, dan menyatukan barisan mereka di dalam
menghadapi ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang menyelisihi ahlus
sunnah wal jama’ah…”
Saya bertanya kepada mereka yang menolak risalah Rifqon Ahlas Sunnah ini, apakah ucapan Syaikh di atas tidak benar dan tidak ada waqi’ (realita)-nya? Apabila mereka mengatakan iya, maka fasubhanalloh, ini adalah celaan kepada Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad karena seakan-akan beliau ini bodoh dengan waqi’
ummat dan beliau menulisnya di atas kebodohan. Apabila mereka
mengatakan tidak, dan fenomena yang disebutkan syaikh adalah benar,
maka kepada siapakah syaikh memaksudkan ucapannya?! Apakah mereka tidak
sadar akan karakter mereka yang mudah mencela, mentahdzir, memaki dan
mengumpat orang lain sesama ahlis sunnah inilah yang dimaksud oleh
Syaikh al-‘Abbad?!! Sehingga mereka tidak mau introspeksi dan menerima
nasehat Syaikh hafizhahullahu?!! Jika benar demikian, maka begitu sombongnya mereka.
Bukankah mereka tahu bahwa Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad menuliskan nasehatnya tersebut di dalam Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah adalah untuk kalangan ahlus sunnah salafiyyin saja yang saat ini tengah terjadi percekcokan dan perselisihan di antara mereka?!! Sebagaimana klarifikasi beliau berikut :
و الكتاب الذي كتبتة أخيراَ….لا علاقة للذين ذكرتهم في مدارك النظر بهذا الذي هو :رفقاَ أهل السنة بأهل السنة لا يعني الإخوان المسلمين , ولا يعني المفتونين بسيد قطب و غيرهم من الحركيين, و لا يعني أيظاً المفتونين بفقه الواقع و النيل من الحكام و كذلك التزهيد في العلماء لا يعني هؤلاء لا من قريب و لا من بعيد و إنما يعني أهل السنة فقط حيث يحصل بينهم الإختلاف فينشغل بعضهم ببعض تجريحاَ و هجراَ و ذماً
“Buku yang aku tulis terakhir ini yaitu Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah tidaklah ada korelasinya dengan yang telah aku sebutkan di dalam Madarikun Nazhar. Risalahku Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah
tidaklah dimaksudkan untuk Ikhwanul Muslimin tidak pula dimaksudkan
untuk orang-orang yang terfitnah dengan Sayyid Quthb dan selainnya dari
para harokiyyin. Tidak pula dimaksudkan untuk orang-orang yang terfitnah dengan fiqh waqi’, para pencela penguasa dan orang-orang yang merendahkan para ulama, tidak dimaksudkan untuk mereka baik yang dekat maupun jauh.
Sesungguhnya, risalahku ini aku peruntukkan untuk Ahlus Sunnah saja!!!
Mereka yang berada di atas jalan Ahlus Sunnah yang tengah terjadi di
tengah mereka ini sekarang perselisihan dan sibuknya mereka antara satu
dengan lainnya dengan tajrih, hajr (mengisolir) dan mencela.”[7]
Siapakah ahlus sunnah yang saat ini tengah terjadi perselisihan dan tersibukkannya mereka antara satu dengan lainnya dengan tajrih, hajr dan caci maki?!!
Ataukah mereka telah menvonis bahwa kami ini adalah hizbiyyun harokiyyun yang tidak layak risalah Rifqon beliau ditujukan kepada kami?! Jika demikian, aduhai benar sekali bahwa mereka ini telah dimakan oleh manhaj haddadiyah yang mudah mengeluarkan orang dari lingkaran ahlis sunnah tanpa ilmu dan bashiroh.
Apakah mereka pernah melihat kami terfitnah oleh pemikiran Sayyid
Quthb ataukah justeru kami mentahdzir darinya?!! Apakah pernah mereka
melihat kami mencela penguasa kaum muslimin ataukah justeru kami yang
menjelaskan bahwa mencela penguasa adalah diantara manhaj khowarij?!
Bukankah dulu mereka yang terjatuh kepada pencelaan kepada penguasa, khuruj dari ketaatan dan melakukan muzhoharoh (demonstrasi) dan pengumpulan massa ala hizbiyyin?!
Lantas mengapa begitu mudahnya mereka melupakannya, mencuci tangan dan
menuduh kedustaan kepada orang lain yang mereka terbebas darinya. Allohumma sallimna!!!
i. Menerapkan Hajr secara serampangan
Ini adalah bentuk kebodohan mereka yang kesekian kalinya, mereka tidak faham apa itu hajr,
bagaimana cara dan syarat-syaratnya, oleh karena itulah sering sekali
para masyaikh ahlus sunnah menjelaskan masalah ini, diantaranya adalah
Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad di dalam Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, lalu juga Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi dan selain mereka hafizhahumullah di dalam dauroh-dauroh mereka.
Kepada setiap orang yang mereka nilai sesat dan menyimpang, maka dengan serta merta mereka menghajrnya,
tidak mau salam dengannya, tidak mau duduk bermajlis dengannya
walaupun dalam rangka mendakwahinya, tidak mau bermuka masam kepada
kaum muslimin dan sikap-sikap buruk lainnya yang menyebabkan manusia
semakin lari dari dakwah al-Haq ini, hanya karena disebabkan
orang-orang juhala’ semisal mereka ini.
Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad berkata di dalam Rifqon Ahlus Sunnah bi Ahlis Sunnah (hal. 52-53) :
والهجر
المفيد بين أهل السنة ما كان نافعاً للمهجور، كهجر الوالد ولده، والشيخ
تلميذه، وكذا صدور الهجر ممن يكون له منزلة رفيعة ومكانة عالية، فإن هجر
مثل هؤلاء يكون مفيداً للمهجور، وأما إذا صدر الهجر من بعض الطلبة لغيرهم،
لا سيما إذا كان في أمور لا يسوغ الهجر بسببها، فذلك لا يفيد المهجور
شيئاً، بل يترتب عليه وجود الوحشة والتدابر والتقاطع
“Hajr yang bermanfa’at di kalangan Ahlus Sunnah adalah apa yang dapat memberikan manfaat bagi yang dihajr (dikucilkan), seperti orang tua mengucilkan anaknya, dan seorang Syeikh terhadap muridnya, dan begitu juga pengucilan yang datang dari seorang yang mempuyai kehormatan dan kedudukan yang tinggi, karena sesungguhnya pengucilan mereka sangat berfaedah bagi orang yang dikucilkan. Adapun apabila hal itu dilakukan oleh sebagian penuntut ilmu terhadap sebagian lainnya, apalagi bila disebabkan oleh persoalan yang tidak sepantasnya ada hal pengucilan dalam persoalan tersebut, maka yang demikian ini tidak akan membawa faedah bagi yang dikucilkan sedikitpun, bahkan akan berakibat terjadinya pertikaian, sikap saling membelakangi dan pemutusan hubungan.”
j. Memikulkan kesalahan seseorang kepada orang lain
Ini
adalah kesesatan pemikiran mereka yang paling tampak nyata, mereka
akan memikulkan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang
lain yang tidak ada sangkut pautnya. Pemikiran ini seperti aqidah
nashrani yang meyakini adanya dosa ’warisan’ dan dan shufiyah yang
meyakini bahwa amal perbuatan seseorang bisa ditanggung oleh orang
lain.
Sebagaimana apa yang mereka lakukan kepada para du’at ahlus sunnah
berupa celaan dan makian, mereka mencela seorang Ustadz hanya karena
ada ustadz kenalannya yang melakukan suatu kesalahan. Alkisah ada
seorang ustadz yang melakukan kesalahan yang menurut mereka sangat
fatal –padahal belum tentu demikian-, maka mereka dengan serta merta
bergembira ria atas kesalahan ustadz ini, mereka luangkan waktu untuk
mentranskrip ucapan ustadz ini yang dipandang salah, namun tidak
berakhir sampai di sini, mereka generalisir kesalahan ustadz ini kepada
ustadz-ustadz lainnya yang tidak berbuat, dan mereka timpakan
kesalahan yang sama kepada ustadz-ustadz lainnya yang kebetulan hanyalah
mengenal ustadz yang tersalah ini. Dan masih banyak lagi contoh kasus
lainnya, sehingga dengan ”aqidah” sesat seperti inilah salah seorang
dari mereka berani menyematkan label ”al-Kadzdzab” kepada salah seorang
ustadz yang pernah memberikan ceramah di hadapan masyaikh dan thullabul ’ilmi di Markaz al-Imam al-Albani Yordania.
Alloh Ta’ala telah mengabarkan di dalam firman-Nya yang mulia :
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنَّ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Bahwasanya
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan
bahwasanya seorang manusia tidak akan mendapatkan selain apa yang ia
usahakan.” (QS an-Najm : 38)
Alloh Ta’ala juga berfirman di tempat yang lain :
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةُ وِزْرَ أُخْرَى
”Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.” (QS al-Israa` : 15; lihat pula QS az-Zumar : 7, Fathir : 35 dan Al-An’am : 164)
Al-’Allamah Nashir as-Sa’di rahimahullahu ketika menafsirkan QS an-Najmi di atas dengan :
أي: كلّ عامل له عمله الحسن والسيئ فليس له من عمل عيره وسعيهم شيء ولا يحتمل أحد عم أحد ذنبا
”Setiap
orang yang melakukan maka baginya sendiri amal baik atau buruknya, dan
dia tidak memikul apa yang dilakukan oleh selainnya dan sedikitpun
dari hasil usaha mereka, dan seseorang tidak memikul dosa orang
selainnya.”[8]
Namun aduhai,
sungguh amat disayangkan sekali. Seorang yang mengaku-ngaku sebagai
ahlus sunnah, bisa terjatuh kepada kesalahan semisal ini. Apakah hanya
karena kebencian yang telah mendarah daging sehingga mereka
menghalalkan segala cara hanya untuk memenuhi ambisi dan obsesi
menjatuhkan kehormatan seorang muslim?!!
k. Mencela para ulama ahlus sunnah yang jatuh kepada kesalahan atau yang tidak sefaham dengan pemahaman mereka
Apabila
pengekor Falih al-Harbi dulu gencar mencela para ulama dan menuduh
mereka bermacam-macam, seperti menuduh Syaikh ’Abdurrazaq al-’Abbad,
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili dan selain mereka dengan tuduhan tamyi’, menuduh masyaikh Yordania sebagai hizbiyyun dan pembela hizbiyyun, Syaikh Bakr Abu Zaed sebagai takfiri quthbi, Syaikh Jibrin sebagai ikhwani dan semisalnya, mereka pun sekarang juga masih tetap meniru metode Falih yang merupakan dampak dari pemahaman haddadiyah bahwa setiap orang yang jatuh pada kebid’ahan maka otomatis ia menjadi bid’ah.
Masih segar di ingatan kita ucapan salah seorang jahil dari kalangan mereka yang mencela Syaikh Abu Bakr al-Jazairi sebagai tablighi, merajuk-rajuk kepada masyaikh Yordania dengan perkataan : ”wahai syaikh, anda salah hadir di pertemuan mereka…” yang intinya mengatakan bahwa masyaikh salah dan saya yang benar!!! Menuduh syaikh Ahmad Surkati sebagai Mu’tazili Aqlani, bahkan dikatakan sebagai mubtadi’, penyeru kesesatan, agen kuffar Belanda dan tuduhan-tuduhan keji lainnya.
Mereka tidak memahami bedanya ucapan : ”pada diri fulan ada pemahaman Asy’ariyah”, ”pada diri Alan ada pemahaman aqlaniyah”,
”Syaikh Fulan terjatuh pada kesalahan ini dan itu” atau ucapan-ucapan
semisal yang tidak mengharuskan kesalahan-kesalahan mereka itu divonis
bid’ah dan sesat. Mereka tidak cukup dengan metode seperti ini, karena
hasrat dan ambisi mereka yang terbakar ghirah jahiliyah,
hawa nafsu dan kedengkian yang membuncah, mengharuskan mereka untuk
mencela dan menjatuhkan individu-individu dari para ulama tersebut.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه
“Bukanlah
termasuk golongan kami siapa saja yang tidak menghormati orang yang
lebih tua, menyayangi yang lebih muda dan mengenal hak orang alim kita.” (HR Ahmad dan Hakim, dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 4319).
Imam Ibnu Asakir rahimahullahu berkata di dalam Tabyin Kadzibil Muftari :
واعلم
يا أخي! وفقنا الله وأياك لمرضاته وجعلنا ممن يخشاه ويتقيه حق تقاته أنّ
لحوم العلماء وحمة الله عليهم مسمومة وعادة الله في هتك أستار منتقصيهم
معلومة.
“Ketahuilah
saudaraku, semoga Allah menunjuki kami dan kalian kepada keridhaan-Nya
dan semoga Dia menjadikan kita orang-orang yang takut kepada-Nya dan
bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, bahwasanya daging para ulama –rahmatullahu ‘alaihim- adalah beracun dan merupakan kebiasaan Allah (sunnatullah) merobek tabir kekurangan mereka pula.”
Imam adz-Dzahabi di dalam Siyaru A’laamin Nubala’ (XIV/33) berkata :
ولو أن كلما أخطأ إمام في اجتهاده
في آحاد مسائل خطأ مغفورا له قمنا عليه وبدعناه وهجرناه منا سلم معنا لا
ابن نصر ولا ابن منده ولا من هو أكبر منهما والله هو هادي الخلق إلى الحق
وهو أرحم الراحمين فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة
“Kalau
seandainya setiap kali seorang imam bersalah di dalam ijtihadnya pada
suatu masalah dengan kesalahan yang terampuni, kemudian kita
menvonisnya bid’ah dan menghajrnya, maka tak ada seorangpun
yang selamat dari kita, tidak Ibnu Nashr (al-Marwazi), tidak pula Ibnu
Mandah, ataupun yang lebih senior dari mereka berdua. Dan Allohlah Dia
yang memberi petunjuk hamba-Nya kepada kebenaran dan Dia adalah yang
paling penyayang. Kita memohon perlindungan dari hawa nafsu.”
Oleh
karena itu, seharusnya mereka menjaga lisan dan diri mereka dari
berkata buruk kepada ulama, apalagi yang telah wafat mendahului mereka,
yang mana amal para ulama ini –insya Alloh- jauh melebihi
mereka, bahkan mungkin menjangkau mata kakinya saja mereka tidak
sampai. Apabila seseorang melihat ada kesalahan pada mereka, maka
seharusnya ia menjaga dirinya dari berburuk sangka kepadanya, menjaga
lisannya dari mencela, mengumpat, menghujat apalagi sampai melaknat dan
menvonisnya sebagai ahli bid’ah dan kesesatan tanpa disertai burhan dan bashirah, karena apabila mereka ini mau bermuhasabah (introspeksi) niscaya kesalahan mereka akan lebih banyak dan besar daripada mereka (para ulama ini).
l. Lebih memprioritaskan dan menyibukkan diri dengan tahdzir daripada masalah pembenahan aqidah ummat
Al-Imam al-Albani rahimahullahu memiliki sebuah risalah yang sangat indah, yang merupakan transkrip rekaman ceramah beliau yang berjudul Tauhid Awwalan ya Du’atal Islaam (Tauhid dulu wahai para da’i islam!), demikian pula dengan Syaikh al-Qor’awi yang memiliki risalah Tauhid awwalan lau kaanuu ya’lamuun
(Tauhid lebih dulu apabila mereka mengetahuinya), dan masih banyak
lagi para ulama yang menjelaskan akan keutamaan dan prioritas tauhid
dibandingkan lainnya.
Saya
yakin, mereka semua faham bahwa dakwah yang diserukan awal mula dan
pertama kali oleh para Nabi dan Rasul adalah seruan tauhid dan aqidah.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ketika mengutus
Mu’adz, beliau memerintahkan agar Mu’adz menyeru kepada tauhid terlebih
dahulu, baru menyerukan hukum-hukum Islam lainnya. Tidak ada yang
mengingkari kewajiban pertama dan utama ummat Islam adalah memahami masalah aqidah dan tauhid ini.
Sekarang, apakah kaum muslimin di Indonesia ini, mayoritas mereka bertauhid dan beraqidah yang shahihah ataukah tidak?! Pasti kita semua mengetahui bahwa mayoritas ummat di Indonesia -dan negara lainnya- tidak faham aqidah yang benar dan makna tauhid yang shahih. Fenomena kesyirikan semisal tabarruk di kuburan, meminta dan berdo’a kepada mayyit, beritsighotsah kepada orang-orang yang telah meninggal, bertawassul dengan hak-hak wali dan orang mati, dan segala bentuk kesyirikan lainnya yang dipenuhi oleh takhayul, khurofat dan bid’ah.
Namun sungguh aneh, mengetahui fenomena semisal ini, mereka –para oknum juhala’ ini- lebih mementingkan dan mendahulukan tahdzir, tahdzir dan tahdzir. Bukannya tahdzir kepada kesyirikan, kekufuran dan kebid’ahan yang tengah melanda ummat, namun mereka mentahdzir para du’at ahlus sunnah
yang mengerahkan tenaga dan waktunya untuk berdakwah dan menyerukan
tauhid. Mereka larikan ummat ini dari kebenaran yang disampaikan
sehingga seakan-akan kebenaran itu hanyalah milik sendiri yang tidak
boleh orang lainnya mendapatkannya. Ma’adzallohu!!!
Apakah ini pengejawantahan dakwah salafiyah yang hakiki wahai ghulat?!
Apakah gembor-gembor dan syiar anda yang berisi makian, cacian,
umpatan, fitnah, celaan, kedustaan, manipulasi, kebodohan dan segala
bentuk kejelekan lainnya sebagai salah satu bentuk dakwah salafiyyah?!
Pembelaan atasnya dengan mengkambinghitamkan ilmu jarh wa ta’dil?!! Allohumma, alangkah rusaknya kalian ini…!!!
m. Menyibukkan diri dengan metode investigasi ala kuffar untuk mencari-cari kesalahan dan menyandarkannya sebagai bagian dari manhaj salaf
Mereka sibukkan diri dengan metode investigasi ala agen rahasia atau CIA atau semisalnya, mereka browsing
ke internet mencari informasi yang bisa mereka jadikan sarana untuk
menghantam saudara mereka, mereka ikuti berita-berita di media-media
massa baik majalah dan selainnya, mereka ikuti kaset-kaset ceramah para
du’at bukannya untuk beristifadah darinya namun
untuk mencari-cari kesalahan. Informasi-informasi sepenggal-sepenggal
yang terkadang ‘gak nyambung’ mereka satukan bagaikan anak kecil yang
bermain ‘jigshaw puzzle’, menggabungkan potongan-potongan
gambar teka-teki menjadi satu bagian utuh. Namun bedanya, para
‘pengangguran’ ini menyatukan potongan-potongan yang tidak utuh dengan
imajinasi dan fantasi mereka sendiri.
Dari
potongan-potongan informasi yang mereka dapatkan itu, mereka susun
sebuah gambaran kacau yang disertai dengan imajiner dan manipulatif,
lalu mereka gabung-gabungkan antara satu dengan lainnya, lalu mereka
mengambil konklusi darinya. Dengan metode ini, mereka menghantam dan
menghajar pada du’at yang kebanyakan tidak mengetahui apa yang
mereka susun itu, lalu mereka saling silangkan, korelasikan dan
generalisir kesalahan-kesalahan yang mereka dapatkan kepada orang yang
tidak tahu apa-apa.
Mereka
menyatakan, lihatlah website alirsyad.or.id yang memuat tulisan
tentang Safar Hawali atau foto-foto atau… atau… lalu dengan enaknya dan
mudahnya mereka timpakan pula kepada Ma’had Ali Al-Irsyad yang tidak
tahu menahu tentang masalah ini, dengan alasan kesamaan nama. Aduhai,
alangkah bodohnya pola pikir mereka, alangkah rusaknya metode berfikir
mereka dan alangkah jauhnya tuduhan mereka dengan hakikat sebenarnya.
Apabila mereka hendak mencari kejelasan, maka mereka haruslah mengambil
yang muhkam dari pendapat orang atau ma’had yang mereka tuduh, bukannya menggambil yang samar dan tidak jelas.
Sebagai contoh, misalnya ada ustadz Fulan, dia menjelaskan sikapnya yang jelas kepada hizbiyyah, ia mentahdzir darinya, bahkan ia terangkan dengan sejelas-jelasnya, maka ucapan ustadz ini adalah ucapan yang muhkam, yang tafshil dan yang sharih yang harusnya dipegang. Bukannya malah mencari-cari celah yang samar, yang mana mereka bertakalluf untuk mencari-cari kesalahannya dengan bukti-bukti dan argumentasi yang samar, mujmal
dan tidak terang. Seakan-akan mereka ini tidak senang apabila ada
orang selain mereka yang melakukan kebenaran, dan mereka lebih
menghendaki orang atau ustadz tersebut salah, agar mereka bisa
melemparkan tuduhan-tuduhan keji dan fitnah-fitnahnya. Dan cara yang
mereka gunakan adalah investigasi-investigasi informasi ala CIA atau semisalnya, yang mana orang kuffar atau ahli bid’ah pun bisa melakukan hal yang sama dengan mereka. Tidakkah mereka mengetahui artikel yang berjudul : “Indonesia Backgrounder : Why Salafism dan Terrorism mostly don’t mix”
oleh ICG (International Crisis Group) yang metode pengumpulan
beritanya dari internet dan mereka banyak sekali melakukan kesalahan di
dalamnya. Kemudian metode para hizbiyyun pembenci dakwah salafiyyah
yang menyusun bantahan-bantahan dengan penukilan-penukilan dan
penghimpunan informasi dari internet yang sepatahg-sepatah dan
sepotong-sepotong. Bahkan, apabila mereka melihat tulisan yang
menyerang Syaikh Rabi’ bin Hadi, yang berjudul “Syaikh Rabi’ bin Hadi fil Mizan” maka metode mereka pada hakikatnya sama dengan mereka-mereka ini. Yaitu asmot (asal comot) dari sana sini kemudian ditambah dengan gosip (digosok semakin sip).
Dan
ini bukanlah metode dan manhaj salaf, karena manhaj salaf di dalam
menilai pemikiran seseorang dari ahlus sunnah adalah dengan tahqiq dan verifikasi yang jelas, menelusuri sumbernya secara jelas dan bertabayun dan tatsabut atas berita yang sampai, serta membawa ucapan-ucapan yang mujmal kepada yang tafshil, membawa perkataan yang samar kepada yang muhkam,
dst. Apabila mereka mendapatkan kesalahan maka mereka nasehati dulu
kesalahan tersebut, dan apabila mereka tidak mampu, maka mereka meminta
tolong kepada yang mampu untuk menjelaskannya.
n. Bodoh terhadap implementasi al-Wala` wal Baro`
Ini merupakan salah satu kebodohan mereka yang sangat menonjol, mereka tidak memahami hakikat al-Wala` wal Baro` dan penerapannya. Semua yang menyimpang dari kaum muslimin, betatapun tingkatnya maka diperlakukan dengan baro` secara sempurna seakan-akan mensikapi orang kafir. Sikap seperti ini telah ditengarai oleh Fadhilatusy Syaikh DR. Nashir ‘Abdul Karim al-‘Aql hafizhahullahu yang mana beliau berkata :
“Orang-orang beriman seluruhnya adalah wali Allah dan bagi seluruh mukmin diberikan wala’ (loyalitas) sebatas tingkat keimanannya, demikian pula sebaliknya (diberikan baro’ah (kebencian/berlepas diri) sebatas tingkat kemaksiatannya, pent.). Orang-orang
kafir, seluruhnya adalah wali Syaithan dan tidak ada wala’ sedikitpun
bagi orang kafir. Akan tetapi, mukmin yang bermaksiat, diberikan baro’ah kepadanya menurut kadar kemaksiatannya, demikian pula para pelaku bid’ah dari kaum muslimin, diberikan baro’ah menurut tingkat kebid’ahannya, dan bagi mereka wala’ sebatas keimanannya. Oleh karena itu, sesungguhnya orang kafir tidak terkumpul padanya wala’ dan baro’ sekaligus.
Seorang mukmin yang kholish (murni) yang berjalan di atas as-Sunnah, baginya wala`
dan kecintaan yang sempurna. Jika ditemukan padanya kemaksiatan atau
kebid’ahan maka terkumpul padanya dua perkara: yaitu kita berwala’
terhadap kebaikan dan iman yang dimilikinya dan kita membenci terhadap
kemaksiatan dan kebid’ahannya. Dengan demikian, mayoritas kaum
mukminin pelaku kemaksiatan dan kebid’ahan yang tidak sampai
mengeluarkan dari agama, mayoritas mereka, bahkan seluruhnya dari para
pelaku kemaksiatan dan bid’ah yang kecil, bagi mereka kecintaan dan wala’ sebatas keimanan dan amal shalih yang ada pada mereka serta baro’ dan kebencian sebatas kemaksiatan dan kebid’ahan mereka.”
Lalu beliau hafizhahullah melanjutkan :
هذه
القاعدة اختلت عند كثير من ضعيفي العلم وقليلي الفقه في الدين والجهلة
بمذهب السلف, حتى يعض مدعي السلفية وقعوا في هذا, فإنهم يعادون على البدعة
عداء كاملا, وقد تكون البدعة غير مخرجة من الملة وقد تكون بدعة جزعية
ليست متكاثرة في الشخص. كما أنهم قد يعادون على المعصية عداء كاملا أو على
المخالفة والخطأ عداء كاملا. وهذا خطأ يجب أن يحذروا غيرهم من أن يعلموا
بهذه القاعدة. والآن نرى من نتائج تطبيق ذلك ما يحدث بين شباب أهل السنة مع
الأسف من نزاعات في أمور حول الدين والاجتهاديات وحول الدعوة إلى الله عز
و جل. نجد أنهم يتنازعون في هذا ويطبقون على خصومهم والمخالفين من أهل
السنة البراء الكامل, يبغضونهم في ذلك ويستبيحون الكلام فيهم والتشهير بهم
ويحتسبون عند الله الدعوة ضدهم والتشهير بهم والتحذير منهم. هذا الخلاف
الأصل الشرعي, نعم ما فيهم من أخطاء ينبه عليهم مع الاعتراف بفضلهم وقدرهم
بما فيهم من فضل وقد, هذا أمر ضروري وإلا تقع فتنة بين المؤمنين.
“Kaidah
ini jarang dipegang oleh kebanyakan orang-orang yang lemah ilmunya dan
dangkal pemahaman agamanya serta bodoh dengan manhaj salaf,
sampai-sampai sebagian orang yang mengaku sebagai salafiy juga jatuh
kepada hal ini, yaitu mereka memusuhi bid’ah dengan permusuhan yang
kamil (sempurna), walaupun terkadang bid’ahnya tidak sampai tingkatan
mengeluarkan pelakunya dari agama, dan terkadang pula kebid’ahan
tersebut hanya sebagian kecil saja tidak menyeluruh pada seseorang.
Sebagaimana pula mereka memusuhi kemaksiatan dengan permusuhan
sempurna, atau memusuhi suatu penyelewengan dan kesalahan dengan
permusuhan yang sempurna.
Sekarang
kita perhatikan dampak dari penerapan perilaku ini, yang marak terjadi
di tengah-tengah ahlus sunnah, yang menimbulkan keprihatinan dan
percekcokan di dalam permasalahan agama, perkara Ijtihadiyah
dan seputar dakwah kepada Allah. Kita dapatkan mereka saling berselisih
tentang hal ini dan menerapkan kepada musuh dan lawan mereka sesama
ahlus sunnah, baro’ah yang sempurna, sampai mereka membenci
mereka, memperbolehkan menjelekkan mereka, menyebarkan aib mereka,
mereka berniat karena Allah mendakwahi lawan mereka namun mereka
menyebarkan aib mereka dan mentahdzir mereka.
Hal
ini menyelisihi ushul (pokok) syariat. Iya memang, jika mereka
melakukan kesalahan diperingatkan kesalahan-kesalahannya, namun tetap
dengan mengakui keutamaan dan kadar yang mereka miliki. Ini adalah
perkara dharuri (yang wajib dilakukan), atau jika tidak, maka akan timbul fitnah di tengah-tengah kaum muslimin.”[9]
Dan
inilah salah satu bentuk kebodohan mereka, apabila mereka telah
membenci kepada suatu kaum, maka kebencian mereka akan mereka terapkan
secara sempurna, dan mereka halalkan kehormatan saudara-saudara mereka
sesama ahlus sunnah, mereka makan daging-nya, mereka injak-injak
kehormatannya, dan mereka tutup jalan-jalan ifadah kepada para du’at yang terzhalimi ini. Tidak ada sedikitpun rasa wala`, mahabbah ataupun pembelaan mereka kepada saudara mereka sesama ahlus sunnah, dan mereka terapkan kepada para du’at ini kebencian dan baro` yang sempurna yang seharusnya hanya diterapkan kepada kaum kuffar. Wal’iyadzubillah.
o. Tidak mau melakukan tabayyun (verifikasi) dan tatsabbut (cek ricek) terhadap berita yang sampai
Menurut mereka, selama berita itu datang dari kalangan mereka yang mereka nilai semuanya tsiqoh dan terpercaya beritanya, maka tidak ada perlunya melakukan tabayyun dan tatsabbut.
Apalagi jika berita yang sampai pada mereka adalah kejelekan atau aib
seseorang yang mereka musuhi atau benci, maka tidak ada perlunya
melakukan tabayyun, selama ambisi dan obsesi mereka untuk
mencaci maki lawannya dapat terpenuhi dengan mudah. Karena manhaj
mereka telah terasuki oleh kaidah al-Ghoyah tubarrirul Wasiilah
(tujuan itu menghalalkan segala cara). Dengan demikian, berita apapun
yang sampai pada mereka, dengan cara apapun, entah dengan identifikasi
dan penggalian informasi ala agen rahasia, ataukah tajassus dan mencari-cari kesalahan musuhnya dari kaset-kaset rekaman atau selainnya.
Al-’Allamah ’Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullahu ditanya :
في
قبول خبر الثقة, هل يقبل مطلقا دون التثبت؟ كان يقول: إن فلانا مثلا سبّ
وطعن في الصحابة, هل يجب علي أن آخذ بهذا القول وأحكم به أم لا بدّ من
التثبت؟
”Dalam masalah menerima berita dari orang yang tsiqoh (terpercaya), apakah diterima perkataannya secara mutlak tanpa tatsabut?
Orang itu berkata misalnya : sesungguhnya Fulan telah memaki dan
mencela sahabat, apakah wajib bagiku menerima perkataan ini (langsung)
dan menghukuminya (sebagai pencela sahabat, pent.) ataukah aku harus tatsabut?
Syaikh hafizhahullahu menjawab :
لا بدّ من التثبت!!!
“Harus tatsabbut!!!”
Syaikh hafizhahullahu ditanya kembali :
ولو كان القائل أحد المشائخ؟
“Walaupun yang berkata adalah salah seorang masyaikh?”
Syaikh hafizhahullahu menjawab :
لا
بدّ من التثبت!!! القائل إذا عزاه إلى كتاب له والكتاب موجودو فمنكن
للناس الرجوغ لهذا الكتاب, أما مجرد كلام من غير أن يذكر له أساس لاسيما
إذا كان الشخص الموجودين. أما إذا كان من المتقدمين وهو معروف بالبدعة أو
من أئمتها هذا كل يعرفه, يعني مثل جهم بن صفوان, وكذا كل من قال أنه مبتدع
فإن كلامه صحيح, أي إنسان يقوله, وأما بعض الناس الذين يحصل عندهم خطأ وعندهم جهود عظيمة في خدمة الدين فيحصل منهم زلة, فبعض الناس يمكن أنه يقضي عليه بمجرد هذه الزلة.
“Tetap harus tatsabbut!!! Orang
yang berkata jika ia menisbatkan kepada bukunya dan bukunya harus ada,
sehingga memungkinkan ummat untuk merujuk kepada buku ini. Adapun
perkataan belaka yang tidak ada dasarnya atas yang disebutkan olehnya
terutama jika orang-orang tersebut masih hidup. Adapun jika ia termasuk
dari orang terdahulu dan dia memang dikenal dengan kebid’ahannya atau
termasuk pembesarnya, hal ini semua orang mengetahuinya, yaitu seperti
misalnya Jahm bin Shofwan, maka setiap orang yang mengatakan ia
mubtadi’, maka sesungguhnya perkataannya benar, yaitu orang yang
menyatakannya demikian. Adapun terhadap orang-orang yang melakukan
kesalahan sedangkan dia memiliki kesungguhan yang luar biasa dalam berkhidmat terhadap agama, kemudian dia tergelincir, maka sebagian orang memungkinkan untuk menghukuminya atas ketergelincirannya saja.”[10]
p. Tidak mau membawa ucapan yang mujmal kepada yang mufashshol
Apabila sampai kepada mereka ucapan dari para du’at ahlus sunnah yang mereka musuhi yang bersifat mujmal yang zhahirnya
tampak mereka fahami sebagai suatu kebatilan, padahal yang dimaksud
oleh pengucap tidaklah sebagaimana yang dimaksudkan oleh mereka para
penghujat dan pencela ini. Mereka memahaminya secara bathil dikarenakan
rusaknya pemahaman mereka yang dibakar oleh kebencian dan permusuhan
belaka. Sungguh benar ucapan seorang penyair :
و كم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم
Berapa banyak orang yang mencela ucapan yang benar ?
Oleh sebab pemahamannya yang sakit
Suatu waktu mereka mencela dengan caci maki yang bertubi, menuduh dan menggelari pada du’at salafiyyah
dengan tuduhan dan gelar-gelar yang buruk, hanya karena mereka
mendapatkan beberapa buku dari sebuah penerbit yang banyak menerbitkan
terjemahan asatidzah dan du’at ahlis sunnah, mereka mendapatkan dua buku yang bercorak dengan pemahaman takfiri, yaitu buku “Thoghut” karya Abdul Mun’im Mustofa Halimah hadaahullahu seorang takfriy
yang sekarang berdomisili di negeri Kafir, tepatnya di London Selatan,
Inggris dan buku “Penjelasan Pembatal Keislaman” (terjemahan dari at-Tibyan fi Nawaqidhil Islam) karya Syaikh Sulaiman Nashir al-‘Ulwan saddadhullohu yang terpengaruh oleh pemahaman takfiriy.
Dengan
girang dan gembiranya, mereka mendapatkan amunisi untuk menembakkan
caci makinya kepada ustadz dan da’i yang terjemahan buku mereka banyak
diterbitkan oleh penerbit tersebut. Mereka lemparkan celaan celaan
kotor kepada para du’at ini sembari menggeneralisir umpatan dan makiannya kepada du’at
lainnya yang tidak ada hubungannya dengan penerbitan ini. Parahnya,
mereka berdusta dengan membuat opini bahwa seakan-akan para du’at salafiyyah ini ridha
dan rela dengan diterbitkannya kedua buku bermasalah ini. Aduhai,
sungguh murah sekali kedustaan itu di sini mereka, sebagaimana seorang
penyair berkata :
فالبهت عندكم رخيص سعره حثوا بلا كيل ولا ميزان
Di sisi kalian dusta itu sangat murah harganya
Tanpa ditakar dan ditimbang mereka menghamburkannya
Padahal, apabila mereka mau bertabayyun
dulu, atau bersikap sedikit tenang dan tidak mendahulukan hawa nafsu
mereka yang membinasakan, niscaya mereka tidak akan jatuh kepada
kedustaan dan fitnah-fitnah keji. Tidakkah mereka melihat, bahwa para du’at
tersebut berlepas diri dari buku-buku bermasalah tersebut dan segala
pemikiran yang menyimpang. Adakah mereka membaca bantahan terhadap buku
“Thaghut” tersebut yang ditulis oleh saudara kami, Ali Hasan Bawazir
dan dimuat di Majalah as-Sunnah dalam dua edisi, lalu pada edisi
berikutnya disokong dan ditaqrizh
oleh al-Ustadz Abu Ihsan?!! Adakah mereka membaca kritik dan bantahan
terhadap buku Syaikh Sulaiman al-Ulwan tersebut di Majalah al-Furqon?!
Juga bantahan-bantahan di kajian-kajian dan majelis ilmiah mereka?!
Lantas mengapa mereka mereka lebih mendahulukan kejahatan hawa nafsu
mereka dan ambisi serta obsesi mereka untuk bermusuhan dan mencaci maki
yang disertai dengan kedustaan dan fitnah-fitnah?!! Aduhai, alangkah
benarnya ucapan seorang penyair ini kepada mereka :
احذر لسانك أن يقول فتبتلى إن البلاء موكل بالمنطق
Jaga lidahmu untuk berujar dari petaka
Sebab petaka itu bergantung pada ucapan
Dan masih banyak lagi kejadian serupa, yang mana mereka lebih senang membawa suatu hal yang samar dan mujmal, namun mereka tidak mau mengembalikannya kepada yang muhkam dan mufashshol dari sikap para du’at dan asatidzah yang mereka cela dan maki itu.
Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullahu ditanya dengan pertanyaan berikut : “Jika didapatkan pada seorang alim perkataan yang mujmal (global) di dalam suatu perkara, dan terkadang perkataan mujmal tersebut secara zhohirnya menunjukkan kepada suatu perkara yang salah, dan didapatkan lagi padanya perkataan yang lain yang mufashshol (terperinci ) pada perkara yang sama tentang manhaj salaf, apakah dibawa perkataan seorang alim yang mujmal tersebut kepada perkara yang mufashshol?”
Syaikh hafizhahullahu menjawab :
نعم! يحمل على المفصل, ما دام هو شيئ موهم, فالشيئ الواضح الجلي هو المعتبر
“Iya, dibawa kepada yang mufashshol, selama perkara tersebut adalah sesuatu yang masih samar, sedangkan perkara yang jelas dan teranglah yang dianggap.”[11]
q. Mengimplentasikan dan mempermainkan ilmu Jarh wa Ta’dil sekehendak hati mereka
Aduhai,
betapa bangganya mereka, dengan menyebut bahwa website mereka
terdahulu sebagai website “Jarh wa Ta’dil”. Mereka senantiasa mengklaim
bahwa upaya caci maki dan tindakan ghibah mereka yang haram
sebagai upaya penjagaan terhadap agama, sebagai upaya pemeliharaan dan
bagian dari ilmu Islam yang mulia, yaitu Jarh wa Ta’dil.
Mereka
permainkan ilmu ini sekehendak hati mereka, dan mereka implementasikan
dan aplikasikan menurut hawa nafsu mereka, mereka jarh dengan jarh yang tidak pernah dikenal oleh ulama salaf sebelumnya, dan mereka ta’dil siapa saja yang sepakat dan selaras dengan pendapat dan pemahaman mereka.
Ulama salaf dahulu, mereka sangat waro’ (berhati-hati) terhadap penggunaan ilmu ini. Mereka sangat berhati-hati sekali agar jarh
mereka kepada seorang perawi bukanlah berangkat dari hawa nafsu, dari
kedengkian, hasad, subyektifitas dan permusuhan. Namun mereka
melakukannya dengan ketakwaan, kehati-hatian dan keikhlasan dalam
rangka memelihara dan menjaga agama ini.
Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullahu di dalam al-Muuqizhoh (hal. 82) mengatakan :
والكلام في الرواة يحتاج إلى ورع تام وبراءة من الهوى والميل
“Membicarakan para perawi memerlukan sifat waro’ yang sempurna dan terlepasnya diri dari hawa nafsu dan kecenderungan (subyektifitas)…”
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullahu berkata di dalam al-Iqtiraah (hal. 302) :
أعراض المسلمين حفرة من حفر النار وقف على شقيرها طائفتان من الناس : المحدثون والحكام
“Kehormatan
kaum muslimin adalah sebuah jurang dari jurang-jurang neraka. Berdiri
di tepi jurang tersebut dua kelompok manusia, yaitu para muhaddits (yang membicarakan para rawi) dan hukkam (penguasa)…”
Imam Ibnu Sholah berkata di dalam Ulumul Hadits (hal. 350-351) : “Wajib bagi orang yang berkecimpung dalam hal ini (Jarh wa Ta’dil) untuk bertakwa kepada Alloh, bertatsabbut (melakukan cek dan ricek) dan menjauhi sikap tasahul (sikap memudahkan) agar ia tidak melakukan jarh
kepada seorang yang sebenarnya selamat (dari hal tersebut) dan tidak
menyifati orang yang tidak bersalah dengan sifat yang buruk, kemudian
sifat jelek tersebut akhirnya tertempel pada orang tersebut sampai hari
kiamat…
Apa
yang kami riwayatkan atau sampaikan, bahwa Yusuf bin al-Hasan ar-Razi
ash-Shufi datang menemui Ibnu Abi Hatim yang dalam keadaan sedang
membaca buku karyanya tentang al-Jarh wat Ta’dil. Yusuf berkata : “Berapa banyak dari mereka (yaitu orang yang tercantum di dalam buku al-Jarh wat Ta’dil
tersebut) telah menempati tempat-tempat mereka di Surga sejak seratus
atau dua ratus tahun yang lalu, sementara anda masih sibuk
menyebut-nyebut mereka dan melakukan ghibah kepada mereka.” (Mendengar hal ini), ‘Abdurrahman (bin Abi Hatim) pun menangis. (karena dari sikap waro’ dan ketakwaan beliau).
Juga telah sampai kepada kami, bahwa ketika Ibnu Abi Hatim sedang membaca kitabnya al-Jarh wat Ta’dil
kepada khayalak, maka disampaikan kepadanya kabar dari Yahya bin Ma’in
bahwa beliau berkata : ”Sesungguhnya kita telah mencela orang-orang
yang mungkin saja mereka telah menempati tempat-tempat mereka di surga
sejak dua ratus tahun lebih.” (Mendengar hal ini), ’Abdurrahman (bin
Abi Hatim) pun menangis, kedua tangannya gemetar sehingga jatuhlah kitab
(yang sedang dibacanya) dari tangannya.”[12]
Subhanalloh, adakah mereka yang terobsesi dan mempermainkan ilmu yang mulia ini, yaitu ilmu al-Jarh wat Ta’dil memiliki ketakwaan, waro’, ilmu, sikap obyektivitas, kesabaran, sifat tatsabbut dan semisalnya?!! Ataukah mereka adalah orang-orang yang bersikap diluar dari ketakwaan, tidak memiliki sifat waro’, gegabah, tidak pernah tatsabbut, lancang dan gemar merusak kehormatan seorang muslim?!! Allohu Syaahid ’ala maa yashna’un…
Bersambung ……
Dipublikasikan oleh ibnuramadan.wordpress.com
Disusun oleh Abu Salma al-Atsari
© Copyright bagi ummat Islam. Silakan menyebarkan risalah ini dalam bentuk apa saja selama menyebutkan sumber, tidak merubah content dan makna serta tidak untuk tujuan komersial.
Artikel ini didownload dari Markaz Download Abu Salma (http://dear.to/abusalma]
[1] Lihat : Masaa`il fil Hajri wa maa yata’allaqu bihi : Majmu’atu min ba’dhi asyrithoti Syaikh Shalih Alu Syaikh; Mufarroghoh (Dihimpun dari sebagian kaset Syaikh Shalih Alu Syaikh secara transkrip), didownload dari www.sahab.org
[5] Lihat : al-Hatstsu ‘ala ittiba`is Sunnah wat Tahdziru minal Bida’ wa Bayanu Khatariha oleh al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad, bab Bid’atu Imtihani an-Naasi bil Asykhosh, cet. I, 1425, Maktabah Malik Fahd al-Wathoniyah, hal. 58.
[7] Lihat Ithaaful ‘Ibaad bi Fawa`idi Duruusi asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad al-‘Abbad oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad al-‘Umaisaan, Darul Imam Ahmad, 1426/2005, hal. 61.
[8] Lihat : Taysirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan
karya al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, ditahqiq oleh
Syaikh ’Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihiq, cet. 1, 1422/2001,
Mu`assasah ar-Risalah, Beirut, hal. 822, juz 27, surat 53, ayat 38
[9] Lihat : Aqwaalu wa Fatawa al-Ulama`i fit Tahdziiri min Jamaa’ati al-Hajri wat Tabdi’, dihimpun oleh Majmu’atu min Thullabatil ’Ilmi, cet. II, 1424, hal. 38-39
[12] Nukilan-nukilan di atas dinukil dari Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan,
karya al-Ustadz Firanda bin Abidin as-Soronji, cet. I, 1427/2006,
Pustaka Cahaya Islam, hal. 38-41; Bacalah buku ini karena banyak sekali
faidah dan manfaat yang bisa dipetik darinya,hanya saja mereka yang
dengki dan terbakar semangat permusuhan tidak menyukai buku semacam ini
dan membuat tuduhan yang macam-macam terhadap penulisnya raghmun unufihi








0 komentar:
Posting Komentar